"Cerita yang tidak kita rawat akan diambil alih orang lain dan disusun kembali tanpa rasa, hanya demi agenda."
—Inaya, dalam diskusi tertutup “Etika Narasi Pribadi di Ruang Publik” Pagi itu, Rayendra memulai harinya dengan ragu membuka ponsel. Sudah seminggu sejak forum etik. Ia pikir badai telah berlalu. Ia bahkan sudah mulai kembali mengajar, menjawab email mahasiswa, dan menghadiri rapat kurikulum dengan wajah tenang. Tapi pagi ini, notifikasi dari Inaya muncul lebih dulu, bukan pesan, melainkan tautan ke sebuah artikel opini di situs berita nasional. Judulnya mencolok: “Psikolog Cinta atau Manipulator Akademis? Saat Dosen Menjual Luka atas Nama Teori.” Di bawah judul, terpampang foto lawas Rayendra, hasil cropping dari cover bukunya yang dulu. Foto itu kini dikombinasikan dengan kutipan pedas dari mantan mahasiswanya yang tidak disebut namanya. “Dia bilang kami adalah data, tapi kami hanya manusia yang belum selesai belajar mencintai.” Rayendra membaca artikel itu dari awal hingga akhir. Isinya seperti gabungan potongan tulisannya yang dulu, pernyataan dari kelas terbuka, ditambah narasi emosional yang disusun ulang. Tidak semua salah, tapi semua terasa seperti cermin yang dibengkokkan sedikit saja, cukup untuk menampilkan sosok yang tidak ia kenali. Sore harinya, ia duduk bersama Inaya di perpustakaan fakultas, ruangan paling sepi, dengan pencahayaan remang dan aroma buku tua yang menenangkan. “Kalau aku membantah artikel ini,” kata Rayendra pelan, “mereka bilang aku defensif, tapi kalau aku diam, mereka bilang aku mengiyakan.” Inaya menatapnya. “Jangan buru-buru memikirkan reaksi publik. Pikirkan dulu: apakah kamu ingin menjawab karena ingin dipahami, atau karena ingin diselamatkan?” Rayendra tidak langsung menjawab. Ia mengingat masa ketika ia menjadi narator tunggal atas pengalamannya dengan Nadia, Rea, bahkan murid-murid yang pernah dekat dengannya secara personal. Dulu, ia selalu merasa cerita itu miliknya, tapi kini ia sadar cerita yang melibatkan orang lain selalu punya banyak versi. Dan ketika satu versi ditinggalkan tanpa catatan, ia akan diambil orang lain, dipelintir jadi senjata, atau dijadikan komoditas. Malamnya, ia menulis pernyataan terbuka, tapi tidak ia unggah ke media sosial. Ia hanya mengirimkan satu salinannya ke redaksi situs berita yang memuat opini itu, dan satu lagi kepada Inaya. Isi pernyataannya pendek, tidak defensif, tidak menjelaskan panjang. “Saya tidak akan membantah perasaan siapa pun yang pernah merasa terluka oleh pendekatan saya di masa lalu, tapi saya juga tidak akan membiarkan narasi tentang saya disusun tanpa nuansa. Jika suatu hari mereka bersedia duduk di ruang yang tidak terburu-buru membenarkan atau menyalahkan, saya akan hadir.” Dua hari setelah itu, Rayendra menerima undangan dari sebuah kanal YouTube jurnalisme naratif, dikelola oleh alumni kampus yang pernah ia bimbing. Topiknya sederhana: “Ketika Akademisi Bicara Cinta: Antara Ilmu dan Luka.” Inaya membaca undangan itu sambil menghela napas. “Kamu tahu ini bisa jadi jebakan.” Rayendra mengangguk. “Tapi aku juga tahu, diam terlalu lama membuat orang lain menulis naskah hidupku.” “Lalu apa rencanamu?” “Aku ingin bicara, tapi bukan untuk menjelaskan masa lalu, aku ingin menunjukkan siapa aku hari ini. Kalau mereka tetap melihatku sebagai manipulatif, setidaknya mereka menilainya secara langsung, bukan dari editan kutipan.” Hari wawancara tiba. Lokasinya studio kecil di daerah Kemang, dengan backdrop buku-buku dan lampu hangat. Pewawancaranya: Rea. Rayendra terdiam saat melihat siapa yang akan duduk di depannya. “Rea?” suaranya nyaris tak terdengar. Rea tersenyum. Wajahnya tidak penuh dendam, tapi juga tidak menawarkan pelukan, ia hanya membawa naskah pertanyaan, dan selembar surat kecil. “Ini dari Nadia,” katanya. “Dia tidak mau hadir, tapi dia ingin kamu tahu sesuatu.” Rayendra membuka surat itu. “Aku sudah tidak marah, tapi aku juga belum memaafkan, dan kamu tidak harus memintanya. Aku hanya ingin kamu berhenti menjadikan rasa bersalahmu sebagai alasan untuk terus mengontrol cerita orang.” Tangannya bergetar, tapi ia menatap Rea, lalu berkata, “Ayo kita mulai.” Wawancara berjalan tenang, tidak semua pertanyaan lembut, beberapa tajam, tentang etika, tentang ambiguitas, tentang luka yang dikapitalisasi. Tapi kali ini, Rayendra tidak menjawab dengan teori, ia tidak mengutip riset, ia hanya menjawab sebagai manusia yang tahu kebenaran tanpa empati bukan kejujuran, itu hanya versi intelektual dari kekerasan. Setelah wawancara usai, Rea berdiri, lalu berkata pelan: “Kamu tahu kenapa aku mau memandu sesi ini?” Rayendra menatapnya. “Karena kamu dulu menulis tanpa menyisakan ruang untuk suara kami, tapi hari ini, kamu duduk tanpa menjeda siapa pun.” Setelah wawancara usai dan tim studio mulai membereskan kamera, Rayendra tetap duduk di kursinya. Tangannya menggenggam surat dari Nadia yang tadi diberikan Rea, bukan untuk dibaca ulang, tapi untuk merasakan bobotnya. Ia tak bisa langsung berdiri, kakinya berat, jiwanya menggigil dalam diam. Rea menghampirinya dan berkata pelan, “Kamu boleh merasa terluka, Ray, tapi kamu tidak boleh menganggap luka itu sebagai alasan untuk terus menjadi pusat dari segalanya.” Rayendra mengangguk. “Aku tahu, aku sedang belajar diam, bukan karena kalah, tapi karena sadar giliran bicara bukan selalu milikku.” Sore itu, Inaya menemuinya di taman kecil belakang studio. Ia membawa dua kopi hitam dari warung depan. “Kamu terlihat lebih berat dari biasanya,” ucap Inaya sambil menyerahkan gelas kertas itu. “Karena hari ini aku baru benar-benar melihat diriku di mata orang lain, dan aku nggak suka semua bagiannya.” “Itu bagus,” balas Inaya. “Berarti kamu berhenti menyusun versi tentang dirimu yang nyaman untuk dilihat.” Rayendra menghela napas panjang. “Ada bagian dari diriku yang dulu benar-benar percaya kalau semua teori yang kubuat itu murni demi ilmu, tapi ternyata banyak juga yang kutulis demi merasa penting.” Inaya tidak menjawab, ia hanya mengamati wajah Rayendra seperti sedang membaca buku yang sudah ia baca berkali-kali, tapi kini dicetak ulang dengan bab tambahan. “Aku tidak akan menyangkal masa lalumu,” ucap Inaya akhirnya, “tapi aku juga nggak akan memaksa diriku untuk terus memaafkan semua sisanya tanpa jeda.” Rayendra menatapnya. “Aku tidak minta kamu memaafkan semua.” “Dan aku tidak minta kamu jadi sempurna.” Mereka duduk di bangku kayu yang mulai lapuk di bawah pohon flamboyan yang belum berbunga. Sunyi menyelimuti, bukan sebagai hampa, tapi sebagai izin untuk tidak menjelaskan segalanya. “Aku baru sadar,” Rayendra berkata pelan, “kalau kita terlalu cepat menuliskan luka sebelum sempat memahaminya, kita bisa salah menutupnya.” “Kita juga bisa menyebarkannya,” balas Inaya. Malamnya, Rayendra menulis di jurnalnya, bukan untuk publikasi, bukan untuk siapa-siapa. “Hari ini, aku belajar bahwa cerita bukan milikku sendiri, bahkan luka pun tidak boleh dimonopoli karena dalam setiap luka, ada jejak orang lain yang ikut terbawa. Dan kalau aku ingin berubah, maka aku harus mulai menuliskan kalimat tanpa merasa harus menyimpulkan semuanya.” “Mungkin kali ini aku akan menulis cerita yang bisa aku tinggalkan, tanpa harus mengendalikan siapa yang akan membacanya. Dan mungkin itu cara paling jujur kamu membayar apa yang dulu tidak kamu beri: tempat bicara.”Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat
"Resepsi pernikahan adalah perayaan cinta, tempat dua hati bersatu dalam kebahagiaan yang tak terhingga." —Rayendra, dalam pidato pernikahannya Setelah upacara pemberkatan yang khidmat, Rayendra dan Inaya bergegas menuju ballroom hotel yang telah disulap menjadi sebuah taman impian. Dekorasi bunga-bunga segar berwarna pastel memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang romantis dan elegan. Para tamu undangan sudah memadati ballroom, memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada Rayendra dan Inaya. Senyum bahagia terpancar dari wajah kedua mempelai. "Selamat ya, Rayendra, Inaya," ucap Kanya sambil memeluk kedua sahabatnya. "Semoga kalian selalu bahagia dan langgeng." "Terima kasih, Kanya," balas Rayendra. "Kau adalah salah satu orang yang paling berjasa dalam hidup kami." "Selamat menempuh hidup baru, Inaya," ucap Aluna sambil memeluk Inaya. "Semoga kau dan Rayendra selalu saling mencintai dan mendukung." "Terima kasih, Aluna," balas Inaya. "Aku senang kau bisa hadir di sini." Ra
"Di altar ini, dua jiwa berjanji untuk selamanya, mengukir kisah cinta abadi yang tak lekang oleh waktu." —Inaya, dalam sumpahnya Mentari pagi menyinari Jakarta dengan hangat, seolah ikut berbahagia menyambut hari pernikahan Rayendra dan Inaya. Di sebuah hotel mewah, suasana terasa begitu sibuk namun penuh sukacita. Inaya duduk di depan meja rias, dikelilingi oleh para perias yang sedang bekerja keras menyulapnya menjadi seorang ratu sehari. Ia mengenakan robe berwarna putih gading dengan detail renda yang elegan. "Kamu cantik sekali, Inaya," puji Kanya yang datang menemaninya. "Rayendra pasti pangling melihatmu nanti." Inaya tersenyum malu. "Aku gugup sekali," akunya. "Ini adalah hari yang sangat penting dalam hidupku." "Tenang saja," balas Kanya sambil menggenggam tangan Inaya. "Semua akan berjalan lancar. Kau dan Rayendra pantas mendapatkan kebahagiaan ini." Sementara itu, di kamar lain, Rayendra juga sedang bersiap-siap. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam yang membuatn