Hari kedua Harika di Ardiwijaya Grup dimulai dengan tekad baja.
"Hari ini, aku harus jadi sekretaris yang profesional, kompeten, dan tak terkalahkan! Aku akan membuktikan bahwa aku bukan hanya makhluk ceroboh yang kebetulan dipekerjakan di sini!" Namun, tekad baja itu hanya bertahan selama lima menit. Begitu masuk ke ruangan, ia langsung berhadapan dengan bosnya, Alister Ardiwijaya, yang sudah duduk di balik meja dengan ekspresi setajam pisau dapur baru. Tatapan matanya menusuk, bibirnya terkatup rapat, dan aura perfeksionisnya lebih kuat dari WiFi kantor. Astaga. Kenapa rasanya dia makin serem?! Tapi Harika menegakkan bahu. Tidak boleh gentar. Ia harus membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar sekretaris ceroboh yang keberadaannya hanya menambah stres bosnya. Dengan semangat membara, ia memasang senyum paling profesional yang bisa ia buat dan menyapa, "Selamat pagi, Pak!" Alister melirik jam tangannya. "Tepat waktu." Harika tersenyum lebar. Yes! Setidaknya, aku tidak terlambat lagi! Namun, sebelum ia bisa berbangga diri lebih lama, Alister menambahkan dengan nada datar, "Mari kita lihat apakah hari ini kau akan membuat kekacauan baru atau tidak." Harika langsung berkeringat dingin. Ya Tuhan, itu tantangan atau kutukan?! Setelah briefing pagi yang penuh ketegangan, Harika kembali ke mejanya. Tugas pertamanya hari ini adalah mengirim email penting kepada seluruh kepala divisi mengenai perubahan jadwal meeting mingguan. Sederhana, bukan? Dengan penuh semangat, Harika mulai mengetik. Dari: Harika Putri Ayyara Kepada: Seluruh Kepala Divisi Subjek: Perubahan Jadwal Meeting Mingguan Halo semuanya! Pak Alister memutuskan untuk mengubah jadwal meeting mingguan kita menjadi setiap hari Senin pukul 10 pagi. Jangan sampai lupa, ya! Terima kasih, Harika Harika membaca ulang emailnya. Oke, sudah rapi, jelas, dan tanpa typo. Hari ini aku benar-benar profesional! Dengan penuh percaya diri, ia menekan tombol SEND. Harika tersenyum puas. Yes! Aku sukses mengirim email penting! Lalu, dalam waktu kurang dari dua menit, sesuatu yang mengerikan terjadi. Sebuah notifikasi masuk ke layar laptopnya. Itu adalah balasan dari salah satu penerima email, Pak Gunawan, Kepala Divisi Keuangan. "Harika, kamu yakin ini email yang benar?" Harika mengernyit. Eh? Memangnya kenapa? Rasa penasaran membuatnya membuka folder Sent Mail untuk mengecek email yang baru saja ia kirim. Saat matanya membaca isi email itu, napasnya tersangkut di tenggorokan. Ya Tuhan. Ia telah mengirim email bukan hanya kepada seluruh kepala divisi, tapi ke selurug karyawan di perusahaan, tapi itu belum bagian terburuknya. Bagian terburuknya adalah ada satu tambahan kalimat di akhir email yang seharusnya tidak ada di sana. Dengan tangan gemetar, Harika menatap layar laptopnya dengan ngeri. Dari: Harika Putri Ayyara Kepada: SELURUH KARYAWAN ARDIWIJAYA GRUP! (BUKAN HANYA KEPALA DIVISI!) Subjek: Perubahan Jadwal Meeting Mingguan Halo semuanya! Pak Alister memutuskan untuk mengubah jadwal meeting mingguan kita menjadi setiap hari Senin pukul 10 pagi. Jangan sampai lupa, ya! Terima kasih, Harika PS: Bos kita ini memang ganteng sih, tapi tatapannya serem banget. Aku berasa peserta MasterChef yang siap diomelin Gordon Ramsay tiap hari. MATI AKU. Jantung Harika hampir lompat keluar dari dadanya. Ia langsung memeluk laptopnya seperti hendak mengembalikan email itu secara fisik. "Ya Tuhan! Kenapa aku bisa lupa hapus bagian itu?!" Dalam kepanikan, ia menoleh ke arah ruangan Alister. Bosnya masih duduk dengan ekspresi dingin, belum terlihat membaca email itu. Harika menggigit bibir. Masih ada waktu! Aku harus melakukan sesuatu! Lalu, laptopnya TING! lagi. Kali ini dari email HRD. "Harika, kami menyarankan Anda untuk segera mengajukan cuti sebelum Pak Alister membaca ini." Oh, iya! Cuti! Itu ide yang bagus! Tapi sebelum Harika sempat melakukannya, ponselnya bergetar. ALISTER ARDIWIJAYA Harika menelan ludah. Ya Tuhan, ini dia saatnya aku dipecat. Jantungnya berpacu lebih kencang dari motor drag liar di tengah malam. Itu hanya candaan iseng yang seharusnya ia hapus sebelum mengirim email! Tapi sekarang? Sekarang seluruh kantor sudah membacanya! Harika ingin kabur ke dimensi lain atau minimal pura-pura pingsan agar bisa lolos dari konsekuensi, tapi sebelum ia sempat melancarkan rencana pura-pura gegar otak, sebuah suara dingin menggema di belakangnya. "Harika." Harika membeku. Dingin. Rasanya seperti ada AC yang tiba-tiba disetel ke suhu kutub. Dengan gerakan pelan dan penuh kehati-hatian seperti seseorang yang tahu hidupnya sedang dalam bahaya, ia menoleh ke belakang dan di sanalah dia. Alister Ardiwijaya. Berdiri dengan ekspresi ya Tuhan, dia benar-benar terlihat seperti Gordon Ramsay sebelum melempar piring ke dinding. Harika tertawa canggung, mencoba menormalkan detak jantungnya yang sudah mirip lagu EDM (Electronic Dance Music). “Eh, Pak Bos. Selamat pagi lagi! Hehe.”"Maaf, saya pembawa kekacauan," balas Harika, pura-pura serius. "Dan anehnya semua kekacauan yang kamu bawa justru bikin semuanya hidup."Harika melirik cepat, tapi tak berani terlalu lama menatapnya."Aku harusnya marah tadi," lanjut Alister pelan. "Tapi begitu lihat kamu teriak ‘meletus balon hijau dor!’ sambil jatuh, rasanya semua beban di kepala langsung hilang.""Apa Pak Alister baru saja bilang saya jadi semacam terapi stres perusahaan?"Alister mengangguk. "Yang mahal, langka, dan tidak tergantikan."Harika terdiam. Angin meniup rambutnya pelan. Ia melipat kedua tangannya di pangkuan, merasa jantungnya mulai mengetuk pintu akal sehatnya lagi."Pak Alister.""Hmm?""Kalau semua orang punya versi terburuknya, saya kayaknya udah nunjukin semua versi saya ke Bapak."Alister menoleh padanya. Tatapannya lembut, namun tajam seperti biasa."Justru karena itu, aku jadi tahu siapa kamu tanpa topeng dan tahu apa yang aku rasakan."Harika menatap api, tidak berani menoleh. "Apa yang Bapak
Sabtu pagi di lokasi gathering di Villa Ardiwijaya, kawasan PuncakVilla luas berarsitektur modern minimalis itu sudah ramai dengan staf. Halaman belakang menghadap langsung ke pegunungan berkabut, lengkap dengan taman hijau, area BBQ, dan panggung kecil. Suasana santai dan ceria menyambut seluruh karyawan Ardiwijaya Grup. Harika baru turun dari mobil jemputan sambil membawa dua totebag besar berisi perlengkapan acara dan satu bantal leher berbentuk ayam lucu. "AAAKKK!!" Tali totebag sebelah kanan putus. Sekantong keripik, kotak mic karaoke, dan bantal ayam kesayangan Harika berjatuhan di jalan masuk. Ia langsung panik memunguti barang-barangnya dengan gaya khas Harika—panik, heboh, dan setengah mengomel pada diri sendiri. "Ya ampun, ayamku kotor! Aku belum sempat cuci, kenapa nasibnya seperti cilok jatuh ke got?!" Fenny datang tergopoh-gopoh, tertawa sambil ikut membantu. "Kamu tuh emang bawa bala setiap kali acara kantor, tapi setidaknya kamu bawa hiburan gratis." "Saya bawa s
Alister duduk di kursinya, membuka halaman demi halaman laporan, tapi konsentrasinya teralih. Ia mengingat ucapan ayahnya. "Dia bukan gadis yang cocok untukmu, Alister." Lalu ia mengingat lagi senyum ceroboh Harika, tumpahan kopi yang sudah tak terhitung, dan semua gumaman sok berani yang malah terdengar lucu. Dia menghela napas. "Justru karena dia tidak cocok untuk siapa pun, dia jadi cocok untukku." Sementara itu, di kafetaria kantor, Fenny menyenggol bahu Harika yang sedang menyeruput teh tarik. "Jadi kamu sekarang udah bikin dua orang pingsan karena jatuh cinta, satu bos, satu vas." Harika menunduk ke meja. "Tolong, jangan ingatkan aku soal vas itu." "Tapi kamu sadar nggak, akhir-akhir ini Pak Alister makin posesif? Kayak waktu kamu ngobrol sama Mas Januar kemarin, ekspresi dia kayak pengen makan Januar pakai garpu." Harika langsung menutup muka dengan gelas. "Jangan mulai. Jangan mulai. Jangan mulai." Fenny mengaduk minumannya dengan ekspresi jahil. "Harika, ini serius. Ak
Sore hari Harika sedang menuang air panas ke gelas dan seperti biasa terlalu penuh sampai air meluap."Panas! Panas! Aduh, duh, duh, duh!" jeritnya sambil loncat-loncat kecil.Januar yang kebetulan lewat langsung mengulurkan tisu. "Kamu butuh pengawas pribadi sepertinya."Harika tertawa malu-malu. "Atau pelatihan dasar menyeduh teh."Di sudut ruangan, Alister sedang berdiri sambil memeriksa ponselnya, tapi matanya jelas-jelas memperhatikan Harika. Ia melihat tawa Harika yang entah kenapa selalu terasa istimewa dan tawa itu bukan untuknya.Beberapa detik kemudian, ia langsung berjalan menghampiri mereka."Harika!" panggilnya tiba-tiba.Harika menoleh cepat, hampir menjatuhkan gelas. "Ya, Pak?""Mulai minggu depan, kamu ikut saya dalam semua pertemuan dengan investor. Termasuk konferensi pers dan kunjungan proyek di luar kota."Harika mengedip. "Eh? Tapi saya belum pernah....""Anggap ini bagian dari promosi informal. Saya ingin kamu belajar lebih banyak."Januar hanya tersenyum kecil,
Harika duduk di balik mejanya, berpura-pura sibuk membaca catatan rapat. Padahal isi kepalanya berkecamuk. Kata-kata Alister kemarin terus terulang. "Aku tidak suka melihatmu tertawa untuk orang lain terutama kalau bukan aku yang buat kamu tertawa." Harika mengerang pelan dan menampar pelan pipinya sendiri. "Fokus, Harika. Fokus. Jangan meleleh cuma karena cowok dengan rahang tajam dan suara bariton." Dari sudut lorong, Fenny sudah mendekat sambil membawa segelas matcha latte. Ia meletakkannya ke meja Harika. "Aku rasa kamu butuh ini sebelum kamu membakar otakmu sendiri." Harika menatapnya curiga. "Kamu nguping, ya?" Fenny pura-pura berpikir. "Nguping? Enggak kok, aku cuma pas lewat, pelan dan tiba-tiba suara Pak Alister nembus pintu kaca seperti soundtrack film romantis." Harika langsung menutup wajahnya dengan map. "Jangan bahas itu!" Fenny justru duduk dan menyenggol bahunya. "Jadi kamu beneran naksir bos kamu?" Harika mengangkat wajah, mendesah. "Aku nggak tahu, t
Suara Alister lembut, tapi tak terbantahkan.Mereka duduk di sofa yang menghadap jendela kaca besar, menampilkan cahaya kota Jakarta yang berkelip di kejauhan. Harika menyenderkan tubuhnya, tapi menjaga jarak profesional. Alister, di sisi lain, duduk dengan tangan bersilang di pangkuan, mata menatap kosong ke luar jendela."Tadi kamu terlihat sangat bersinar," katanya tiba-tiba.Harika menoleh cepat. "Maksudnya, Pak?""Di acara tadi. Kamu membuat semuanya terasa hidup, bahkan dengan semua kerepotan, kamu tetap memancarkan semangat." Ia menatapnya langsung. "Dan aku tidak bisa berhenti memperhatikanmu."Harika terdiam. Dadanya mulai berdetak lebih cepat, tapi ia memilih mengalihkan pandangan."Saya cuma menjalankan tugas, Pak."Alister tertawa pelan. "Harika, kamu tahu, kamu buruk sekali kalau sedang pura-pura tidak mengerti."Harika menunduk. "Saya tidak mengerti, Pak.""Dan kamu buruk sekali kalau sedang bohong."Suasana jadi hening. Hanya suara mesin pendingin ruangan dan lalu lint