Share

5. menemui sang istri sah

Setiap misi menjauhkan wanita-wanita pengganggu dari Darel selama ini, Hera banyak dicekoki pikiran licik oleh Abigail. Sang model jelas menolak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan citra dirinya yang tenang dan bersahaja. Jadi ia hanya bicara dengan wanita-wanita itu tanpa berniat buruk.

Namun kali ini, Hera memutuskan menjalankan semua rencana di kepalanya sendirian tanpa melibatkan siapapun di luar dirinya. Rencana rahasia Hera itu sudah di mulai sejak ia memberi tugas palsu pada Abigail untuk membuat manajernya itu sibuk.

["Istri sah Pak Galih adalah wanita old money, kau tahu? Kesuksesan pak Galih sekarang berkat campur tangan mertuanya. Dengan kata lain, dia tidak bisa apa-apa tanpa istrinya."]

"Hanya itu yang kau tahu? Apa kau tahu apa jadwal istrinya kemarin, hari ini dan besok?" Hera berbicara sembari mengatur pernapasan. "Jujur saja, Gail. Kau tidak bisa membantuku kali ini menggantikan tugas Ayuna. Jangan memaksakan diri."

Bulu mata lentik Hera mengerling ke arah panel dinding kaca di depannya dengan napas terengah-engah, membiarkan bulir-bulir keringat melintasi wajah hingga leher jenjangnya yang terekspos. Ia mengikat ekor kuda rambut coklat panjangnya, mengenakan set pakaian olahraga ketat. Beberapa pria yang sedang olahraga beban, melirik-lirik pada tubuh semampai sang model, sekal di bagian yang tepat namun ukurannya tidak berlebihan.

["Tapi, Ra ... "] Abigail menyadari cara bernapas Hera yang memburu seperti orang yang sedang maraton. ["Kau sedang di mana?"]

"Tempat fitness."

["Fitness? Bukannya kau olahraga pilates?"]

"Yah, aku tertarik membangun massa otot." Hera menekan tombol pada panel treadmill untuk menghentikan operasi alat itu. "Omong-omong, tidak usah dilanjutkan. Aku sudah tidak mau mencari tahu soal istri Pak Galih."

["Hei, kasih aku waktu lagi. Aku bisa melakukannya,"] pelas Abigail hampir merengek. Ia bersungguh-sungguh soal membuktikan bahwa dirinya lebih baik ketimbang Ayuna.

Hera tidak ambil pusing dan kembali menonton pantulan bayangan dari panel kaca—sejak tadi Hera memandangi pantulan bukannya pemandangan gedung-gedung di luar.

Yah, sekarang sang model sedang menjalankan rencananya. Rencana yang rumit namun hasilnya akan sangat memuaskan. Ia bisa menyingkirkan Feronika Denise dan membuat wanita itu tidak ingin kembali.

"Sebentar." Hera menyeka keringat menggunakan handuk lantas menoleh pada suara kumpulan wanita-wanita paruh baya.

Mereka mengenakan pakaian set olahraga ketat dan sepatu sneakers, tampaknya baru saja menyelesaikan sesi olahraga hari ini bersama trainer mereka. Tak heran, di usia setengah abad pun mereka masih tampak segar dan bugar.

["Hera?"] tegur Abigail yang merasa diacuhkan.

"Aku ada urusan. Daah." Dengan itu, Hera mematikan panggilan yang tersambung melalui airpods berwarna putih miliknya tanpa mempedulikan protesan Abigail yang terputus.

Seorang wanita paruh baya dari kumpulan tadi menemukan keberadaan Hera dan menampilkan ekspresi seperti orang yang berusaha mencari sesuatu dari lemari di kepalanya berisi tumpukan ingatan. Wanita itu menghampiri Hera sembari tersenyum-senyum penuh ketidakpercayaan.

"Oh, benar Hera Andromeda. Aku tidak mungkin salah mengenali gadis secantik dirimu di manapun," katanya menghampiri ketika Hera turun dari treadmill.

"Halo, Tante." Sang model mengulas senyum yang membuat siapapun tidak akan berpikir bahwa ia memiliki niat tersembunyi. "Mau minum kopi denganku?"

Perempuan paruh baya yang masih kencang di usia awal lima puluhannya itu adalah Lina Tantono, istri sah Galih Tantono yang merupakan suami sirih dari pebisnis wanita yang tak lain Feronika Denise. Lina mengenal Hera karena keduanya sering bertemu dalam acara perkumpulan keluarga petinggi partai yang rutin diadakan setiap bulan.

Padahal selama ini Hera selalu tidak senang setiap kali ibunya mengajak datang ke acara seperti itu. Namun kemudian ia tidak menyesal. Hera dengan mudah mengajak Lina untuk minum kopi di kafe yang berada di seberang gedung tempat fitness setelah mereka berganti pakaian.

Jika biasanya Hera tak suka obrolan yang merepet pada gosip seperti ibu-ibu kebanyakan, kali ini secara natural Hera mampu mengimbangi Lina. Mereka membahas hal-hal dasar seperti kabar orang tua Hera yang terlalu sibuk untuk datang ke acara perkumpulan sehingga sang kakek datang sendiri. Hera tercenung sebentar mendengar itu, ia memang sudah lama tidak mengunjungi kakeknya. Sampai pada cerita istri-istri yang berkencan dengan berondong.

Hera menanggapi itu semua seadanya dan menimpali sesekali, dengan kata lain ia lebih banyak mendengarkan celotehan Lina yang seolah tidak ada habisnya.

"Ah, aku sangat suntuk belakangan ini. Ke empat putriku sekolah di luar negeri dan jarang pulang sedangkan suamiku sibuk bekerja," keluh Lina selagi mengaduk gelas berisi jus tomat.

Hera mengapit kuping cangkir berisi kapucino hangat miliknya. "Bagaimana jika kita pergi berlibur akhir pekan ini, Tante? Aku juga sepertinya semenjak menikah tidak pernah liburan sendiri lagi." Lantas menyesap minumannya.

"Ide bagus. Aku dan yang lain selalu ingin melakukannya tapi tidak jadi-jadi."

"Aku bisa bilang pada suamiku untuk memakai salah satu resort-nya. Anggap saja ini menebus ketidakhadiran mama dan papa ke acara perkumpulan."

Lina menatap wanita muda yang duduk anggun di depannya lamat-lamat. "Aku sangat ingin setidaknya salah satu putriku memiliki nasib sepertimu. Sangat cantik dan beruntung sekali."

Ia meraih tangan Hera dan meremasnya perlahan seakan keberuntungan Hera bisa tersalur melalui sentuhan itu. Lalu keduanya saling melempar senyuman. Meski kegetiran terselip di sudut hati Hera tanpa disadari siapapun, bahwa dia bukan gadis yang beruntung pada akhirnya.

Dari sana, Hera mengatakan keberangkatan mereka bisa diatur malam ini. Lina kegirangan saat mengabari para istri yang lain, mengatakan pada ruang obrolan grup mereka bahwa cucu dari ketua partai tempat suami mereka bekerja mengadakan acara liburan khusus untuk para istri.

Berita itu menyebar dengan cepat dalam beberapa jam. Saat Hera berada di ruang wardrobe, tengah duduk di kursi meja riasnya yang berbentuk kerang mutiara terbuka, ia berkali-kali melirik layar ponsel yang bergetar dan menyala menampilkan pesan datang silih berganti. Mulai dari Abigail yang merajuk karena diabaikan, Ayuna yang mengirimkan foto pertemuan Darel hari ini bahkan sampai kakeknya yang lama tidak berkomunikasi mengucapkan terima kasih serta memberi pujian.

Hera memilih mengabaikan itu semua lantas membenahi kembali gulungan rambutnya. Ponsel pintar di atas meja rias berwarna putih itu bergetar ketika Hera menyorongkan kardigan sebagai luaran baju kausnya. Ia duduk kembali dan berniat mengangat panggilan yang rupanya dari sang ibu.

Hera baru saja mengangkat persegi pintar itu bersamaan dengan suara pintu ruang wardrobe dibuka dan ketukan langkah pantofel yang mengintimidasi terdengar. Hera menoleh namun sebuah pelukan dari seseorang mendahuluinya. Embusan napas yang menguarkan aroma mint segar menyapa penciuman Hera.

"Kamu benar-benar pergi tanpa saya, hm?" tanya pemilik suara serak basah tersebut.

"Terus bagaimana, sayang? Kamu mau gabung dengan ibu-ibu?" Hera terkekeh.

Darel pulang masih lengkap dengan setelan kantornya. Ia mengecup rambut Hera kemudian memutar kursi tempat sang istri duduk hingga Darel leluasa menemukan dan menyelam ke dalam permata madu di kedua bola mata Hera yang selalu berhasil memikatnya.

"Kamu bisa pergi tanpa saya?"

"Bisa. Kenapa tidak?"

"Saya tidak bisa tanpa kamu, Hera."

"Mas, cuma akhir pekan ini saja, kok. Tidak akan lama."

"Tapi akhir pekan 'kan harusnya kamu sama saya. Kenapa pergi mendadak begini?"

"Aku tidak enak sama ibu-ibu karena tidak datang ke acara perkumpulan. Dari pada dikira keluargaku antisosial oleh mereka. Hanya kali ini saja."

Darel mengatupkan bibir tipisnya, menelan kata-kata yang memperpanjang perdebatan alot ini. Tanpa aba-aba, Darel mengangkat tubuh Hera dan mendudukkannya pada meja rias. Hera nyaris memekik kaget sementara kedua lengan Darel mengurungnya dan mereka begitu dekat.

"Saya tidak bisa membiarkan kamu pergi begitu saja," ucap Darel kemudian.

Wajah mereka yang terlampau dekat membuat keduanya saling merasakan napas mereka yang bersahutan.

Darel tidak akan membiarkannya pergi.

Hera terbisu. Tiba-tiba benang pikiran yang ia atur sedemikian rupa terancam putus. Jika ia tidak pergi sekarang, bukan rencana menyingkirkan Feronika Denise yang dikhawatirkan gagal karena Hera bisa memakai cara lain. Ini tentang Ayuna dan Darel. Selagi Hera masih di sekitar Darel, hubungan sungguhan antara bos dan sekretaris itu akan sulit dibongkar.

Meski Hera masih menduga-duga.

"Kenapa? Bukannya jika tidak ada aku, kamu bisa lebih leluasa?"

Sensasinya seperti air es yang diguyur di atas kepalanya. Hera menitikkan air mata tanpa tahu sebab pasti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status