Share

Menolak

Penulis: Parikesit70
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-02 18:18:31

Sekitar pukul tujuh malam Taxi yang membawa Amara berhenti di depan rumah mewah Sukoco. Seorang sekuriti menghampiri Taxi tersebut dengan mengetuk kaca mobil.

“Permisi! Malam Pak. Cari siapa?” tanya sekuriti tersebut.

“Pak Jamil! Ini saya! Buka pagarnya!” perintah Amara.

“Siap Nona! Maaf! Saya pikir bukan Nona!”

Jamil berlari ke pintu gerbang dan membuka pintu tersebut seraya membungkukkan tubuhnya. Taxi pun, masuk ke halaman rumah. Terlihat seorang wanita berusia 20 tahun berlari kecil mendekati mobil Taxi. Bersamaan dengan itu, Amara keluar dari Taxi disambut senyuman dan di sapa oleh wanita berusia 20 tahun tersebut.

“Malam Nona, kok pakai Taxi, kemana mobilnya?" tanya Tati, seorang pembantu rumah tangga.

“Di kantor lah! Masa aku jual? Apa Papa udah makan?”

“Malam ini belum Non. Tadi jam 5 sore, Tuan minta dibuatkan bubur kacang hijau,” jawab Tati mengiringi langkah Nona mudanya dari belakang Amara.

“Baguslah! Bik Aminah udah tidur?” tanya Amara seraya melangkahkan kakinya.

“Bik Aminah lagi rebahan. Kenapa mobilnya di kantor, Non?"

"Kepo amat sih!"

"Maaf ... Non, tadi Tuan kedatangan tamu. Namanya Tuan Atmaja sama istrinya, cantik sekali,” lapor Tati.

“Oh!" jawab singkat Amara.

Sesampai di teras, Tati yang melihat perban kecil pada mata kaki Amara bertanya, “Kenapa dengan kakinya Non?”

“Nggak kenapa!”

Tati adalah seorang pembantu yang di sekolahkan oleh keluarga Sukoco. Tati sendiri sudah dianggap bagian keluarga Sukoco. Karena itu, wanita muda itu akrab dengan Amara.

Sesampai di ruang keluarga. Amara langsung mencium tangan Sukoco yang tengah menikmati acara televisi dan duduk di sisinya.

“Gimana hari pertama kerja, bisa kan, jadi sekretaris? Hmmm?"

“Kerjaan gampang itu, Pa!”

“Nona, ini air madu hangatnya,” ucap Tati meletakkan air madu yang selalu diminum oleh Amara setiap pagi dan malam hari.

“Ayo kita makan,” ajak Sukoco dan tangannya melambai ke arah Gerry yang selalu siap sedia mengurusi Sukoco di waktu malam hari, karena perawat yang mengurus Sukoco bekerja sampai jam 5 sore.

Usai meneguk secangkir air madu hangat, Amara berjalan menuju kamar untuk mengganti pakaian dan melangkah menuju meja makan.

Mereka menikmati santap malam. Usai menyelesaikan santap malam, Amara bertanya pada Sukoco sembari menikmati buah semangka kesukaannya.

 “Kata Tati, om Atma dan tante Erna ke rumah? Apa ada hal penting?”

“Hanya jenguk Papa aja,” jawab Sukoco berbohong.

“Oh, gitu. Soalnya kan, baru kapan hari kita ke rumahnya untuk minta memo.”

“Mereka berharap kamu betah kerja di sana. Adrian baik kan, orangnya?” selidik Sukoco melirik ke arah Amara yang duduk di sebelahnya.

“Biasa aja. Semoga aja dia baik.”

“Apa kamu nggak suka kerja di sana? Kalau memang kamu tertekan kerja di sana, berhenti saja, Mara. Papa kasihan sama kamu,” pinta Sukoco cemas.

“Nggak enak dong Pa! Mara dikontrak selama tiga bulan. Adrian itu orangnya sombong, keras kepala dan sok pintar!"

Mendengar gambaran Adrian lewat pandangan putrinya, membuat Sukoco sudah bisa mengambil kesimpulan atas keinginan kedua sahabatnya atas perjodohan mereka

‘Baiklah, besok aku hubungi Atmaja. Kalau perjodohan ini nggak usah diteruskan. Biar dia bisa cari wanita lain untuk jodoh putranya,’ gumam Sukoco.

“Pa! Kok bengong? Kenapa? Papa takut Mara tertekan kerja di sana? Santai aja, Pa. Mara itu orangnya kuat dari yang Papa kira.”

“Iya, Papa paham sifat kamu,” jawab Sukoco tersenyum memandang putri semata wayangnya.

“Pak Gerry, bawa Papa ke kamarnya. Ingat kasih obat untuk malam.”

“Baik Non!” jawab Gerry.

“Pa! Mara ke kamar istirahat ya,” ucapnya mencium kedua pipi Sukoco dan berlalu dari ruang makan.

Sementara itu di kediaman Adrian. Usai mereka makan malam, tampak Ernawati bersama suami dan adik Adrian bernama Erni menuju ruang keluarga.

“Adri! Sini dulu. Jangan ke kamar. Mami mau ngomong sebentar!” panggil Ernawati saat melihat putranya menuju kamarnya di lantai satu.

“Ada masalah apa, Mi?” tanyanya menghentikan langkahnya menuju tangga.

“Papi, coba dengar itu CEO di rumah kita, jawabnya seperti itu. Dipikir, keluarga ini selalu punya masalah?” rajuk Ernawati melihat ke arah Atmaja yang sudah duduk di sofa bersama putri bungsunya.

“Adrian, duduklah!” perintah Atmaja memandang ke arah putra pertamanya.

Adrian duduk pada sofa tunggal memandang ke arah Ernawati yang di sofa panjang bersama Atmaja dan adik bungsunya.

“Adrian, tadi Mami ke rumah om Sukoco. Gimana tadi Amara. Apa bisa dia kerja?” tanya Ernawati membuka percakapan.

“Oh, masalah Amara. Adri pikir masalah apa,” ucap lelaki tampan tersebut tersenyum kecil.

“Maksudnya masalah apa? Masalah mantanmu yang artis itu? Haram Mami ngomong tentang dia. Sebut namanya aja ogah! Kamu udah nggak hubungi dia, kan?!” tanya Ernawati menatap tajam putranya.

“Nggak Mi. Udah jangan ngomong masalah dia lagi!” pinta Adrian memberikan isyarat dengan menyilangkan tangannya.

“Ok! Gimana tadi Amara di kantormu?” tanya Ernawati kembali.

“Dia orangnya, pintar. Cepat ngerti kerjaan. Kelihatannya bakal saya lanjutkan kontrak kerjanya jadi sekretaris.”

“Sifatnya gimana? Mami perlu tahu. Apa sama seperti almarhum mamanya. Mamanya itu orangnya baik banget." 

“Sifatnya? Nggak tahu juga sih. Cuma kalau dilihat, orangnya keras kepala. Suka ngatur orang lain, nggak mau diatur. Banyak komplain, nggak bisa terima pendapat orang lain!” cicit Adrian sembari menghitung dengan jemari tangannya.

“Apa?! Serius Amara seperti itu? Nggak ada satu pun, kebaikan dia?!” tanya Ernawati tercengang dengan apa yang dikatakan putranya.

“Banyak kelebihannya Mi! Jago masak, bisa menjahit, bisa bikin kue, orangnya cerdas, lucu, menggemaskan, bikin gereget dan manja serta cantik!” jawab Adrian tersenyum manis ke arah adik dan kedua orang tuanya.

Kedua orang tua Adrian saling memandang. Sedangkan sang adik yang melihat Adrian tersenyum semeringah kala menceritakan tentang Amara langsung menimbrung.

“Berarti Kakak suka sama Kak Amara?” tanya Erni dijawab dengan senyum lebar.

“Iya Andri! Kamu suka kan, sama Amara?” tanya Ernawati bahagia.

“Mami ... Mami. Siapa lelaki yang nggak suka sama wanita secantik Amara? Dia itu lucu dan cerdas. Kalau Mami dengar dia ngomong, udah seperti seorang jaksa dan hakim. Menuduh dan memutuskan! Pokoknya Amara itu perfect!” ujar Adrian mengacungkan kedua jempolnya.

“Alhamdulillah....”

Kedua orang tua Andri mengucapkan syukur usai mendengar hal positif atas diri Amara, hingga Adrian memandang bingung pada respons kedua orang tuanya.

“Mi! Ada apa sebenarnya?” tanyanya.

Kemudian, Kedua orang Adrian memberitahu hal yang jadi pembicaraan antara mereka dengan Sukoco. Mendengar hal itu, Adrian langsung menjawab.

“Please! Tolong Mami dan papi jangan ikut campur masalah siapa calon istri saya! Memang Amara seorang wanita yang manis dan perfect! Tapi, itu membuat saya takut. Saya ingin wanita yang membutuhkan diri saya. Bukan wanita perfect seperti Amara!” tegas Adrian berlalu dari hadapan orang tuanya.

“Adri! Tunggu!” perintah Ernawati hingga berdiri untuk mencegah kepergian Adrian ke lantai atas.

“Sudah Mi! Jangan dipaksa. Besok Papi yang bicara dengannya.”

“Papi tahu kan? Aku takut Adrian kembali sama wanita ular itu! Bibit, bebet dalam mencari calon istri itu penting! Jangan seperti si pelac....”

“Cukup Mi!” pinta Atmaja memegang bahu Ernawati dan memintanya duduk kembali.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sekretaris Rasa Istri   THE END - BAHAGIA

    “Amara, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” suara Dhendy di ujung telepon terdengar berat, seperti menahan beban yang sudah lama dipikulnya. “Aku cuma ingin kamu tahu, aku nggak pernah berniat menyakitimu.”Amara duduk di sofa kecil di apartemennya, menatap jendela yang memperlihatkan langit Jakarta yang kelabu sore itu. Telepon genggamnya terasa dingin di tangan. Setelah pertemuan emosional dengan Rani di rumah sakit kemarin, Amara merasa jiwanya seperti terbelah. Rani, sahabatnya sejak SMA, telah mengaku menipu Dhendy lima tahun lalu, membuat Dhendy percaya bahwa anak yang dikandung Rani adalah darah dagingnya. Kini, Rani terbaring lemah di rumah sakit, melawan penyakit yang perlahan merenggut nyawanya. Amara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Dhend, aku juga nggak tahu harus bilang apa. Rani ceritain semuanya ke aku. Soal kebohongannya, soal anak itu… Aku cuma perlu tahu, kamu sekarang di posisi apa?”Di ujung sana, Dhendy terdiam sejenak. Amara bisa mendengar suara na

  • Sekretaris Rasa Istri   Pengakuan & Pengampunan

    “Amara, tolong… dengar aku dulu,” suara Rani lemah, nyaris tersendat, dari balik selimut rumah sakit yang menutupi tubuhnya yang kurus. Ruangan berbau antiseptik, hanya ada suara monitor jantung yang berdetak pelan di samping ranjang.Amara berdiri kaku di dekat pintu kamar rawat inap. Tas kerjanya masih digenggam erat, seolah menjadi tameng dari gelombang emosi yang tiba-tiba menerpanya. Ia baru saja pulang dari kantor, masih mengenakan blazer navy dan rok pensil yang rapi, ketika mendapat pesan dari Lily bahwa Rani ingin bertemu. Amara hampir menolak, tapi ada sesuatu dalam nada Lily yang membuatnya datang ke rumah sakit ini.“Dengar apa lagi, Rani? Setelah semua yang kamu lakukan?” Amara menatap wajah pucat Rani, yang dulu begitu cantik dan penuh pesona. Kini, wajah itu hanya menunjukkan kelelahan dan penyesalan. “Lima tahun lalu, kamu menghancurkan hidupku. Apa lagi yang mau kamu katakan?”Rani menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu aku salah. Aku nggak minta k

  • Sekretaris Rasa Istri   Perpisahan dan Rahasia

    “Amara, kamu yakin mau resign? Adrian nggak akan senang dengar ini,” kata Lily, memandang Amara dengan alis terangkat, sambil menyandarkan tubuhnya di meja resepsionis kantor. Ruang lobi perusahaan yang megah dengan lantai marmer dan dinding kaca itu terasa lebih dingin dari biasanya, mungkin karena suasana hati Amara yang sedang kacau.Amara menarik napas dalam, menatap map berisi surat pengunduran dirinya. “Aku nggak punya pilihan, Lil. Lima tahun di sini, aku cuma jadi bayang-bayang Adrian. Aku capek.” Suaranya pelan, tapi tegas.Lily mengangguk kecil, tapi matanya menyiratkan ada sesuatu yang ingin dia katakan. Sebelum Amara berbalik menuju ruang rapat untuk mengumumkan keputusannya, Lily memegang lengannya. “Tunggu, Mar. Ada sesuatu yang harus kamu tahu… soal Rani.”Amara membeku. Nama Rani, sahabat yang dulu begitu dekat, kini terasa seperti luka yang baru disobek lagi. “Rani? Apa lagi? Aku nggak mau dengar apa-apa tentang dia, Lil. Dia sudah menghianatiku dengan Dhendy, dan sek

  • Sekretaris Rasa Istri   Keputusan Amara

    “Apa maksudmu, Mara? Kamu mau batalkan pernikahan sama Adrian?” Suara Sukoco parau, hampir tak terdengar, dari ranjang sederhana di kamarnya. Ia berbaring dengan tubuh lemah, satu sisi wajahnya sedikit merosot akibat stroke yang menyerangnya setahun lalu. Matanya yang redup menatap Amara, penuh kebingungan dan kekhawatiran.Amara duduk di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang kurus. Ruangan kecil di rumah sederhana mereka di pinggiran Jakarta terasa pengap, meski jendela terbuka lebar. Bau obat-obatan dan minyak kayu putih samar-samar tercium. Amara menarik napas dalam, berusaha menahan emosi yang bergolak di dadanya. “Iya, Yah. Aku nggak bisa lanjut. Adrian… dia nggak jujur sama aku.”Sukoco menggeleng pelan, gerakannya tersendat. “Mara, kamu tahu Adrian anak baik. Erna dan Atmaja sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Ceritain sama Ayah.”Amara menunduk, jari-jarinya meremas lembut tangan ayahnya. Ia teringat malam sebelumnya, ketika Lily, tema

  • Sekretaris Rasa Istri   Putus Diujung Pertunangan

    Sejak Amara mengetahui masa lalu dan kebiasaan yang dilakukan oleh Adrian bersama mantannya, membuat insting Amara curiga ada Adrian yang dipikirnya tidak akan mudah melepaskan Tania. Terlebih Tania sedang hamil dan berada dalam tahanan. Sampai akhirnya Amara menemukan bukti atas kedekatan Adrian kembali dengan Tania.“Adrian, apa maksud semua ini?!” Amara berdiri di depan meja besar Adrian di ruang direktur, tangannya gemetar memegang selembar dokumen. Matanya merah, menahan air mata yang siap tumpah. “Kamu benar-benar menarik laporan polisi terhadap Tania? Setelah semua yang dia lakukan padaku? Pada kita?”Adrian, yang duduk di kursi kulitnya, menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, tampak lelah. “Amara, dengar dulu. Aku tidak punya pilihan. Tania sedang hamil, keluarganya dalam masalah besar. Aku cuma ingin membantu.”“Bantu?!” Amara membanting dokumen itu ke meja. “Kamu memberi mereka apartemen, Adrian! Apartemen yang seharusnya jadi milik kita setelah menikah! Dan sekarang

  • Sekretaris Rasa Istri   Masa Lalu Adrian

    Selama satu bulan sejak Adrian memberikan kekuasaan pada Amara atas keuangannya, membuat beberapa staf di kantor membicarakannya. Terlebih pada hari ini.“Selamat pagi, Pak!” ucap Melinda seorang personalia di perusahaan tersebut.“Pagi! Silakan duduk!” jawab Adrian.Melinda duduk di hadapan Adrian dan mulai berbicara. “Pak, hari ini saya ada rencana menggalang dana untuk anak dari Ibu Asih bagian operasional.”“Oh, yang kemarin kecelakaan itu? Akhirnya bagaimana dengan kondisi anak itu?” tanyanya.“Menyedihkan Pak, satu kakinya di amputasi. Jadi, saya mau minta persetujuan dan tanda tangan Bapak untuk minta sumbangan dari karyawan di sini,” ujar Melinda.Adrian mengambil kertas yang harus di tanda tangani dan menyerahkan kepada Melinda. Kemudian, Melinda memberanikan diri untuk meminta sumbangan pada sang bos.“Maaf Pak. Uhm, apa Bapak mau ikut menyumbang juga?”“Oh! Ya! Tunggu, aku hubungi Amara,” jawab Adrian.Sesaat kemudian, Adrian menghubungi Amara lewat ponselnya. “Sayang, aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status