Pagi hari seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk Mas Razan yang akan segera berangkat bekerja. Meski ada beberapa asisten rumah tangga, aku tidak mengizinkan mereka memasak untuk suamiku. Karena Mas Razan pernah bilang, dia hanya ingin makan masakanku saja.
Aku tersenyum saat melihat Mas Razan baru saja turun dari tangga, tapi dia tak membalas senyum juga sapaanku.Di berjalan keluar membuatku segera mengikutinya."Mas, aku sudah siapkan sarapan, kamu gak mau sarapan dulu?" tanyaku lembut padanya yang baru menaruh tas kerjanya di mobil."Enggak, aku mau sarapan di RS aja!" jawabnya ketus sekali."Ya sudah, kalau gitu aku buatkan kamu bekal buat sarapan," aku hendak membalikkan badan tapi Mas Razan mencegahku."Gak usah!" ucapnya lalu melirik ke arah Farel yang berada dalam gendongan Kak Nita.Dia berjalan melewatiku ke arah bayi itu. Lalu mencium pipi gembul menggemaskan milik keponakanku."Om berangkat kerja dulu ya sayang," ucapnya pada Farel yang tersenyum seolah mengerti.Deg!Sakit rasanya mendapat perlakuan dingin dari suamiku sendiri. Karena hal sepele yang aku perbuat padanya semalam, Mas Razan sampai ngambek tak mau bertegur sapa denganku. Secepat itukah kamu berubah Mas?Padahal sebelum ada Kak Nita sikapnya begitu manis padaku. Penuh dengan perhatian, dia juga tidak pernah mempermasalahkan hal spele seperti ini.Aku hanya diam saja memperhatikan Mas Razan yang kini sudah berada dalam mobil menghidupkan mesin untuk segera melajukan kendaraan itu."Kalian lagi berantem?" tanya Kak Nita."Ah, enggak kok Kak," jawabku karena tak ingin menjadi beban pikiran juga untuknya yang kini menumpang dirumah kami."Jangan bohong Amira, kalau ada masalah kan bisa diselesaikan dengan baik, jangan sampai orang lain mengetahuinya." Peringatnya.Aku mengangguk saja mengiyakan. Ada benarnya juga ucapan Kak Nita barusan, aku harus sgera menyelesaikan masalah ini agar tidak merembet kemana-mana ujung-ujungnya nanti kita malah pisah ranjang.Sebuah ide bagus mampir di kepalaku yang kini berjalan cepat menuju dapur. Aku berniat akan mengantarkan makanan secara langsung ke tempat Mas Razan bekerja agar dia tidak berlama-lama ngambek. Dengan begitu, kita bisa kembali akrab seperti kemarin.Setelah menyiapkan bekal makanan untuk Mas Razan aku bergegas mengendarai mobilku untuk mengantarkannya kesana agar suamiku tak sempat makan di luar.Tidak memakan waktu lama, aku sudah tiba di Rumah Sakit "BAKTI" Dan segera memasuki ruangan suamiku dengan tujuan ingin memberi kejutan untuknya.Deg!Jantungku serasa berhenti berdetak saat kulihat pemandangan buruk dihadapanku. Aku melihat Mas Razan tengah dipeluk seorang wanita yang berpakaian sama dengannya.Dia terkejut saat melihatku datang dengan menggengam sekantung bekal untuknya. Aku tak bisa menahan amarah kali ini, aku langsung pergi tanpa sepatah katapun.Air mata berlinanngan membasahai pipiku dengan sejuta rasa sakit juga pikiran negatif berkecamuk mengisi otakku."Amira! Tunggu!" panggilnya yang tidak aku gubris.Perasaanku hancur bersamaan dengan bekal makanan yang aku buang saat itu juga di hadapannya. Aku muak! Aku tidak ingin mendengar apapun, cemburu buta sudah menguasai hatiku saat ini.Segera aku menaiki mobil menghidupkan mesinnya. Aku melirik sekilas Mas Razan yang memungut bekal makanan yang sudah tumpah karena aku banting."Jadi dia penyebab kamu berubah padaku Mas? Dia yang kamu bilang mirip Song Hye Ko nyatanya cuma mirip dengan gagang teko!" ujarku kesal sekali sambil mengahapus air mata.Drt..drt..Suara panggilan telpon dari Handphoneku terdengar beberapa kali namun aku abaikan saja.Aku masih kesal pada Mas Razan, siapa yang tidak kesal melihat suami sendiri berpelukkan dengan wanita lain di depan mata.Ckieet!Kuparkirkan mobil di garasi rumah ketika aku sudah sampai. Aku segera memasuki kamar untuk menangis sejadinyaBrak!Aku tutup dengan keras pintu kamarku sambil manangis."Tega, kamu Mas! Ternyata kamu berselingkuh dengan teman kerjamu itu..hiks..hiks.." ucapku sambil menangis.Tok! tok! tok!"Amira, ada apa? Kenapa kamu menutup pintu keras-keras?" suara Kak Nita beserta tangisan Farel terdengar dari luar.Aku menghapus air mata karena merasa bersalah mungkin saja Farel terbangun akibat suara pintu yang aku tutup dengan keras."Aku gak apa-apa Kak, Farel kenapa? Kok dia nangis? Apa gara-gara aku tutup pintu terlalu keras?" tanyaku yang sudah membuka pintu."Enggak kok Amira, bukan karena itu, aku juga gak tau dari tadi dia nangis terus, apa kita periksa aja Farel ke Rumah Sakit?" tanya Kak Nita."Sebaiknya kita lihat dulu apa penyebab dia menangis Kak, jangan langsung bawa dia ke Rumah Sakit." Jawabku."Tapi giaman caranya supaya kita tahu penyebab dia menangis?" tanya Kak Nita."Amira!" panggil Mas Razan yang baru datang dengan nafas ngos-ngosan.Melihatnya datang dengan kondisi seperti itu membuatku merasa kasihan. Mungkin saja Mas Razan meninggalkan pekerjaannya untuk menemuiku disini. Sepertinya dia berlari menuju lantai atas."Mas, Farel nangis terus dari tadi, kamu bisa periksa dia gak sekarang?" Kak Nita berjalan menghampiri suamiku dengan mengayun-ayun Farel yang tidak berhenti menangis.Mas Razan melirikku sekilas lalu dia berjalan menuruni tangga bersamaan Kak Nita. Sepertinya mereka berjalan menuju kamar Kak Nita, sebegitu dekatkah mereka sampai tak menghargaiku tanpa meminta izin juga padaku untuk berduaan di kamar?Meskipun hanya sekedar memeriksa, setidaknya mereka meminta izin dulu padaku.Aku memang wanita pencemburu, tapi jika itu adalah hal yang wajar, aku tidak akan merasa kesal. Beberapa menit lalu baru saja ku lihat kedekatan Mas Razan bersama temannya. Dan kini, aku harus melihat lagi kedekatan dia bersama Kakak kandungku sendiri, apa yang sebenatnya dia sembunyikan dariku?"Aku yakin banget dia ada disana tadi, di dekat pohon kelapa, dan dia memakai jaket warna hitam," aku kekeh karena sangat yakin jika itu benar Kakakku."Ya udah, kamu jangan panik begitu, tenangin diri dulu ya, jangan khawatir, dia tidak akan berbuat jahat lagi sama kamu, mungkin dia cuma kebetulan lewat saja," balas Daniel sambil mengelus pundakku. "Aku beli minum dulu ya, biar kamu lebih tenang setelah minum." Ujarnya lagi lalu pergi.Rinjani menggiring tubuhku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di pinggir pantai. Dia berkali-kali mengelus punggungku untuk menenangkan karena dia tahu sendiri bagaimana rasa traumaku beberapa waktu lalu saat aku harus kehilangan calon bayiku karena kecelakaan yang di lakukan oleh Kak Nita."Tenang Amira, kamu akan baik-baik saja, jangan khawatir, kan ada aku." Ucap Rinjani.Tak lama Daniel datang dengan sebotol air mineral di tangannya. "Minum dulu Mir, biar kamu lebih tenang," ucapnya mengulurkan sebotol air itu padaku."Iya, terim
Aku hanya diam saja berpura tak mendrngar pertanyaan dari Rama. Dia tetap saja mendesak memberiku pertanyaan lagi."Apa mau bulan ini juga kalian merid?" tanyanya lagi yang membuat aku dan Daniel juga Rinjani berlirikan."Bukan bulan ini, tapi besok!" jawab Rinjani tegas.Rama terkikik geli setengah mengejek mendengar hal itu. Aku rasa ada yang berbeda dengan sikapnya. Tapi ku abaikan saja. Setelah acara itu selesai, kami semua pergi ke pantai untuk merayakan kembali hari ulang tahunku.Tentu saja aku meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk pergi ke pantai bersama teman-temanku. Mereka langsung mengizinkan karena bukan hanya aku yang meminta izin, tapi Daniel juga. Sepertinya Ibu dan Bapak sudah terpikat oleh sikap baik Daniel padaku yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami.******Kembali kami menghabiskan waktu bersama di pantai setelah sampai dan memakan waktu cukup lama. Kami sampai tepat pukul tiga sore. Aku duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sore. Tiba-
Bi Ningrum berhenti di sebuah taman yang sudah di dekorasi dengan dekorasi yang sangat indah. Terdapat ucapan selamat ulang tahun di dalam dekorasi yang terpasang membuat dahiku mengernyit. Disana juga sudah tertata rapih beberapa meja bundar lengkap dengan kursi yang mungkin akan menjadi tempat duduk beberapa tamu.Sebuah kue besar dengan angka 27 di atasnya yang terpampang di atas meja sudah jelas sekali memberitahuku bahwa acara surprise itu di tunjukkan untukku."Happy Birthday Amira" Tampak Daniel yang tiba-tiba muncul dari balik dekorasi itu sambil menebar senyuman termanis padaku."Happy Birthday Amira!" ucapnya berteriak. Beberapa orang juga muncul sambil berteriak terutama Rinjani, Rama dan juga Erlika yang tanpa berekspresi."Tunggu!" ujarku membuat senyum mereka memudar berganti degan ekspresi kebingungan."Ada apa Amira?" tanya Rinjani menghampiriku yang jaraknya beberapa meter."Emangnya kalian yakin hari ini hari ulang tahunku?" tanyaku."Lah, bukannya tanggal ulang tah
Nisa menjelaskan mereka berdua sempat berbincang di depan toko dan tak sengaja dia mendengarnya. Maksud mereka datang ke toko mungkin untuk mengundangku ke acara pernikahan mereka, begitu kata Nisa."Aku dengar mereka lagi ngobrol tentang undangan pernikahan Bu, mungkin saja Ibu mau di undang ke acara pernikahan mereka." Jelas Nisa.Mobil yang kini sedang aku kendarai melaju lambat, kala mengingat penjelasan Nisa waktu di toko. Aku menghentikannya di depan sebuah Mall.Setelah memarkirkan mobil aku turun. Beranjak berjalan menuju sebuah toko minuman lalu memesannya. Aku duduk di sebuah kursi menunggu minuman datang."Hai, Amira!" sapa Rama bersama seorang perempuan cantik menghampiriku yang sedang duduk termenung.Aku tersenyum membalas sapaannya. Dia duduk bersama wanita itu. "Malam-malam nongkrong disini, sendirian lagi, Daniel kemana?" tanya Rama.Mendengar pertanyaan itu aku sudah mengerti. Setiap orang pasti akan mengira kami sudah memiliki hubungan selain berteman. Aku jadi mera
"Assalamu'alaikum...," ucapku saat membuka pintu rumah setelah sampai di kota kelahiranku."Hallo! Amira, apa kabar!" Rinjani menerobos memelukku dengan di penuhi aura kebahagiaan di wajahnya."Alhamdulillah, baik, aduh! Pelan-pelan dong meluknya!" kataku pada Rinjani yang terlalu bersemangat."Kangen tahu! Kamu nih ya, malah kabur ke luar negri, giliran temen nikah gak ada, kesel deh!" gerutunya sambil mengiringi langkahku berjalan menghampiri Bapak dan Ibu yang tengah duduk di sofa."Gimana jalan-jalannya Mir, pasti senangkan?" tanya Ibu padaku yang mencium punggung tangannya."Alhamdulillah Bu, Amira udah lebih baik sekarang, suasana di sana enak banget, tapi dingin karena lagi musim salju." Jawabku lalu mencium punggung tangan Bapak."Coba kalau kita ikut kesana, Ibu sih gak mau ikut, jadinya Bapak juga gak bisa ikut!" kata Bapak meluapkan kekesalannya."Malas Pak, perjalanannya jauh, naik pesawat lagi. Bapak kan tahu kalau ibu takut naik pesawat." Jawab Ibu membela diri."Iya-iya
Aku dan Daniel berjalan kaki ketika sudah sampai di tempat tujuan. Kami harus menaiki tangga panjang menuju menara.Sesekali aku berhenti berjalan karena kelelahan. Dengan tingkah konyolnya dia memintaku untuk menaiki punggungnya menawarkan diri untuk siap menggendongku."Naiklah!" katanya sambil berjongkok."Eh, gak usah, aku masih bisa jalan kok," tolakku."Yakin, bakal kuat naik ke tangga berikutnya?" ejeknya padaku."Yakinlah, ayok lanjut!" ajakku sambil menaiki anak tangga berikutnya.Beberapa menit berikutnya kami sudah sampai di puncak menara. Disana terdapat banyak sekali gembok yang terpasang di sepanjang tempat. "Mau coba pasang gembok? Tulis sebuah tanda, atau permintaan, buat seru-seruan aja." Usul Daniel saat aku berdiri melihat satu persatu gembok yang sudah terpasang.Aku menyetujuinya. Kami membeli gembok serta menulis sesuatu lalu memasangnya di tempat yang cukup ruang. "Selesai!" teriak Daniel kegirangan."Kamu tulis apaan?" aku mengintip gembok yang baru saja di p
Ternyata Daniel juga menginap di hotel yang sama dengan kami. Aku sudah bisa menebaknya sendiri, ulah siapa yang membuatnya sampai datang ke Korea untuk mengikutiku. Siapa lagi kalau bukan Mbak Karina.Selain teman semasa SMA Kak Nita, Mbak Karina masih mempunyai ikatan keluarga dengan Daniel. Dia pernah bercerita mengenai perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua Daniel yang sengaja di tolak mentah-mentah oleh Daniel karena Daniel lebih memilih menunggu jandaku.Malu rasanya mendengar cerita itu. Bukan apa-apa, aku merasa menjadi duri yang tidak seharusnya membuat Daniel membantah kedua orang tuanya. Tapi, mau bagaimana lagi, aku tidak tahu apa-apa, berita itu juga ku dengar beberapa bulan yang lalu dari Mbak Karina."Besok kita jalan-jalan ke Namsan Tower yuk!" ajak Daniel saat kita makan malam bersama."Hmm..boleh," jawabku sambil kembali melahap makanan yang belum habis.Mbak Karina hanya tersenyum melihat kita. Dia selertinya mendukung Daniel untuk kembali mendekatiku."Kaya
~~ POV Amira ~~Karena kejadian beberapa waktu lalu yang mengharuskanku mengalami depresi telah kehilangan bayi yang berada dalam kandunganku, membuatku harus pergi ke luar negri untuk menenngkan diri.Ya, aku pergi ke negri gingseng untuk sekedar melepas beban pikiran yang selama ini selalu berkecamuk menguras hati dan pikiranku.Terbersit dalam ingatan sosok Daniel yang selama ini selalu ada untukku saat aku tengah duduk di sebuah kursi taman merenung sendiri.Aku ingat sekali saat Daniel datang kembali dengan menawarkan ide cemerlang tentang bisnis yang sekarang sedang aku jalani. Dia yang memberiku ide untuk menjalankan bisnis kue di kotaku. Dia juga yang selalu ada untukku di saat aku kesusahan menjalani kehamilan di usia-usia rentan. Bahkan dia selalu berusaha sebisa mungkin menuruti keinginan ngidamku. Kami memang hanya teman, akupun tidak lebih menilainya memberi perhatian hanya sekedar mengasihaniku meski dia pernah mengungkap rasa."Amira!" teriak seseorang yang suaranya ta
"Apa yang sebenarnya terjadi Bu?" tanyaku pada Mamah yang masih berderai air mata.Mamah hanya melirikku sekilas lalu melihat Nita yang sama halnya tengah menangis. Bapak tidak terlihat di sana, entah kemana dia."Kenapa kalian diam? Saya sedang khawatir, tolong jawab, apa yang sebenarnya terjadi sama Amira?" desakku yang membuat Ibu bangkit."Kalau saja dari awal dia dan Nita tidak pernah mengenal kamu, semuanya tidak akan seperti ini!" ujar Ibu menatapku nyalang sambil menunjuk wajahku."Maksud Ibu?" tanyaku."Memang susah ngomong sama orang yang gak punya hati!" ujarnya lalu pergi menyisakan aku dan Nita. "Ada apa ini? Jadi selama ini kamu pulang kempung? Apa mereka sudah tahu hubungan kita?" "Iya!" jawab Nita singkat membuatku emosi."Jawab yang benar, jangan singkat-singkat!" bentakku."Bayi Amira meninggal, karena aku memarahinya saat aku datang ke rumah, aku bertengkar hebat sama dia sampai aku gak bisa mengendalikan diri mendorong dia ke bawah tangga, puas kamu dengan jawaban