Sore telah tiba semuanya berdiri mendirikan sholat ashar, matahari telah berubah warna di kaki langit sana. Suara air danau yang mengalir, menentramkan sholat yang terlaksana dengan irama syahdu menenangkan jiwa-jiwa yang resah. Saat pikiran terlalu sesak dengan masalah, juga hati yang terasa berat dengan tekanan situasi semuanya kembali lagi pada sang Ilahi.
Penombak itu memperhatikan kami yang mendirikan sholat berjamaah, ia merasa aneh untuk pertama kalinya melihat hal ini dalam hidupnya. Ia memperhatikan dengan seksama dan teliti bahkan ia sempat mengabaikan tali yang melingkar di pergelangan tangan dan kakinya dengan erat. Seolah ia bebas dari semua itu, ia merasa lebih baik dari sebelumnya.
Setelah semuanya selesai, aku mempersiapkan makanan untuk makan malam. Faleya dan Dira membantu banyak, keduanya cekatan memotong sayur dan bergerak gesit memasukkan sayur-sayur itu pada panci yang sudah penuh dengan air yang mendidih. Aku meletakkan masakan yang sudah matan
“Aku butuh minum nyonya” Ujar penombak itu membuat Sena menoleh saat mengambil air minum untuk ia minum. Berpikir sejenak, akhirnya Sena menuangkan air pada gelas kayu yang lain untuk di berikan kepada penombak itu. “Terima kasih” Ujar penombak itu lagi setelah Sena menuangkan air itu ke mulutnya. Tanpa jawaban Sena pergi meninggalkannya. Di samping itu suara burung beterbangan di langit-langit perkemahan. Seperti ada yang menganggu ketenangan mereka. Sena berbalik menatap penombak itu, ia masih di ikat dengan tali pengikatnya. Sebuah tombak mendarat lagi tiga puluh sentimeter di depannya. Untuk kedua kalinya ia benar-benar merasa trauma. Ia melihat ke arah tombak itu di lemparkan. Banyak sekali penombak bertopeng yang mengelilingi perkemahan. Jaring otomatis itu belum tertutup sempurna. Sena menarik tali kontrolnya dan seketika jaring tertutup otomatis. Aku yakin jaring ini tidak akan membantu banyak dalam hal perlindungan. Tapi setidaknya me
Azlan mengepalkan tangannya dengan erat atas apa yang ia dengar. Di hatinya sudah tidak ada lagi benci terhadap penombak itu. Ia fokus untuk menyembuhkan luka itu terlebih dahulu. “Kau harus bertahan” Seru Azlan gusar sambil terus menghentikan darah yang keluar. Penombak itu sangat pucat. “Sen, kau punya daun herbal bukan. Bisakah kau membantuku?” Tanya Azlan pada Sena. “Tentu. Aku akan membuatnya segera”. Sena gesit meracik daun herbal yang belum di awetkan. Ia menghaluskan dan membuatnya menjadi pasta, serta menyaring sari-sari daun herbal itu agar membantu mempercepat pemulihan. “Ini.” Sena menyodorkan obat herbal. Azlan menerimanya dengan cepat dengan cekatan mengoleskan pada luka penombak itu. “Kau akan sembuh. Aku akan menceritakan semuanya nanti” Ujar Azlan. Penombak itu menggeleng tidak setuju. “Aku ingin mendengarnya, aku akan sembuh dengan cepat” Jawab penombak itu, wajahnya semakin pucat. Azlan tidak punya pilihan lain ia ha
“Kapten, aku telah menyiapkan semuanya! “ Seru Kay sambil membawa kayu yang di butuhkan. Azlan mengulurkan mangkuk berisi air dan beberapa jenis tumbuhan yang mengandung wewangian. “Simpan mangkuk ini di sampingnya. Aku akan segera menyelesaikan tugasku” Kay mengangguk dan segera kembali ke tempatnya. “Sen, tutup semua pintu tenda. Awasi sekitar dengan yang lainnya” Azlan memerintahkan Sena, semuanya bertugas sesuai perintah masing-masing. Kami berada di luar jaring perkemahan. Mereka akan melakukan proses pemakaman untuk penombak itu di halaman perkemahan. Sehingga mereka perlu waktu dan keamanan untuk itu. Faleya mengamati sekitar, ia siap dengan senjatanya. Dia tidak pernah kaku menggunakan senjata apa pun, fisiknya sangat kuat dan dia juga sangat terbiasa dengan pertempuran. Bahkan tak hanya itu dia juga pandai bela diri, kakinya berdiri kokoh siap memasang kuda-kuda jika hal buruk terjadi. “Mereka akan mengubur penombak itu di dalam
Malam sempurna, gelap menyelimuti perkemahan. Hanya ada api unggun yang berkobar menyala menerangi area perkemahan. Sena melipat mukenah menyimpannya di dalam tenda. Dira dan Faleya mempersiapkan makan malam untuk di santap bersama di atas tikar. Semua berkumpul kecuali Kay. Ia masih terbaring di dalam tenda, lukanya sudah kering namun sedikit membengkak. Ia pun tadi mendirikan shalat dalam keadaan berbaring, tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak bahkan hanya sekedar duduk. Mereka berinisiatif untuk membawakan makan malam untuk Kay. Mereka ingin sebagian dari mereka tetap makan di atas tikar sambil lalu berjaga. Dan satu orang lainnya membawa makan malam untuk Kay. Azlan menunjuk Faleya untuk menemani Kay makan malam, namun Dira ikut menemaninya. Jadi malam ini Sena, Azlan dan Rizam makan bertiga di atas tikar di samping perapian. Mereka makan seperti biasanya, tidak ada percakapan hanya ada suara sendok dan garpu yang sesekali bersentuhan dengan piring.
Kay memperbaiki posisi duduknya untuk yang kedua kalinya. Sena membantunya masih diam tanpa kata. Ia menerka-nerka apa yang akan ia ucapkan ini tidak salah. “Siapa kamu?” Sena bertanya waspada, ia takut Kay adalah orang yang pura-pura baik. Ia memikirkan setiap hal buruk. Karena setiap orang yang mengenal kakek Sena selalu memiliki dua pilihan. Mereka keturunan kakek Nun, atau musuh dari keluarganya. Keluarganya adalah keluarga yang tertutup. Hal itu berawal dari konflik masa lalu. Bahkan antara kerabat satu dan lainnya seolah asing oleh konflik itu, dan hal itu terjadi hingga kini. Sena mengacungkan belati ke arah Kay. Ketakutan membuatnya berani melakukan hal buruk jika itu di perlukan. Kay menatap Sena, ia tidak marah hanya tersenyum hambar di bibirnya. “Kau pikir aku musuhmu, hah?” Dia meringis menahan sakit. Sena tidak tega melihatnya namun, rasa takut membuatnya hilang rasa peduli. Sena masih diam di tempatnya masih dalam mode hati-hati.
Matahari baru saja menyinari pagi. Sisa-sisa embun itu masih melekat di atas dedaunan. Embun-embun yang dingin menyentuh kulit dengan lembut. Suasana pagi yang sejuk, seolah tak ada duanya di waktu-waktu lainnya. Sena memperhatikan sekitar, tidak ada orang. Ia mencari zona teraman dan ternyaman yang bisa ia lewati. Setelah menemukan akhirnya ia berdiri di sana. Sena mulai menghembuskan nafasnya perlahan. Ia menikmati suasana udara pagi yang jarang ia temukan di kota. Sesekali ia memejamkan mata. “Ke mana kau akan pergi?” Suara Azlan mengagetkan Sena yang kini berdiri di belakang tenda. Ia menatap Azlan menyebalkan, ia masih kaget di buatnya. “Aku bertanya dan butuh jawaban.” Ujar Azlan lagi. Sena masih diam di tempatnya tak berniat menjawab. Pikirannya memikirkan hal lain, ia bahkan tidak mendengar ucapan Azlan. Azlan menyentikkan jarinya di depan Sena. Hal itu membuat lamunan Sena buyar seketika. “Sejak kapan kau berdiri di situ?” Ujar Sena b
Azlan bersiaga menghunuskan benda tajam yang ia siapkan di balik jaketnya. Sena enggan berpaling, ia maju selangkah kemudian berpaling. Untuk menghindari kemungkinan buruk yang akan terjadi. Keduanya menghela nafas, saat melihat ke arah sumber suara. Azlan mengembalikan pisau lipatnya. Sena tersenyum kemudian melihat sosok yang kini berdiri di depannya. “Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara pak tua terdengar khas. Ia tersenyum ke arah kami berdua. Ia melangkah melewati kita yang masih diam di tempat. “Kenapa kalian sudah ada di sini. Sepagi ini?” Tanya Pak Tua lagi sambil menautkan kedua tangannya di punggungnya. Sena mengubah arahnya, kini menjadi searah dengan pak tua. Ia takut menyejajarkan langkahnya dengan Pak Tua. Seolah hal itu tidak sopan untuk di lakukan. Azlan pun demikian, ia kini berjalan sejajar dengan Sena. Azlan berniat menjawab pertanyaan Pak Tua. Ia melirik Sena sedikit. “Kami sedang melakukan jalan pagi pak. Sambil lalu me
Kini kami berada di atas tikar yang tak pernah di lipat kecuali hujan, itu pun jarang jika kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun begitu ia adalah satu-satunya karpet yang bertahan dari guyuran hujan tanpa basah. Hal itu karena ia terbuat dari plastik tahan air. Karpet berwarna merah tua ini merupakan karpet serbaguna yang biasa digunakan untuk shalat maupun sarapan, makan pagi maupun makan malam. Kami telah membentuk lingkaran bersiap menikmati sarapan pagi bersama. Kay sudah bisa mengondisikan posisi duduknya. Tangannya sudah bisa digunakan meskipun belum sempurna. Goresan panjang itu membuat siapa pun yang melihatnya akan iba. Namun senyum Kay tak pernah lepas dari bibirnya. Ia seolah menjelaskan bahwa ia baik-baik saja dengan lukanya. Kebetulan aku duduk diantara Kay dan Azlan. Aku membagikan piring seperti biasanya. Di lanjutkan dengan Dira dan Faleya yang mengisi piring-piring itu dengan menu. Tapi pagi ini ada sedikit kecangg