Share

Seleksi Calon Mantu
Seleksi Calon Mantu
Penulis: Renti Sucia

1. Rumit

“Ruwet! Ruwet!” Cewek muda berponi itu ngedumel dengan semburat raut sebal.

Dia berjalan melintas jalan raya tengah malam, yang langitnya menampakkan bulan sedang berdampingan dengan bintang.

Penampakkan itu justru membuat si cewek berponi yang belum sempat mengikat rambut bercat honey tea kusut itu semakin merasa merana. Lengkung miris pun tergaris. Ia mengelus dadanya seraya berucap,

“Bulan aja ada pasangannya,” celotehnya lelah hayati dan berhenti melangkah sejenak. Lah aku? Baru pacaran lima hari aja udah jadi jomlo lagi. Nasiib, nasib. Sabar, ya, buat aku ....“

Keluhan itu sebenarnya sama sekali tidak membantu. Malah yang ada beban hidupnya terasa tambah berat, dan ujung-ujungnya malah bikin stres abis.

Nama cewek itu Dea Klaudia, putri bungsu dari sesebapak bernama Pak Jhon. Widih, keren, ya, nama bapaknya Dea? Itu panggilannya. Kalau nama aslinya Jhoni Mujahidin, seorang juragan ternak ikan lele yang ketenaran usahanya tak diragukan lagi.

Dea ini punya tiga kakak perempuan yang usianya tak terlalu terpaut jauh. Dia sekarang berusia dua puluh satu, tapi otaknya sudah melebihi otak si kakak tertua—Dina. Pikirannya terus saja tertuju pada pernikahan. Dia kira menjalani pernikahan itu mudah?

Terkadang Dea ini suka ngeces kalau lihat penampakan cowok ganteng. Tak peduli soal bibit, bobot, bebet. Kalau hati sudah buka pintu, dia pasti langsung kejar sampai dapat.

Nah, ini jadi permasalahan besar untuk keluarga Pak Jhon. Ia dan para kakak-kakak merasa anak bungsunya masih sangat labil dan terlalu mudah jatuh cinta. Kalau dibiarkan terus, nanti setelah menikah takutnya rumah tangga Dea yang belum seumur jagung akan kandas secara sia-sia, persis seperti kakak keduanya—Anita—yang bercerai sebulan setelah menikah. Miris.

Itulah kenapa Pak Jhon dan ketiga, lebih tepatnya kedua anaknya yang lain sepakat untuk mengadakan seleksi calon menantu secara ketat. Siapa pun cowok yang dekat-dekat dengan Dea, bakal dihadang olehnya dahulu.

“Tak semudah itu wahai ....” Begitulah jargon Pak Jhon yang kreatif ini.

Bayangkan saja saat Pak Jhon mengatakannya diiringi tawa menggelegar penuh ancaman yang amat seram, sambil tangan kanannya mengelus janggut lumayan panjang yang sebagian sudah memutih.

Jika bagi Pak Jhon kelakuan Dea adalah masalahnya, bagi Dea malah yang jadi masalah adalah bapak serta sodara-sodaranya. Mereka terlalu ikut campur pada kehidupan percintaan dia. Sampai pakai acara ngadain seleksi calon menantu segala.

Malam ini Dea menenteng tas ransel yang isinya mengalahkan tas ransel Dora. Dan isinya bukanlah berupa peta menuju pulau dewata apalagi Alaska, melainkan benda-benda keramat milik wanita. Seperti lipstik, bedak, krim wajah, krim kaki, krim leher, dan krim lainnya.Banyak pokoknya. Ribet kalau harus disebut satu-satu.

Sebagai pemberat, ia banyak menjejalkan pakaian yang diambil dalam lemari beberapa belas menit lalu. Ceritanya Dea ini kabur, lagi ngambek sama bapak dan kakak-kakaknya.

Ia datang ke rumah Nana, teman sejawat dari masa ketika mereka masih balita. Letaknya tepat berada di depan rumah bapaknya sendiri.

Duh, kabur, kok deket-deketan. Ya, pasti gampang disusulin.

Itu bukanlah kemauan Dea. Andai punya uang ratusan juta, sudah pasti ia milih kabur ke Amerika, atau Paris, bisa juga ke Afrika? Ya, pokoknya pergi jauh dari keluarganya sambil cuci mata lihat bule-bule di sana.

“Assalamualaikum! Momy, Nana ... buka, dong ...!”

Dea mengetuk pintu sambil mengucap salam. Namun, dari nadanya yang tinggi bertempo cepat, ucapan itu terdengar agak menggelegar. Persisi seperti debt collector mau nagih utang. Tambah bikin risih kalau pakai acara gedor-gedor daun pintu segala. Untung cewek ini nahan diri.

Pintu terbuka, tetapi yang menyambutnya adalah wanita yang tadi dipanggil ‘Momy’ oleh Dea. Namanya Karina. Terlihat lengkung senyum hangat tergaris memanjakan mata, membuat keadaan hati Dea yang sedang marah membara sedikit terasa adem. Salam Dea pun dibalasnya.

“Momy ....” Dea merengkuh tubuh proposional janda kalem itu erat-erat. “Bapak, tuh ....” Dan akhirnya mengadu kalau ia sedang marah pada bapak dan ketiga kakaknya karena suatu hal.

Wanita yang cantik khas orang dewasa ini berusaha menenangkan dengan memberi elusan di kepalanya sambil menarik masuk ke dalam ruangan.

Nana lari pontang-panting, turun dari lantai atas sambil pegangin perut. Dia lagi diare sebenarnya. Sekarang wajah oval itu menampakkan keseriusan yang amat menyiksa. Garis-garus halus tercetak lumayan jelas di kening Nana, dan dia menatap sahabat sekaligus tetangganya penuh tanya. Sayang, diarenya tak bisa ditahan lagi saat itu.

“Eh, Dea! Bentar, ya, ada urusan penting dulu yang nggak bisa ditunda-tunda!” Dia berlari, belok kanan dan masuk ke area dapur. Kemudian masuk ke kamar mandi.

Ribut sekali Nana ini samapai pintu kamar mandi pun dibantingnya.

Dea menangis sesegukan usai bercerita tentang apa yang membuatnya memutuskan minggat ke tetangga depan rumah.

Katanya, dia lagi ngambek sama mereka gara-gara bikin hubungannya dengan si pacar kandas. Nahasnya, ini adalah kisah ke tiga belas yang gagal terhalang karena seleksi calon menantu.

“Ya, ampun Zeyenk ... ikut prihatin sama kandasnya hubungan kamu sama si Arip itu.” Nana menunjukkan raut sesal, mengibai Dea. Padahal, ia sama sekali tak butuh ditatap begitu. Kesannya semakin menyedihkan sekali.

Dea mendelik, tangisnya terhenti, dan ia kini menyatukan kedua alisnya yang hitam mengilat oleh pensil alis.

“Arvan, Na ... bukan Arip!” dengkusnya sebal, tetapi rasa itu masih ditahan-tahan sekuat tenaga.

Nana nyengir kuda, “Eh, iya. Arvan. Salah ternyata. Kalo nggak salah, Arip itu mantanmu yang ke sepuluh, ya?”

Dea menatap semakin sengit. “Nana, Banana ... kapan aku punya mantan namanya Arip?! Ngaco!” Tentu saja ia bantah, soalnya tak masuk akal. Mana pernah cewek berponi itu punya pacar namanya Arip. Ngada-ngada.

Momy Karina menyela, menghentikan perdebatan tak berfaedah mereka. Ya iyalah, daripada berisik, kan?

“Sudah ... kalian ini kenapa, sih? Ribut cuma karena satu nama. Mau itu Arip, Aron, Arit, intinya Dea lagi galau berat. Kamu jangan nambah-nambahi, dong, Na. Kasihan, kan?”

Dea menatap Momy Karina haru, kepalanya mengangguk pelan setuju. Sementara Nana hanya terus nyengir saja, seolah masalah yang dibawa Dea bukanlah suatu hal menyedihkan.

Begitulah teman sejati. Selalu tertawa di atas penderitaan.

“Ya, sudah. Kamu naik, gih, ke kamar Nana. Kamu boleh tinggal di sini sesuka hati. Tapi ingat, kalian jangan ribut, ya.” Pesan Momy Karina adalah peringatan halus pada keduanya agar jangan berisik, atau jangan ganggu. Momy Karina mau bobo cantik.

Baik Dea maupun Nana, keduanya mengangguk saat itu. Gegas mereka naik ke lantai atas dengan tenang sesuai perintah.

Ketika Dea bisa bersikap tenang-tenang saja, di rumahnya sekarang malah heboh. Kak Maya, kakak Dea yang ketiga berlari ke arah kamar bapak sambil gedor-gedor pintu, dan bilang kalau adiknya hilang.

“Pak! Dea nggak ada di kamar! Bajunya semua nggak ada! Jendelanya kebuka! Kayaknya diculik si Arvan, deh!” teriaknya menuding.

Astaga ... pernyataan Kak Maya ini sungguh di luar dugaan. Kok, bisa-bisanya mikir si Dea diculik mantannya, sih?

Gawat. Kacaulah dunia persilatan. Bapak Dea begitu marah. Ia mengambil sebilah pedang panjang yang katanya keramat dan sakti dari kamarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status