Sebelumnya, Elang bahkan tidak pernah protes dengan wewangian di dalam ruangannya tersebut. Entah karena ingin mengubah suasana ruangannya, atau memang hanya ingin sekedar membuat Pijar kesal, tidak ada yang tahu.Pijar tidak banyak bicara ketika membuka salah satu lemari kecil, lalu mengeluarkan beberapa pengharum ruangan di sana. “Ini ada beberapa varian, Pak. Silakan Bapak bisa pilih.” Elang mengambil satu per satu sebelum mencium aromanya. Sayangnya, semuanya ditolak mentah-mentah. “Tidak ada yang cocok!” Begitu katanya dengan cuek. “Saya ingin aroma manis dan manly, semuanya aromanya feminim.” Pijar bukan penjual parfum. Dia bahkan tidak tahu bagaimana dia bisa mencarikan aroma yang diinginkan oleh bosnya tersebut. Ini masih jam kantor sedangkan pekerjaannya masih menumpuk di atas meja kerjanya. Oleh karena itu, Pijar mencoba bernegosiasi. “Sepulang kerja, saya bisa mencarikan pengharum ruangan untuk Bapak. Tapi, sekarang saya harus mengerjakan pekerjaan saya yang masih bany
“Kenapa aku yang harus lenyap dari hadapanmu kalau kamu yang bermasalah denganku, Elang?” Pijar melemparkan semua atribut keformalannya yang selalu digunakan ketika berhadapan dengan Elang di saat mereka tengah membahas masa lalu. Tatapan Pijar tegas tak ada ketakutan sama sekali. Jika Elang sekarang mengangkat masalah mereka yang sudah berlalu, maka Pijar juga akan menghadapinya meskipun perih di dalam hatinya begitu besar. “Jangan bilang kalau kamu laki-laki gagal move on, Elang? Kenapa masa lalu yang seharusnya sudah dikubur, selalu kamu ungkit bahkan sampai membawanya pada ranah pekerjaan?” Pijar menyeringai ketika menatap Elang yang tampak semakin marah. “Sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit untuk menghilangkan rasa cinta. Dengan reputasimu, kamu bahkan bisa membuat banyak perempuan bersedia naik ke ranjangmu. Lalu kenapa sekarang kamu justru masih mengungkit masa lalu denganku?” “Karena kamu adalah perempuan yang sudah memberiku luka yang tidak bisa diobati!” Elang geram k
Untuk beberapa waktu, baik Pijar dan Bagas hanya bisa saling tatap. Pijar terkejut tentu saja. Namun, dia bisa menguasai hatinya. Ekspresinya tercetak dingin dan formal. Elang menatap dua orang itu bergantian sebelum berdehem keras. “Kalau kalian membutuhkan waktu untuk bernostalgia, maka lakukan nanti di luar jam kerja.” Suara Elang yang dingin itu membuat suasana di tempat itu terasa canggung luar biasa. Elang adalah jenis laki-laki yang tidak suka berpura-pura apalagi menyembunyikan ketidaksenangannya terhadap sesuatu. Oleh karena itu, dia akan langsung mengatakan apa pun yang mengganjal di dalam kepalanya. “Saya minta maaf, Pak.” Bagas buru-buru bersuara. “Bapak ingin melihat-lihat lebih detail lagi?” tanya Bagas meskipun fokusnya terbagi dengan menatap Pijar. “Tentu saja. Saya ingin proyek ini berjalan dengan baik dan tidak ada yang mengecewakan.” “Pasti, Pak.” Mereka lagi-lagi berjalan mengelilingi tempat tersebut untuk memastikan tidak ada yang terlewatkan. Pijar fokus pa
“Apa aku serendah itu di matamu, Elang?” tanya Pijar dengan perasaan yang teriris perih, “kalau kamu tidak tahu apa pun tentang sesuatu, tolong jangan berbicara sembarangan. Kamu menyakiti hati orang lain.” “Oh, orang sepertimu juga punya rasa sakit hati? Bukankah kamu sudah tidak punya hati?” Elang semakin merendahkan Pijar dengan kata-katanya. “Pijar … Pijar …, jangan terus menggunakan topeng. Sekali-kali buka topengmu dan tunjukkan betapa kamu adalah manusia rendah.” Elang menunjukkan wajah tidak senangnya ketika mengatakan itu kepada Pijar. Dia seolah tengah menikmati setiap rintihan sakit yang Pijar rasakan atas semua kata-kata pedas yang diberikan. Meskipun begitu, Elang sepertinya tidak tampak puas. “Aku jadi penasaran. Berapa kamu membandrol hargamu untuk bisa dibawa ke kamar hotel. Seratus ribu? Atau dua ratus ribu? Atau bahkan gratis?” Kekehan sinis keluar dari mulut Elang setelah itu sebelum dia kembali bersuara. “Sayangnya, meskipun gratisan, aku bahkan tidak ingin tidu
“Apa yang kamu lakukan, kamu mau ke mana?” Elang mengernyitkan dahinya ketika melihat Pijar berbalik untuk pergi meninggalkan Elang yang masih berdiri di tempat semula. Langkah kaki Pijar terhenti. Gadis itu berbalik untuk menatap Elang. Wajah lelahnya tampak menyedihkan meskipun masih tertutup dengan makeup. Pijar menatap Elang sebelum satu tarikan napasnya lolos. “Saya ini manusia biasa, Pak. Bukan robot. Ini sudah hampir jam sembilan malam, kenapa saya harus meneruskan bekerja?” Pijar tidak mengalihkan tatapannya di wajah Elang dan menunggu jawaban lelaki itu. “Apa saya tidak membayar kamu ketika saya memintamu untuk lembur?” “Ini bukan bukan soal uang, Pak.” “Oh, tentu saja ini bukan soal uang. Kamu pasti sudah banyak uang karena itu kamu merasa tidak penting lagi lembur menyelesaikan pekerjaan kantor. Atau, hari ini kamu punya klien? Sudah ditunggu di hotel?” Pijar sangat lelah mendengar segala hinaan yang diberikan oleh Elang kepadanya sampai dia tak ingin mempermasalahkan
“Ada apa ini? Mas … menikah?” Suara Pijar yang bergetar membuat semua orang yang berada di dalam ruang tamu keluarga Bagas itu menoleh serentak ke arahnya. Beberapa anggota keluarga Bagas yang sudah mengenal Pijar tampak terkejut. Bahkan Bagas yang baru saja menandatangani dokumen pernikahan pun berdiri seketika. Menatap Pijar dengan ekspresi tegang. Bisik-bisik itu tak bisa dihindarkan. Namun Pijar tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Yang dia butuhkan sekarang adalah penjelasan yang masuk akal dari sang kekasih. Hari ini adalah hari ulang tahun lelaki itu. Pijar sudah mempersiapkan kejutan untuk sang kekasih dengan datang ke kediaman orang tuanya. Tak lupa dia membawa kue ulang tahun dan juga sebuah kado. Tapi yang terjadi justru mendapati sebuah kenyataan yang menyakitkan. Kekasihnya itu menikah dengan perempuan lain secara diam-diam di belakangnya. Menorehkan luka yang dalam di hati Pijar. Seandainya Pijar tidak datang ke sana, apakah dia akan seperti perempuan bodoh
“Pijar Kemuning!” Panggilan setengah bentakan itu membuat lamunan Pijar tercecer. Ingatan malam itu yang baru saja terlukis di pikirannya kini hancur berantakan. Elang berdiri di depan mejanya dengan mata menatap tajam. Pijar tergagap salah tingkah. Dia segera berdiri dan meminta maaf. “Maaf, Pak.” Pijar menunduk dalam tahu kalau dia bersalah. “Apa Bapak membutuhkan sesuatu?” Elang melepaskan napasnya panjang. “Kamu tidak dihubungi oleh Pak Gema?” tanyanya setelah itu. “Tidak, Pak. Apa ada sesuatu?” Pijar tidak mengerti kenapa Gema harus menghubunginya, tetapi pertanyaan Elang itu tentu saja membuat Pijar merasa penasaran. “Kamu diundang datang ke rumah beliau malam ini. Jadi, pastikan kamu tidak menerima ‘tamu’ dan penuhi undangan tersebut.” Setelah mengatakan itu, Elang segera masuk ke dalam ruangannya. Kini giliran Pijar yang menarik napasnya panjang. Elang akan selalu menyelipkan kata-kata tajam yang menjurus hinaan untuknya. Terlebih lagi setelah semalam mereka sempat berde
“Aku heran.” Elang menjawab ucapan sang ayah. “Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Pijar untuk keluarga kita sampai Mama, Papa, dan Leo membela habis-habisan perempuan itu.” “Karena dia tidak pernah memiliki masalah dengan kami,” jawab Gema dengan tenang, “kami juga tidak pernah mengajari kamu untuk menjadi laki-laki pecundang, Elang. Kenapa, kamu menjadi seperti ini?” tanya Gema menatap putranya dengan serius. “Pak Gema.” Pijar menegakkan tubuhnya bersiap untuk berbicara. “Saya akan menjadi sekretaris Pak Elang,” putusnya dengan berat, “apa pun yang menjadi kesalahan saya di masa lalu, saya akan menebusnya sekarang sampai Pak Elang merasa semua kesalahan saya terbayar.” Pijar menelan ludahnya susah payah. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih karena Bapak sudah menawari saya jabatan yang baik untuk saya. Kalau tidak ada yang perlu Bapak sampaikan lagi, izinkan saya pulang sekarang.” “Ya.” Almeda yang menjawab. “Pulanglah, Pijar. Maaf, karena sudah membuat kamu sedih.” Pijar mengula