Alister meletakkan cangkirnya di meja dan menghela napas panjang. “Kopi yang benar itu hitam pekat tanpa gula dan tanpa susu. Harika, kau baru saja menghancurkan pagi yang seharusnya sempurna.”
Harika tersenyum canggung. “Ehehe saya bisa buat ulang, Pak!” Alister hanya mengangkat satu alis. “Lakukan!" Harika kembali ke pantry dengan tekad yang membara. Oke. Tidak ada susu. Hitam pekat. Berarti harus kuat! Ia mengambil bubuk kopi terpekat yang ada di pantry, menuangkannya ke dalam mesin, dan memastikan bahwa air yang digunakan tidak terlalu banyak. Ia ingin memastikan bosnya mendapatkan kopi terkuat yang pernah ada. Setelah selesai, ia membawa kopi itu kembali ke ruangan Alister. “Pak, ini sudah saya perbaiki,” katanya dengan penuh harapan. Alister kembali mengambil cangkir itu, menyeruput sedikit, lalu raut wajahnya berubah. Mata Alister sedikit menyipit. Ia terdiam selama beberapa detik. Harika menunggu dengan gugup. Lalu, tanpa peringatan, Alister langsung batuk-batuk keras. Harika membelalakkan mata. “Pak! Kenapa?!” Alister menaruh cangkirnya dan menatapnya dengan ekspresi tak percaya. “Harika, APA YANG KAU MASUKKAN KE DALAM KOPI INI?!” Harika melirik cangkir itu dengan bingung. “Eh kopi hitam pekat seperti yang Bapak mau?” Alister menatapnya dengan ekspresi horor. “Ini bukan kopi. Ini racun.” Harika menahan tawa. “Eh, lebay banget, Pak. Masa sih—” Ia mengambil cangkir itu dan mencoba mencium aromanya. Begitu aroma kopi itu masuk ke hidungnya, ia langsung terbatuk-batuk juga. Ya Tuhan. Aromanya saja sudah seperti bahan bakar jet. Alister memijat pelipisnya. “Harika.” “Ya, Pak?” “Kalau niatmu adalah membuatku pingsan agar kau bisa kabur dari kantor ini, kau hampir berhasil.” Harika menahan senyum. “Hehehe. Saya buat ulang lagi ya, Pak?” Alister hanya mengangkat tangannya. “Tidak usah. Mulai hari ini, kau dilarang membuat kopi untukku.” Harika mengangguk cepat. “Siap, Pak! Saya akan menyerah total dalam urusan kopi.” Alister menghela napas. “Setidaknya kau tahu batas kemampuanmu.” Harika tertawa kecil, lalu keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk.Ia hanya bisa berharap bosnya tidak benar-benar menandai namanya di daftar hitam. Saat kembali ke mejanya, Harika mendapati rekan-rekannya sudah berkumpul sambil berbisik-bisik. “Gimana?” bisik Fenny dengan mata berbinar. Harika mendesah. “Aku hampir membunuh bos kita dengan kopi level kematian.” Teman-temannya langsung tertawa. “Seriusan?” tanya Bima dari divisi IT. “Dia masih hidup, kan?” “Masih,” jawab Harika. “Tapi sepertinya kepercayaannya padaku sudah menurun drastis.” Fenny tertawa. “Tapi jujur, aku kagum banget. Baru hari ketiga kerja, tapi kau udah bikin sejarah.” Harika memutar mata. “Sejarah buruk.” Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan gosip, pintu ruangan Alister terbuka dan pria itu keluar dengan ekspresi dingin seperti biasa. Semua orang langsung berpura-pura sibuk. Alister berjalan melewati mereka tanpa berkata apa-apa. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia berhenti sebentar di samping Harika.Tanpa menoleh, ia berkata pelan, “Aku berharap kau tidak membuat masalah lagi hari ini.” Harika menelan ludah. “Eh saya juga berharap begitu, Pak.” Alister tidak berkata apa-apa lagi dan langsung pergi. Begitu ia menghilang di ujung koridor, Harika menoleh ke teman-temannya. “Aku punya firasat buruk soal ini.” Fenny mengangkat bahu. “Yah, paling tidak kau berhasil bertahan sampai hari ketiga.” Harika menutup wajahnya dengan kedua tangan. Astaga, apakah aku bisa bertahan seminggu di kantor ini?! *** Harika duduk di mejanya dengan tekad membara. Hari ini harus berjalan mulus. Tidak ada insiden kopi beracun. Tidak ada salah kirim email memalukan. Tidak ada hal bodoh yang bisa membuat bos perfeksionis itu menghela napas panjang seperti kakek-kakek yang kehilangan kesabaran. Hari ini, ia hanya punya satu misi, menjadi sekretaris teladan. Namun, hidup tidak pernah semudah itu dan tentu saja, masalah baru sudah menunggunya di tikungan seperti debt collector. Pagi ini, Alister punya rapat penting dengan investor dari luar negeri. Tugas Harika adalah memastikan semuanya siap dan sempurna. Checklist Harika: ✔ Ruang rapat sudah dibersihkan dan ditata rapi. ✔ Dokumen penting sudah dicetak dan disusun. ✔ Presentasi sudah diunggah ke laptop bos. ✔ Air mineral dan snack sudah disiapkan di meja rapat. Sempurna. Tidak ada celah kesalahan atau begitulah pikirnya. Alister masuk ke ruang rapat dengan percaya diri, diikuti oleh para investor. Harika duduk di sudut ruangan, siap mencatat poin-poin penting. Alister berdiri di depan layar besar, membuka file presentasi. Semua mata tertuju ke layar, lalu ruangan mendadak sunyi. Harika yang sedang menyesap air langsung tersedak. Di layar, bukan slide presentasi perusahaan yang muncul, melainkan file PowerPoint berjudul “MEMBONGKAR ZODIAK PARA BOS – SIAPA PALING NYEBELIN?” TIDAK. TIDAK. TIDAAAAK! Slide pertama menampilkan gambar besar kepala Alister dengan tulisan mencolok. “CEO ZODIAK VIRGO: TERKENAL GALAK, TAPI ASLINYA KANG BAPER?” Mati. Aku sudah mati. Keheningan yang menegangkan menyelimuti ruangan.Gerbang besar itu terbuka, seorang pria berjas hitam yang wajahnya terlihat tegas dan dewasa keluar menyambut. "Pak Alister?"Alister menoleh. "Erwin."Pria itu tersenyum tipis. “Saya sudah menunggu Anda.""Kenpa kamu bisa tahu ini rumah Harika?" Nada suara Alister ada rasa tidak suka karena Erwin lebih tahu tentang keluaga Harika."Semasa kami kecil, saya pernah diundang ke sini, jadi aku tahu."Alister mengangguk mengerti. Begitu masuk ke ruang tamu, ia langsung disambut Ratih, Rendra, Yudhistira, dan Kakek Gunawan. Wajah mereka semua tegang, jelas-jelas cemas karena Harika yang menghilang."Selamat malam, Pak Alister!" Ratih menyapa dengan suara bergetar. Alister mengangguk dalam, suaranya berat. "Saya sudah dengar dari Erwin, karena itu saya langsung datang. Saya ingin membantu menemukan Harika."Ayahnya Harika menatap Alister lekat-lekat. "Terima kasih! Harika sudah banyak bercerita tentang Anda, tapi sebelum itu mungkin ada sesuatu yang perlu Anda tahu."Alister terdiam. Jantu
Harika menempelkan pipinya ke kaca jendela gudang kosong tempat Adeline mengurungnya. Ia bergumam lirih sambil mengembungkan pipi, "Ya ampun, ini kayak film thriller tapi versi low budget. Mana aku jadi pemeran utama yang nggak dikasih naskah."Pintu berderit, Adeline masuk sambil membawa segelas air. Senyumnya tampak manis, tapi tatapannya menusuk."Kamu pikir bisa lolos dariku, Harika?"Harika langsung cengar-cengir, "Eh, lolos? Siapa juga yang mau lolos. Aku mah lagi staycation. Tuh, lihat!" Ia menunjuk lantai berdebu, "Ini kayak karpet hotel bintang minus lima."Adeline menyipitkan mata. "Kamu selalu bisa membuat orang lain tertipu dengan kelakuan bodohmu."Harika mendecak, pura-pura tersinggung. "Bodoh? Halo, Mbak, ini namanya improvisasi. Kalau aku nggak bodoh, mana bisa bikin orang bingung?"Adeline menghampiri lebih dekat, wajahnya tegang. Harika pura-pura ketakutan, lalu ia tiba-tiba bersin keras. hachiii! Hingga air di gelas Adeline muncrat ke bajunya sendiri."Ya ampun, ba
Alister duduk di ruang tamu rumah besar keluarganya. Hujan gerimis di luar membuat suasana semakin muram. Di depannya, Tirtakusuma, ayahnya, duduk dengan wajah serius, sementara ibunya, menatap penuh tanya. "Ada apa kau datang malam-malam begini, Alister?" suara Tirtakusuma dalam dan mengandung nada ketidakpercayaan. Alister menarik napas panjang. "Aku datang bukan sekadar untuk bicara. Aku ingin kalian tahu kebenaran tentang Adeline." Gayatri berkerut. "Adeline? Apa maksudmu?" Alister mengeluarkan map cokelat besar dari tasnya dan meletakkannya di meja. Tangan ayah dan ibunya refleks menoleh pada map itu. "Adeline bukan seperti yang kalian kira," ucapnya dengan tegas. "Dialah yang menyebabkan dua anak panti itu meninggal. Semua bukti ada di sini. Dia juga mengidap skizofrenia, tapi dia membalikkan fakta, membuat semua orang percaya bahwa justru Harika yang punya penyakit itu." Gayatri langsung menutup mulutnya dengan tangan. "Tidak mungkin." Tirtakusuma menggeleng pelan,
Ratih menggenggam erat ponselnya yang kini terasa seperti batu. Nafasnya memburu, matanya mencari-cari ke luar jendela, berharap Harika tiba-tiba muncul sambil membawa kantong belanjaan. "Aku nggak bisa duduk diam," katanya lirih Ia meraih jaketnya. "Rendra, ayo kita keliling komplek, tanya orang-orang mungkin ada yang lihat Harika lewat." Rendra langsung mengangguk. "Aku ikut. Kita pisah jalan biar lebih cepat." Kakek Gunawan menahan tongkatnya kuat-kuat, wajah tuanya tegang. "Aku juga ikut. Jangan larang aku! Harika cucuku dan aku tidak akan tinggal diam di rumah menunggu kabar." Ratih sempat ingin membantah, tapi melihat sorot mata keras ayahnya, ia urung. "Baik, tapi jangan jauh-jauh dari aku." Mereka berempat keluar rumah dalam keadaan setengah berlari. Hujan tipis mulai turun, menyisakan aroma tanah basah. Ratih berkeliling dan bertanya pada salah satu warga di sana. "Bu, lihat Harika lewat nggak?" tanyanya kepada seorang ibu yang sedang menyapu teras. Ibu itu menggeleng.
Harika mencoba menghela napas panjang. Semua orang di rumah tampak lebih tenang setelah pesan itu datang, tapi ia justru merasa sebaliknya. Jantungnya tak pernah berhenti berdebar."Aku sebentar ke mini market ya, cuma beli permen sama susu. Nggak lama kok," katanya sambil meraih jaket tipisnya.Ibunya refleks menatap tajam. "Harika, apa nggak bisa nanti saja?"Harika memaksakan senyum. "Kalau aku cuma diam di rumah, kepalaku bisa pecah, Bu. Aku butuh udara segar."Akhirnya dengan berat hati, ibunya mengangguk. Harika keluar, menutup pintu perlahan. Udara pagi masih lembap sisa hujan semalam. Jalanan sepi hanya suara motor sesekali melintas. Ia berjalan sambil memeluk tubuhnya sendiri.Mini market hanya berjarak dua gang. Namun baru setengah jalan, sebuah mobil hitam melaju perlahan dari arah belakang. Harika sempat melirik, tapi tidak curiga. Mobil itu berhenti tepat di sisinya."Harika!"Seseorang dari dalam mobil membuka pintu belakang. Sebelum Harika sempat menoleh sepenuhnya, kai
Malam itu rumah terasa berbeda. Sunyi, tapi sarat ketegangan. Harika masih duduk di samping ibunya, sementara Pak Gunawan menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi rintik hujan. Ayahnya mondar-mandir dan tak bisa duduk diam.“Kita tidak bisa hanya menunggu,” ucap ayahnya akhirnya. “Besok aku ikut, titik. Kalau dia macam-macam, aku tahu harus bagaimana."“Tapi kalau kita datang beramai-ramai, dia bisa curiga," kata Harika pelan. "Pesannya jelas aku harus sendirian.""Sendirian!" Pak Gunawan menggebrak tongkatnya ke lantai. "Adeline sudah keterlaluan. Kalau kau ke sana sendirian, itu sama saja kau menyerahkan diri. Tidak akan kubiarkan cucuku masuk ke sarang harimau."Harika menggigit bibirnya. Air matanya sudah kering, tapi matanya tetap merah. "Aku juga nggak mau sendirian. Aku takut," suaranya pecah.Ibunya kembali memeluknya erat. "Kamu nggak perlu menanggung ini sendirian. Kalau Adeline memang mau balas dendam, biar kita hadapi sama-sama."Namun Harika tahu yang paling dituju Ad