Malam itu, angin berhembus dingin menyusuri koridor panjang Paviliun Qingxin. Bayangan lentera bergoyang di dinding, menciptakan siluet-siluet yang bergerak samar.Chun Mei melangkah pelan, gaun pelayan coklat lusuh menutupi tubuhnya. Rambutnya dikepang dua lalu digulung rapi di sisi kepala, wajahnya dilumuri debu tanah kering sehingga terlihat lebih kusam. Dari balik cermin tadi, dia nyaris tak mengenali dirinya sendiri.Harus berhasil, pikirnya dengan jantung berdentum cepat.Begitu pintu ganda kamarnya terbuka, langkahnya menyusuri lorong. Tak jauh dari sana, seorang pelayan lewat sambil membawa baki kecil. Chun Mei menunduk, pura-pura sibuk, sengaja memperlambat langkah agar tak mencurigakan.Bagus!Pelayan itu tidak mengenalinya sebagai selir Chun Mei. Dan dua sampai tiga kali dia berpapasan dengan pelayan lain, mereka tidak bereaksi seperti pelayan yang bertemu nyonya nya. Hingga pada pelayan berikutnya ... “Eh, kamu!” suara seorang pelayan memanggilnya tiba-tiba.Napas Chun Me
Tabib sangat khawatir Kaisar maupun orang-orangnya akan mencari dirinya, jadi di hari dia dituduh mencuri tusuk rambut mawar emas itu oleh si pemilik toko, dia langsung meninggalkan kota, menuju perbatasan selatan. Tatkala Kaisar ditemani kasim Feng datang ke kediamannya .... “Yang Mulia.” Salah seorang tetangga tabib langsung membungkuk, menyatukan kedua tangan ke depan penuh hormat pada Kaisar. Kasim Feng yang bicara, “Yang Mulia ingin mencari seorang tabib perempuan di sini, apa dia ada? Tolong panggilkan!” Masih dengan posisi yang sama, penduduk itu menjawab, “Mungkin maksud Yang Mulia adalah Tabib ber dagu ganda. Kami menyebutnya demikian, karena beliau punya dua lipatan dagu.” “Iya.” Kasim asal mengiyakan. “Beliau tidak ada di rumah, kemarin bilang, akan melakukan pengobatan di luar kota, mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat.” Penjelasan itu seketika membuat Kaisar menyipitkan mata dengan helaan nafas berat. Kasim Feng penuh hati-hati menghadap Kaisar kem
“Nyonya, ada yang menghalangi jalan, mereka terlihat seperti bandit gunung.” Sambil tetap memacu kuda, kusir melaporkan. Chun Mei tahu jalan menuju pos 7 ini kurang aman, tetapi dia juga tak punya jalan lain kecuali melewatinya. Kemudian wanita itu berkata, “Berhenti! Aku akan bicara pada mereka.” Kusir. “...” Awalnya bergeming, tetapi akhirnya mengikuti perintah Chun Mei. Menarik tali kekang kudanya. Kuda meringkik, perlahan tapi pasti berhenti saat itu juga. Barulah Chun Mei menyandarkan Liu Ning, dilanjut menyibak tirai penutup gerbong hanya untuk menunjukkan diri, menghadapi para bandit itu tanpa rasa gentar sedikit pun di wajahnya. “Aku hanya selir miskin, tidak punya banyak harta selain kereta kuda ini dan ini—” Chun Mei tidak mau ribut, tidak mau perjalanan tertunda lebih lama. Di dalam, nyawa Liu Ning jauh lebih penting! Jalan mereka terhalang bandit gunung, dan mereka tidak akan pantang menyerah kalau belum mendapatkan harta yang diinginkan, jadi Chun Mei tanpa r
“Siapa di sana?!” Seruan keras seorang pria memecah sunyi di tepi sungai. Tiga pelayan yang sedang menahan Liu Ning sontak terkejut. Tatapan mereka saling bertemu, penuh kepanikan. Tanpa pikir panjang, mereka serentak melepaskan Liu Ning begitu saja. Tubuh gadis itu terhempas ke tanah becek di tepi sungai, terdengar suara berat dari dadanya yang berusaha mencari udara. Rambutnya menempel di wajah, bibirnya membiru, matanya merah basah, nyaris kehilangan kesadaran. “Cepat lari! Kalau ketahuan kita bisa habis!” bisik salah satu pelayan panik. Mereka bertiga segera menerobos semak belukar dan ilalang tinggi tanpa menoleh ke belakang, langkah-langkah mereka terburu, meninggalkan Liu Ning tergeletak sendirian. Air sungai terus bergemuruh, seakan menyaksikan penderitaannya. Beberapa saat kemudian, dari arah jalur setapak, seorang pria muncul. Pakaian prajurit membalut tubuh tegapnya, tombak panjang tergenggam di tangan. Sorot matanya tajam, terlatih untuk membaca keadaan. Di
“Selir Agung!” Nyonya Xu mendorong seorang pelayan muda masuk ke dalam ruangan. Wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah berair seolah tak tidur semalam suntuk. Gerakannya gelisah, tangannya terus-menerus meremas jubahnya sendiri. Selir Agung yang tengah bersandar di kursi berlapis sutra mengangkat kepala perlahan. Seketika, alisnya terangkat tipis. Itu pelayan yang beberapa waktu lalu dia jadikan ‘kelinci percobaan’. Kali ini penampilan pelayan polos itu benar-benar berbeda. Sorot matanya kosong sekaligus berkilat aneh, ada bekas goresan di pergelangan tangannya, sedikit tampak dari balik lengan jubahnya. Gerakannya terguncang, seperti orang yang tengah kecanduan sesuatu yang tak kasat mata. Pelayan itu terhuyung ke depan, hampir jatuh berlutut. Dengan suara serak, dia memohon, “Nyonya, wewangian itu, berikan lagi pada hamba, hamba mohon. Tanpa aromanya, dada hamba sesak, kepala hamba berdenyut, hamba bisa gila!” Matanya membelalak, tangannya meraih ke udara, seolah ingin
Di dalam kamar gelap itu, hanya satu pelita kecil di sudut yang memancarkan cahaya redup. Chu Qiao duduk bersila di lantai, gaun merahnya kusut dan sedikit robek di bagian bahu, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Tangannya membuka lipatan peta yang tadi nyaris mengorbankan nyawanya. Kertas tua itu memancarkan aroma lembab yang khas, dengan garis-garis halus yang membentuk jalur-jalur rahasia dan tanda-tanda yang hanya bisa dibaca oleh orang tertentu. Dia mengamati dengan seksama, matanya bergerak cepat mengikuti setiap garis. Kemudian, perlahan, dia mengangkat pewarna bibir yang diambil langsung dari bibirnya. Dengan ujungnya, dia memberi tanda bulat kecil berwarna merah di beberapa titik peta. Titik-titik itu adalah lokasi yang pernah dia datangi, yakni markas pelatihan pasukan tersembunyi Zhuge Liang. Tempat-tempat itu masih aktif hingga sekarang. Hanya tersisa dua titik terakhir yang belum dia jamah. Di salah satunya, dia yakin, Zhuge Liang bersembunyi. Bibirnya men