Share

Cinta Abadi

Kembali dari ruang interogasi, Sirius membuka pakaian kebesarannya dan mambenamkan tubuh atletis bak pahatan patung dewa di kolam yang sudah diberi wewangian untuk menghilangkan bau darah dari tubuhnya. Pria itu sangat menjaga diri ketika akan menemui putri semata wayangnya.

Bayang-bayang tentang putrinya yang ketakutan hingga hampir pingsan karena melihatnya penuh darah masih terngiang begitu jelas. Itulah alasan kenapa Sirius harus menjaga diri agar tidak ada darah sedikit pun yang menempel ditubuhnya.

“Apa yang sedang dilakukannya sekarang?” monolog Sirius kemudian menyugar rambutnya dengan kedua tangan yang basah.

Tak lama kemudian, Sirius beranjak dari kolam. Ia tak butuh pelayan untuk membantu mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaiannya. Membuatnya seperti seorang raja yang ‘mandiri.’ 

Beberapa menit berlalu, Sirius telah mengenakan pakaian formalnya. Ia lalu melangkah mendekati sebuah lukisan besar yang terpajang di dinding. Figur seorang wanita dengan rambut lurus berwarna cokelat tua yang senada dengan warna mata sipitnya. Itu adalah lukisan istrinya, Ilse Danyiel.

“Ilse, aku merindukanmu. Andai kita bisa bertemu, meski hanya dalam mimpi.” Seketika keheningan memenuhi ruangan itu.  “Tapi kau tidak pernah mau menemuiku lagi. Apa kau masih marah padaku, Ilse?” Sirius berbicara pada lukisan itu dengan suaranya yang mulai bergetar. “Putri kita sudah besar sekarang.” Kesenduan melingkupinya. Perasaan kehilangan yang dalam tersirat jelas di wajahnya. Meski sepuluh tahun sudah berlalu.

Istrinya bukanlah asli penduduk Benua Galia. Sirius bertemu dengan istrinya ketika melakukan ekspedisi kerajaan 17 tahun yang lalu. Ia jatuh cinta ketika Ilse  pernah menolongnya. Kemudian, Sirius menikahinya dan membawanya tinggal di Galia. Namun, karena sakit, Ilse meninggal ketika putri mereka genap berusia tujuh tahun. Itu adalah awal ketika Sirius menjabat sebagai raja.

Meski Sirius adalah raja yang kejam, tetapi ia adalah orang yang setia pada cinta. Tak bisa dipungkiri, bahwa cinta adalah salah satu alasan Sirius menduduki tahta.

Detik pun berlalu. Sirius hanya mampu menghela napas karena tak mendapati jawaban dari lukisan yang diam. Ia lalu beranjak pergi dari lukisan dan keluar dari kamarnya. Berjalan dengan langkah panjang, tetapi santai menyusuri lorong-lorong istana. Ksatria dan para pelayan berjalan mengekor di belakangnya.

Sirius sedang menuju Istana Sapphire, tempat putrinya berada. Wajahnya tampak lebih cerah ketika akan menemui buah cintanya bersama Ilse. Langkahnya pun terhenti ketika sampai di tujuan, dan melihat seorang wanita yang sangat dikenalnya. “Kalian tunggu saja di sini,” ucapnya pada abdi yang mengikutinya.

“Baik, Yang Mulia,” sahut mereka berbarengan.

Sirius lalu melanjutkan langkahnya, menjejaki karpet hijau alami yang membentang di halaman Istana Sapphire.

Gadis yang sedang duduk di bawah pohon membelakangi kaisar pun menyadari kedatangannya. Ia menoleh secepat membalikkan halaman buku.

“Ayah?” panggilnya dengan antusias.

Sirius yang tidak pernah tersenyum lembut di hadapan orang lain itu mengulas senyum untuk seorang gadis yang ada di hadapannya kini. Ya, dia adalah putri tunggal kaisar, Selena Ommero Ptolemy.

“Apa kau sudah lama menungguku, hm?” tanya Sirius.

Gadis itu menggeleng. “Aku tahu ayah adalah orang yang sibuk. Jadi, wajar jika terlambat. Ayo duduklah.” Selena seolah memberikan isyarat dengan tangannya agar Sirius segera duduk bersamanya. “Aku sudah kelaparan karena menunggumu,” ucapnya seraya mengusap acak perutnya.

Sirius terkekeh kecil. “Iya, iya. Ayah tahu itu,” balas kaisar lembut, lalu lantas menarik kursi miliknya dan duduk di sana. Ia duduk bersebelahan dengan Selena.

Mereka langsung memulai acara makan siang bersama. Berbagai menu kesukaan ayah dan anak itu telah tersaji di atas meja bundar yang tidak terlalu besar. Dentingan alat makan mengiringi suasana siang itu.

“Hm, ayah... Apakah besok kita akan pergi ke makam ibu?” tanya Selena setelah menelan makanan di mulutnya.

Sirius yang sedang asyik makan pun terhenti karena pertanyaan Selena. “Tidak ada alasan untuk tidak pergi menjenguknya,” balasnya, kemudian melahap makanan yang sudah menunggu di sendoknya.

“Kita akan pergi kapan?” tanya Selena lagi.

“Setelah fajar.” 

“Kenapa tidak menjelang sore saja, Ayah? Sepertinya akan lebih santai.” Selena coba memberi opsi, sebab kaisar tak pernah mengunjungi makam Ilse di waktu itu.

Sirius terdiam sejenak. “Sore adalah waktu yang menyedihkan, Selena. Perpisahan terlihat begitu nyata di saat itu.” Ia lalu memandangi putrinya yang hanya mengatupkan bibirnya begitu mendengar ucapan Sirius. “Lanjutkan makanmu, anggaplah aku tak mengatakan apa pun sebelumnya,” tambah Sirius.

Selena seperti itu karena tak mampu berkutik. Ia paham maksud ayahnya. Ibunya meninggal kala senja, dan waktu ini hanya akan selalu mengingatkannya tentang perpisahan dengan sang pemilik hati.

Selena mewarisi wajah oriental sang ibu, tapi warna rambut dan matanya mewarisi ayahnya. Ia adalah tanda mata yang berharga, dan akan selalu menjadi pelepas rindu Sirius pada mendiang istrinya, Ilse.

••O••

Semburat jingga bertabur di langit timur. Kereta kuda dengan bendera lambang kerajaan sudah dipersiapkan di depan istana utama. Selena juga sudah ada di sana, mengenakan pakaian serba hitam. Pun dengan yang dipakai oleh Sirius.

“Ayo,” ajak Sirius dengan mengulurkan tangan kanannya pada Selena.

Dengan lembut Selena meraih tangan kaisar dan masuk ke kereta. 

Kereta itu pun akhirnya berangkat. Butuh waktu hampir dua jam untuk sampai ke makam ibu Selena yang terletak di sebuah tempat di kaki bukit yang jauh dari istana.

 “Ayah, mengapa ibu dimakamkan di tempat yang jauh dari istana? Bukankah lebih mudah bagi kita untuk mengunjunginya jika dimakamkan di pemakaman istana?”

Sirius mengalihkan wajahnya ke jendela kereta. Memandangi setiap jalanan yang mereka lewati dengan tempo andante. “Ibumu mencintai kebebasan, Selena. Baginya, istana adalah penjara yang berhiaskan permata. Untuk alasan inilah ayah memakamkannya di luar istana.”

Selena melihat perubahan ekspresi ayahnya. Kesenduan kembali terlihat di wajah itu. 

“Mungkin ibumu membenci ayah karena pernah mengurungnya, dan tak membiarkan dia bergaul dengan siapa pun.” Sirius kembali berkata. “Ayah hanya takut kalau ada orang yang berusaha mencelakainya karena dia tidak berasal dari benua ini, terlebih, karena dia menjadi istriku.”

Selena seharusnya bisa bertanya sejak lama mengenai masalah ini. Namun, gadis itu tak tega melihat ayahnya selalu sedih karena mengingat ibunya. Baru hari ini ia punya keberanian untuk bertanya langsung.

Selama ini Sirius adalah sosok raja yang terlihat dingin dan kejam di luar. Namun, sejatinya ia tetaplah manusia biasa. Yang kapan pun bisa luluh hatinya, terlebih karena cinta. Semua tampak jelas saat ini, mungkin juga karena hatinya yang telah menghilang, terkubur bersama sang pujaan hati.

“Ayah, maaf karena aku mengungkit ibu kembali?” ucap Selena penuh penyesalan.

Sirius menatap putrinya yang tertunduk lesu, lalu menghela napas dan tersenyum. “Tidak apa, Selena. Sudah seharusnya kau tahu. Maaf, karena belum bisa menjadi sosok ayah yang baik untukmu.” Wajahnya berubah sendu.

Selena meraih tangan Sirius dan duduk bersimpuh di hadapannya. “Ayah tidak perlu minta maaf. Tidak peduli orang lain mau berkata apa, kau tetaplah ayah yang terbaik di mataku,” katanya seraya mengulas senyum tulus.

Sirius membalasi Selena dengan senyuman terbaiknya. Jika dilihat dari dekat, ia hanyalah pria sekaligus ayah yang tak pandai berdialektika soal rasa. Menjawab dengan reaksi, menjadi jalan keluar baginya.

Setelah hampir dua jam, akhirnya kereta yang mereka tunggangi sampai di tempat tujuan. Ayah dan anak itu turun dari kereta. Sungguh, dibanding terlihat sebagai makam, tempat yang ada di hadapan mereka lebih terlihat seperti taman bunga.

Bunga-bunga berwarna putih dengan wangi semerbaknya benar-benar menyejukkan mata dan pikiran. Selena pun merasa begitu tenang dan bahagia ketika di sana. 

“Ayah, aku ingin bunga-bunga ini juga di taman istanaku,” kata Selena pada ayahnya.

Sirius tersenyum. “Bunga-bunga ini banyak tumbuh di Evanthe. Ayah akan mengirimkan pesan ke sana untuk membawakan benihnya.”

Evanthe? Selena tersenyum kala mengingat nama tempat itu. Di sana, tunangannya berada. “Aku akan menunggunya di tamanku.” Selena menghirup bunga itu dari dekat. Berulang kali gadis itu menghidu sensasi menenangkan dari aroma wangi bunga. 

Sirius melanjutkan perjalanan ke pusara Isle. Selena yang tertinggal pun mengekor di belakangnya dengan langkah yang dipercepat, sebab Sirius bertubuh tinggi sehingga langkah yang diambilnya pun cukup besar. Membuat Selena harus berusaha ekstra untuk mengejarnya.

Langkah mereka pun terhenti ketika sampai di depan makam Ilse. Makamnya terlihat sederhana, dengan lapisan batu marmer berwarna putih.

Kaisar meletakkan buket bunga yang dia bawa ke atas pusara. “Apa kau merindukanku dan Selena, Ilse?”

Selena memandangi wajah ayahnya, lalu mengalihkan kembali perhatiannya ke nisan ibunya. “Bu, apakah kau bahagia melihat ayah yang sekarang? Atau malah sebaliknya?” tanya Selena dalam hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status