Share

Sekretaris Penghancur Rumah Tanggaku
Sekretaris Penghancur Rumah Tanggaku
Author: Lilaclice

1. kamar kita katanya

"Madam, suamimu selingkuh..."

Suara perempuan berdenging di telinga Hera. Ia tahu, itu bukan sesuatu yang berasal dari mimpi buruk. Suaminya selingkuh sementara ia tak mengizinkan diri sendiri untuk bersedih.

Hari ini Hera memiliki agenda untuk makan siang di kafe sebuah hotel, lebih tepatnya ia baru saja memanipulasi pertemuan aktris dengan seorang produser. Mungkin Hera tidak akan menginginkan makan siangnya lagi hari ini.

Sesampainya Hera di sana, sang aktris tengah menikmati hidangan kesukaannya, sashimi salmon dan naan keju. Jangan tanya bagaimana Hera bisa mengetahuinya. Ia tidak datang dengan kepala kosong.

Hera agak menyayangkan mereka berdua harus berkenalan dengan cara menyedihkan seperti ini. Padahal ia menyukai beberapa film sang aktris. Wanita itu menepikan alat makannya bersamaan dengan Hera yang menemukan permulaan kata untuk memulai percakapan sebagai 'istri yang sedang menemui selingkuhan suaminya'.

Meski mulanya keheranan, tak butuh waktu lama bagi sang aktris untuk menangkap tujuan dan maksud Hera mendatanginya.

"Bukan aku yang memulainya. Suamimu lebih dulu merayuku. Jangan egois Hera. Darel Lakeswara, suamimu itu, jauh sebelum pernikahan kalian, dia berburu wanita setiap malam. Apa kau tahu? Sadarlah. Kau tidak akan pernah menjadi satu-satunya."

Tidak. Hera tidak ingin tahu. Terpenting dari itu semua adalah Darel Lakeswara sudah menjadi suaminya. Satu-satunya alasan Hera melakukan semua ini karena sumpah pernikahan dan reputasi dua keluarga besar.

"Kau baru saja menyebut seorang istri yang mempertahankan suaminya sebagai wanita egois," balas Hera dengan gestur tenang. Dia sudah melakukan ini selama beberapa bulan, tak lagi menghitung wanita di depannya ini sudah 'target operasi' yang ke berapa.

Hera memperhatikan ke sekitar, memastikan tidak ada orang lain di ruangan tertutup ini selain mereka berdua.

Sambil mendekat pada wajah sang aktris, Hera melanjutkan kalimatnya. "Seorang aktris harusnya cukup menjajakan diri pada produser. Kau tidak perlu menjual diri juga pada pengusaha demi uang." Kemudian memundurkan tubuhnya dan tersenyum sementara wajah sang aktris terlihat memerah.

"Hera Andromeda, bukannya kau sudah keterlaluan? Aku bisa menuntutmu. Orang-orang pasti akan marah jika tahu kelakuanmu yang sebenarnya. Kesayangan netizen? Omong kosong! Kau tidak pantas disebut seperti itu."

"Oh, coba saja." Hera tergelak kecil sembari menutup mulutnya dengan anggun. "Jadi bagaimana? Jauhi suamiku atau kehilangan pekerjaanmu? Kau tahu, skandal selebriti yang menjadi PSK bukanlah hal baru namun tetap sangat menarik. Aku punya banyak rekaman dan fotomu. Oh, kau boleh memilih infotainment mana yang memberitakannya lebih dulu. Tenang, aku banyak kenal orang-orang televisi."

"Cih! Kau kebetulan saja lahir dengan beruntung di keluarga kaya raya dan menikah dengan seorang Lakeswara." Sang aktris merengut marah seraya mendorong kursi sampai menimbulkan suara derit yang menggema ke langit-langit. Ia berdiri menjaga harga dirinya dengan bersikap angkuh. Kemudian meraih tas mahalnya dan melengos tanpa menoleh lagi.

Hebat! Hera nyaris seperti mendengar ilusi orang-orang sedang bertepuk tangan di kepalanya. Selebrasi itu bukan untuk keberhasilan mengintimidasi perempuan yang entah ke berapa itu melainkan sebuah sarkasme. Kemampuannya menggertak orang lain meningkat pesat. Hera tentu tidak bangga, itu sangat jauh dari citra dirinya.

Lama-kelamaan semua aksi ini membuat lelah. Namun membicarakan dengan Darel bukan opsi yang bagus, bisa-bisa mereka canggung setelah itu dan pernikahan mereka menjadi dingin. Hera tidak menginginkan itu. Mungkin suatu saat, jika keadaan memaksa saja.

Di ruangan yang dihias sedemikian rupa dengan wewangian dan banyak bunga mawar merah muda di setiap vas bunga kristal, Hera merenung. Pandangannya kosong, sesaat jiwanya berkelana.

"Apa akhirnya aku mulai menyesali keputusanku menerima lamaran mas Darel? Padahal itu baru malam pertama kali kami bertemu," batinnya merundung.

Drrtt!

Ponsel di dekat lengannya bergetar, praktis menarik Hera dari ketermenungan. Meski samar, sang model tersenyum menatapi layar pintar yang menyala sampai ia memutuskan untuk mengangkatnya.

["Saya tidak akan bertanya kenapa kamu lama sekali mengangkat telpon saya, Hera Lakeswara."] Suara husky milik seorang pria langsung memburu Hera.

Hera mendenguskan tawa yang terdengar merdu oleh pemilik rungu di seberang sana. Tidak bisa dipercaya, pria inilah yang selingkuh berkali-kali darinya. Pria yang sebenarnya posesif. Hera kadang merasa Darel hampir bersikap obsesif.

["Dimana, sayang?"] tanyanya singkat.

"Di De Café hotel Mega. Eh ..." Hera memiringkan kepala setelah menyadari sesuatu. "Bagaimana kamu tahu kalau aku sedang tidak di rumah padahal aku tidak bilang?"

["Mudah saja. Tunggu di sana, kebetulan saya baru selesai rapat di hotel Mega."]

"Wah, kebetulan sekali kamu juga di sini." Hera mengulas senyum getir mumpung tidak bisa dilihat oleh Darel. Menyakitkan sekali ketika berpura-pura tidak tahu bahwa suaminya baru saja bertemu seorang perempuan dan Hera juga menemui wanita itu tepat setelahnya.

Hera menatap hidangan yang tinggal separuh di atas meja dengan wajah datar. "Tahu tidak, sayang, aku dengar sashimi salmon dan naan kejunya sangat enak. Aku datang untuk mencobanya dengan Abigail."

Hera memberi nada riang dalam setiap kalimatnya, memastikan Darel mendengar keantusiasan Hera saat mereka berinteraksi. Bukankah kemampuan akting Hera lumayan? Harusnya ia terima saja puluhan tawaran bermain FTV dan sinetron yang datang.

Hanya sebentuk deheman maskulin yang diberikan oleh Darel sebagai tanggapan sederhana. Entah mengabaikan atau memang tidak tertarik. Kemudian ia berkata setelah hening berkobar di atmosfer, ["Saya senang jika kamu menikmatinya, sayang."]

Dengan itu, panggilan tersebut berakhir secara sepihak oleh Darel. Hera mematut layar ponselnya hingga redup.

"Aku tahu kamu mencintaiku mas Darel tapi kapan permainan bodoh ini akan berakhir?"

Buru-buru Hera menggelengkan kepala dengan kuat. Rambut kecoklatannya meliuk-liuk di sepanjang punggung. Ia menyampirkan anak rambut nakal ke balik telinga kemudian menyalakan ponselnya kembali.

Ia tidak boleh menangis sekarang. Jika Darel yang peka di saat tidak penting itu curiga, bisa-bisa semua usaha selama ini gagal. Hera ingin hubungannya dengan Darel tetap stabil seperti sekarang.

Ponsel di genggaman Hera bergetar. Sejenak mengalihkan pikiran dari kondisi menyedihkan ini, ia berkirim pesan dengan Abigail yang sudah menunggu sejak tadi di mobil. Semula, Hera ingin langsung pulang setelah urusannya selesai. Ajakan Darel tidak masuk dalam rencana, namun apa boleh buat. Abigail harus pulang dengan orang lain kali ini.

[Abigail: Kau serius, Hera? Aku tidak sudi pulang bersama perempuan itu.]

Balon percakapan Abigail penuh dengan emotikon yang menunjukkan kemarahan. Tidak cukup dengan memakai kepala kuning yang berubah jadi kepala merah atau sedang mengeluarkan asap dari hidungnya. Abigail melemparkan emotikon bom, granat, kobaran api dan segala sesuatu mudah meledak yang tersedia di keypad. Diselingi senjata tajam seperti pisau juga.

Hera sukses terpingkal-pingkal dari kursi. Beruntungnya ia berada di ruang privasi jadi tidak ada yang tahu bahwa model cemerlang kesayangan publik (walaupun sedang vakum) bisa tertawa hingga setengah terjungkal.

[Hera: Ayolah, Gail. Jangan merengek seperti bayi. Mulailah akur dengannya. Dia telah banyak membantu kita, lho. Kalian pasti sangat cocok. lol]

Suara pintu yang dibuka dari luar, menginterupsi Hera. Wajah mungil yang memiliki fitur-fitur tegas berkat darah British dari sang ibu kini menoleh, menanti pintu terbuka sempurna sampai sosok maskulin dengan setelan mengilap menyeruak masuk.

"Saya yakin telah mendengar suara malaikat sedang tertawa barusan," ucap sosok itu dengan senyum tipis yang menawan. Mata obsidiannya tertuju pada satu-satunya figur cantik duduk di ruangan yang ditata cantik pula.

"Mas Darel." Hera bangkit dengan senyum lebar, seolah-olah mampu menyentuh telinganya. Ia menyambut sang suami yang menghampirinya dengan langkah lebar.

Darel melingkari pinggang kecil sang istri, mengecup bertubi-tubi pada leher jenjang tanpa cela itu. Ia menahan diri untuk tidak memberi jejak kepemilikan di sana. Menurut Darel, itu sangat sulit dilakukan setiap kali ada Hera di dekatnya. Ia beralih memburu bibir ranum Hera, hormon-hormonnya bersorak kegirangan saat sang istri membuka celah dan membiarkan ia menyusup lebih intens.

"Ekhem!"

Hera membelalak saat suara seorang perempuan menyela kegiatan mereka.

"Tuan dan Madam."

Sekonyong-konyong, Darel tetap melanjutkan aktivitasnya padahal Hera sudah setengah mati menahan malu. Akhirnya, sang model mendorong lembut dada Darel yang dengan berat hati kemudian menjauhkan diri. Hera buru-buru memperbaiki penampilannya.

"Ada apa, Ayuna?" tanya Darel seraya menyeka bibir basahnya.

"Maaf, Tuan. Sepertinya saya meninggalkan flashdisk penting di kamar kita tadi."

Mata sewarna madu Hera bergantian menatap Darel dan sekretarisnya.

Kamar kita?

"Kalian sekamar?" tanya Hera menyuarakan isi pikirannya tanpa pikir panjang.

Drrtt!

Seolah waktu melambat. Hera lebih dulu merespon getaran dari ponselnya daripada jawaban yang dia ingin dari mulut Darel atau Ayuna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status