“Lagi-lagi kamu membuang uang?”“Bagaimana bisa itu disebut membuang uang? Aku hanya mengajak Rena untuk bermain dan membeli boneka.“Itu namanya membuang uang! Sudah berapa kali kamu mengajak Rena ke tempat bermain mahal itu,” marah Haris dengan tatapan yang siap menerkam Weni.Weni pun menatap kesal pria yang masih berstatus suaminya itu. Ia tak habis pikir dengan pola pikir Haris, selama ini ia diam karena semua menyangkut dirinya.Namun kini ia tak bisa diam karena ini menyangkut anaknya, Rena. Bagaimana bisa Haris melakukan itu pada Rena, padahal selama ini dirinya tak pernah ada waktu luang untuk anaknya.“Uang itu adalah hasil kerjaku sendiri, dia berhak mendapatkan yang lebih.” Weni kini tak mau berbaik hati. “Berapa bulan ini kamu meminta uang dariku, bukankah itu sudah cukup untuk mengganti hutang kita? Tapi nyatanya, masih banyak hutang yang tertinggal. Kamu apakan uangku? Kamu ....”Plak!Tamparan yang cukup keras menghampiri pipi Weni, hingga ia terjatuh ke lantai. Weni m
“Hari ini kita mau ke mana?” Rena terus bertanya saat melihat gaun berwarna kuning yang di pakainya, terlebih gaun itu juga di gunakan oleh Ibunya. “Kita akan berjalan-jalan, apa Rena mau pergi bersama Mamah?” tanya Weni mendekatkan dirinya pada Rena, ia memasakan sebuah jepitan kuning di rambutnya. “Papah tidak ikut?” tanya Rena kembali. Weni tersenyum dan mengusap wajah kecil anaknya. “Papah sedang melakukan perjalanan kerja, jadi tidak bisa ikut dengan kita. Apa Rena sedih Papah tidak ikut?” tanya Weni dengan lembut. Rena mengangguk, wajahnya sangat menunjukkan kekecewaannya. Sudah cukup lama dirinya tak bepergian bersama dengan kedua orang tuanya, Weni bisa memahami kesedihan itu. Bahkan bagi Weni, masa kecilnya hanya ada tentang dirinya. Ia bahkan jarang di ajak saat ada jalan-jalan bersama keluarganya, walaupun di ajak ia akan menjadi seseorang yang di abaikan tanpa sebuah kehangatan. Dirinya akan jadi pesuruh atau seseorang yang selalu melakukan tugas apa pun saat bepergi
“Bagaimana bisa wanita secantik ini dibiarkan kedinginan.”Weni berbalik dan siap menolak pria yang tiba-tiba memberikan selimut rajut hangat untuknya. “Tidak .... Hajoon?” sebut Weni terkejut dengan apa yang dilihatnya.Pria di hadapannya kini tersenyum, membuat perasaan Weni bertambah tak karuan. Di saat hatinya belum sepenuhnya normal, pria itu mengambil Rena dari pelukannya.Terlihat Rena sedikit menggeliat, tapi tak lama ia kembali tertidur. Seakan tak masalah dengan dada pria yang baru pertama di temuinya itu.“Ayo, kita masuk dulu. Di sini terlalu dingin,” ucapnya dengan satu tangan yang terbebas untuk merangkul pundak Weni.Weni hanya bisa menurut, perasaannya tak karuan. Segalanya bercampur aduk menjadi satu, ia tak bisa mengatakan apa pun atau merespons apa pun.Mereka masuk ke dalam ruangan yang lebih hangat dengan tempat yang begitu nyaman. Hajoon menaruh Rena di atas kasur dan tak lupa menyelimutinya dengan selimut yang tebal.“Apa perjalanan ke sini melelahkan?” tanya Ha
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?”Weni yang tengah duduk berdua bersama Hajoon, mulai memberanikan diri untuk bertanya dengan tenang. Perasannya juga sudah cukup tenang setelah mereka bertiga makan siang bersama.“Dengan pesawat,” jawab Hajoon enteng, tak lupa dengan senyuman yang terus terkembang di wajahnya.Seharian ini Hajoon tak melepaskan senyumannya, ia terus saja menatap Weni dengan tatapan fokus dan juga senyuman yang tak luntur. Awalnya Weni terus tergoda olehnya, tapi kini ia sudah terbiasa dan sangat menyukainya.“Aku serius, Park Hajoon!” Weni menekan setiap kalimat yang ia ucapkan.Pria yang berasal dari Korea itu hanya kembali tersenyum. “Kamu benar-benar menggemaskan,” lanjutnya tak mampu membendung perasaannya saat melihat Weni bertingkah.“Kamu itu sudah gila?” Weni tetap dalam mode rasional, meski terkadang ia hampir melewati batas. Namun lawannya justru terus saja memberikan tindakan yang membuat segalanya goyah.Hajoon kini tengah mengusap kepala Weni lembut, san
“Apa semuanya baik-baik saja?”Hajoon menatap wajah Weni yang sejak pagi terlihat sangat pucat, seakan tengah terjadi sesuatu. Namun ia tak segera bertanya karena wanitanya itu tengah sibuk memasak dan mengurus Rena.Saat Weni sudah sedikit luang dan Rena tengah menonton acara kesukaannya, Hajoon baru bertanya dan itu pun dengan perlahan. Ia tak mau menambah beban pikiran Weni saat ini, atau terkesan ikut campur.“Tidak apa-apa,” jawab Weni dengan senyuman yang tak tulus dan Hajoon mengetahuinya.Hajoon memegang kedua tangan Weni, menatapnya lembut. “Kalau ada apa-apa katakan saja, aku akan siap mendengarkannya. Itu pun kalau kamu siap, kalau tidak juga tidak apa-apa.”Wanitanya terdiam, seakan tengah menimbang-nimbang untuk menceritakan padanya atau tidak. Hajoon sebagai pria hanya bisa tersenyum dan mencoba memberikan sebuah kepercayaan pada Weni.“Berjanjilah untuk tidak melakukan apa pun,” pinta Weni.Hajoon mengangguk untuk menyanggupi permintaan Weni padanya, meski ia sendiri ti
Weni menatap sekelilingnya, ia tak percaya tempat yang baru saja dilihatnya kini terlihat berbeda. Tempat yang tadinya hanya ada sebuah ayunan gantung kini berubah menjadi tempat perkemahan yang indah.Sebuah tenda berukuran besar ada di pinggiran halaman yang beralaskan rumput, ada api unggun yang sudah menyala di tengah-tengah bersama beberapa kursi dan meja kecil. Tidak hanya itu, semua makanan sudah lengkap mengiasi meja pinggiran halaman.Weni tak menyangka semua akan tertata seindah ini hanya dalam waktu sekejap, seakan hanya dengan menjentikkan jari semua berubah begitu saja bak di negeri sihir. Semua yang selama ini ia impikan kini terpampang di hadapannya hanya karena seorang Hajoon.“Maaf, semua kurang maksimal. Ini semua tidak ada di agenda aku, jadi aku hanya bisa memberikan yang sederhana.” Hajoon menatap Weni dengan penuh penyesalan. “Lain kali aku akan mempersiapkannya dengan baik lagi,” lanjutnya.Weni menatap Hajoon tak percaya, ia tak bisa membayangkan orang seperti
“Bagaimana kabar Anak dan Istrimu Haris?” Seorang pria bertanya setelah mereka saling menjabat tangan.Namun reaksi yang diberikan wanita di sebelahnya tampak tak senang, ia menatap tajam pria yang bertanya. Ia bahkan dengan sangat jelas menunjukkan ketidaksenangannya.“Kabar mereka baik-baik saja,” jawab Haris memberikan arahan untuk pria tersebut duduk di sofa ruangan.“Senang mendengarnya.” Pria itu tersenyum, tanpa menghiraukan wanita yang berada di samping Haris. “Bisa kita membicarakan kontrak ini hanya berdua?” pinta pria tersebut.Haris menatap wanita yang bukan lain adalah Aurel. Tentu saja Aurelia tak begitu saja menerima keinginan pria tersebut, ia tetap duduk di samping Haris.“Maaf, boleh kami tinggal sebentar.” Haris meminta izin pria tersebut dan membawa Aurel untuk keluar dari ruangan. “Sayang, kamu kenapa?” tanya Haris begitu mereka berada di luar ruangan.“Aku tidak suka pria itu, dia bukannya orang yang menjodohkanmu dengan Weni?” marah Aurel dengan suara lantang.“
Kedua insan yang tengah dimabuk cinta, kini saling bertatapan. Pikiran mereka seakan tidak ada di tempat, jauh menembus masa depan.Pernyataan Hajoon membuat dampak besar bagi Weni yang terbilang tengah resah akan kehidupan pernikahannya. Ia ingin menyanggupi apa yang menjadi permintaan pria asing itu, tapi bayangan Rena menghampirinya.Weni terbilang belum siap untuk menjadikan Rena korban dari keegoisannya. Ia juga tak sanggup membayangkan bagaimana menjelaskannya.Membayangkan Rena harus mengetahui hal yang tak seharusnya dia ketahui, membuat ia menatap pria yang tengah menanti jawabannya. Meski pria di hadapannya itu baik, tapi Weni belum yakin sepenuhnya.“Maaf.” Hanya satu kata itu yang bisa diucapkan Weni, terlihat Hajoon terkejut dengan ucapan Weni.“Sudah kuduga,” ucap Hajoon.“Hajoon ....”“Kalau kamu langsung menerimanya, bukankah itu gila?” Hajoon tersenyum. “Kamu yang masih punya Suami, bagaimana bisa dengan mudah menerima ajakan menikah pria lain. Aku sudah yakin kamu ak