Home / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

Share

AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-04-09 08:14:57

Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara.

Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit.

"Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu.

Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci.

"Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya.

Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar.

"Untuk apa?" tanyaku acuh.

Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sekali tidak menahannya.

"Maafkan aku, Kak... Aku tergoda oleh suamimu. Aku... aku telah melakukan kesalahan yang terlalu besar, dan inilah karma yang aku dapat..." isaknya.

"Kenapa kamu melakukannya, Tasya? Apa kamu sadar risiko yang akan kamu tanggung setelah merebutnya dariku?" tanyaku, tetap dengan nada datar, sama sekali tidak terpengaruh oleh tangisannya.

Dia bangkit perlahan dan kembali duduk. Isakannya masih terdengar lirih. Tapi jangan berharap aku akan menenangkanmu, Tasya. Rasa sayangku sudah habis—terkikis oleh pengkhianatanmu.

"Ceritakan awal mulanya!" titahku tegas.

Dia mendongak menatapku lekat-lekat. Matanya basah, hidungnya merah. Aku tetap menatapnya dengan dingin. Kami saling menatap selama beberapa detik, hingga akhirnya aku merasa muak dan mengulang perkataanku sekali lagi.

"Ceritakan atau tidak?"

Dia mengangguk lemah, bibirnya bergetar saat mulai menceritakan awal mula perselingkuhannya dengan suamiku. Eh, ralat. Mantan suamiku.

POV Tasya

Aku Tasya, aku adalah adik dari Nadia. Dia adalah kakak yang baik, lemah lembut, tidak pernah berkata dengan nada kasar padaku. Kami berdua adalah anak yatim piatu. Beruntung aku memiliki kakak sepertinya, dia mampu aku andalkan, dari biaya sekolah sampai biaya hidup. Dia tidak pernah mengeluh, dia adalah kakak yang nyaris sempurna.

Namun, kesalahan itu bermula saat kakakku mengenalkan sosok pria yang ingin dia jadikan suami. Awalnya aku marah, tidak terima. Bagaimana jika setelah menikah dia hanya fokus pada suaminya? Aku marah padanya, tapi dia dengan lemah lembut meyakinkanku bahwa dia tidak akan melupakanku. Dan benar saja, setelah menikah, aku ikut diboyong ke rumah barunya.

Rumahnya sangat mewah. Aku menyandarkan pandangan ke segala arah—mewah sekali. Kakakku benar-benar hebat, dia mampu membeli rumah saat sedang membiayaiku kuliah.

Namun, aku sedikit tidak suka saat melihat suaminya. Raka namanya. Dia tidak sekaya kakakku, rasanya tidak sebanding saja. Aku pernah mengatakannya pada kakakku, tapi dia malah terkekeh menertawakan komentarku.

Hari demi hari, bulan demi bulan, Kak Nadia semakin sibuk dengan pekerjaannya. Dia jarang pulang siang hari, selalu pulang larut malam, dan dia selalu menitipkan suaminya padaku. Seperti, "Tolong siapkan makanannya," "Tolong siapkan kebutuhannya." Sebagai adik yang baik dan tahu diri, tentu saja aku menuruti perintahnya.

Saat itu malam di mana kami terjebak dalam hubungan gelap. Saat aku sedang santai menonton TV, kakakku menelepon.

"Dek, tolong buatkan nasi goreng untuk kakak iparmu. Dia menelepon barusan, ingin nasi goreng buatan rumah. Kakak belum bisa pulang sekarang!" titahnya waktu itu di seberang sana.

Tanpa berkata lagi, aku menurutinya.

Aku turun ke dapur dengan memakai hot pants. Aku memasak dengan riang, menyiapkan makanan untuk kakak iparku, sementara dia sudah duduk manis di meja makan, sibuk memainkan ponselnya.

"Tara... sudah jadi! Silakan dicicip," ujarku sambil meletakkan nasi goreng di hadapannya. Dia hanya tersenyum menanggapiku.

Saat aku ingin pergi, dia menahan tanganku. Ada sesuatu yang bergetar di hatiku. Aku menoleh.

"Mau ke mana? Temani kakak dulu, ya," ucapnya dengan lembut.

Aku mengangguk pelan tanpa menjawab.

Aku menatapnya saat dia sedang fokus menyantap masakan buatanku. Ternyata dia sangat tampan. Tipeku banget.

"Enak sekali... bahkan lebih enak dari buatan Kak Nadia," ucapnya, membuatku sedikit tersipu malu.

"Bisa saja...," jawabku sedikit malu-malu.

Setelah kejadian itu, kami semakin dekat. Di dalam rumah selalu hanya kami berdua. Kami selalu bercanda ria, saling menyiapkan makanan, seolah kami sepasang suami istri. Bahkan, tetangga pun selalu memandang kami sinis. Peduli apa aku? Yang penting aku nyaman dengannya.

Namun, kami sudah terlalu jauh. Aku seolah melupakan kakakku. Aku melupakan bagaimana nanti jika kami ketahuan, bagaimana perasaannya, bagaimana hubungan kami ke depannya. Semua itu tidak aku pikirkan, karena aku semakin terbuai dengan pesona Raka—kakak iparku, tepatnya.

"Kamu cantik malam ini," pujinya saat itu—di mana kesucianku terenggut olehnya. Dan anehnya, aku tidak marah. Justru, kami sering melakukannya, bahkan di saat Kak Nadia tertidur pun, Raka masuk ke dalam kamarku dan melakukannya, lalu kembali pada istrinya. Ini sangat seru menurutku, sedikit ada tantangan.

Namun, semuanya hancur saat kami ketahuan. Aku diarak oleh warga. Wajah-wajah penuh kemarahan itu memandang kami dengan rasa jijik. Aku tidak melihat Kak Nadia menangis tersakiti. Dia menatap datar, lalu menyerahkanku pada warga dan pergi begitu saja.

Beruntung ada Pak RW yang melerai kami. Namun, warga menyuruh kami untuk pergi dari rumah ini.

"Tapi Pak RW, dia berzina! Kami tidak ingin menampung pezina!" ucap salah seorang warga waktu itu.

Aku hanya memutar bola mataku dengan malas. Aku menoleh pada Raka. Dia menangis ketakutan. Tubuhnya bergetar. Banyak yang menendang dan mencacinya. Para ibu-ibu pun banyak yang menyumpah serapah kepadaku.

Hingga malam tiba, aku dan Raka hanya berdua di rumah Kak Nadia. Entah ke mana kakakku pergi. Semua akses diblokir. Aku mulai merasa bersalah. Bagaimana nanti setelah ini? Aku mendekat ke arah Raka dan bertanya padanya.

"Bagaimana ini? Apa kamu mau menanggung jawabiku?" tanyaku sedikit gemetar.

Dia menatapku dengan dingin, lalu mengangguk sedikit, membuat hatiku tenang.

Namun, itu semua bohong. Dia bersikap kasar. Kata-kata manisnya seolah lenyap begitu saja. Dia sering marah-marah, memakiku, dan menghina diriku. Jujur saja, aku kaget dan sakit hati. Dimanja sejak kecil membuatku terkejut luar biasa saat mendapat cacian dari seseorang yang aku sayangi.

Puncaknya adalah saat aku mengandung.

"Mas, aku hamil," ucapku pelan, sedikit gemetar karena aku yakin dia akan marah.

Dan benar saja.

PLAK!

Dia menamparku dengan sangat keras. Badanku sedikit terhuyung.

"Bodoh! Apa kau tidak memakai KB?" bentaknya, membuatku terkesiap kaget.

Aku hanya menangis terisak.

"Mana uang simpananmu? Apa masih ada? Hidupi saja anak itu sendirian! Aku tidak sudi!" bentaknya lagi, lalu melempar kursi ke arah lain.

Sejak saat itu, aku dikeluarkan dari kuliahku. Raka juga diberhentikan dari pekerjaannya dengan tidak hormat. Sementara itu, kami hidup menggunakan uang tabunganku dari Kak Nadia yang selalu ia berikan setiap bulan.

Aku menangis terisak. Di mana kamu, Kak Nadia? Aku kesakitan di sini. Dia bahkan tidak lagi mengirimku uang ataupun apa pun, seolah hilang ditelan bumi.

Sampai suatu hari, aku keguguran. Itu ulah Raka. Dia selalu menyiksaku, bahkan menendang perutku dengan keras ketika aku tidak lagi memberikannya uang. Aku kesakitan. Tubuhku bergetar hebat menahan rasa sakit yang sangat—sangat sulit aku jelaskan.

Hingga pandanganku gelap.

Saat aku sadar, aku sudah berada di ruang operasi. Aku meringis kesakitan. Dan lagi-lagi, pandanganku gelap. Saat aku terbangun, perutku sudah rata, terdapat jahitan di perutku.

Aku menangis meraung, meratapi nasibku yang begitu buruk.

Raka? Dia hanya bisa menyalahkanku dan mencaciku. Bahkan, dia sama sekali tidak mengurusku. Hingga akhirnya, aku melihat Kak Nadia melewati ruanganku, berjalan dengan ringkih. Aku berusaha berjalan, namun jejaknya menghilang.

Lagi-lagi, aku menangis. Menyesali semua perbuatanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   DIA KIRA AKU BODOH

    Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl

  • Sekarang Giliranku   TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

    Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua

  • Sekarang Giliranku   DIA BERUSAHA MEMPERBAIKI SEMUANYA

    "Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur

  • Sekarang Giliranku   CEROBOH

    Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,

  • Sekarang Giliranku   LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

    Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

  • Sekarang Giliranku   AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

    Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek

  • Sekarang Giliranku   UNTUK APA DIA DATANG

    Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

    Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.

  • Sekarang Giliranku   PENTING NYA BERSYUKUR

    Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status