"Dulu aku menulis karena ingin didengar. Kini aku menulis karena takut didiamkan. Yang manakah yang lebih jujur?"
—Catatan Rayendra, malam sebelum forum etik kampus Tiga hari setelah kelas terbuka itu, sesuatu yang tak diharapkan datang dari tempat yang paling tak terduga: sebuah blog mahasiswa lama menggali dan mengarsipkan tulisan-tulisan opini lama dari Rayendra, termasuk yang pernah ia tulis di majalah daring fakultas bertahun-tahun silam, sebelum ia mengenal kata "penyesalan". Tulisan itu berjudul: “Kesetiaan adalah Mitos yang Tidak Efektif: Pandangan Psikologis Tentang Relasi Emosional Ganda.” Bukan isi tulisan itu yang mengejutkan Rayendra, tapi waktu dan konteksnya: saat itu ia sedang dalam hubungan dengan Nadia, dan ia menulisnya seperti seseorang yang sedang meyakinkan dunia bahwa pengkhianatan itu wajar. Blog itu menyisipkan tulisan aslinya, disandingkan dengan tangkapan layar podcast viral Rea & Rayendra, lalu diberi narasi berikut: “Apakah Rayendra Mahendra benar-benar menyesal? Atau hanya menggeser cara menjual teorinya?” Tulisan itu cepat menyebar. Dalam waktu kurang dari dua belas jam, beberapa akun aktivis kampus, organisasi feminis, dan alumni vokal mulai menyuarakan tuntutan: “Evaluasi etika akademik dan narasi abu-abu dosen.” Pagi itu, ruang dosen terasa seperti lorong rumah sakit: sunyi tapi penuh nadi. Rayendra duduk, membuka email. Ada surat dari Wakil Dekan, bertuliskan: “Kami mengundang Bapak untuk hadir dalam forum etik fakultas, Jumat, pukul 14.00. Agenda: klarifikasi tulisan lama dan pengaruhnya terhadap persepsi akademik publik.” Tidak ada marah, tidak ada tuduhan, tapi justru kesopanan dalam surat itu yang membuat napasnya sesak karena ini bukan hanya soal reputasi, tapi soal batas antara pribadi dan pengaruh. Inaya mengirim pesan tak lama setelah itu. “Aku baca ulang tulisan lamamu. Aku tahu kamu tidak lagi berpikir seperti itu, tapi kamu harus tahu publik tidak bisa membedakan ‘kamu dulu’ dan ‘kamu sekarang’ kalau kamu sendiri tidak menjembataninya.” Rayendra membalas: “Apa aku pantas menjelaskan yang sudah lama kubiarkan salah tafsir?” Inaya cepat membalas: “Kalau kamu memilih diam sekarang, maka semua suara tentangmu akan berasal dari orang yang tak mengenalmu.” Di malam hari, Rayendra membuka kembali folder dokumen lamanya. Ia membaca ulang tulisannya sendiri, tidak dengan mata nostalgia, tapi dengan mata seseorang yang mencoba mengerti bagaimana pikirannya dulu bisa setega itu menyusun logika untuk membungkus luka orang lain. “Kesetiaan tidak efisien karena membuat dua individu menolak kemungkinan saling berkembang secara paralel dengan orang lain.” Kalimat itu menusuknya seperti belati yang ia buat sendiri, lalu lupa ia letakkan di meja publik. Tapi ia tidak menghapusnya. Ia hanya menambahkan satu paragraf baru di bawah tulisan itu, dengan huruf miring. “Tulisan ini ditulis dari ruang ketakutan, bukan dari ruang pemahaman. Aku pernah memuja pembenaran demi menghindari rasa bersalah. Kini aku tidak ingin membantah isinya, aku hanya ingin mengaku: aku dulu menulis bukan karena paham, tapi karena takut tidak berpengaruh.” Jumat, pukul 13.45, Rayendra berdiri di depan ruangan forum etik fakultas. Di dalam, ada Wakil Dekan, tiga orang dosen senior, perwakilan mahasiswa, dan satu alumni yang kini aktif di dunia psikologi media. Ruang itu tidak seperti ruang sidang, tapi tegangnya tak kalah dari ruang pengadilan. Bedanya, yang diadili di sini bukan fakta, tapi konsistensi. Rayendra tidak membawa catatan, ia hanya membawa satu hal: kesadaran bahwa dirinya bukan korban narasi, melainkan pembuatnya. Ia membuka pembicaraan dengan tenang: “Saya tidak akan menyalahkan siapa pun karena membaca tulisan saya dengan amarah karena tulisan itu, jika saya baca sebagai pembaca, juga membuat saya marah.” Ia lalu menatap satu per satu peserta. “Tapi saya ingin menyampaikan bahwa tulisan itu ditulis dari ego yang belum paham bahwa kejujuran tanpa empati adalah kekerasan.” Seorang dosen bertanya, “Kenapa tulisan itu tidak pernah Bapak revisi? Atau beri catatan koreksi?” Rayendra menjawab, “Karena saya dulu masih mengira diam adalah bentuk pertobatan, tapi saya salah, diam hanyalah cara lama saya untuk tetap merasa punya kendali.” Mahasiswa di sebelah kanan ruangan bertanya, “Jadi Bapak mengakui bahwa tulisan itu salah?” Rayendra mengangguk. “Bukan hanya salah, tapi merugikan, bukan karena isinya tak punya argumen, tapi karena niatnya tak berakar dari empati.” Sunyi menyelimuti ruangan, tapi kali ini bukan sunyi dari canggung, melainkan sunyi dari ruang yang sedang dipenuhi kesediaan untuk mendengar tanpa tergesa menyalahkan. Setelah forum selesai, Rayendra keluar dari ruangan, disambut angin sore dan langit kelabu yang seperti menahan hujan. Ia berdiri di bawah pohon trembesi kampus. Lalu matanya tertumbuk pada papan informasi kecil di sisi jalan setapak: “Zona Refleksi Diri – Dilarang Merokok dan Menghakimi.” Ia tersenyum kecil. Ironis. Dilarang menghakimi, padahal sebagian besar pikirannya sendiri belum berhenti melakukannya terhadap diri sendiri. Ia duduk di bangku taman yang basah separuh, mengambil sapu tangan dari saku jasnya, dan mengelap permukaan duduk, lalu menatap tangan sendiri. Dulu, tangan ini sibuk menulis dengan kepercayaan diri yang luar biasa, membangun teori, mematahkan norma, menciptakan kerangka berpikir untuk menjelaskan cinta, kesetiaan, bahkan pengkhianatan. Sekarang, tangan yang sama gemetar ketika menuliskan satu kalimat pendek di jurnalnya semalam: “Aku pernah mengira yang penting adalah masuk akal, tapi kini aku tahu yang lebih penting adalah jangan membuat orang lain kehilangan harapan akan kebaikan.” Ia teringat percakapan dengan mahasiswanya di minggu pertama mengajar semester ini. Seorang pemuda kurus bertanya, “Apakah kita bisa berubah tanpa membayar harga dari masa lalu kita, Pak?” Saat itu Rayendra menjawab dengan kalimat mengambang, tapi sekarang ia tahu: Tidak. Harga itu harus dibayar, tapi bentuknya bukan uang atau hukuman, melainkan keberanian untuk tetap hadir di tempat orang bisa menanyakan ulang siapa diri kita tanpa kita merasa berhak marah. Suara sandal berdecit di atas kerikil membuyarkan lamunannya. Bukan dari arah gedung, tapi dari sisi taman. Inaya muncul dari balik pepohonan. Ia tidak mengenakan pakaian formal, hanya blouse krem dan celana panjang gelap, tapi ada sesuatu di wajahnya: kehadiran. Rayendra berdiri, kaget. “Kamu dari mana?” “Aku ikut mendengar dari balkon atas, ruang observasi untuk dosen tamu.” “Kamu menyimak?” Inaya mengangguk. “Dan aku tahu kamu tidak sedang membela diri, kamu sedang membuka peta kesalahanmu sendiri biar orang tahu kamu pernah nyasar, tapi sekarang pakai kompas baru.” Rayendra tersenyum lelah. “Kadang aku takut kompas ini juga rusak.” “Kompas nggak harus selalu akurat, yang penting kamu berhenti muter-muter karena gengsi nanya arah.” Mereka berjalan pelan menyusuri koridor kampus yang mulai sepi. Di dinding, beberapa poster seminar sudah mulai luntur. Salah satunya masih menampilkan foto Rayendra dua tahun lalu, saat bukunya baru rilis. Di bawahnya tertulis: “Cinta Itu Ilmiah: Mengenali Pola, Memahami Hati” Rayendra berhenti sejenak di depan poster itu, lalu mencabutnya pelan-pelan. “Aku dulu bangga sekali dengan judul ini,” katanya. Inaya menatapnya. “Sekarang?” “Aku masih percaya cinta bisa dipelajari, tapi tidak dari jarak aman, harus dari dalam, dari ruang tempat kamu sendiri pernah jatuh.” Inaya datang menghampiri. “Bagaimana rasanya bicara tanpa perisai?” tanyanya. “Seperti berdiri telanjang di ruang umum,” jawab Rayendra, “tapi ternyata tidak memalukan seperti yang aku kira.” Inaya tersenyum kecil. “Kadang, justru di situ kamu paling bisa dipercaya.” Rayendra menatap langit. Hujan belum turun, tapi ia merasa sudah dicuci dari dalam.Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat
"Resepsi pernikahan adalah perayaan cinta, tempat dua hati bersatu dalam kebahagiaan yang tak terhingga." —Rayendra, dalam pidato pernikahannya Setelah upacara pemberkatan yang khidmat, Rayendra dan Inaya bergegas menuju ballroom hotel yang telah disulap menjadi sebuah taman impian. Dekorasi bunga-bunga segar berwarna pastel memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang romantis dan elegan. Para tamu undangan sudah memadati ballroom, memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada Rayendra dan Inaya. Senyum bahagia terpancar dari wajah kedua mempelai. "Selamat ya, Rayendra, Inaya," ucap Kanya sambil memeluk kedua sahabatnya. "Semoga kalian selalu bahagia dan langgeng." "Terima kasih, Kanya," balas Rayendra. "Kau adalah salah satu orang yang paling berjasa dalam hidup kami." "Selamat menempuh hidup baru, Inaya," ucap Aluna sambil memeluk Inaya. "Semoga kau dan Rayendra selalu saling mencintai dan mendukung." "Terima kasih, Aluna," balas Inaya. "Aku senang kau bisa hadir di sini." Ra
"Di altar ini, dua jiwa berjanji untuk selamanya, mengukir kisah cinta abadi yang tak lekang oleh waktu." —Inaya, dalam sumpahnya Mentari pagi menyinari Jakarta dengan hangat, seolah ikut berbahagia menyambut hari pernikahan Rayendra dan Inaya. Di sebuah hotel mewah, suasana terasa begitu sibuk namun penuh sukacita. Inaya duduk di depan meja rias, dikelilingi oleh para perias yang sedang bekerja keras menyulapnya menjadi seorang ratu sehari. Ia mengenakan robe berwarna putih gading dengan detail renda yang elegan. "Kamu cantik sekali, Inaya," puji Kanya yang datang menemaninya. "Rayendra pasti pangling melihatmu nanti." Inaya tersenyum malu. "Aku gugup sekali," akunya. "Ini adalah hari yang sangat penting dalam hidupku." "Tenang saja," balas Kanya sambil menggenggam tangan Inaya. "Semua akan berjalan lancar. Kau dan Rayendra pantas mendapatkan kebahagiaan ini." Sementara itu, di kamar lain, Rayendra juga sedang bersiap-siap. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam yang membuatn