Keesokan paginya, udara di Paviliun Qingxin masih basah oleh embun. Tirai tipis berwarna gading terbuka setengah, membiarkan sinar matahari menerobos lembut ke dalam ruangan. Di meja rendah yang terbuat dari kayu cendana, sarapan Chun Mei sudah tersaji. Semangkuk sup sayur pucat, sepiring daging yang gosong di tepinya, dan semangkuk nasi yang tampak kusam, bulirnya pecah-pecah seolah berasal dari beras yang sudah lama disimpan, mungkin sudah dihinggapi kutu. Chun Mei duduk anggun di bantalan bundar, gaun tipisnya jatuh rapi, tetapi tatapannya datar pada hidangan di depannya. Di belakang, atau lebih tepat di sisi kirinya, Liu Ning berdiri dengan kedua tangan bersedekap di depan, matanya menatap hidangan itu dengan sorot tajam yang tak berusaha dia sembunyikan. Pelayan dapur utama yang mengantar makanan tadi baru saja keluar, meninggalkan keheningan singkat. Liu Ning tak bisa menahan diri lagi. “Kalau dapur utama terus menyajikan makanan seperti ini,” katanya, nadanya jelas terd
Di Paviliun Selir Agung. Wanita tua itu duduk bersandar di kursi berukir naga, jemarinya yang lentik memegang cangkir teh panas. Tatapannya tidak pada teh itu, melainkan pada pelayan tua yang berlutut di hadapannya, membisikkan laporan dengan suara terukur. “Selir Agung, kemarin Liu Ning, pelayan pribadi Nyonya Chun, keluar dari Paviliun Qingxin. Dia terlihat menjual sepatu rajut di pasar. Lalu, kembali sambil membawa obat dari toko luar.” Tatapan Selir Agung berubah tipis, tidak penuh amarah, tapi dingin dan penuh perhitungan. Dia meletakkan cangkir teh perlahan di permukaan meja giok di sampingnya. “Mendapatkan uang sendiri itu bukan masalah,” ujarnya tenang, meski nada suaranya menyimpan ujung tajam. “Tapi membeli obat di luar?” Wanita itu mengangkat alis tipis. “Bukankah di gudang obat kekaisaran, semua ramuan tersedia, bahkan bisa diambil tanpa membayar satu keping pun?” Pelayan itu menunduk lebih dalam, tidak berani memberi komentar. Selir Agung menyandarkan tubuh, jemari
Langkah Liu Ning terasa lebih cepat dari biasanya saat dia memasuki halaman Paviliun Qingxin. Matahari sore menembus sela-sela dedaunan, memantulkan bayangan bergerak di atas lantai batu. Begitu tiba di dapur kecil paviliun, dia langsung menyalakan tungku dan menuang air ke panci tanah liat. Aroma ramuan herbal segera memenuhi ruangan begitu bungkusan kertas minyak dari pasar dibuka. Uap tipis naik bersama bau pahit yang pekat. Liu Ning terus mengaduk perlahan, memastikan ramuan itu meresap sempurna. Begitu warnanya menggelap, dia memindahkannya ke mangkuk porselen, meniup sedikit agar panasnya berkurang. Dengan hati-hati, dia membawa mangkuk itu ke dalam ruangan tempat Chun Mei duduk. Selir kesayangan Kaisar itu tengah menjahit sesuatu dari sepotong kain putih bergambar pola awan merah, jelas untuk pakaian bayi. Cahaya lembut dari jendela menyinari wajahnya yang cantik, tapi sedikit pucat. “Nyonya, ramuanmu,” ucap Liu Ning sambil meletakkan mangkuk di meja rendah di dekatnya. C
Jenderal Shang Que berakhir melangkah keluar dari toko obat itu.Udara luar yang hangat bercampur aroma kayu manis dan rempah-rempah dari pasar kembali menyapa hidungnya. Dia sempat mengedarkan pandangan, memastikan ke arah mana Liu Ning pergi.Untungnya menemukan gadis muda itu tidak sulit. Dia hanya berjarak beberapa deretan toko dari tempatnya berdiri. Dan kali ini, dia berhenti di depan sebuah gerobak kecil dengan payung kain merah, yang terdapat tang hu lu berlapis gula mengkilap bergantungan. Shang Que memperhatikan dari jauh, memperkirakan langkahnya sambil tetap menjaga jarak aman. Dia melihat Liu Ning menunjuk ke arah tusukan stroberi. Lalu, penjualnya memotong dua tusuk dan menyerahkan kepadanya.Gerakan sederhana itu seharusnya tidak berarti apa-apa. Namun, setelah apa yang dia dengar di toko obat tadi, setiap tindakan gadis ini terasa mengandung makna yang perlu dipecahkan.Begitu Liu Ning membayar, dia berbalik .... dan tepat saat itulah pandangannya bertemu dengan Shang
Roda kereta berguncang pelan di atas jalan berbatu, meninggalkan kediaman keluarga Li menuju kota Kekaisaran. Di luar, angin pagi masih membawa sisa aroma dupa dari rumah duka. Kasim Feng duduk di bangku sempit di samping kusir, wajahnya menghadap jalan, tubuhnya bergoyang ringan mengikuti irama gerak kereta. Dia tidak menoleh ke belakang, seolah sengaja memberi ruang bagi percakapan di dalam gerbong. Di dalam, tirai tebal menutup rapat, meredam cahaya dan suara dari luar. Di dalamnya hanya ada dua orang, yakni Kaisar dan jenderal Shang Que. “Kematian Tuan besar Li murni karena dibunuh,” suara Shang Que rendah, nyaris hanya terdengar di antara mereka berdua. “Luka di perutnya paling fatal. Tajam, bersih, dan langsung mengenai organ vital. Bukan kerjaan perampok jalanan biasa,” sambungnya penuh perhitungan, tapi yakin. Kaisar, yang duduk bersandar di sudut, hanya bergumam singkat. Jemarinya memainkan lipatan kain jubahnya, matanya tak memandang Shang Que secara langsung. Setelah b
Pagi itu, halaman depan kediaman keluarga Li dipenuhi oleh orang-orang yang datang silih berganti. Pakaian putih berkabung menyatu dalam pemandangan yang muram; bau dupa dan asap uang kertas yang dibakar memenuhi udara, bercampur dengan aroma arak dari cawan penghormatan yang diletakkan di meja persembahan. Di tengah keramaian, suara langkah kaki berbaur dengan desah napas pelan para pelayat yang berbicara dalam bisik-bisik. Beberapa pejabat pemerintahan berdiri di barisan depan, membungkukkan tubuh, menyalakan hio, dan meletakkannya di tungku dupa di hadapan peti. Mereka melakukan ritual dengan khidmat, namun tatapan mata sebagian dari mereka diam-diam melirik ke arah Li Jiancheng. Dia berdiri tegak di sisi peti, mengenakan pakaian putih polos tanpa hiasan, tali kain hitam melilit pinggangnya. Kepalanya yang licin memantulkan sedikit cahaya pagi yang menembus tirai tipis di ruang utama. Meskipun penampilannya mencolok, tak seorang pun berani menyinggungnya; suasana duka terlalu k