Share

7. Nasib yang lucu

Setelah terlibat dalam obrolan sendu, mereka sepakat untuk bergerak dari topik biru itu ditandai dengan Lina yang menuangkan anggur kedua kalinya pada gelas kristal dan bertos-ria. Suara dentingan khas dari gelas berkilau itu seakan terdengar bak lonceng aba-aba di telinga Hera.

"Tante..." Hera menaruh gelas yang isinya tinggal separuh di atas meja. "Kudengar selain anggota partai, Pak Galih juga berbisnis. Bagaimana? Cukup menghasilkan?"

"Ya. Kami punya beberapa properti dan real estat. Lumayan untuk tabungan pendidikan anak-anak dan hari tua." Lina terus menyesap hingga anggur di gelasnya tandas. "Ah. Kau beruntung menikah dengan pewaris Lakeswara, Hera. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi."

Hera tertawa miris dalam hati. Mungkin dirinya memang cukup beruntung sampai harus duduk di depan Lina dan mencari celah untuk menyusupkan kebenaran. Ditambah semuanya harus tampak alami jika tak ingin disalahpahami sebagai pengadu yang suka ikut campur urusan orang lain.

"Bagaimana bisnis dengan Feronika Denise?"

"Feronika Denise? Siapa dia?"

Permata coklat madu Hera diam-diam memindai ekspresi Lina.

"Tante tidak tahu? Dia pebisnis perempuan muda yang sukses dan masih lajang."

Lina menautkan alis legamnya yang disulam sedemikian rupa.

"Tidak, Hera. Suamiku tidak pernah membicarakan bisnis atau investasi lain."

"Oh. Maaf, Tante. Sepertinya aku salah lihat waktu itu. Aku kira Pak Galih bertemu dengan Feronika Denise untuk membicarakan kerjasama mereka karena dia juga kolega bisnis suamiku."

Lina terdiam dengan air muka yang berubah menjadi tak terbaca. Namun Hera bisa membayangkan carut-marut pikiran yang bergulung di atas kepala Lina Tantono. Sembari harap-harap cemas akan keberhasilan umpan kecil yang Hera lempar pada tangkapan besar kali ini, sikap Lina selanjutnya menentukan langkah seperti apa yang harus Hera tempuh.

"Apa yang kau lihat?" tanya Lina menjaga nada suaranya setenang mungkin.

Oh, Hera sangat mengerti bagaimana perasaan Lina sekarang. Hanya saja, nasib Hera jauh lebih menyedihkan.

"Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi...." Hera merogoh ponsel dari saku baju tidurnya. "Tante bisa melihatnya sendiri."

Ponsel milik Hera telah terbuka, cahaya layarnya sedang menampilkan sebuah foto yang dipotret di sebuah restoran. Benda berpendar itu tergeletak di atas meja karena Lina terlihat ragu untuk meraihnya. Barang kali Lina sedang berperang dengan hati dan pikirannya atau justru sedang menakhlukkan firasat buruk.

Semua itu tak luput dari perhatian Hera. Di sampingnya, sedang duduk jelmaan bom waktu yang sedang menghitung mundur sebelum ledakan. Sampai Lina akhirnya memperoleh keteguhan yang susah payah ia kumpulkan sejak tadi.

Mata Lina membola dan ia menutup mulut yang seakan rahangnya bisa jatuh ke lantai. Hera menaikkan alisnya saat ibu jari Lina menggeser foto itu pada foto berikutnya dan seterusnya.

Sepatutnya, Hera mencegah wanita paruh baya itu melihat segalanya, namun tentu Hera memastikan semuanya cukup mengguncang. Ia sudah menyusun setiap slide foto itu dari kemesraan ringan hingga senonoh. Insting telah membisiki Lina dan ia tidak akan mampu menahan darahnya yang mendidih.

"Brengsek!"

Hanya barisan umpatan yang Hera dengar. Memang apalagi? Hera tidak perlu menunggu Lina berterima kasih. Saat wanita itu menyambar ponselnya sendiri dan membuat panggilan misterius, detik itu justru Hera yang berterima kasih dalam hatinya.

"Awasi Galih Tantono!"

Di sisa malam itu Lina benar-benar nampak kacau dan terluka. Air matanya berderai disertai jeritan pilu. Hera coba mendekat dan menenangkan, namun Lina meminta agar dirinya ditinggalkan sendirian.

Dengan demikian, Hera meninggalkan kamar itu. Ia sempat melirik tabung obat di atas nakas samping tempat tidur, sepertinya obat tidur tidak akan mempan untuk Lina malam ini.

Setengah dari rencana Hera sudah berjalan. Keresahan yang semula merundungnya kini hilang. Ketika kembali ke kamar, Hera memutuskan untuk mengisi air di bak mandi sebab matanya tak kunjung mau terpejam. Sehabis melucuti pakaiannya, Hera menenggelamkan tubuh rampingnya perlahan-lahan.

"Bagaimana?"

Hera menaruh ponselnya di tepian bak mandi porselen. Menyetel panggilan dengan Abigail menggunakan fitur loudspeaker. Sementara Hera bersandar dengan wajah terpejam.

["Aku bahkan menyewa orang untuk mengikuti Darel dan sekretarisnya supaya kau yakin bahwa aku tidak mengada-ada. Suamimu itu gila wanita, Ra. Kau yakin akan baik-baik saja setelah ini?"]

"Ya, mau bagaimana lagi? Kau sudah kirim foto-fotonya?"

["Seperti arahanmu. Mereka sungguh-sungguh selingkuh. Jika aku adalah kau maka aku sudah menggila."]

"Terima kasih, Gail. Aku pastikan kau dapat bayaran yang setimpal."

Setelah berbincang dengan Abigail, Hera membuka aplikasi surel di ponselnya. Dua kotak masuk dari alamat email milik Ayuna dan Abigail. Dia tak bergegas membuka isi surel itu, nanti saja agar suasana hatinya tidak mendadak buruk. Lagipula, ia tak penasaran sama sekali.

Ayuna pasti melaporkan perkembangan hubungan Feronika Denise dan Darel, sementara Abigail mengirim surel tentang skandal Darel yang lain bersama sekretarisnya yang tak lain adalah Ayuna sendiri.

Hera menertawai nasibnya.

Ayuna telah berusaha keras untuk mengelabuinya selama ini tentang perasaan terpendamnya pada laki-laki yang telah menjadi suami orang. Padahal Hera telah mengabaikan Ayuna semenjak mulai menaruh kecurigaan, kendati Ayuna tetap melakukan tugas mata-matanya tanpa diminta.

Oh, semua ini terlampau lucu. Apa menurut mereka, Hera hanya boneka yang bisa dipermainkan beramai-ramai?

Suara getar ponselnya menginterupsi. Ia menghayati memandangi nama kontak istimewa di ponselnya itu. Nama itu disertai oleh sebuah simbol hati merah muda yang menggemaskan. Baru kemudian mengangkatnya.

["Halo, Sayang.]

Hera terkekeh melihat sosok Darel memenuhi layar ponselnya. Suaminya itu juga sedang berendam.

["Firasat saya benar, kamu mungkin tidak bisa tidur."]

Darel menyugar rambut legamnya yang menyerupai potongan bulu serigala. Lengan berisi kumpulan otot itu terlihat kekar, ada tato bunga macan di sana. Hera pernah bertanya makna dari tinta rajah itu. Saat itu Darel sangat ingin membuat tato namun ia tidak memiliki ide. Sang seniman tato menyarankan bunga macan sebagai simbol dari bulan kelahiran Darel. Pria itu tidak begitu memahaminya tapi sangat menyukai gambar bunga itu.

Pemandangan tubuh suaminya membuat Hera terpesona sejenak. Darel jelas sedang tidak memakai apapun sama seperti dirinya saat ini. Buru-buru Hera membuyarkan pikiran kotornya itu. Bisa-bisanya pikiran seperti itu terlintas padahal ia baru saja membongkar perselingkuhan suaminya yang lain. Mungkin, Hera telah terlampau—terlalu terbiasa.

"Katakan, bagaimana Mas bisa tahu?" tanya Hera kemudian.

["Kamu tidak akan bisa tidur karena sedang berlarian di pikiran saya."]

Hera mau tak mau merasakan kedua pipinya memanas, namun ia menyembunyikannya dengan cara tertawa kecil. Darel yang sudah hapal tindak-tanduk sang istri hanya bisa terpana. Iris hitamnya tak luput memperhatikan setiap ekspresi wajah dan gestur tubuh Hera. Wanitanya itu tidak pernah gagal membuatnya berdebar-debar bahkan dijarak ribuan kilometer yang memisahkan mereka.

"Kenapa mandi malam-malam begini, Mas? Baru pulang? Bukannya Mas tidak ada agenda apapun?"

["Ada pekerjaan mendesak hari ini yang membuat saya harus datang ke kantor di akhir pekan. Tapi saya berendam bukan karena baru pulang."]

"Lalu?"

["Katanya mandi air dingin itu meredakan libido."]

Hera mengernyit. "Itu hanya mitos, Mas. Efek air dingin malah sebaliknya."

Darel terdiam. Ia melumat bibir bawahnya sembari memandangi wajah Hera yang memenuhi layar ponselnya lamat-lamat. Kemudian menengadahkan wajah sampai mengekspos leher jenjangnya yang dihiasi tonjolan apel Adam.

"Kenapa memangnya?" tanya Hera masih kebingungan.

["Saya memikirkan kamu."] Darel kembali menunjukkan wajahnya pada Hera. Setelah mengerang frustasi, pria itu melanjutkan kalimatnya. ["Saya menginginkan kamu, Hera. Sekarang! Terserah bagaimana pun caranya."]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status