Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 13: Nadia, Jauh Tapi Tak Hilang

Share

Bab 13: Nadia, Jauh Tapi Tak Hilang

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-19 13:59:20

"Ada luka yang tidak bisa ditambal, tapi bisa diberi bingkai. Bukan untuk mengagumi rasa sakitnya, tapi untuk mengingat bahwa kita pernah belajar mencintai dengan cara yang salah."

—Potongan catatan pribadi, Rayendra Mahendra

Sudah hampir setahun sejak terakhir kali Rayendra mendengar suara Nadia secara langsung. Bukan lewat pengacara, bukan lewat mediator, tapi suara manusia biasa. Suara seorang perempuan yang pernah ia cintai, ia khianati, lalu ia melupakan kesalahan yang tak pernah ia sangkal.

Pagi itu, sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tak pernah ia hapus, hanya ia bisukan.

"Boleh bicara malam ini, jam 8? Hanya sebentar. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku hanya ingin menyelesaikan dengan baik. —Nadia"

Rayendra membaca pesan itu berulang kali. Hatinya tidak berdebar, tapi ada rasa seperti ingin memasuki ruangan lama yang dulu ia tinggalkan dalam keadaan berantakan. Ia membalas singkat:

“Boleh. Terima kasih sudah mau bicara.”

Pukul delapan malam, ia duduk di sofa apartemen. Lampu dimatikan, hanya cahaya kota yang menembus tirai. Tangannya menggenggam ponsel erat, seperti anak kecil memegang kertas ujian.

Nada sambung terdengar, lalu tersambung.

“Halo,” suara Nadia.

Masih sama: datar, lembut, sedikit berhati-hati.

“Hai…” Rayendra menjawab. “Terima kasih sudah menelepon.”

“Aku di Bali sekarang,” kata Nadia. “Program dosen tamu.Enam bulan.”

Rayendra mengangguk, meski tak terlihat. “Kedengarannya tenang.”

Nadia terkekeh kecil. "Tidak juga. Tapi setidaknya di sini orang-orang tidak tahu masa laluku. Aku tidak perlu menjawab pertanyaan yang tak ingin kujawab."

Rayendra terdiam.

“Aku telepon bukan untuk menanyakan alasanmu,” lanjut Nadia. “Aku tahu cukup untuk berhenti menganggapmu monster.”

Rayendra menarik napas. “Aku menyesal, Nad.”

“Aku tahu.”

“Aku tidak sedang meminta maaf agar kamu kembali.”

"Bagus. Karena aku tidak akan kembali."

Hening. Tapi bukan hening yang menyakitkan, melainkan jeda untuk bernapas.

“Aku dulu kira kita akan bertahan sampai tua karena kamu pintar, karena kamu tahu banyak hal. Tapi ternyata kamu tidak tahu cara tinggal dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Nadia.

Rayendra mengangguk pelan. “Aku terlalu sibuk menjelaskan cinta, sampai lupa bahwa cinta membutuhkan kehadiran, bukan argumentasi.”

Nadia tersenyum lewat nada suaranya. “Dan aku terlalu sibuk mempertahankanmu sampai lupa mempertahankan diriku sendiri.”

Rayendra menunduk.

"Kadang aku ingin menampar diriku sendiri yang dulu terlalu sabar, terlalu memahami. Tapi sekarang aku bersyukur. Karena dari situ aku belajar: mencintai orang pintar tidak menjamin bahagia, tapi mencintai diriku sendiri bisa."

Rayendra menatap langit-langit. “Aku menulis sesuatu malam terakhir sebelum kita resmi cerai. Mau aku bacakan?”

“Silakan.”

Ia membuka catatan di ponsel.

“Nadia, kamu adalah rumah yang aku tinggalkan karena alasan penelitian. Tapi tidak ada temuan yang bisa mengembalikan pintu yang sudah kamu tutup.”

Nadia diam sejenak, lalu berkata, "Aku tidak menyesal pernah jadi rumahmu. Tapi aku juga tidak akan membuka pintu yang sama. Karena rumah bukan hanya tempat kembali, tapi tempat di mana aku tidak perlu dijelaskan."

Kata-kata itu menohok seperti kapsul pahit.

“Terima kasih, Nad. Terima kasih sudah pernah tinggal di seumur hidup.”

“Dan terima kasih karena sekarang kamu belajar hidup sendiri, tanpa menjadikan perempuan lain sebagai pelajar.”

Senyap lagi. Tapi kali ini, damai.

“Aku pamit ya,” kata Nadia. “Besok harus observasi kelas anak-anak autis di pantai.”

“Kamu terlihat bahagia sekarang.”

"Aku tidak bahagia, Rayen. Aku sedang damai. Dan itu cukup."

Klik. Sambungan terputus.

Rayendra tidak menangis, tidak merata. Ia hanya merasa selesai. Dan pada akhirnya, ternyata, adalah suatu bentuk kebebasan yang tak pernah ia bayangkan.

Malam itu ia membuka dokumen pribadinya: Buku yang Tidak Akan Diterbitkan.

Ia menambahkan satu bab baru.

Bab 6 – Telepon yang Tidak Menyediakan Kembali

"Aku pernah mencintai seorang perempuan yang sabarnya seperti laut, tapi aku malah meneliti kedalaman udara, bukannya belajar berenang bersamanya. Kini, dia sudah berada di pantai lain, dan aku berdiri di sini—tak lagi ingin mengikuti. Karena mencintai juga berarti membiarkan yang pernah kita sakiti menemukan kedamaiannya tanpa kita."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 44 : “Godaan Baru di Tengah Kacau Pikiran”

    "Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 43 : Mata yang Tak Seharusnya

    "Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status