Di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang sekuritas, Amara wanita cantik berusia 25 tahun tengah menunggu giliran untuk menghadap ke bagian HRD (Human Resource Development) usai dirinya membawa sebuah memo dari papanya yang kini mengalami stroke.
“Dengan Amara Sukoco, silakan masuk!” Seorang lelaki memakai dasi berwarna abu-abu dengan kemeja berwarna putih tanpa jas, berdiri di depan pintu masuk HRD dan memanggil namanya. “Saya, Pak!” Amara menjawab dengan mengangkat tangan dan beranjak dari sofa yang berada diluar ruangan HRD tersebut. Dalam hati Amara menggerutu sendiri, ‘Sialan, kebiasaan amat sih gue angkat tangan. Padahal sekarang gue cari kerja, bukan lagi di kampus.’ “Silakan masuk,” perintah lelaki berdasi abu-abu tersebut dengan menunjuk ke arah pintu ruangan lain yang tertutup rapat. Lelaki berdasi abu-abu duduk kembali ke meja kerjanya. Di dalam ruang itu, ada dua orang wanita yang asyik dengan pekerjaannya tanpa memedulikan Amara yang berjalan melewati ruang bersekat di ruangan tersebut. Ceklek! Amara membuka pintu ruangan HRD. Terlihat wanita berusia sekitar 40 tahun memandang tajam ke arahnya dan mengernyitkan dahi memandang tajam ke arah wanita cantik dengan rambut hitam legam, tergerai sebatas pinggang. “Lain kali, ketuk dulu sebelum masuk ke ruang kerja orang lain!” tegasnya. “Silakan duduk!” “Terima kasih, Bu,” jawab Amara memandang ke arah wanita bermata tajam dengan rambut digulung layaknya seorang pramugari. Mata tajam wanita yang ada di hadapan Amara memandang dan mengamati gerak gerik dirinya mulai dari kepala hingga ke bagian dadanya yang All size. Hingga Amara tampak risi dan tersenyum samar serta bergumam, ‘Kurang ajar juga nih cewek, liat gue seperti itu. Pasti dia lagi mikir ... Kenapa punya gue gede ... Soalnya kan, bagian dada dia nyaris rata.’ “Kenalkan saya, Melinda. Kamu bisa panggil, Bu Linda.” Ucap wanita berusia 40 tahun tersebut sembari menarik napas. “Terkait memo yang sudah saya terima dari staf. Sudah saya tanyakan ke pak Adrian. Hmmm..., boleh saya tanya sesuatu?” tanya Melinda selaku HRD. “Ya, tanya aja,” sahut enteng Amara dengan jemari lentik berada di atas meja sang HRD. Mendengar ucapan Amara, manik hitam Melinda menatap tajam dan ada rasa tak suka dari tangkapan netra wanita tersebut dengan memandang jemari lentik wanita cantik di hadapannya. “Lain kali, kamu harus belajar bagaimana cara berbicara dengan sopan!” tegasnya. Amara menganggukkan kepala dengan menatap lurus ke arah Melinda atas apa yang disampaikan secara langsung di hadapannya. Wanita muda nan cantik jelita itu juga menimpali ucapan Melinda selaku HRD. “Maaf maksud Ibu apa ya? Perasaan saya berbicara sopan dengan Ibu,” kilah Amara. “Amara ... Intonasi, pemilihan kata dan cara bicara dengan orang itu harus kamu perhatikan. Jangan semua kamu sama ratakan seperti saat kamu berbicara dengan temanmu sendiri. Saya ini, HRD. Jadi saya berhak menegur kamu jika attitude dari orang yang akan bekerja di perusahaan ini, kurang menunjukkan kesopanannya,” imbuh Melinda memasang wajah judes. “Baik! Kalau menurut Ibu saya nggak pantas bekerja di sini, nggak masalah. Bisa saya ambil lagi memonya?” tantang Amara kesal, kala mendengar Melinda menyalahkan dan menganggapnya tak sopan saat menanggapi ucapan HRD tersebut. ‘Dasar, gila hormat! Dipikir baru jadi HRD dia bisa tolak gue? Ingat! Gue bawa memo sakti dari pemilik perusahaan ini,’ umpatnya dalam hati. “Kamu itu!” ucap Melinda kesal saat Amara menggunakan memo yang dibawa menekannya. Saat bibir Melinda akan berkata-kata lagi, terdengar dering telepon di meja kerja sang HRD. Dengan sigap diraih dan dijawab panggilan tersebut dengan beberapa kali menganggukkan kepala. "Kamu antar wanita yang bawa memo sekarang juga!" perintah Adrian tanpa basa-basi dan terdengar dingin. “Baik Pak Adrian. Akan saya antar ke ruang Bapak. Saya masih minta dia identitas dirinya saja." Dalam hati Amara yang mendengar dan melihat HRD tersebut berbicara dengan menganggukkan kepala dan menyebut nama Adrian, membuat ia merasa diatas angin. ‘Dasar pembohong. Jelas-jelas dia kagak minta identitas gue. Sok lembut pula waktu bicara di telepon. Dasar ular bermuka dua,’ gumamnya dalam hati. Usai Melinda menutup telepon, ia langsung berdiri dari tempat duduknya dan berucap, “Sekarang kamu ikut saya ke ruang Direktur Utama.” “Baik Buu!” sambut Amara tersenyum penuh kemenangan. Mereka berjalan beriringan menuju lantai 7. Dimana, sang bos dan beberapa marketing berada di lantai tujuh. Sedangkan HRD dan bagian operasional berada di lantai 6. Sedangkan beberapa staf lainnya berapa di lantai 5. Jadi perusahaan sekuritas ini menyewa tiga lantai untuk operasionalnya. Teringat atas memo yang tadi dibaca olehnya, Melinda pun, bertanya pada Amara. Wanita pemilik mata indah dengan bulu mata lentik, hidung mancung, bibir tebal serta memiliki kulit putih mulus sebening kristal. “Sukoco itu orang tua kamu?” tanya Melinda melirik ke arah samping wanita cantik yang dianggapnya sombong. “Iya, papa saya,” jawabnya datar. “Ooh ... Saya pikir nama suaminya,” ujar Melinda hingga membuat mata indah Amara terbelalak seiring dengan terbukanya pintu lift. “What!?!” tanya Amara sembari memasuki lift. Mendengar Amara merespons keras ucapannya, Melinda meralatnya, “Maaf, berarti kamu anaknya dong...” Dengan wajah kesal, Amara menjawab dengan menggerutu, “Iya lah! Aneh sekali pikiran Ibu!” “Masalahnya, ada juga loh ... Istri yang pakai nama suami di belakang namanya. Siapa tahu, kamu istri mudanya,” kilah Melinda tersenyum kecil. “Aduh! Amit-amit kalau jadi istri kedua!” Amara mengatakan hal tersebut dengan jemari tangan diketuk-ketuk pada pintu lift. Ting! Pintu lift terbuka dan Amara yang mengetuk-ngetuk pintu lift agak terkejut saat pintu tersebut terbuka. Hal itu membuat Melinda tersenyum simpul melihat ulah Amara seraya berucap lembut, “Kamu lucu juga. Tapi, kalau udah kerja ... Tolong yang serius. Soalnya pak Adrian orangnya disiplin dan serius!” “Ya Bu!” jawabnya masih kesal. Tok ... Tok ... Tok ... “Masuk!” perintah seorang lelaki dengan suara baritonnya. “Selamat pagi, Pak,” ucap Melinda. “Pagi! Silakan duduk Bu. Ini calon sekretaris barunya?” tanya Adrian sekilas melihat ke arah Amara. “Benar Pak,” ucap Melinda memandang ke arah Amara dan memberikan kode pada wanita muda tersebut untuk bersalaman dengan sang CEO. “Saya Amara, Pak,” salamnya sembari memberikan tangannya dan meraih tangan sang CEO yang menyambut tangannya. Kedua wanita cantik itu duduk berdampingan pada sofa panjang yang ada di ruang kerja sang CEO. Sedangkan, Adrian duduk pada sofa tunggal bagian tengah. “Semalam papa saya sudah telepon. Katanya, sahabatnya yang bernama Sukoco menitipkan putrinya untuk bekerja jadi sekretaris. Tapi, apa kamu pernah bekerja jadi sekretaris sebelumnya? Kapan kamu jadi sarjana?” tanya Adrian menatap dingin, Amara. “Saya? Uhm, belum pernah kerja. Selama ini hanya di rumah. Saya, lulusan manajemen. Tapi, saya pernah magang jadi sekretaris sewaktu KKN,” jawab Amara. “Berarti kamu baru dapat gelar sarjana? Bukankah usia kamu sekarang 27 tahun?” tanya Adrian menatap lurus ke arah Amara. Dalam hati sang CEO berbisik, ‘Pasti nih cewek 7 tahun kuliahnya dan sekarang baru lulus kuliah. Pantas aja perusahaan papanya bangkrut, anaknya aja kelihatan tolol gini.’ “Waktu umur 22 tahun saya udah selesai kuliah dan jadi sarjana, Pak,” ujar Amara sombong. “Oh ya? Berapa IP kamu?” tanya Adrian yang semakin penasaran atas diri Amara yang dipikirnya cantik tapi bodoh. “IP saya 3.5 Pak ... Saya salah seorang lulusan Cumlaude, Pak,” jawab Amara membanggakan diri. Adrian yang melihat gaya bicara dan sikap bangga Amara atas Cumlaude yang di dapat dalam pendidikan akademis, langsung merontokkan kesombongannya. “Harusnya kamu bisa teruskan perusahaan papa kamu. Padahal kamu cerdas. Sangat disayangkan!” “Masalahnya, papa lebih percaya sama istri mudanya! Saya malah diminta ambil S2 agar bisa jadi dosen. Padahal itu akal-akalan istri mudanya aja. Jelas saya tolak!” sahut Amara dengan gigi gemertak saat mengingat runtuhnya perusahaan sang papa. Mendengar obrolan dua arah tersebut, Melinda baru memahami sifat Amara yang terbuka dan berbicara ceplas-ceplos pada siapa pun, lawan bicaranya. Melinda pun bergumam dalam hatinya. 'Pantas aja ini anak sombong. Mantan anak orang kaya.’ “Baiklah ... Kita akan lihat. Apa kamu mampu bekerja jadi sekretaris. Saya beri waktu tiga bulan untuk mulai mempelajari pekerjaan ini. Kalau kamu nggak punya kemampuan, memo dari papa saya ini nggak akan mampu buat kamu bertahan disini. Paham?!” tanya Adrian. “Siap! Paham Pak!” jawab Amara dengan mata berbinar bahagia. Bagi Amara, tidak ada pekerjaan yang tak dapat dilakukannya. Maka dengan mudah ia menjawab tantangan Adrian. Melihat keluguan dan sifat Amara yang apa adanya membuat Melinda menahan senyum dengan menundukkan kepalanya. “Bu Melinda, siapkan saja kontrak kerja selama 3 bulan dulu. Setelah itu, evaluasi kembali,” pinta Adrian. “Satu lagi, berikan Job Description nya juga. Biar dia tahu tugas-tugasnya." “Maaf ... Boleh tahu, kenapa sekretarisnya berhenti?” tanya Amara memandang ke arah Adrian. “Menikah ... Apa kamu ada rencana menikah juga?” tanya Adrian datar. “Oh ... menikah. Untuk saat ini belum ada niat Pak , karena jodoh kan, ditangan Tuhan," tuturnya tersenyum manis. Mendengar celoteh Amara yang tanpa punya rasa ragu atas apa yang dikatakannya, membuat Adrian dan Melinda tersenyum samar. “Baiklah, silakan ke ruang HRD lagi. Besok kamu sudah bisa bekerja,” ujar Adrian sembari beranjak dari sofa tunggal. “Baik Pak..., kami permisi dulu,” jawab Melinda sembari menarik tangan Amara yang masih duduk di sofa panjang. Setelah itu, Amara dan Melinda keluar dari ruang kerja Adrian yang kebetulan sudah satu minggu ini tidak mempunyai sekretaris pribadi.“Amara, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” suara Dhendy di ujung telepon terdengar berat, seperti menahan beban yang sudah lama dipikulnya. “Aku cuma ingin kamu tahu, aku nggak pernah berniat menyakitimu.”Amara duduk di sofa kecil di apartemennya, menatap jendela yang memperlihatkan langit Jakarta yang kelabu sore itu. Telepon genggamnya terasa dingin di tangan. Setelah pertemuan emosional dengan Rani di rumah sakit kemarin, Amara merasa jiwanya seperti terbelah. Rani, sahabatnya sejak SMA, telah mengaku menipu Dhendy lima tahun lalu, membuat Dhendy percaya bahwa anak yang dikandung Rani adalah darah dagingnya. Kini, Rani terbaring lemah di rumah sakit, melawan penyakit yang perlahan merenggut nyawanya. Amara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Dhend, aku juga nggak tahu harus bilang apa. Rani ceritain semuanya ke aku. Soal kebohongannya, soal anak itu… Aku cuma perlu tahu, kamu sekarang di posisi apa?”Di ujung sana, Dhendy terdiam sejenak. Amara bisa mendengar suara na
“Amara, tolong… dengar aku dulu,” suara Rani lemah, nyaris tersendat, dari balik selimut rumah sakit yang menutupi tubuhnya yang kurus. Ruangan berbau antiseptik, hanya ada suara monitor jantung yang berdetak pelan di samping ranjang.Amara berdiri kaku di dekat pintu kamar rawat inap. Tas kerjanya masih digenggam erat, seolah menjadi tameng dari gelombang emosi yang tiba-tiba menerpanya. Ia baru saja pulang dari kantor, masih mengenakan blazer navy dan rok pensil yang rapi, ketika mendapat pesan dari Lily bahwa Rani ingin bertemu. Amara hampir menolak, tapi ada sesuatu dalam nada Lily yang membuatnya datang ke rumah sakit ini.“Dengar apa lagi, Rani? Setelah semua yang kamu lakukan?” Amara menatap wajah pucat Rani, yang dulu begitu cantik dan penuh pesona. Kini, wajah itu hanya menunjukkan kelelahan dan penyesalan. “Lima tahun lalu, kamu menghancurkan hidupku. Apa lagi yang mau kamu katakan?”Rani menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu aku salah. Aku nggak minta k
“Amara, kamu yakin mau resign? Adrian nggak akan senang dengar ini,” kata Lily, memandang Amara dengan alis terangkat, sambil menyandarkan tubuhnya di meja resepsionis kantor. Ruang lobi perusahaan yang megah dengan lantai marmer dan dinding kaca itu terasa lebih dingin dari biasanya, mungkin karena suasana hati Amara yang sedang kacau.Amara menarik napas dalam, menatap map berisi surat pengunduran dirinya. “Aku nggak punya pilihan, Lil. Lima tahun di sini, aku cuma jadi bayang-bayang Adrian. Aku capek.” Suaranya pelan, tapi tegas.Lily mengangguk kecil, tapi matanya menyiratkan ada sesuatu yang ingin dia katakan. Sebelum Amara berbalik menuju ruang rapat untuk mengumumkan keputusannya, Lily memegang lengannya. “Tunggu, Mar. Ada sesuatu yang harus kamu tahu… soal Rani.”Amara membeku. Nama Rani, sahabat yang dulu begitu dekat, kini terasa seperti luka yang baru disobek lagi. “Rani? Apa lagi? Aku nggak mau dengar apa-apa tentang dia, Lil. Dia sudah menghianatiku dengan Dhendy, dan sek
“Apa maksudmu, Mara? Kamu mau batalkan pernikahan sama Adrian?” Suara Sukoco parau, hampir tak terdengar, dari ranjang sederhana di kamarnya. Ia berbaring dengan tubuh lemah, satu sisi wajahnya sedikit merosot akibat stroke yang menyerangnya setahun lalu. Matanya yang redup menatap Amara, penuh kebingungan dan kekhawatiran.Amara duduk di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang kurus. Ruangan kecil di rumah sederhana mereka di pinggiran Jakarta terasa pengap, meski jendela terbuka lebar. Bau obat-obatan dan minyak kayu putih samar-samar tercium. Amara menarik napas dalam, berusaha menahan emosi yang bergolak di dadanya. “Iya, Yah. Aku nggak bisa lanjut. Adrian… dia nggak jujur sama aku.”Sukoco menggeleng pelan, gerakannya tersendat. “Mara, kamu tahu Adrian anak baik. Erna dan Atmaja sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Ceritain sama Ayah.”Amara menunduk, jari-jarinya meremas lembut tangan ayahnya. Ia teringat malam sebelumnya, ketika Lily, tema
Sejak Amara mengetahui masa lalu dan kebiasaan yang dilakukan oleh Adrian bersama mantannya, membuat insting Amara curiga ada Adrian yang dipikirnya tidak akan mudah melepaskan Tania. Terlebih Tania sedang hamil dan berada dalam tahanan. Sampai akhirnya Amara menemukan bukti atas kedekatan Adrian kembali dengan Tania.“Adrian, apa maksud semua ini?!” Amara berdiri di depan meja besar Adrian di ruang direktur, tangannya gemetar memegang selembar dokumen. Matanya merah, menahan air mata yang siap tumpah. “Kamu benar-benar menarik laporan polisi terhadap Tania? Setelah semua yang dia lakukan padaku? Pada kita?”Adrian, yang duduk di kursi kulitnya, menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, tampak lelah. “Amara, dengar dulu. Aku tidak punya pilihan. Tania sedang hamil, keluarganya dalam masalah besar. Aku cuma ingin membantu.”“Bantu?!” Amara membanting dokumen itu ke meja. “Kamu memberi mereka apartemen, Adrian! Apartemen yang seharusnya jadi milik kita setelah menikah! Dan sekarang
Selama satu bulan sejak Adrian memberikan kekuasaan pada Amara atas keuangannya, membuat beberapa staf di kantor membicarakannya. Terlebih pada hari ini.“Selamat pagi, Pak!” ucap Melinda seorang personalia di perusahaan tersebut.“Pagi! Silakan duduk!” jawab Adrian.Melinda duduk di hadapan Adrian dan mulai berbicara. “Pak, hari ini saya ada rencana menggalang dana untuk anak dari Ibu Asih bagian operasional.”“Oh, yang kemarin kecelakaan itu? Akhirnya bagaimana dengan kondisi anak itu?” tanyanya.“Menyedihkan Pak, satu kakinya di amputasi. Jadi, saya mau minta persetujuan dan tanda tangan Bapak untuk minta sumbangan dari karyawan di sini,” ujar Melinda.Adrian mengambil kertas yang harus di tanda tangani dan menyerahkan kepada Melinda. Kemudian, Melinda memberanikan diri untuk meminta sumbangan pada sang bos.“Maaf Pak. Uhm, apa Bapak mau ikut menyumbang juga?”“Oh! Ya! Tunggu, aku hubungi Amara,” jawab Adrian.Sesaat kemudian, Adrian menghubungi Amara lewat ponselnya. “Sayang, aku