Di pagi yang sama, cahaya matahari menembus kisi-kisi jendela Paviliun Qingxin, menciptakan pola cahaya yang lembut di lantai kayu. Chun Mei baru saja membuka mata, rambutnya berantakan di atas bantal, dan alisnya perlahan berkerut.Ada rasa aneh di perutnya. Hangat, lalu bergulung, lalu naik ke tenggorokan.Dia buru-buru duduk, menutup mulut dengan tangan. “Ugh…” Napasnya tersengal.Baru saja diw mencoba berdiri untuk mengambil air, rasa mual itu datang seperti gelombang yang tak memberi peringatan.Air liurnya terasa pahit. Setelah beberapa saat, rasa itu mereda, tapi hanya sebentar. Begitu dia mencoba melangkah menuju bilik mandi, mual itu kembali menyerang. Bahkan aroma sabun wangi yang biasa menenangkan kini membuat kepalanya ringan dan perutnya bergejolak.“Kenapa?” gumamnya pelan, mencoba mencari penjelasan. Dia tidak ingat pernah makan sesuatu yang aneh semalam, dan tubuhnya selama ini sehat.Liu Ning, pelayan pribadinya, yang sedari tadi memerhatikan dari sudut ruangan, seger
Kaisar Lin Yi tergerak oleh cahaya matahari yang menembus tirai tipis, memercikkan kilau keemasan di udara. Kelopak matanya terasa berat, kepalanya masih berdenyut, sisa kabut dari ramuan semalam belum sepenuhnya menghilang. Dia mengerjap perlahan. Pandangannya masih kabur, warna-warna bercampur tanpa bentuk jelas. Hanya siluet seorang wanita di sisi ranjang yang mulai membentuk garis wajah samar. Dia menyipitkan mata, mencoba memaksa dunia kembali fokus. Perlahan, garis itu menjadi nyata, dari lekuk bibir yang tersenyum tipis, tatapan mata yang mengamatinya lekat. Permaisuri Yuwen! Tubuhnya menegang. Tatapan yang tadinya sekadar mengamati kini berubah menjadi mendelik, dingin seperti bilah baja. Namun, dia tetap diam di tempat, menahan diri, meski darahnya mendidih di balik ketenangan wajah. Hawa hangat di bawah selimut membuatnya sadar akan sesuatu. Dia merasakan kulitnya bersentuhan langsung dengan udara, tanpa sehelai kain pun yang menutupi. Rahangnya mengeras. Dia memejamka
Kaisar Lin Yi menelan potongan kue manis terakhir. Teksturnya lembut, rasa gula maltnya masih terasa di lidah. Namun, tak lama setelahnya, ada sesuatu yang berbeda. Rasa berat mulai menjalar dari tengkuk ke pelipisnya! Pusing. Lalu, berubah kantuk yang tiba-tiba, pekat seperti kabut yang menelan kesadarannya. Sebagai seorang Kaisar, dia terlalu terlatih untuk mengabaikan firasat. Dan firasat itu kini berteriak; ada yang tidak wajar. Ada yang sudah diatur sebelum dia duduk di sini. Dan dalangnya, tak perlu dia mencari jauh. Pandangan matanya menajam ke arah Nenek Permaisuri juga Permaisuri Yuwen yang masih duduk anggun, senyum mereka terlalu tenang untuk momen seperti ini. Sayang sekali, kesadarannya merosot lebih cepat daripada langkahnya untuk menghindar. Tubuhnya terasa berat, otot-ototnya seperti kehilangan perintah. Dia hanya sempat meraih kepala, menekan pelipisnya yang berdenyut, sebelum meja rendahnya bergeser karena seseorang membantunya berdiri. Tangan itu kecil tapi m
Kotak brokat biru zamrud tergeletak di meja rias Chun Mei. Isinya masih di dalam. Tak sedikitpun menarik minatnya, meski itu hanya sekedar sentuhan. Dia, Chun Mei, mendengarkan laporan Liu Ning dengan teliti, tetapi sorot matanya mengarah kotak brokat di permukaan meja. Hingga Liu Ning selesai melapor, barulah Chun Mei bertanya, “Kapan kamu menemukan barang itu?” “Siang ini, di depan pintu kamarmu, Nyonya. Dan di negara yang luas ini, hanya ada satu yang bisa memberikan hadiah semahal itu dengan cara demikian.” Kaisar. Karena itu, Chun Mei tidak tertarik membukanya. Melainkan membiarkan kotak brokat biru zamrud itu tergeletak begitu saja seperti barang murahan. “Nyonya sudah dengar, belum?” pancing Liu Ning. Chun Mei balas menatapnya tak bersemangat, tetapi sorot matanya mengisyaratkan tanda tanya. Liu Ning menyeret kursi, sengaja duduk lebih dekat, selayaknya penggosip yang siap menyebarkan berita penting maupun tidak penting. “Katanya, akhir-akhir ini wajah Yang Mulia sanga
Brak! Sore itu Li Liandi akhirnya sampai di kediaman Li. Pulang-pulang langsung menendang gerbang kediaman, membuat pelayan tua di baliknya, yang berniat membuka, seketika tersentak mundur lalu tertunduk dalam-dalam. Li Liandi melangkah lebih ke dalam. Wajahnya merah padam siap membakar siapapun yang digapainya. Menyadari kepala keluarga Li ini sedang tidak baik-baik saja, setiap pelayan yang berpapasan dengannya alhasil tertunduk, bahkan ada pula yang membungkuk nyaris menyentuh lutut sendiri. Hingga akhirnya pria tua itu tak sengaja melihat Li Jiancheng, yang entah akan pergi ke mana, Li Liandi tanpa basa-basi melemparkan belati dari ikat pinggangnya ke arah keponakannya itu. Belati itu melesat tajam, mengiris udara sore yang lembap, berputar sekali sebelum menancap ke tiang kayu di samping kepala Li Jiancheng, hanya sejengkal dari pelipisnya. Li Jiancheng tertegun sesaat, napasnya tertahan. Matanya, yang awalnya terkejut, perlahan berubah tajam. "Sejak kapan paman ingin memb
Pagi itu di Paviliun Naga Emas, uap hangat masih mengepul dari tungku perunggu, bercampur aroma kayu gaharu.Kaisar baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah sebagian, jatuh menutupi bahu, dan hanya mengenakan jubah dalam tipis warna putih. Kasim Feng berdiri di sisi pintu, memegang lipatan pakaian dinas Kaisar yang berwarna hitam emas, siap untuk dikenakan. Namun, sebelum satu langkah pun mendekatkan pakaian itu ke tubuh Kaisar, pintu ganda kamarnya terbuka keras.“Lin Yi!”Suara serak tapi tajam itu menusuk udara pagi, diikuti langkah cepat seorang wanita tua yang tetap terlihat berwibawa meski keriput telah mengukir wajahnya.Dialah nenek permaisuri, bagai badai yang menerobos, mengabaikan salam dan larangan kasim Feng yang panik mencoba menahannya.“Yang Mulia! Sudah lima tahun ini kamu seperti ini!” serunya dengan mata menyipit tajam.Kaisar yang tengah meraih ikat pinggang hanya bisa menghela napas panjang. “Nenek—”“Diam!” potongnya cepat, mengangkat tongkat giok yang sela