Share

Sekretaris Rasa Istri
Sekretaris Rasa Istri
Author: Parikesit70

Wawancara

Author: Parikesit70
last update Last Updated: 2025-06-02 18:14:19

Di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang sekuritas, Amara wanita cantik berusia 25 tahun tengah menunggu giliran untuk menghadap ke bagian HRD (Human Resource Development) usai dirinya membawa sebuah memo dari papanya yang kini mengalami stroke.

 

 

 

  “Dengan Amara Sukoco, silakan masuk!”

 

 

 

  Seorang lelaki memakai dasi berwarna abu-abu dengan kemeja berwarna putih tanpa jas, berdiri di depan pintu masuk HRD dan memanggil namanya.

 

 

 

  “Saya, Pak!” Amara menjawab dengan mengangkat tangan dan beranjak dari sofa yang berada diluar ruangan HRD tersebut.

 

 

 

  Dalam hati Amara menggerutu sendiri, ‘Sialan, kebiasaan amat sih gue angkat tangan. Padahal sekarang gue cari kerja, bukan lagi di kampus.’

 

 

 

  “Silakan masuk,” perintah lelaki berdasi abu-abu tersebut dengan menunjuk ke arah pintu ruangan lain yang tertutup rapat. Lelaki berdasi abu-abu duduk kembali ke meja kerjanya.

 

 Di dalam ruang itu, ada dua orang wanita yang asyik dengan pekerjaannya tanpa memedulikan Amara yang berjalan melewati ruang bersekat di ruangan tersebut.

 

 

 

  Ceklek!

 

 

 

  Amara membuka pintu ruangan HRD. Terlihat wanita berusia sekitar 40 tahun memandang tajam ke arahnya dan mengernyitkan dahi memandang tajam ke arah wanita cantik dengan rambut hitam legam, tergerai sebatas pinggang.

 

 

 

  “Lain kali, ketuk dulu sebelum masuk ke ruang kerja orang lain!” tegasnya. “Silakan duduk!”

 

 

 

  “Terima kasih, Bu,” jawab Amara memandang ke arah wanita bermata tajam dengan rambut digulung layaknya seorang pramugari.

 

 

 

  Mata tajam wanita yang ada di hadapan Amara memandang dan mengamati gerak gerik dirinya mulai dari kepala hingga ke bagian dadanya yang All size. Hingga Amara tampak risi dan tersenyum samar serta bergumam, ‘Kurang ajar juga nih cewek, liat gue seperti itu. Pasti dia lagi mikir ... Kenapa punya gue gede ... Soalnya kan, bagian dada dia nyaris rata.’

 

 

 

  “Kenalkan saya, Melinda. Kamu bisa panggil, Bu Linda.” Ucap wanita berusia 40 tahun tersebut sembari menarik napas.

 

 

 

  “Terkait memo yang sudah saya terima dari staf. Sudah saya tanyakan ke pak Adrian. Hmmm..., boleh saya tanya sesuatu?” tanya Melinda selaku HRD.

 

 

 

  “Ya, tanya aja,” sahut enteng Amara dengan jemari lentik berada di atas meja sang HRD.

 

 

 

  Mendengar ucapan Amara, manik hitam Melinda menatap tajam dan ada rasa tak suka dari tangkapan netra wanita tersebut dengan memandang jemari lentik wanita cantik di hadapannya.

 

 

 

  “Lain kali, kamu harus belajar bagaimana cara berbicara dengan sopan!” tegasnya.

 

 

 

  Amara menganggukkan kepala dengan menatap lurus ke arah Melinda atas apa yang disampaikan secara langsung di hadapannya. Wanita muda nan cantik jelita itu juga menimpali ucapan Melinda selaku HRD.

 

 

 

  “Maaf maksud Ibu apa ya? Perasaan saya berbicara sopan dengan Ibu,” kilah Amara.

 

 

 

  “Amara ... Intonasi, pemilihan kata dan cara bicara dengan orang itu harus kamu perhatikan. Jangan semua kamu sama ratakan seperti saat kamu berbicara dengan temanmu sendiri. Saya ini, HRD. Jadi saya berhak menegur kamu jika attitude dari orang yang akan bekerja di perusahaan ini, kurang menunjukkan kesopanannya,” imbuh Melinda memasang wajah judes.

 

 

 

  “Baik! Kalau menurut Ibu saya nggak pantas bekerja di sini, nggak masalah. Bisa saya ambil lagi memonya?” tantang Amara kesal, kala mendengar Melinda menyalahkan dan menganggapnya tak sopan saat menanggapi ucapan HRD tersebut.

 

 

 

  ‘Dasar, gila hormat! Dipikir baru jadi HRD dia bisa tolak gue? Ingat! Gue bawa memo sakti dari pemilik perusahaan ini,’ umpatnya dalam hati.

 

 

 

  “Kamu itu!” ucap Melinda kesal saat Amara menggunakan memo yang dibawa menekannya.

 

 

 

  Saat bibir Melinda akan berkata-kata lagi, terdengar dering telepon di meja kerja sang HRD. Dengan sigap diraih dan dijawab panggilan tersebut dengan beberapa kali menganggukkan kepala.

 

 

 

  "Kamu antar wanita yang bawa memo sekarang juga!" perintah Adrian tanpa basa-basi dan terdengar dingin.

 

 

 

  “Baik Pak Adrian. Akan saya antar ke ruang Bapak. Saya masih minta dia identitas dirinya saja."

 

 

 

  Dalam hati Amara yang mendengar dan melihat HRD tersebut berbicara dengan menganggukkan kepala dan menyebut nama Adrian, membuat ia merasa diatas angin.

 

 

  ‘Dasar pembohong. Jelas-jelas dia kagak minta identitas gue. Sok lembut pula waktu bicara di telepon. Dasar ular bermuka dua,’ gumamnya dalam hati.

 

 

 

  Usai Melinda menutup telepon, ia langsung berdiri dari tempat duduknya dan berucap, “Sekarang kamu ikut saya ke ruang Direktur Utama.”

 

 

 

  “Baik Buu!” sambut Amara tersenyum penuh kemenangan.

 

 

 

  Mereka berjalan beriringan menuju lantai 7. Dimana, sang bos dan beberapa marketing berada di lantai tujuh. Sedangkan HRD dan bagian operasional berada di lantai 6. Sedangkan beberapa staf lainnya berapa di lantai 5. Jadi perusahaan sekuritas ini menyewa tiga lantai untuk operasionalnya.

 

 

 

 

  Teringat atas memo yang tadi dibaca olehnya, Melinda pun, bertanya pada Amara. Wanita pemilik mata indah dengan bulu mata lentik, hidung mancung, bibir tebal serta memiliki kulit putih mulus sebening kristal.

 

 

 

  “Sukoco itu orang tua kamu?” tanya Melinda melirik ke arah samping wanita cantik yang dianggapnya sombong.

 

 

 

  “Iya, papa saya,” jawabnya datar.

 

 

 

  “Ooh ... Saya pikir nama suaminya,” ujar Melinda hingga membuat mata indah Amara terbelalak seiring dengan terbukanya pintu lift.

 

 

 

  “What!?!” tanya Amara sembari memasuki lift.

 

 

 

  Mendengar Amara merespons keras ucapannya, Melinda meralatnya, “Maaf, berarti kamu anaknya dong...”

 

 

 

  Dengan wajah kesal, Amara menjawab dengan menggerutu, “Iya lah! Aneh sekali pikiran Ibu!”

 

 

 

  “Masalahnya, ada juga loh ... Istri yang pakai nama suami di belakang namanya. Siapa tahu, kamu istri mudanya,” kilah Melinda tersenyum kecil.

 

 

 

  “Aduh! Amit-amit kalau jadi istri kedua!”

 Amara mengatakan hal tersebut dengan jemari tangan diketuk-ketuk pada pintu lift.

 

 

 

  Ting!

 

 

 

  Pintu lift terbuka dan Amara yang mengetuk-ngetuk pintu lift agak terkejut saat pintu tersebut terbuka. Hal itu membuat Melinda tersenyum simpul melihat ulah Amara seraya berucap lembut, “Kamu lucu juga. Tapi, kalau udah kerja ... Tolong yang serius. Soalnya pak Adrian orangnya disiplin dan serius!”

 

 

 

  “Ya Bu!” jawabnya masih kesal.

 

 

 

  Tok ... Tok ... Tok ...

 

 

 

  “Masuk!” perintah seorang lelaki dengan suara baritonnya.

 

 

 

  “Selamat pagi, Pak,” ucap Melinda.

 

 

 

  “Pagi! Silakan duduk Bu. Ini calon sekretaris barunya?” tanya Adrian sekilas melihat ke arah Amara.

 

 

 

  “Benar Pak,” ucap Melinda memandang ke arah Amara dan memberikan kode pada wanita muda tersebut untuk bersalaman dengan sang CEO.

 

 

 

  “Saya Amara, Pak,” salamnya sembari memberikan tangannya dan meraih tangan sang CEO yang menyambut tangannya.

 

 

 

  Kedua wanita cantik itu duduk berdampingan pada sofa panjang yang ada di ruang kerja sang CEO. Sedangkan, Adrian duduk pada sofa tunggal bagian tengah.

 

 

 

  “Semalam papa saya sudah telepon. Katanya, sahabatnya yang bernama Sukoco menitipkan putrinya untuk bekerja jadi sekretaris. Tapi, apa kamu pernah bekerja jadi sekretaris sebelumnya? Kapan kamu jadi sarjana?” tanya Adrian menatap dingin, Amara.

 

 

 

  “Saya? Uhm, belum pernah kerja. Selama ini hanya di rumah. Saya, lulusan manajemen. Tapi, saya pernah magang jadi sekretaris sewaktu KKN,” jawab Amara.

 

 

 

  “Berarti kamu baru dapat gelar sarjana? Bukankah usia kamu sekarang 27 tahun?” tanya Adrian menatap lurus ke arah Amara.

 

 

 

  Dalam hati sang CEO berbisik, ‘Pasti nih cewek 7 tahun kuliahnya dan sekarang baru lulus kuliah. Pantas aja perusahaan papanya bangkrut, anaknya aja kelihatan tolol gini.’

 

 

 

  “Waktu umur 22 tahun saya udah selesai kuliah dan jadi sarjana, Pak,” ujar Amara sombong.

 

 

 

  “Oh ya? Berapa IP kamu?” tanya Adrian yang semakin penasaran atas diri Amara yang dipikirnya cantik tapi bodoh.

 

 

 

  “IP saya 3.5 Pak ... Saya salah seorang lulusan Cumlaude, Pak,” jawab Amara membanggakan diri.

 

 

 

  Adrian yang melihat gaya bicara dan sikap bangga Amara atas Cumlaude yang di dapat dalam pendidikan akademis, langsung merontokkan kesombongannya.

 

 “Harusnya kamu bisa teruskan perusahaan papa kamu. Padahal kamu cerdas. Sangat disayangkan!”

 

 

 

  “Masalahnya, papa lebih percaya sama istri mudanya! Saya malah diminta ambil S2 agar bisa jadi dosen. Padahal itu akal-akalan istri mudanya aja. Jelas saya tolak!” sahut Amara dengan gigi gemertak saat mengingat runtuhnya perusahaan sang papa.

 

 

 

  Mendengar obrolan dua arah tersebut, Melinda baru memahami sifat Amara yang terbuka dan berbicara ceplas-ceplos pada siapa pun, lawan bicaranya. Melinda pun bergumam dalam hatinya. 'Pantas aja ini anak sombong. Mantan anak orang kaya.’

 

 

 

  “Baiklah ... Kita akan lihat. Apa kamu mampu bekerja jadi sekretaris. Saya beri waktu tiga bulan untuk mulai mempelajari pekerjaan ini. Kalau kamu nggak punya kemampuan, memo dari papa saya ini nggak akan mampu buat kamu bertahan disini. Paham?!” tanya Adrian.

 

 

 

  “Siap! Paham Pak!” jawab Amara dengan mata berbinar bahagia. Bagi Amara, tidak ada pekerjaan yang tak dapat dilakukannya. Maka dengan mudah ia menjawab tantangan Adrian.

 

 

 

  Melihat keluguan dan sifat Amara yang apa adanya membuat Melinda menahan senyum dengan menundukkan kepalanya.

 

 

 

  “Bu Melinda, siapkan saja kontrak kerja selama 3 bulan dulu. Setelah itu, evaluasi kembali,” pinta Adrian. “Satu lagi, berikan Job Description nya juga. Biar dia tahu tugas-tugasnya."

 

 

 

  “Maaf ... Boleh tahu, kenapa sekretarisnya berhenti?” tanya Amara memandang ke arah Adrian.

 

 

 

  “Menikah ... Apa kamu ada rencana menikah juga?” tanya Adrian datar.

 

 

 

  “Oh ... menikah. Untuk saat ini belum ada niat Pak , karena jodoh kan, ditangan Tuhan," tuturnya tersenyum manis.

 

 

 Mendengar celoteh Amara yang tanpa punya rasa ragu atas apa yang dikatakannya, membuat Adrian dan Melinda tersenyum samar.

 

 

 

  “Baiklah, silakan ke ruang HRD lagi. Besok kamu sudah bisa bekerja,” ujar Adrian sembari beranjak dari sofa tunggal.

 

 

 

  “Baik Pak..., kami permisi dulu,” jawab Melinda sembari menarik tangan Amara yang masih duduk di sofa panjang.

 

 

 

  Setelah itu, Amara dan Melinda keluar dari ruang kerja Adrian yang kebetulan sudah satu minggu ini tidak mempunyai sekretaris pribadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekretaris Rasa Istri   Menolak

    Sekitar pukul tujuh malam Taxi yang membawa Amara berhenti di depan rumah mewah Sukoco. Seorang sekuriti menghampiri Taxi tersebut dengan mengetuk kaca mobil.“Permisi! Malam Pak. Cari siapa?” tanya sekuriti tersebut.“Pak Jamil! Ini saya! Buka pagarnya!” perintah Amara.“Siap Nona! Maaf! Saya pikir bukan Nona!”Jamil berlari ke pintu gerbang dan membuka pintu tersebut seraya membungkukkan tubuhnya. Taxi pun, masuk ke halaman rumah. Terlihat seorang wanita berusia 20 tahun berlari kecil mendekati mobil Taxi. Bersamaan dengan itu, Amara keluar dari Taxi disambut senyuman dan di sapa oleh wanita berusia 20 tahun tersebut.“Malam Nona, kok pakai Taxi, kemana mobilnya?" tanya Tati, seorang pembantu rumah tangga.“Di kantor lah! Masa aku jual? Apa Papa udah makan?”“Malam ini belum Non. Tadi jam 5 sore, Tuan minta dibuatkan bubur kacang hijau,” jawab Tati mengiringi langkah Nona mudanya dari belakang Amara.“Baguslah! Bik Aminah udah tidur?” tanya Amara seraya melangkahkan kakinya.“Bik Am

  • Sekretaris Rasa Istri   Terluka

    Sementara itu, di perusahaan sekuritas milik keluarga Adrian, terlihat Amara tengah berbicara serius dengan Melinda selaku bagian personalia (HRD). Hal itu terkait dengan masalah yang dianggap sepele oleh Adrian selaku direktur utama dan Melinda selaku personalia.Saat terjadi perdebatan antara kedua wanita berbeda usia tersebut. Adrian sendiri tengah menerima tamu. Dua orang sahabatnya di masa SMA. Maka, Amara tidak mendampingi dirinya sebagai notulen.“Amara ... Intinya saya nggak bisa buat aturan seperti yang kamu inginkan! Apalagi sejak awal memang nggak ada aturan karyawan nggak boleh makan di ruang kerjanya. Kamu itu loh, karyawan kontrak. Jangan suka ikut campur masalah aturan kantor. Jadi lupakan saja, permintaanmu itu!” tegas Melinda.“Bu ... Saya sudah sampaikan ke Pak Adrian. Menurut dia itu ide bagus dan saya bisa diskusikan ke Ibu. Kalau Ibu selalu mematahkan semua alasan saya dan menganggap saya tidak berhak untuk memberikan saran karena karyawan baru, jelas Ibu salah!”

  • Sekretaris Rasa Istri   Di jodohkan

    Sementara itu, di sebuah rumah mewah dengan pagar dan tembok kokoh yang mengelilingi rumah tersebut, terlihat sebuah mobil Alphard hitam masuk ke halaman usai seorang satpam membuka pintu pagar tersebut.Seorang wanita dan seorang lelaki berusia 55 tahun keluar dari mobil Alphard. Mereka disambut oleh seorang lelaki tegap berusia 30 tahun. Dengan membungkukkan tubuhnya, ia menyambut kedua tamu yang bertandang ke rumah mewah tersebut.“Selamat siang Tuan, Nyonya. Sudah ditunggu sama Tuan besar. Silakan.”Ucap seorang lelaki bertubuh tegap memberikan jalan menuju rumah mewah yang dipenuhi oleh berbagai tanaman pada sisi kanan dekat tembok tinggi penutup rumah.“Terima kasih, Gerry. Gimana kondisi Tuan, apa dia sudah semakin membaik?” tanya seorang wanita paruh baya yang masih berparas cantik.“Alhamdulillah, Tuan semakin sehat, Nyonya.”Mereka diajak langsung menuju ruang keluarga. Hubungan keluarga Sukoco dan keluarga Atmaja, orang tua dari Adrian Atmaja telah terjalin sejak masa SMP.

  • Sekretaris Rasa Istri   Di Pantry

    Tepat jam 12 siang, Amara yang memasang alarm pada ponselnya langsung menutup laptop, menyingkirkan berkas yang diinput dan berjalan menuju Pantry untuk menyiapkan makan siang Adrian. Menurut info yang diperoleh pada bagian umum, setiap harinya pesuruh di kantor membelikan makanan sesuai permintaan Adrian.Sesampai di Pantry, Amara menyiapkan wadah untuk sop iga sapi yang dipesan oleh sang bos. Saat menyiapkan makanan tersebut, Amara bertanya pada pesuruh yang selalu diminta sang bos membelikan makanan dan kudapan. “Maaf mau tanya, dengan Bapak siapa?”“Budi, Bu. Panggil aja Budi,” pintanya.“Kamu kan, lelaki makanya saya panggil bapak. Masa iya saya panggil ibu,” ujar Amara tersenyum kecil.“Masalahnya, saya cuman pesuruh, Bu. Malu kalau di panggil bapak.”“Pak Budi! Saya kasih tahu. Panggilan bapak dan ibu di kantor itu lumrah, nggak berpengaruh dengan status pekerjaan. Kamu paham ya, maksud saya?” jelas AmaraBudi yang mendengar ucapan Amara menganggukkan kepalanya, “Siap! Baik Bu

  • Sekretaris Rasa Istri   DITEGUR SANG BOS

    Hari ini adalah hari pertama Amara ke kantor. Sekitar pukul delapan kurang lima menit, ia sudah sampai kantor. Kemarin Melinda telah membuatkan absensi sidik jari dan memberikan Job Description untuknya. Maka, Amara langsung menuju lantai 7 menuju ruang kerjanya yang berada persis di sebelah ruang kerja Adrian. Bola mata Amara nan indah membulat. Ia terkejut saat melihat ruang kerja sang bos sudah terbuka. Dengan langkah cepat Amara menyambangi ruang kerja sang bos. Serta merta wanita cantik yang di hari pertama bekerja memakai blazer hitam, atasan berkerah V dengan rok span selutut, berwarna merah menyala menggerutu, ketika kaki jenjang nan mulus yang memakai pantofel hitam 7 centimeter masuk ke ruang kerja sang bos.“Kurang ajar! Siapa yang main buka ruang kerja pak Adrian sih? Padahal kunci ruangannya sama gue!”Baru satu langkah memasuki ruang kerja si bos, Amara dikejutkan oleh sosok Adrian yang sudah berada di ruang kerjanya, duduk dan memandang gadis cantik seraya menggerutu.

  • Sekretaris Rasa Istri   Wawancara

    Di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang sekuritas, Amara wanita cantik berusia 25 tahun tengah menunggu giliran untuk menghadap ke bagian HRD (Human Resource Development) usai dirinya membawa sebuah memo dari papanya yang kini mengalami stroke. “Dengan Amara Sukoco, silakan masuk!” Seorang lelaki memakai dasi berwarna abu-abu dengan kemeja berwarna putih tanpa jas, berdiri di depan pintu masuk HRD dan memanggil namanya. “Saya, Pak!” Amara menjawab dengan mengangkat tangan dan beranjak dari sofa yang berada diluar ruangan HRD tersebut. Dalam hati Amara menggerutu sendiri, ‘Sialan, kebiasaan amat sih gue angkat tangan. Padahal sekarang gue cari kerja, bukan lagi di kampus.’ “Silakan masuk,” perintah lelaki berdasi abu-abu tersebut dengan menunjuk ke arah pintu ruangan lain yang tertutup rapat. Lelaki berdasi abu-abu duduk kembali ke meja kerjanya. Di dalam ruang itu, ada dua orang wanita yang asyik dengan pekerjaannya tanpa memedulikan Amara yang berjalan melewati ruang b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status