Share

6. Dua Wanita Berbeda Nasib

Resah. Gelisah. Lelah.

Sejujurnya, Hera gugup sekali melalui ini semua. Tidak mungkin tidak terlintas pikiran untuk menyudahi dan menyerah barang setitik saja, tapi hidupnya rumit dari yang terlihat di permukaan. Pernikahan ini menautkan dua keluarga yang perlu di jaga nama baik dan kepercayaannya.

Hera hampir berniat menikam Darel dengan sederet fakta yang ia jaga selama ini, bahwa suami terkasihnya mempermainkan janji suci pernikahan mereka. Hera terlampau berdamai dengan kenyataan telah sampai mati rasa secara menyedihkan, ia setengah masa bodoh dan selebihnya adalah perasaan cinta yang besar.

"Hei, apa ada yang sakit?" Darel meremas bahu Hera kemudian menginspeksi sang istri dari atas ke bawah. "Kenapa menangis?" Ibu jarinya bergerak lembut menghapus jejak air mata yang terjun dari pelupuk mata istrinya.

Hera menegang lantaran tak menduga bahwa dirinya menjadi emosional semudah itu. Masih menolak untuk membiarkan Darel mengetahui bahwa Hera memelihara kewaspadaan dan membendung keresahan sendirian. Mungkin selama ini memang ada banyak wanita, namun Hera tidak pernah berpikir bahwa salah satunya merupakan orang yang dia percayai.

"Sepertinya ini karena hormon PMS, jadi aku lumayan sensitif. Sebentar lagi jadwalku datang bulan," alibi Hera sambil berusaha tersenyum menyembunyikan kecamuk di hatinya. "Makanya, Mas jangan mencegahku untuk pergi bersenang-senang. Kita hanya berpisah sebentar."

Terdengar napas lega yang keluar dari dada Darel, mendapati Hera baik-baik saja. Akan tetapi kehilangan alasan bagus untuk menahan kepergian sang istri atau sekedar membujuk agar dirinya diperbolehkan ikut mendampingi. Sejujurnya, ia keberatan. Namun melihat istrinya sampai bersedih begini, mau tak mau Darel mencoba menepikan egonya sejenak.

"Baiklah. Tapi jika kamu merindukan saya, katakan saja. Saya tidak punya agenda apapun di akhir pekan."

"Terima kasih, Mas. Aku akan ingat itu baik-baik." Hera mengelus sebelah pipi Darel dan menghadiahi kecupan lembut di bibir sang suami.

Malam itu juga usai diyakinkan dengan sedikit drama, Darel mengantarkan Hera ke bandara. Para istri pejabat partai menyambut mereka dengan seloroh menggoda. Pasangan muda itu tetap tampak serasi dalam balutan pakaian kasual mereka.

Aura yang dipancarkan keduanya menyita perhatian. Orang-orang menolehkan kepala kendati butuh beberapa waktu untuk menyadari siapa gerangan yang telah mereka lihat. Beberapa orang mengarahkan kamera ponsel tapi tidak ada yang menegur. Cukup tahu saja bahwa itu adalah pasangan fenomenal Hera Andromeda dan Darel Lakeswara yang selama ini tidak mengekspos kehidupan pribadi mereka.

Hera dan Darel tak terganggu, alih-alih melakukan perpisahan manis dengan berciuman dan pelukan erat yang lagi-lagi menarik perhatian. Sampai tiba Darel harus merelakan tangan Hera lepas dari genggamannya saat rombongan itu pergi menuju apron bandara tempat pesawat jet pribadi yang akan mereka naiki terparkir.

["Bisa-bisanya kau pergi tanpa mengajakku? Aku bahkan tahu kau ada di bandara dari twitter. Hera, aku salah apa?"]

Hera mengeratkan kardigannya, udara malam di landasan pesawat berembus hingga ke tulang. Ia menaiki tangga jet sembari menempelkan ponselnya di telinga. Suara protes Abigail tidak mengganggu wanita itu sama sekali, wajahnya tak beriak sedikitpun.

"Kau harus melakukan sesuatu untukku selagi aku pergi."

["Kau selalu seenaknya. Baiklah, apa itu?"]

"Awasi suamiku dan Ayuna. Aku akan menghadapi Feronika Denise." Angin menerpa surai brunette milik Hera. Ia berhenti di ambang pintu pesawat saat berpapasan dengan Lina Tantono kemudian mereka saling melempar senyum.

["Tunggu! Apa kau sedang merencanakan sesuatu tanpa membicarakannya denganku?"]

"Lakukan saja apa yang aku katakan. Jangan mengecewakanku, Gail." Hera bergegas mengakhirinya sebelum Abigail melayangkan runtutan protes yang membuat kuping pengang. Padahal dia laki-laki, tapi cerewetnya menyaingi wanita tua saja.

Kemudian memasuki pesawat yang sudah riuh oleh suara cekikikan dan obrolan wanita-wanita paruh baya. Yah, Hera memang yang termuda di sini, seumuran dengan anak perempuan mereka. Ketika melihat Hera berjalan mendekat, mereka memanggil sambil tersenyum semringah. Ia memasang wajah terbaiknya dan gestur yang seakan-akan menyambut segala perlakuan itu dengan keterbukaan.

Untuk pertama kalinya semenjak pernikahan, Hera melakukan perjalanan jauh tanpa memiliki Darel di sisinya. Tidak ada perbedaan berarti selain harus terbang membawa rasa hampa mengumpankan suaminya sendiri pada wanita-wanita itu—Feronika Denise dan Ayuna atau mungkin wanita lain kembali bertambah.

Pesawat jet pribadi yang mereka sewa mendarat dini hari waktu setempat. Semua orang jelas kelelahan menempuh perjalanan mengarungi udara. Mereka langsung diboyong oleh mobil jemputan yang merupakan salah satu fasilitas dari resort milik keluarga Lakeswara. Hera menyiapkan liburan itu dengan sepenuh hati. Tak tanggung-tanggung membujuk Darel sampai memberikan yang terbaik dari aset keluarga Lakeswara di Bali.

Keesokan harinya, liburan belum resmi dimulai karena mereka pergi tanpa persiapan yang matang. Mereka keluar masuk toko berburu pakaian dan perintilan-perintilan lain demi menunjang penampilan mereka selama di sana.

Hera tidak perlu bersusah payah untuk mengatur pembicaraan. Para istri itu senantiasa mengelilinginya secara natural dan terlibat dalam setiap pembicaraan. Hera ikut berbaur seolah bersosialisasi adalah panggilan jiwanya. Untuk sementara, Hera mengubah kepribadiannya menjadi social butterfly mengikuti ritme wanita-wanita paruh baya itu yang rupanya menguras tenaga secara misterius.

Ketika malam tiba, Hera merasakan lelah dari biasanya. Namun ia belum bisa beristirahat dengan tenang, bahkan untuk sekedar memejamkan mata. Hera mengatur bantal di belakang punggungnya agar nyaman bersandar sembari menyelonjorkan kedua kakinya di dalam selimut.

Suhu pendingin ruangan sudah diatur sedemikian rupa serta lilin aroma terapi yang mengepulkan asap tipis menguarkan aroma kamomil lembut. Hera bahkan sudah meneteskan minyak esensial lavender di belakang telinganya sesaat sebelum bersiap tidur, namun kantuk tak kunjung menyerang. Kemudian Hera menyerah saat jam berdentang tengah malam, ia keluar kamar berniat menghirup udara segar sekalian mencari solusi dari kegelisahannya.

Saat Hera membuka pintu kamar, pintu lain yang berjarak dua kamar terdengar berayun disaat bersamaan.

"Hera, kau juga tidak bisa tidur?"

"Tante Lina?" Hera terkejut namun tak lupa untuk tersenyum.

"Aku punya insomnia sejak lama." Lina mengeratkan kimono tidurnya. Ia sempat memperhatikan Hera yang terpaku setelah bermanggut-manggut ria.

"Mau masuk? Kita bisa mengobrol sambil minum," tawarnya kemudian.

Kerlingan mata Hera mengibaskan bulu mata lentiknya, menyembunyikan keterkejutan kecil atas perasaan tak disangka-sangka. Mungkin inilah momentum yang telah dinanti-nantikan. Lantas menganggukkan kepala dan mengikuti instruksi kecil dari Lina agar menuju ke kamarnya.

Keterlibatan permasalahan rumah tangga seseorang memang membuat segala hal praktis menjadi runyam. Hera bisa saja berterus-terang dan menggembar-gemborkannya langsung ketimbang uring-uringan seharian, tapi ini adalah soal kepantasan dan penempatan diri. Ia tidak ingin dianggap ikut campur karena taruhannya adalah bahtera pernikahan puluhan tahun.

Lina Tantono telah menghabiskan separuh hidupnya mendampingi suaminya—Galih Tantono. Mereka telah dikaruniawi empat orang putri.

"Aku dan suamiku sangat ingin memiliki anak laki-laki. Setiap hamil, kami selalu mengharapkannya. Sekarang aku sudah terlalu tua untuk mengandung. Anak perempuan juga bagus, mereka sangat lembut dan penuh perhatian. Akhirnya aku menyadari bahwa kebahagiaan seorang ibu adalah melihat anak-anaknya tumbuh dengan baik. Tanpa memandang laki-laki atau perempuan."

Hera tidak bisa menahan senyum. Cahaya mata Lina terpancar sendu. Betapa ia menyayangi keluarganya dan emosional positif terlihat menguasai air mukanya. Hera harus lebih menguatkan diri untuk memberitahu kebenaran pahit pada wanita yang mengira rumah tangganya baik-baik saja.

Mereka sedang duduk di sofa dengan sebotol anggur yang telah di buka. Gelas kristal berisi cairan merah pekat disesap oleh Hera. Ia mengulum sejenak sebelum minuman beralkohol itu lolos menghangatkan tenggorokan.

"Aku keguguran di kehamilan pertamaku," ungkap Hera. Ketika menoleh, ia melihat ekspresi Lina yang tercengang. "Tidak ada yang tahu selain aku dan Darel. Aku terlambat menyadari keberadaannya sampai tiba-tiba pendarahan dan kami diberitahu bahwa dia sudah lenyap."

"Aku sungguh menyesal kau harus mengalaminya." Lina menggenggam tangan Hera yang bersarang di pangkuannya, menyalurkan empati sebagai sesama perempuan.

Hera tersenyum seadanya. Jauh di lubuk hatinya, enggan mengungkit-ungkit kesedihan. Hanya saja, ia telah berkata begitu saja seperti air yang mengalir tanpa hambatan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status