Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 15: Inaya dan Jam Dinding Tua

Share

Bab 15: Inaya dan Jam Dinding Tua

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-20 23:28:13

"Beberapa luka tidak membutuhkan obat. Mereka hanya memerlukan ruang tanpa suara—tempat untuk duduk, tanpa harus menjelaskan mengapa luka tersebut masih terasa."

—Catatan kaki di museum terapi emosi, Jakarta

Langit Jakarta pagi itu hutan terbuka. Awan kelabu menggantung, dan udara terasa lembap, seperti selimut basah yang menutupi tubuh. Rayendra tidak punya alasan untuk membatalkan undangan Inaya. Bukan karena dia merasa harus hadir, tapi karena untuk pertama kalinya dia ingin membahas rencana seseorang tanpa memahami sepenuhnya.

Museum itu tersembunyi di sebuah gedung tua di Kebayoran Baru. Tidak ada papan nama besar—hanya tulisan kecil di kaca:

"Museum Terapi Emosi & Ruang Labil"

Rayendra mengernyit. “Labil?”

Inaya tersenyum. “Nama ruang pameran sementara. Biar orang tahu ini bukan tempat untuk jadi kuat, tapi tempat yang rapuh.”

Di dalam, suasananya berbeda. penerangan temaram, suara alat musik lembut mengalun pelan. Setiap instalasi bukan untuk sekedar dilihat, tapi dialami.

Instalasi pertama: “Cermin dengan Waktu Tunda”

Orang berdiri di depannya, tapi pantulan wajah muncul setelah jeda lima detik. Inaya menjelaskan, “Kadang kita butuh jeda untuk melihat diri sendiri dengan jujur, bukan sekadar menilai seperti biasa.”

Rayendra berdiri, menunggu. Lima detik berlalu. Pantulannya muncul: wajah lelah, tapi tak lagi pura-pura utuh.

“Lucu,” gumamnya. “Biasanya aku cepat menilai diri sendiri, tapi saat menunggu, aku malah tenang.”

Inaya tersenyum, tak berkata apa-apa.

Instalasi kedua: “Ruang Surat yang Tidak Pernah Dikirim”

Sebuah lemari tua berisi ratusan amplop. Pengunjung boleh menulis surat atau membuka surat orang lain.

Rayendra mengambil satu secara acak. Tulisannya tangan seorang anak kecil:

"Ayah, aku tahu Ayah bukan jahat. Ayah cuma nggak tahu cara bilang 'maaf'. Aku juga nggak tahu cara bilang 'tolong peluk aku'. Jadi kita berdua kalah diam-diam."

Ia menaruh kembali surat itu. “Anak itu mungkin lebih dewasa dari kita semua,” lirihnya.

“Kadang yang paling paham luka justru mereka yang tak pernah diberi kesempatan menjelaskannya,” jawab Inaya.

Instalasi terakhir: “Jam Dinding yang Tidak Bergerak”

Sebuah ruangan kecil, dinding penuh jam dari berbagai zaman, semua berhenti di waktu yang berbeda. Di tengah, satu jam besar gantung, jarumnya diam di pukul 3:47.

“Ini apa?” tanya Rayendra.

"Simbol waktu emosional. Kita semua punya momen di mana waktu berhenti. Bukan jam dunia, tapi jam di hati: saat kehilangan, dikhianati, atau tak dipercaya."

Rayendra berdiri di bawah jam. “3:47… waktu apa ini?”

“Jam saat aku melihat ayah pergi tanpa pamit,” kata Inaya tenang. “Aku sembilan tahun.”

Rayendra menoleh, terkejut. “Kamu ingat begitu spesifik?”

“Sejak hari itu, aku selalu merasa jam berhenti. Semua hubunganku seperti berputar di situ, menunggu seseorang kembali menjelaskan mengapa orang bisa pergi begitu saja.”

Mereka duduk di bangku kecil, ruangan hening memenuhi.

“Kamu sendiri,” tanya Inaya, “kapan waktumu berhenti?”

Rayendra menatap dinding. "Aku nggak yakin. Mungkin saat aku sadar menyakiti orang bukan karena niat buruk, tapi karena takut tak berguna."

“Kepada siapa?”

“Pertama Nadia, lalu semua yang kujadikan subjek, bukan teman bicara.”

Inaya menatapnya, bukan menilai, tapi menjadi saksi. “Aku senang kamu sekarang bisa duduk begini, tanpa sibuk memberi penjelasan.”

Rayendra mengangguk pelan. “Dan aku senang kamu tidak meminta semua penjelasan hari ini.”

Mereka menyelesaikan teh dan pisang goreng di kafe museum, kemudian berjalan ke taman di belakang gedung. Di bawah pohon kamboja, mereka duduk di bangku kayu.

“Aku heran,” ucap Inaya, “kenapa orang selalu buru-buru kedekatan. Kalau tidak disebut 'teman', 'pasangan', atau 'mitra kerja', hubungan dianggap tidak berarti.”

“Mungkin karena takut,” jawab Rayendra. “Takut terasa hilang jika tidak diberi nama.”

"Tapi justru karena terlalu cepat diberi nama, hubungan jadi sempit. Begitu tak sesuai label, orang kecewa," kata Inaya.

Rayendra tersenyum. “Kalau begitu, hubungan kita ini apa?”

Inaya menatap lama. “Aku tidak tahu, dan tidak perlu tahu hari ini. Yang penting, kamu duduk di sebelahku, dan kita tidak saling menyakiti.”

Diam-diam beberapa menit, seorang anak kecil datang membawa kertas dan pensil warna. “Om, Tante, bolehkah aku gambar kalian?”

Mereka tersenyum dan mengiyakan. Gambar itu menunjukkan dua orang duduk di bangku, tersenyum satu sama lain, bukan ke kamera.

Anak itu berkata, “Kalian kelihatannya seperti orang yang saling mengerti, meski tidak banyak bicara.”

Dalam perjalanan pulang, Rayendra melihat foto itu di ponselnya. Ia menyimpannya, bukan untuk dipublikasikan, tapi agar bisa membuka kembali saat merasa kembali menjadi mesin intelektual.

Malamnya, ia menulis di jurnal:

Bab 7: Ruang yang Tidak Butuh Solusi

"Aku duduk di depan jam yang mati, dan tidak merasa harus diperbaiki. Untuk pertama kalinya, aku tidak ingin waktu kembali berjalan seperti dulu."

“Mungkin mencintai tidak selalu berarti menyalakan kembali jarum waktu, tapi menemani seseorang di ruangan yang diam, sampai mereka siap keluar.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 44 : “Godaan Baru di Tengah Kacau Pikiran”

    "Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 43 : Mata yang Tak Seharusnya

    "Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status