Share

2. Kriteria Tingkat Dewa

Dea masih belum bisa memejam mata, padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul dua malam. Hm ... gimana bisa merem, si Nana Banana masih aja ketawa jahat di sampingnya. Katanya karena terus terbayang dengan apa yang Dea ceritakan sebelumnya.

Tentang insiden yang bagi cewek berponi itu sangat sadis. Cerita saat cinta seorang Arvan dites oleh bapaknya pakai cara tak biasa.

Masa anak orang ditantangin gendong manja peliharaan si bapak, yaitu ikan lele sebesar paha. Sudah berkumis, berkepala gepeng, moncongnya mangap-mangap, pulak. Macam bibir mantan kurang ajar yang lagi gombal, dan ujung-ujungnya nge-gostingin kita.

Ervan sebenarnya cowok gagah mirip opa-opa negara tetangga. Tinggi, tegap, dan kegantengannya sudah jangan ditanya lagi. Bagi Dea dia udah paling juara pokoknya.

Soal kerjaan, tak kalah kerennya jabatan dia punya. Wakil direktur. Sudah tampan, mapan, pulak. Andai si Dea jadi menikah sama Arvan, sejahtera urusan dunianya.

Awalnya, Arvan memang serius mau lamar si Dea, itulah kenapa dia bersedia menemui bapak sang pacar, dan sebelum itu ia begitu yakin bisa menaklukkan hati calon mertua.

Padahal, hari sebelumnya Dea sudah mengatakan tentang tabiat bapak dan kakak-kakaknya yang absurd itu. Mengatakan tentang seleksi calon mantu yang super ketat. Kemudian melarang agar Arvan jangan dulu menemui keluarganya, takut dia syok.

Namun, Arvan yang sudah tak tahan mau milikin Dea seutuhnya pun tetap nekat melamar, walau sudah diingatkan oleh si pacar bahwa bapaknya rada-rada.

Cincin berlian sudah dibelinya, Arvan tetap datang dengan percaya diri. Baru tiba di teras, dia sudah dihalangi kedua kakaknya yang bermuka judes. Cowok ganteng itu ditanyai banyak pertanyaan, mau ke siapa? Tujuannya apa? Dan lain sebagainya.

Dia menjawab dengan lancar, dan akhirnya diperbolehkan masuk. Sayang, ketika ketemu tuan rumah sebenarnya, nyali sebesar gunung itu langsung menciut.

Melihat betapa menyeramkannya penampakkan bapak si dea yang bawa-bawa golok, dia gemetar. Ditanya pakai nada bentak-bentak. Aduh, itu sudah seperti proses introgasi kepolisian saja. Kasihan Arvan, pasti kena mental.

Yang paling nyeremin buat dia, yaitu pas Pak Jhon ngajakin ke halaman belakang, terus dengan santainya nyuruh si Arvan buat gendong salah satu peliharaan lele raksasanya sebagai tantangan pertama supaya dibolehin milikin Dea.

Demi restu, Arvan bersedia. Dan ....

“AAAKH!” Dia malah jerit pas si lele nggak terima mau diangkat dari dalam baskom. “Sakiiiiiit!” Arvan pun dipatil kumisnya.

Auto kabur saat itu juga. Walhasil Dea misuh-misuh, terus nangis kejer di tempat, karena Arvan si ganteng nyerah dan mutusin dia. Untuk ketiga belas kalinya, hubungan kandas seketika. Dea sebal dan terus menyalahkan bapaknya.

Emang, dah, bapaknya Dea the best soal ketatnya milih mantu. The best level sadisnya.

Saat Dea masih cemberut habis ingat kejadian itu, si Nana malah ngakak terus, tak bisa berhenti.

Bantal bersarung putih itu dijejalkan ke wajah untuk menahan tawa agar suaranya tak bocor keluar keras-keras. Takut disemprot Momy-nya yang lagi bobo cantik. Aduh, kebayang betapa tersiksanya itu bantal.

“Udah, Na. Tidur. Nanti Momy demo!” sungut Dea. Ia memasang raut kesal. Boro-boro kepancing ikut ketawa waktu Nana goda-goda. Dia malah semakin dongkol.

“Habisnya lucu ... bapak kamu itu, loh ha ha ha!” Coba lihat, sekarang malah semakin menjadi. Bantal yang sedari tadi menahannya agar tak ketawa keras, akhirnya dibuka. “Si Arvan sampe digigit moncong lele. Bisa gitu, sih?”

“Bukan digigit, tapi dipatil. Kamu tahu itu si lele ada kumisnya? Nah, karena itu! Itu, Na!”

Dea mengguncang bahu Nana sambil membelalakkan mata. Kembali teringat kejadian saat mantannya disuruh pegang ikan lele sebesar paha sama bapaknya. Aduh, bayangin aja itu makhluk air mulutnya mangap-mangap kayak mau menelan bulat-bulat.

Lah, Pak Jhon enak waktu itu pakai sarung tangan karet. Makanya dia santai abis pas pegang-pegang itu hewan. Kasihan banget nasibmu, Van.

*

Lain tempat, lain lagi cerita. Bapak Dea yang sudah bawa pedang keramat peninggalan kakeknya pun tancap gas pakai mobil sport. Eh, gaya bener si bapak.

“Untung aja sempet nanya di mana si kampret tinggal, jadi bisa nyusul!” ujarnya kesal. Yap, tujuannya rumah si Arvan.

Pak Jhon termakan ucapan Kak Maya yang nyebut si Dea diculik sama mantannya sebagai misi balas dendam. Pak Jhon udah marah tingkat dewa, janji pada diri sendiri bakal bikin Arvan bonyok, dan bawa pulang lagi anaknya.

Auto heboh dong pas Pak Jhon teriak-teriak di depan pintu rumahnya suruh keluar. Rusuh abis dan meresahkan. Mana bawa benda tajam yang mengilat, pulak. Serem.

“Keluar! Mana anak gue! Balikin!”

Etdah, dikata ember yang dipinjem tetangga, pakai suruh balikin.

Lama tak ada yang buka pintu, bapak Dea gedorin itu daun pintu heboh. Ya, ampun. Saking marahnya sampai tak sadar ada pencetan bel yang lebih praktis.

“Heh, Arvan! Keluar! Jangan ngumpet di balik ketiak emak lu! Sini hadepin gue kalau mau dapetin si Dea!” Pak Jhon kelewat marah dan pintu utama disabetnya sama pedang panjang di tangan.

Rusuh abis dan akhirnya penghuni rumah yang tadinya emang beneran ngumpet bukain juga itu pintu lebar-lebar. Arvan beneran ngumpet di balik ketiak ibunya.

“Aduh, Pak. Ada apa, sih teriak-teriak?! Bawa-bawa benda tajam, pulak! Mau begal rumah saya?!”

Pertanyaan ibu Arvan ini menusuk jantung Pak Jhon. Dia tersinggung. Ya, kali mau begal rumah, datang aja pakai mobil sport.

“Sembarangan! Saya ini sudah kaya, ngapain begal rumah orang! Saya datang ke sini cuma mau cari Dea, anak saya. Pasti dia di sini karena diculik cowok cemen di belakang ibu itu!” sergah Pak Jhon sambil nunjuk-nujuk ke wajah Arvan yang masih kelihatan bengkak gara-gara patilan si moncong berkumis waktu itu.

Arvan menarik-narik tangan ibunya, takut kalau disabet dadakan oleh Pak Jhon. Ibu Arvan malah memdengkus gemas pada anaknya yang penakut. Ia pun menyuruh anaknya diam.

“Siapa yang Anda sebut cowok cemen, hah? Anak saya? Keterlaluan, ya! Sudah bikin keributan malam-malam, tuduh anak saya nyulik anak orang, pulak! Mau ditempeleng mukamu wahai Pak Kumis?!”

Lengan daster pun dilipat, siap-siap pasang kuda. Aduh, kelakuan dua manusia penghuni bumi ini bikin geleng-geleng kepala.

“Malah masih nanya! Nantangin, pulak. Kutebas habislah riwayat Anda!” Tak kalah gaya Pak Jhon pasang kuda-kuda. Bener-bener, deh, mereka.

Mata wanita berdaster itu mendelik dan menatap Arvan. “Bener kamu nyulik anak orang?!”

Arvan geleng-geleng, lalu berkata, “Sueeer! Kagak!”

“Halah, masih berani bohong! Sini kamu cecunguk pendusta!”

Gawat, Pak Jhon sekarang malah mengincar Arvan. Dia berlari mengejar cowok yang kocar-kacir histeris.

“Dasar tidak mau usaha! Cinta endasmu itu takkan pernah terwujud! Kamu bukan kriteria menantu idaman buat saya! Jadi cepat kembalikan Dea! Di mana dia?!”

“Ampun, Om. Sueer! Saya nggak culik Dea! Kami aja sudah putus!” Masih aja sempet jawab, padahal situasinya lagi tak mendukung. Dasar Arvan.

Ibunya tak tinggal diam. Dia pun melaporkan bapak Dea ke polisi dengan tuduhan penyerangan.

Aduh, lebih gawat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status