Roda kereta berguncang pelan di atas jalan berbatu, meninggalkan kediaman keluarga Li menuju kota Kekaisaran. Di luar, angin pagi masih membawa sisa aroma dupa dari rumah duka. Kasim Feng duduk di bangku sempit di samping kusir, wajahnya menghadap jalan, tubuhnya bergoyang ringan mengikuti irama gerak kereta. Dia tidak menoleh ke belakang, seolah sengaja memberi ruang bagi percakapan di dalam gerbong. Di dalam, tirai tebal menutup rapat, meredam cahaya dan suara dari luar. Di dalamnya hanya ada dua orang, yakni Kaisar dan jenderal Shang Que. “Kematian Tuan besar Li murni karena dibunuh,” suara Shang Que rendah, nyaris hanya terdengar di antara mereka berdua. “Luka di perutnya paling fatal. Tajam, bersih, dan langsung mengenai organ vital. Bukan kerjaan perampok jalanan biasa,” sambungnya penuh perhitungan, tapi yakin. Kaisar, yang duduk bersandar di sudut, hanya bergumam singkat. Jemarinya memainkan lipatan kain jubahnya, matanya tak memandang Shang Que secara langsung. Setelah b
Pagi itu, halaman depan kediaman keluarga Li dipenuhi oleh orang-orang yang datang silih berganti. Pakaian putih berkabung menyatu dalam pemandangan yang muram; bau dupa dan asap uang kertas yang dibakar memenuhi udara, bercampur dengan aroma arak dari cawan penghormatan yang diletakkan di meja persembahan. Di tengah keramaian, suara langkah kaki berbaur dengan desah napas pelan para pelayat yang berbicara dalam bisik-bisik. Beberapa pejabat pemerintahan berdiri di barisan depan, membungkukkan tubuh, menyalakan hio, dan meletakkannya di tungku dupa di hadapan peti. Mereka melakukan ritual dengan khidmat, namun tatapan mata sebagian dari mereka diam-diam melirik ke arah Li Jiancheng. Dia berdiri tegak di sisi peti, mengenakan pakaian putih polos tanpa hiasan, tali kain hitam melilit pinggangnya. Kepalanya yang licin memantulkan sedikit cahaya pagi yang menembus tirai tipis di ruang utama. Meskipun penampilannya mencolok, tak seorang pun berani menyinggungnya; suasana duka terlalu k
Di ruang belakang kuil keluarga, lampu minyak bergoyang pelan, memantulkan cahaya ke wajah Li Jiancheng yang sedang duduk di kursi rendah. Di hadapannya, seorang bawahan berlutut, kepalanya menunduk dalam-dalam. “Tuanku,” suaranya pelan, nyaris tak terdengar, “semuanya sudah selesai.” Li Jiancheng tidak langsung menoleh. Dia mengangkat cangkir teh, meniup permukaannya, lalu menyesap pelan. “Tidak ada saksi?” “Tidak ada. Pengawal yang tersisa mengira itu serangan perampok. Kami sudah memastikan mereka tidak bisa memberi keterangan lebih jauh.” Li Jiancheng meletakkan cangkirnya, jemarinya mengetuk meja dengan irama lambat. “Bagus. Pastikan semua yang terlibat malam ini tetap diam. Selamanya.” Bawahan itu menunduk lebih rendah, mengangguk patuh. Namun, sebelum dia sempat bangkit, pintu ruang belakang terbuka keras. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian luar berwarna hijau zamrud masuk tergesa, wajahnya pucat, napasnya terburu. “Chang'er!” Li Jiancheng mengangkat alis. “
Li Jiancheng duduk di tepi beranda kuil keluarga, satu kaki terjulur, satu lagi menekuk malas. Matahari sore menyelinap di sela pepohonan, tapi cahaya itu terasa tak lebih dari nyala sumbu yang lemah di matanya. Rambutnya yang baru saja dipangkas nyaris habis masih terasa kasar di telapak tangan, kulit kepalanya dingin diterpa angin. Di pundaknya, jubah luar yang lusuh itu tak cukup untuk menghapus rasa terhina. Seorang pria berlutut di hadapannya, menyembunyikan wajah di bawah bayangan pilar. “Tuanku,” suara bawahannya serak, hati-hati menimbang tiap kata, “ada kemungkinan Tuan besar Li mulai mencium keberadaan markas rahasia itu.” Li Jiancheng mengangkat kepalanya perlahan. Sorot matanya menyipit, bibirnya tersungging tipis, bukan senyum, tapi garis tipis yang menyimpan racun. “Dia mencium keberadaan tempat itu, atau sudah menginjakkan kaki di sana?” “Belum, Tuanku, tapi dia mulai menyelidiki, karena merasa ada yang janggal.” Seketika Li Jiancheng bangkit. Gerakannya lambat,
Jenderal Shang Que bergeming. Hening yang mengulur seakan menekan udara di halaman itu. Tatapannya terpasang lurus pada Chu Qiao, sedingin puncak gunung di musim salju, tanpa sedikit pun isyarat bahwa kata-kata wanita itu telah menggoyahkan hatinya. Angin sore mengibaskan ujung jubah hitamnya. Hanya suara gesekan kain dan desiran dedaunan yang terdengar. Kemudian, perlahan, Shang Que menyeret langkahnya maju. Suara sepatunya menghantam lantai batu, berat dan mantap, membuat jarak di antara mereka kian rapat. Dia berhenti tepat di hadapan Chu Qiao. Tubuh tingginya menjulang, menutup sebagian cahaya sore dari wajah wanita itu. Tanpa membungkuk, dia menatap dari atas, sorot matanya bagai mengukur harga sebuah nyawa. Bibirnya tergerak tipis, suara rendahnya memotong udara yang menekan di antara mereka. “Bawa kepala Zhuge Liang jika kamu benar-benar setia pada pasukan bayangan.” Kata-kata itu jatuh perlahan, tetapi berat seperti palu yang menghantam baja. Shang Que berbalik
“Siapa namamu?” Hening. Jenderal Shang Que akhirnya berbalik badan, kembali menghadap salah satu anggota pasukan bayangan di bawah kepemimpinan nya tersebut. Wanita itu perlahan mengangkat kepalanya. Gerakannya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat cahaya tipis pagi hari jatuh di wajahnya, menyingkap garis rahang yang tegas namun tetap menyimpan kelembutan. Tatapan mereka bertaut, tak ada kata yang keluar. Udara di antara mereka seakan memadat, menyisakan ruang yang hanya dipenuhi ketegangan tak kasatmata. Mata Jenderal Shang Que tetap setenang permukaan danau di musim dingin. Dingin, dalam, tak terbaca. Sementara mata wanita itu, tak ada ketakutan, tak ada tunduk. Hanya ketenangan yang menusuk, seolah dialah yang sedang mengukur sang jenderal. Shang Que menatapnya lekat-lekat. Nafasnya tenang, tapi telinganya dapat menangkap tarikan napas wanita itu, yang lambat, teratur, bukan milik seorang prajurit biasa yang gugup di hadapan komandannya. Dia pernah dilatih