Share

bab3

"Macet tadi?" tanya Shanum. Mas Jaka melepas helmnya dan membuka jaketnya. "Iya." jawabnya.

Dia masih sibuk dengan beberapa hal termasuk menaruh helm ke tempatnya. Ia mendiamiku, yah dia memang pendiam sih.

"Mas, kamu kemarin ke toko ya? Ngambil beras? Katanya buat ibuku 10 kg? Kok gak ngomong sih?" tanyanya langsung ke inti. Mas Jaka melihat Shanum. "Kamu tahu dari mana?" tanyanya.

"Ada yang ngomong orang bawahanku." ucapku.

"O-oh. Iya." ucapnya, entah kenapa terdengar canggung di telinga Shanum.

Meski masih percaya dan tidak terlalu memusingkan hal ini. Shanum mengambil helm darinya dan taruh ke tempatnya serta juga dengan jaket yang dipakainya lalu gantungkan. Mas Jaka sudah masuk ke dalam bersama Shanum.

"Mas, aku rencananya mau ngajakin kamu makan malam sama Gavin dan pacarnya akhir pekan ini." ucap Shanum. Mas Jaka mendadak menghentikan langkahnya mengernyit heran ke arahnya.

"Makan malam sama pacar Gavin? Dimana, disini? Emang kamu kenal sama dia?" tanya mas Jaka cemas.

"Iya dong kan kenalan, kamu mau kan?" tanya Shanum.

"O-oh yaudah."

"Nanti akhir pekan kan kamu libur tuh, kita belanja dan terus masak buat makan malamnya."

"Oh gitu yaudah."

Mereka pun saling masuk ke dalam kamar, mas Jaka beralih masuk ke dalam kamar mandi dengan membawa handuk, sepertinya ia sangat merasa lepek saat ini.

Meski agak kemaleman sih, sedangkan Shanum menaruh baju kotor milik Mas Jaka ke tempatnya, ia duduk ke atas kasurnya melihat isi tas mas Jaka yang sudah menjadi rutinitasnya. Lebih heran lagi saat Shanum merogoh ada tanda bukti pembayaran tas seharga 8 juta rupiah, yang sontak saja langsung membuat Shanum melongo.

Padahal tidak ada paperbag atau kantung belanjaan apapun yang dibawa oleh mas Jaka tapi kenapa dengan sangat aneh ada tanda bukti pembayaran 8 juta? Masa sih membeli tas sampai bisa semahal itu?

"Dia beli tas 8 juta buat aku atau gimana sih? Tapi kok gak ada tasnya? Apa ini kuitansi lama? Tapi aku perasaan enggak pernah sama sekali dibeliin tas semahal itu deh. Paling banter ya cuma 1 juta. Aneh deh. Hmm atau dia sengaja beliin aku tas buat ulang tahun? Jadi kuitansinya duluan yang dikasih, tasnya belakangan?"

Shanum semakin heran bahkan tak sadar sampai menggigit ujung kuku tangannya. "Bener gak sih ya dugaanku?"

Mas Jaka sudah selesai mandi, dirinya keluar dari kamar mandi dan cukup kaget saat melihat Shanum memandangi kuitansi yang ada di dalam tasnya, tentu saja itu membuat Mas Jaka sedikit khawatir dan cukup tegang, tapi ia coba untuk menetralisir dirinya agar tak terlalu dibuat gerogi.

Shanum segera bertanya.

"Mas... ini apa? Kok ada kuitansi pembayaran tas 8 juta? Padahal enggak ada tas apapun kan di dalam tasmu nih... Mana gak ada tuh." ucap Shanum seraya memeriksa isi tasnya. Dengan santainya mas Jaka berkata.

"Enggak, itu ada yang minjem uang, temenku minta talangin uang dulu buat beliin istrinya tas."

"Serius?"

"Iya serius. Udah kan? Ngantuk."

"Ih tunggu dulu mas..."

"Aneh banget, padahal dia biasanya enggak pernah sama sekali minjemin orang duit sebanyak itu, kenapa ya sekarang tumben? Cuma buat beli tas loh."

Mas Jaka memutuskan untuk tidur setelah berganti pakaian. Meski Shanum merasa masih sangat penasaran.

"Mas.. kok tidur sih? Aku masih mau nanya! Mas!"

Pagi harinya.

Shanum memutuskan untuk tidak memasak, berbeda jauh dengan niat awalnya yang sudah mengatakan ingin berbelanja sayur dan memasak pada mas Jaka. Shanum merasa kalau itu hal yang percuma jika dirinya memasak, karena menurutnya akan lebih baik jika ia memesan makanan via online saja. Toh lebih praktis dan simpel.

Shanum mendekati mas Jaka yang sedang membersihkan kandang burung dan memberi burung kacernya makan.

"Mas, nanti kita enggak usah belanja sayur deh ya. Aku mau mesen online aja."

"Oh yaudah. Jadi dia mau kesini?"

"Siapa?"

"Ghea."

Shanum tersentak. "Kamu tahu dari mana nama pacarnya Ghea?"

Mas Jaka serasa tercekat, tercecar atas jawabannya sendiri.

Shanum mulai curiga dengannya. Mas Jaka cepat-cepat meluruskan. "Ya wajar dong, kan sering ketemu. Lagian kamu kenapa baru sekarang ngajakin kayak gini? Kenapa gak dari dulu?"

"Sering ketemu? Gak dari dulu?" Shanum semakin curiga.

"Ah enggak, maksudnya waktu itu sering ketemu pas sama Gavin, rumahnya juga deket dari sini kan cuma beda perumahan doang. Ya jadinya sering ketemu pas aku keluar sama Gavin."

"Oh gitu toh."

Mendadak Gavin muncul dan ikut duduk didekat berdirinya mereka.

"Kenapa enggak sejak lama aja kamu merencanakan hal ini Vin?" tanya mas Jaka. Gavin terheran tiba-tiba dihadapkan oleh pertanyaan itu selagi dirinya yang tidak mengerti apa-apa arah pembicaraan itu.

"Akrab?" Shanum semakin curiga.

"Ah enggak... ya pokoknya gitu deh."

"Ya kali gitu kamu doyan sama anak sepantaran dia." tegas Shanum langsung ke inti. Mas Jaka hanya tertawa mendengarnya. "Mana mungkinlah."

Sore harinya.

Gavin memutuskan untuk menjemput Ghea untuk makan malam, berbeda halnya dengan kedua orang tuanya yang masih menunggu makanan yang dipesannya datang. Tapi mirisnya hingga pukul 17.00 pesanannya masih belum dipickup oleh ojek. Shanum merasa bingung.

"Ini kenapa ya kok masih belum dateng juga ojeknya? Perasaan alamatnya udah bener."

Mas Jaka menjawab. "Kayaknya udah habis. Kamu pesannya dari kapan? Kamu pesannya kesorean kali."

"Kesorean apanya, aku pesan dari pagi mas."

"Telepon penjualnya gak bisa?"

"Coba aku chat sellernya."

Shanum mengetik pesan pada penjualnya. Dan ternyata setelah beberapa menit penjual itu merespon dan meminta maaf kalau dirinya tidak sempat mengerjakan pesanannya dikarenakan makanan sedang kosong.

"Haduh gimana sih. Aku pesan dari pagi loh ini. Malah bilangnya makanannya kosong dan tidak dapat diproses. Kenapa enggak ditolak dari pagi kalo gitu. Huftt.. " keluh Shanum.

"Kenapa?" tanya mas Jaka heran.

"Ituloh, nih liat. Pesananku ditolak. Gimana gak kesel, dari pagi loh aku pesen."

"Yaudah kita enggak usah pesan online kalo gitu. Masak aja. Ayo aku anter beli bahannya."

"Beneran? Emang enggak kesorean?"

"Iya. Coba bilang Gavin nanti. Yuk. Keburu kesorean, kamu kan cepet masaknya."

"Yaudah."

Mendadak ada telepon dari Gavin.

"Mah, aku enggak jadi ikut makan malam. Katanya Ghea malu, maklumlah dia emang pemalu orangnya. Apalagi kalo dikenalin sama bapak dan ibu pacarnya malu banget dia."

"Yah, baru aja mau belanja buat masak-masak."

"Loh bukannya mau mesen onlen?"

"Gak, gak jadi."

"Oh gitu, yaudah."

Telepon ditutup. Shanum pun saling menatap mas Jaka. "Gimana? Gak jadi kata Gavin?" tanya Shanum sedikit sedih.

"Oh yaudah. Kalo gitu kita tetep keluar aja jalan-jalan. Lumayan kan jalan-jalan sore biar makin lengket, itung-itung ngingetin sama masa muda dulu." ucap mas Jaka membuat Shanum mencubit pinggangnya gemas.

Mereka pun pada akhirnya sampai dihadapan sebuah kios bubur yang lumayan banyak pengunjungnya. "Jadi kita makan bubur nih?" tanya mas Jaka masih mempertanyakan.

"Iya mas, aku soalnya lagi sariawan jadi makan ini aja deh. Sakit kalo makan yang lain."

"Yaudah."

Mereka pun memesan buburnya dan saling duduk bersebelahan.

Memakan bubur yang sudah disediakan. "Enak banget. Meskipun rada sakit pas nelennya." ucap Shanum.

"Disebelah mana sariawannya?" tanya mas Jaka.

"Ini disini. Di tenggorokan."

"Banyakin minum."

"Kebanyakan juga gak boleh kali. Nanti kembung."

"Yaudah aku beliin buah ya nanti."

"Iyaaa."

Mas Jaka mengusap ujung bibir shanum yang celemotan ketika memakannya. Shanum hanya tertawa, dirinya merasa seperti anak kecil saja di mata mas Jaka.

Selesai memakan bubur, mereka pun saling mampir ke swalayan untuk berbelanja sarapan besok. "Kamu mau masak apa besok?" tanya Shanum.

"Apapun yang kamu masak enak kok."

"Halah, kalo dikasih tempe doang emang mau?" tanya Shanum.

Mas Jaka tertawa geli ketika itu.

Ketika di jalan, ponsel mas Jaka terus berbunyi akan tetapi tidak kunjung diangkat olehnya. Shanum merasa heran padahal itu sangat terasa dan terdengar nyaring, seakan dirinya memang membiarkannya begitu saja. "Mas, ada telepon tuh." ucap Shanum mengingatkan.

"Palingan dari temen kerja. Udahlah gak penting. Nanti aku disuruh ke kantor lagi buat lembur, ogah deh mending nemenin kamu."

"Halah kamu nih bisa aja ngelesnya."

Beberapa saat kemudian. Mereka pun sampai dirumah, Shanum langsung ke dapur merapikan belanjaannya.

Tapi ada kantung belanjaan sayur yang ketinggalan, Shanum langsung berteriak pada mas Jaka yang sedang berada di halaman belakang.

"Mas! Tolong ambilin kantung belanjaan dong di motor, ketinggalan!" pekiknya tapi mirisnya mas Jaka tidak mendengar karena sedang menelepon seseorang. Shanum yang penasaran karena tidak kunjung disahuti teriakannya langsung mencari mas Jaka hingga ke halaman belakang rumah tapi ada yang aneh. Dia .... sedang menelepon siapa?

Kenapa suaranya begitu halus terdengar?

"Iya maafin aku ya. Tadi ada istriku soalnya. Kamu mau ngomong apa?"

Shanum merasa sangat curiga. Ia langsung berkata. "Mas Jaka!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status