Share

4. wanita dan musuh-musuhnya

Hera sungguh muak dengan wanita bernama Feronika Denise itu. Baru saja semalam Hera menegaskan dengan keras untuk menjauhi suaminya, tapi pagi-pagi sekali—menurut Hera—telah menerima telpon dari Ayuna.

["Maaf, Madam, telah menganggumu. Apa kau tidak mencapai kesepakatan dengan Feronika Denise? Dia mengunjungi Tuan Darel di kantor. Aku sudah mengirimkan fotonya, bisa kau lihat?"]

Sang model yang masih mengenakan gaun tidur kini terduduk di bibir ranjang besarnya. Penutup mata bermotif karakter beruang madu yang sedang ia pakai diturunkan hingga leher dengan sedikit merenggut.

"Sebentar." Kemudian menjauhkan layar ponselnya untuk memeriksa ruang obrolan dengan Ayuna.

Terpampanglah foto Feronika Denise yang sedang duduk di atas paha Darel. Dari tata ruangnya, jelas itu adalah kantor Darel bekerja. Ini masih pukul sembilan pagi ketika melirik jam di atas nakas. Itu artinya Darel berangkat satu jam lalu. Hera ingat karena ia terbangun sebentar untuk sekedar memeluk dan mencium Darel sebelum pergi. Hal yang selama ini telah seperti ritual pagi rutin pasangan model dan pebisnis itu.

"Tidak, Ayuna. Aku bukannya tidak mencapai kesepakatan dengannya tetapi dia memang ingin menantangku. Dia pikir aku hanya menggertak." Hera menatap lurus-lurus pada dinding yang dihias sedemikian rupa menggunakan foto-foto polaroid kebersamaannya dengan Darel.

["Lalu bagaimana, Madam?"] tanya Ayuna.

"Kau punya saran bagus?"

["Sepertinya Feronika Denise adalah yang paling merepotkan sejauh ini. Aku tidak yakin, Madam."]

"Ya sudah awasi saja mereka. Mengerti, Ayuna?"

["Baik, Madam."]

Panggilan berakhir setelahnya.

Jujur saja, Hera belum menemukan cara lain untuk membuat Feronika Denise kapok mendekati Darel kalau perlu sampai wanita itu tidak berkeinginan menunjukkan batang hitungnya di depan Hera dan Darel.

Pandangan Hera tertunduk pada jari-jari kakinya yang tengah menginjak karpet beludru yang tergelar di lantai. Ia menyugar rambut panjangnya kemudian menutup mata sebentar, meraih udara dan menahannya di dada beberapa saat lantas mengembuskannya perlahan. Langkah itu dilakukan terus menerus hingga pikiran Hera kembali jernih atau setidaknya sampai dirinya merasa sedikit lebih tenang.

Tak berselang lama kemudian, Abigail datang tanpa suara memasuki kamar Hera lalu berlonjak kaget saat melihat sang empunya kamar yang sepertinya hendak beranjak ke kamar mandi.

"Hah? Kau sudah bangun? Ini hari Jumat. Bukannya kau harus tidur seperti bayi?" Pria berkacamata minus itu—Abigail—buru-buru mendekat untuk menyentuh pipi tirus dan menelisik lebih dekat ekspresi serta penampakan Hera—wanita yang menjadikan hari Jumat sebagai hari me time sebelum Sabtu dan Minggunya dihabiskan bersama Darel.

"Katakan, apa yang terjadi?" tanya sang manajer setelah puas memandangi Hera dari pucuk kepala hingga ujung kaki.

"Gail, Feronika bukan hanya mengganggu mas Darel. Sekarang dia mengusik hari-hariku," ujar Hera lalu menyerahkan ponsel yang sejak tadi tampilannya belum berganti dari foto tangkapan Ayuna.

Bingkai mata Abigail terangkat saat melihat foto tersebut kemudian bersiul-siul seperti yang pria penggoda lakukan ketika melihat wanita atraktif lewat di depannya. "Foto yang bagus. Ayuna memang tidak mengecewakan soal ini," komentar Abigail sambil menggerakkan layar ponsel itu di depan Hera.

"Whoo! Ada apa denganmu?" Abigail terkejut dengan gerakan sigap Hera yang tiba-tiba mengambil ponselnya.

Wanita berdarah Inggris itu menggeser-geser layar ponsel dengan raut wajah yang sulit diartikan. Abigail yang penasaran, ikutan mengintip untuk mengetahui apa yang Hera lihat sampai sebegitunya.

Omong-omong, Hera mulai menyadari jika kemampuan paparazi Ayuna sangatlah baik, mendekati profesional. Sebagai insan yang dekat dengan kamera dan wartawan sejak belia, Hera memuji itu. Sudut foto yang presisi. Entah itu memang bakat Ayuna atau sesuatu yang lain. Bisa saja, kan?

"Kenapa dengan foto-fotonya? Kau baru sadar kalau kelakuan Darel sebangsat itu sampai melihatnya bolak-balik begitu. Sudah berapa puluh perempuan?"

"Karena belum setahun kami menikah, kurasa belum sampai puluhan tapi foto yang dikirim Ayuna tentang wanita-wanita Darel memang ada ratusan di ponselku." Hera kembali menggulir layar ponselnya. "Foto-foto yang bagus. Seperti katamu, Gail."

Serius? Hera bukannya marah, menangis, meraung atau hal normal lainnya sebagai reaksi istri yang diselingkuhi? Alih-alih memuji hasil foto bukti kelakuan buruk suaminya. Abigail terkadang tidak habis pikir. Hera yang terlalu baik atau cara berpikirnya mulai bermasalah.

"Kau aneh." Abigail mengerutkan hidungnya. "Memang apa saja sih yang kau katakan pada Feronika Denise sampai dia tidak mau melepaskan Darel?" Ia mulai berpikir sikap Hera sekarang mungkin sebab frustrasi membereskan Feronika Denise, padahal sebelumnya tidak ada kejadian seperti ini.

Hera menceritakan pertemuan dengan Feronika semalam yang membuat suasana hatinya memburuk drastis saat itu. Sementara Abigail mendengarkannya seraya bermanggut-manggut.

Yah, seorang wanita memang cenderung menganggap wanita lain sebagai musuhnya. Namun tetap harus mengetahui kapasitas dan memahami waktu untuk mundur. Siapapun tahu pasti untuk tidak meragukan setiap kalimat dari Hera Andromeda yang disokong dua keluarga besar, Keluarga Hera sendiri dan keluarga Lakeswara.

Sebenarnya Feronika Denise juga memiliki latar belakang cukup sebagai wanita yang berhubungan dengan politikus dan jaringan bisnisnya. Hanya saja, bukan tindakan bijaksana bagi Feronika untuk menantang Hera.

"Kau sudah mengatakan rencananya. Tinggal eksekusi saja," ucap Abigail enteng.

"Maksudnya?"

"Tunjukkan apa yang istri sah bisa lakukan."

Hera tak antusias dengan jawaban Abigail lantaran belum mengerti maksud perkataan pria itu mengutip kalimat dari perkataannya pada Feronika. "Jadi?"

Abigail berdecak lidah kemudian menggeram karena gemas. Sebetulnya, ia ingin menyambit kepala Hera Andromeda acap kali Abigail berbicara keren namun sang model tidak satu frekuensi dengannya.

"Bongkar saja pernikahan sirih pak Galih pada keluarganya. Istri sah tidak akan tinggal diam, Hera. Bukannya pak Galih bekerja di bawah partai kakekmu? Masa tidak mengerti juga apa yang harus dilakukan?"

"Aku tidak suka cara kotor. Selagi bisa menekan Feronika, aku hanya akan berurusan dengannya tanpa melibatkan orang lain. Apalagi membuat karir seseorang hancur."

"Jangan cengeng. Kau pikir kau sudah jahat, huh? Tidak, Hera. Kau hanya naif. Buktikan dengan tindakan jika tidak mau membuat Feronika menganggapmu sebagai isapan jempol."

"Terserah, Gail." Hera menjauh dari tempat Abigail berdiri sambil memangku tangan. "Bisa tolong panggilan Bibi Yin? Katakan padanya aku mau berendam."

"Baiklah, Madam," ejek Abigail kemudian keluar dari kamar untuk memanggil pembantu di kediaman Hera dan Darel.

Hera mendudukkan diri pada sofa yang di desain senada dengan tempat tidur. Ia menyilangkan kaki jenjangnya sembari berpikir. Kali ini terasa enggan bagi Hera mengutarakan isi kepalanya pada Abigail—menyangkut Ayuna.

Kenapa ia baru sadar pengambilan foto Ayuna agak janggal?

Sebagai publik figur, Hera beberapa kali menemukan orang tidak waras seperti penguntit. Ini masih teori liarnya—tidak dipungkiri memiliki kemungkinan untuk salah sangat besar—tapi kali ini hatinya berdetak resah seakan memberi peringatan.

Tidak ada salahnya sedikit curiga kali ini. Namun tentu ia tidak akan memberitahu Abigail. Bisa-bisa pria itu heboh sendiri dan dirinya semakin dibuat berpikir yang tidak-tidak. Mengingat betapa tidak sukanya Abigail terhadap Ayuna sejak awal.

"Hera, Bibi Yin baru selesai memasak. Sarapanmu mau dibawakan sekarang atau bagaimana?" Abigail melongokkan kepalanya ke dalam kamar lantaran hanya ingin bertanya kemudian kembali ke dapur.

"Kemari sebentar," pinta Hera tanpa menjawab pertanyaan Abigail.

"Kenapa?" Kemudian Abigail masuk ke kamar menghampiri Hera dan duduk bersebelahan.

"Abigail, apa kau ingat?"

"Apa sih?"

Abigail kebingungan atas pertanyaan Hera yang tanpa konteks jelas.

"Katanya kau bisa melakukan seperti yang Ayuna lakukan untukku." Hera tidak mengacuhkan wajah Abigail yang membentuk tanda tanya besar. "Bisa kau cari tahu soal istri Pak Galih. Beritahu aku apa hobinya, kesukaannya dan tempat gim yang dia datangi."

Senyum culas tercetak di wajah bersih rutin cukur milik Abigail. "Apa akhirnya kita satu pemikiran?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status