MasukAlister mengangguk. "Dan jangan buat kesalahan lagi hari ini."
Harika mengangguk yakin. Tantangan diterima, tapi yang tidak Harika sadari, hari ini masih panjang dan bencana baru masih menantinya. Setelah dua kali gagal memenuhi permintaan bosnya, Harika kembali ke pantry dengan tekad baja. "Aku tidak boleh gagal lagi!" Kali ini, ia memeriksa semua label di meja pantry. Ada kopi, ada gula, ada garam. "Ah, ini dia biang keroknya!" Harika buru-buru menyingkirkan garam itu jauh-jauh sebelum mengambil kopi bubuk dengan penuh kehati-hatian. Ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, memastikan rasanya pas dengan menyeruput sedikit di sendok. "Oke, ini benar-benar kopi hitam!" Dengan bangga, ia membawa cangkir itu ke ruangan Alister. “Pak, ini kopinya,” kata Harika dengan senyum lebar, berharap ini bisa menebus kesalahan sebelumnya. Alister menatapnya sekilas sebelum mengambil cangkir itu dan menyeruput sedikit. Harika menahan napas, mengamati ekspresi bosnya dengan waspada. Beberapa detik berlalu. Alister menatapnya. “Akhirnya,” katanya singkat. Harika langsung tersenyum lebar. "Yes! Aku berhasil!" batinnya. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan tiga detik sebelum Alister menambahkan, “Tapi kau lupa satu hal.” Harika menegakkan tubuh. “Lupa apa, Pak?” Alister menatapnya datar. “Aku suka kopi dalam cangkir hitam, bukan putih.” Harika membeku. "Hah?! Itu masalahnya?!" Harika kembali membatin. Dengan hati-hati, ia melirik cangkir putih yang digunakan tadi. "Ya Tuhan, dia bahkan perfeksionis sampai ke warna cangkir?!" Harika ingin protes, tapi melihat ekspresi Alister yang serius, ia menelan semua keluhannya dan mengambil kembali cangkir itu. “Baik, Pak. Saya akan menggantinya.” Saat ia kembali ke pantry, Harika menggerutu kecil. “Bos macam apa sih yang mempermasalahkan warna cangkir?! Huh, kalau bisa, aku mau buat kopi ini dalam cangkir emas sekalian!” Sambil bergumam kesal, ia menuangkan kopi ke cangkir hitam dengan sangat hati-hati, tapi nasib sial sepertinya masih betah menempel padanya, karena terlalu fokus memastikan kopinya sempurna, Harika tidak sadar bahwa tangannya menyenggol stoples gula di meja pantry. Stoples itu jatuh dengan sukses dan pecah berkeping-keping. Harika menatap serpihan kaca dan gula yang berhamburan di lantai. “Aku dalam bahaya.” Setelah membersihkan kekacauan itu, Harika akhirnya kembali ke ruangan Alister dengan membawa kopi dalam cangkir hitam. Kali ini, semuanya sempurna. Benar-benar sempurna! “Silakan, Pak! Kopi dalam cangkir hitam,” katanya dengan bangga. Alister mengangkat cangkir itu dan menyeruputnya, lalu akhirnya untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, pria itu mengangguk kecil. “Baik.” Harika tersenyum lega. "Akhirnya! Aku lolos dari ujian pertama!" Tapi sebelum ia bisa menikmati momen keberhasilannya, tiba-tiba Alister berbicara lagi. “Kau sudah membaca peraturan kantor?” tanyanya. Harika terdiam. “Eh peraturan kantor?” Alister menatapnya tajam. “Buku panduan karyawan baru. Seharusnya kau membacanya sebelum mulai bekerja.” Harika berkedip. "Astaga, ada buku panduan?!" “Tentu saja saya sudah membacanya, Pak!” jawabnya cepat, berusaha menutupi fakta bahwa ia bahkan tidak tahu kalau buku itu ada. Alister menyipitkan mata, seolah-olah bisa membaca pikirannya. “Benarkah? Kalau begitu, coba sebutkan peraturan nomor 17.” Mampus. Harika terkekeh pelan. “Ehm peraturan nomor 17 itu….” Otaknya bekerja keras mencari jawaban, tapi nihil. Ia bahkan tidak tahu ada berapa peraturan dalam buku itu. “Nomor 17 adalah tentang larangan membawa makanan berat ke dalam ruang kerja CEO,” jawab Alister datar. Harika berkedip. “Oh? Wah, peraturan itu bagus sekali, Pak! Saya sangat setuju!” Alister mengetuk meja dengan jarinya. “Kalau begitu, bisa jelaskan kenapa aku mencium bau nasi uduk di ruangan ini?” Harika langsung panik. "Astaga, ketahuan!" Ia buru-buru melirik tasnya, yang masih terbuka sedikit. Dari dalamnya, aroma nasi uduk yang lezat perlahan menguar keluar. “Ups.” Alister menatapnya tajam. “Kau bawa makanan ke ruanganku?” Harika tertawa canggung. “Ehm, ini bukan makanan berat kok, Pak! Ini cuma camilan.” Alister melipat tangan di dada. “Camilan?” “Iya! Nasi uduk, kan, isinya nasi, ayam, sambal, telur, dan kerupuk. Kalau dipikir-pikir, semua itu bagian dari makanan ringan kalau porsinya kecil, kan?” Alister menutup mata dan menarik napas panjang, seolah sedang menghitung mundur agar tidak kehilangan kesabaran. “Harika.” “Ya, Pak?” “Keluar!" Harika membeku. “Eh?” Alister menunjuk pintu. “Bawa nasi udukmu keluar! Aku tidak mau ruanganku bau makanan.” Harika langsung mengemasi makanannya dan berjalan ke pintu dengan wajah sedikit memerah. Duh, ini baru hari pertama, tapi rasanya seperti sudah dihukum berkali-kali. Saat ia hampir mencapai pintu, ia tiba-tiba berhenti. “Eh, Pak.” Alister mengangkat kepala. “Apa lagi?” Harika tersenyum kecil. “Tadi saya cuma bercanda. Peraturan nomor 17 sebenarnya tentang apa?” Alister menghela napas panjang, lalu menatapnya datar. “Peraturan nomor 17 tidak ada. Aku hanya mengujimu.” Harika langsung membelalak. “Hah?! Pak bos nipu saya?!” Alister menyesap kopinya dengan tenang. “Aku tidak suka sekretaris yang tidak membaca aturan perusahaan. Jadi, sebagai hukuman, baca buku panduan itu sekarang! Aku ingin mendengar laporan singkatmu setelah makan siang.” Harika mendesah. "Jadi, aku kena jebakan?" Dengan pasrah, ia mengambil buku panduan karyawan dari meja dan membawanya keluar, tapi sebelum pergi, ia sempat bergumam pelan, “Jadi bosku ini bukan cuma perfeksionis, tapi juga licik.” Sayangnya, Alister masih bisa mendengarnya. “Apa tadi?” tanyanya dengan nada dingin. Harika tersenyum canggung. “Eh saya bilang Pak Bos ini visioner dan penuh strategi!” Alister mendengus pelan sebelum kembali bekerja. Harika akhirnya melangkah keluar. Baru setengah hari bekerja, tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun. "Sumpah, aku harus bertahan."Acara lamaran akhirnya usai. Satu per satu tamu pamit, suasana rumah perlahan kembali tenang. Sisa gelas dan piring sudah ditumpuk di dapur, bunga-bunga hantaran masih tertata rapi di ruang tamu. Harika langsung lari ke kamarnya, lalu menenggelamkan wajahnya ke bantal. "YA TUHAH MALUUU! Kenapa aku bisa salah ambil kotak onde-onde segala tadi?!" gumamnya dengan suara teredam. Ia menggelundung di kasur, menarik selimut sampai kepala. "Udah kayak badut lamaran, bukan calon pengantin." Suara ketukan terdengar di pintu. "Harika, boleh aku masuk?" Suara itu jelas suara Alister. Harika sontak menegakkan tubuh, wajahnya panik. "Jangan! Jangan masuk dulu! Aku…aku masih trauma!" Pintu pelan-pelan terbuka. Alister tetap masuk dengan ekspresi tenang, tapi matanya penuh senyum yang ditahan. "Trauma? Gara-gara salah sebut nama calon mertua sendiri?" "Pak Alister!!" Harika menutupi wajah dengan bantal. "Jangan diingetin! Aku bisa mati konyol detik ini juga!" Alister berjalan mendekat, dud
Kakek Gunawan mendecak pelan, lalu tersenyum samar. "Akhirnya…." Ratih menoleh cepat. "Ayah tahu soal ini?" Kakek Gunawan mengangguk mantap. "Ya. Beberapa hari lalu aku sudah bicara dengan Tirtakusuma, ayah Alister. Kita sepakat, Harika memang seharusnya berjodoh dengan Alister bukan dengan Adeline." Semua mata langsung membelalak ke arahnya. Harika terperangah. "Kakek?! Jadi selama ini kakek udah atur semuanya di belakang aku?" Kakek Gunawan menghela napas panjang. "Bukan mengatur, menyambungkan yang memang sudah seharusnya. Kamu kira dulu aku diam saja melihat Adeline berusaha merebut tempatmu? Tidak. Aku sudah bicara pada orang tua Alister dan mereka akhirnya tahu bahwa yang pantas mendampingi dia bukan Adeline, tapi kamu." Yudhistira menatap istrinya serius. "Iya, dan itu artinya kita harus menyiapkan diri. Kalau Alister datang bersama keluarganya, ini bukan main-main. Mereka akan membawa rombongan besar." Harika mengangkat kedua tangannya panik. "Hah?! Rombongan besar? Jang
Harika menutup wajahnya dengan dua tangan. "Tolong! Aku nggak kuat lagi hari ini." Alister menoleh sebentar ke arah Fenny dan Januar, nadanya tetap datar. "Kalian terlalu berisik." "Eh, iya, iya, Pak!" Fenny cepat-cepat menarik Januar pergi sambil cekikikan. "Kami nggak ganggu lagi, sumpah. Aduh, tapi sumpah ini kayak drama Korea live action!" Tinggallah Harika yang masih menutupi wajahnya dan Alister yang berdiri di depannya. "Harika," suara Alister merendah hanya untuknya. "Aku serius dengan semua ucapanku." Harika membuka sedikit tangannya, menatap Alister dengan pipi merah merona. "Saya tahu, Pak, tapi jangan bikin saya deg-degan terus begini, saya bisa pingsan." Alister mendekat, lalu menunduk cukup rendah untuk berbisik. "Kalau kau pingsan, aku yang akan menangkapmu." Harika buru-buru menurunkan tangannya dari wajah. "Pak, jangan ngomong begitu, saya beneran bisa jatuh loh." Alister menatapnya lekat, lalu dengan tenang ia mengambil kursi dan duduk tepat di depanny
Suasana ruang rapat langsung meledak lagi. "WAAAAAHHH!!!" Semua staf berdiri, bertepuk tangan, bahkan ada yang bersiul heboh."Harika Putri Ayyara," suara Alister terdengar berat namun hangat, berbeda jauh dari nada galaknya saat rapat. "Aku ingin kau tahu di hadapan semua orang di sini, aku ingin menghabiskan hidupku bersamamu. Kau satu-satunya yang bisa membuatku marah sekaligus bahagia dalam satu waktu.”Harika tertegun, matanya berkaca-kaca. "Pak, jangan bercanda, saya bisa pingsan di sini lho," suaranya pelan dan bergetar.Alister tersenyum tipis. "Aku tidak bercanda, Harika, jadi maukah kau menikah denganku?""TERIMA! TERIMA! TERIMA!" Suara teriakan karyawan makin heboh. Ada yang sampai menggedor meja, ada juga yang sudah histeris saking gemasnya.Harika mengerjap cepat, pipinya panas luar biasa. Tangannya menutup mulutnya, lalu perlahan ia menunduk menatap Alister yang masih berlutut. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan."Saya takut kalau ini mimpi. Kalau saya jawab iya teru
Senyum tipis terlukis di wajah keras Tirtakusuma. Ia mengangkat tongkatnya, mengetuk lantai sekali, lalu berkata dengan nada menggoda. "Aku kira kau akan berteriak lagi seperti biasanya, tapi rupanya kalau urusannya Harika, kau langsung jinak, ya?"Gayatri tertawa kecil menutup mulutnya, sementara Alister mendengus jengkel. "Ayah, jangan menggodaku seperti itu."Namun pipinya sendiri memanas sebuah reaksi yang membuat ibunya makin tersenyum lebar."Kalau begitu," ujar ibunya lembut, "Mungkin ini pertama kalinya kita benar-benar sepakat dalam urusan perjodohan, ya?"Alister menarik napas panjang, dadanya sekarang terasa lebih ringan. Ia memandang biodata Harika sekali lagi, lalu bergumam hampir tak terdengar."Sepertinya ini memang takdir."Namun kemudian ia menoleh pada ayahnya, tatapannya serius. "Ayah, boleh aku tahu, kenapa kalian menjodohkanku dengan Harika? Kenapa bukan orang lain? Aku perlu tahu alasannya."Ruangan hening sejenak. Tirtakusuma menundukkan wajahnya seakan mencari
Saat Harika sibuk membereskan berkas di mejanya, suara langkah cepat terdengar mendekat."Harikaaaa!"Belum sempat menoleh, Harika langsung dipeluk erat dari samping hampir saja ia terjungkal bersama kursinya kalau tidak cepat berpegangan ke meja."Woi, Fenny! Aku masih hidup, jangan dipeluk kayak boneka stress!" Harika protes sambil terkekeh, tapi matanya berkaca-kaca karena terharu.Fenny memeluknya lebih kencang. "Ya Tuhan, aku kangen banget sama kamu! Kamu nggak tahu selama kamu nggak ada di sini aku kayak kerja di kantor zombie. Semua orang kaku nggak ada yang bikin rame."Harika tersenyum lebar, menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. "Tenang, sekarang aku balik. Aku siap bikin kamu nggak bisa kerja serius lagi tiap hari."Fenny mengusap air matanya lalu mendengus sambil tertawa. "Iya, iya. Aku bahkan sempat ngobrol sama printer saking sepinya, tau nggak?!"Harika langsung ngakak. "Astaga, printer? Terus jawabannya apa? ‘Tolong isi tinta’?!"Mereka berdua tertawa keras sampai beberap







