Share

Chapter 2

Seluruh tubuh Amanda menjadi lemas. Tatapan matanya sudah tidak fokus lagi.

"Sabar ya Mbak Manda. Tadi itu saya juga lihat pak Rangga ya, paman mbak Manda yang gembok pintu gerbang itu setelah bertengkar dengan mas Dimas," kata Bu Rita lagi.

Amanda tak mengerti semua yang telah terjadi. Bahkan, tadi pagi sebelum dia berangkat kerja, semuanya masih baik-baik saja.

"Terimakasih Bu Rita, saya akan ke rumah sakit sekarang" kata Manda yang langsung berpamitan dengan menggenggam tangan Bu Rita lalu pergi.

Amanda masuk ke dalam mobilnya dan mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu.

Setelah Amanda pergi, datanglah ibu lain menghampiri Bu Rita.

"Ngapain masih dikasihani sih Bu Rita? Sudah jelas kan keluarga ini tuh gak baik! Ayahnya di tangkap karena kasus pelenyapan, bahkan katanya tadi dia mengambil semua aset saudaranya sendiri. Jangan dekat dekat sama mereka Bu Rita. Nanti ketularan apes, itu si Dimas langsung ditinggalkan sama anak bininya. Bu Teresa jantungan, ngeri Bu Rita. Jauh-jauh deh dari keluarga yang lagi kena apes begini!" kata wanita paruh baya itu pada Bu Rita.

"Jangan bicara begitu Bu Siska. Keluarga pak Roy sangat baik. Ini cobaan bagi mereka, saya yakin kok pak Roy pasti di fitnah seperti kata Bu Teresa tadi, kita dengar kan tadi Bu Teresa bilang begitu.."

"Halah, jaman sekarang orang mah pinter bu Rita. Orang jahat pakai topeng biar kelihatan baik banyak Bu Rita. Buktinya di depan mata, mereka semua di usir karena sudah makan harta saudaranya sendiri!" kata Siska dengan ekspresi wajah begitu julid.

Sementara itu Amanda sedang bergegas menuju ke rumah sakit yang paling dekat dengan rumahnya. Begitu sampai di sana, dia langsung menepikan mobilnya dengan cepat. Dia juga turun dari mobil dengan cepat. Pakaiannya sudah tidak lagi rapi, tapi dia tidak perduli akan hal itu. Yang dia khawatirkan hanya bagaimana kondisi ibunya.

"Permisi, suster..." Amanda bahkan bicara dengan suara yang terdengar begitu gemetaran.

"Iya mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanya suster yang menjaga pusat informasi itu dengan ramah.

"Suster ada pasien atas nama Teresa Deviana?" tanya Amanda.

"Oh, pasien barusan di bawa ke UGD. Di sebelah sana" tunjuk suster penjaga pusat informasi itu.

"Terimakasih suster"

Amanda langsung bergegas menuju tempat yang tadi di tunjuk oleh petugas yang berada di pusat informasi. Saat Amanda berlari ke tempat itu, dia melihat pak Sarip, Inem dan Dimas yang berada di depan ruang UGD.

"Mas..." panggil Amanda pada kakaknya.

"Kamu kemana saja, ibu dan ayah..." Dimas tak bisa meneruskan ucapannya. Matanya sudah merah dan sembab. Kondisinya tak kalah kacau dari Amanda.

Dimas bahkan terkulai lemas di lantai.

"Mas, maafkan aku. Aku baru bisa membaca pesan pak Sarip..."

"Ibu terkena serangan jantung Manda. Ayah di penjara" lirih Dimas yang begitu terpukul dengan apa yang terjadi pada keluarganya.

Amanda kembali mengalirkan air matanya. Kali ini begitu deras.

"Paman Rangga menipu ayah, rumah mobil dan perusahaan di ambil alih olehnya. Ayah tidak bisa membela diri, ayah terkejut saat paman Rangga menunjukkan tanda tangan ayah di dokumen penyalahgunaan aset dari kakek. Diana dan Revan juga meninggalkan aku... Kita hancur Manda, keluarga kita sudah hancur"

Amanda menatap sedih dan perih pada kakaknya. Kakak yang biasanya kuat dan menguatkannya. Menangis dan begitu putus asa.

Amanda juga tidak bisa menghentikan tangisnya. Dalam beberapa jam saja, kehidupannya yang bahagia, keluarganya yang bahagia menjadi hancur seperti ini.

"Selamat sore"

Sebuah suara membuat Amanda mengalihkan pandangannya dari Dimas.

"Bagaimana keadaan ibu saya dokter?" tanya Amanda menghampiri seorang dokter yang baru keluar dari ruang UGD.

"Pasien kritis, pasien mengalami serangan jantung tingkat medium. Namun kondisi pasien sepertinya sangat drop. Jika dalam 5 jam ke depan pasien tidak di operasi. Pasien mungkin tidak akan bisa selamat" jelas dokter itu yang membuat suara tangis Dimas terdengar semakin memilukan.

Air mata Amanda kembali menggenang, kembali jatuh dan mengalir.

"Tolong segera urus biaya administrasi untuk operasinya, secepatnya di operasi kemungkinan pasien untuk selamat akan semakin tinggi" tambah dokter itu lagi.

Amanda langsung mengangguk, meski dia tidak tahu akan kemana mencari biaya untuk operasi ibunya. Dia hanya mengangguk.

Dokter itu pergi, Dimas tampak semakin putus asa.

"Kalau sana paman sialann itu tidak mengambil harta ayah. Kita bisa membayar biaya operasi ibu, sekarang bagaimana. Aku tidak punya apa-apa. Mobilku sudah di ambil paman sialann itu juga" kata Damar yang semakin putus asa.

"Non, pak Sarip dan bi inem punya tabungan. 5 atau 6 juta mungkin..."

Air mata Amanda kembali mengalir deras. Tapi dia ingat masih punya mobil. Dia akan menjual mobilnya saja.

"Tidak perlu pak Sarip, Bi inem. Aku akan jual mobilku saja. Tolong jaga mas Dimas ya bi" kata Amanda yang langsung bergegas pergi.

Amanda membawa mobilnya ke tempat dimana bisa menjual kendaraan dengan cepat.

"Mau di jual berapa?" tanya petugasnya.

"400 juta" kata Amanda cepat.

Sebenarnya itu sangat jauh dari pasaran. Tapi dia membutuhkan uang itu secepatnya. Yang operasi ibunya 250 juta, sisanya mungkin dia akan membayar pengacara untuk ayahnya.

"Berikan surat-suratnya, kami akan periksa" kata petugas itu yang sepertinya setuju dengan harga yang di tawarkan oleh Amanda.

Setelah beberapa kali memeriksa, petugas itu malah memandang Amanda dengan tatapan curiga cenderung aneh.

"Maaf, kami tidak bisa membeli mobil itu. Mobil ini dalam sengketa" jelas petugas itu.

Tentu saja Amanda terkejut bukan main. "Maksudnya dalam sengketa bagaimana? mobil ini milikku. Lihat namanya atas namaku Amanda Deviana" jelas Amanda.

"Mobil ini masuk dalam aset yang di salahgunakan. Ini terdaftar milik Rangga Djatmiko. Lihat ini!" kata petugas itu menunjukkan layar monitornya pada Amanda.

"Saranku kembalikan saja mobil itu pada pemiliknya. Kalau terus anda gunakan, mungkin anda malah akan terjerat pasall pencurian. Dan kalau di jual kemana juga tidak akan ada yang membelinya nona, kecuali yang menjualnya pak Rangga Djatmiko, atau atas surat kuasa beliau" jelas petugas itu.

Sepertinya pria muda itu cukup baik, sampai mau menjelaskan semua itu pada Amanda.

Amanda tertunduk lesu, pamannya benar-benar jahat. Sekarang dia harus kemana.

Amanda yang tidak tahu harus apa, mencoba untuk menemui ayahnya. Siapa tahu ayahnya punya seorang teman yang bisa meminjamkannya uang untuk membayar biaya operasi ibunya.

Amanda pun pergi ke kantor polisi. Dia bertemu dengan ayahnya. Amanda menangis sejadi-jadinya. Dia mengatakan kondisi ibunya pada ayahnya yang juga hanya bisa menangis.

"Maafkan ayah nak..."

"Aku tahu ayah di jebak. Pasti ayah di fitnah" Isak tangis Amanda semakin pecah.

"Ayah tidak tahu apa mereka bisa menolong ayah setelah kasus ini, ayah akan coba menghubungi beberapa rekan ayah" kata Roy yang terlihat sangat sedih dan lelah. Suaranya bahkan begitu parau.

Tapi usahanya percuma. Ketika mereka meminta ijin pada petugas untuk menggunakan telepon. Tidak ada satupun rekan Roy yang mau membantu karena kasus Roy memang kasus yang berat. Pelenyapan.

"Maafkan ayah" lirih Roy yang terdengar sangat putus asa.

Namun meski merasakan perasaan yang sama. Amanda tidak mau membuat ayahnya putus asa.

"Ayah, percayalah. Aku akan menemukan caranya" kata Amanda.

Amanda bertemu dengan petugas, dan Amanda sangat terkejut, ketika mendengar hukuman yang akan di terima oleh sang ayah.

"Hu... hukuman mati?" Mata Amanda kembali meneteskan air mata. Amanda benar-benar sangat lemas.

"Ini kasus pelenyapan nona!" jawab petugas itu lagi.

Langkah Amanda benar-benar terasa sangat berat saat dia keluar dari kantor polisi. Ibunya harus di operasi dalam 3 jam lagi. Dan ayahnya terancam hukuman mati. Rasanya jantung Amanda tak kuat lagi berdetak, nafasnya tercekat di tenggorokan.

"Amanda"

Suara seseorang membuat Amanda menoleh dengan lemas. Tapi saat melihat orang itu, mata Amanda melebar.

"Pak Marko" ucap Amanda pelan.

Marko adalah asisten pribadi Samuel Watson. Atasan Amanda.

***

To be continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status