Beranda / Romansa / Selling My Husband / Menikah atau Miskin Selamanya

Share

Menikah atau Miskin Selamanya

Penulis: Zhang A Yu
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-30 14:14:14

"Me--menikah dengan Elena." Ulang Adam, terbata-bata.

Lily mengangguk cepat. Ia sangat bersemangat. Seakan-akan ia membawa kabar baik berupa kehamilan dirinya seperti tiga tahun silam.

Adam menggeleng. Tatapan pria itu nanar. Ia sama sekali tak menduga sang istri, yang amat ia cintai tega hati berlaku demikian.

"Tidak, Li. Aku tidak bisa," jawab Adam tanpa berpikir panjang.

Sontak Lily ikut berdiri. Wajah bahagianya seketika berubah murka. Sorot cinta yang barusan Adam lihat tak tersisa secuil pun. Yang ada hanya kilatan bak petir menyambar.

"Mas! Ini demi kehidupan kita. Kehidupan aku, kehidupan kamu dan kehidupan anak kita."

"Tapi bukan begini caranya, Li," lirih Adam, menahan sesak di dada yang berkecamuk.

"Kamu jangan menyia-nyiakan kesempatan ini, Mas. Aku melakukan ini juga setelah mempertimbangkan semuanya. Aku ingin lepas dari belenggu kemiskinan, aku ingin anak kita bisa mendapat biaya pengobatan baik ketika ia sakit, aku ingin anak kita tidak kelaparan, aku ingin kau tidak panas-panasan juga hujan-hujanan lagi, Mas," terang Lily, memohon.

"Dan untuk membayar semua itu kau menggunakan aku, Li?"

"Disini tidak ada kerugian sama sekali, Mas. Kita mendapat kekayaan dan Elena juga mendapatkan kamu."

Adam tak kuasa. Buliran hangat membelah pipinya yang lusuh dan kusam. Ia terduduk lemah. Ia menangis sejadi-jadinya.

"Mas, pikirkan ini baik-baik. Kita bisa mendapat kekayaan dengan instan. Dan lagi ini bukan semacam ilmu hitam tapi sebuah kesepakatan yang tidak ada ruginya," tambah Lily berusaha membujuk Adam.

Adam benar-benar tak habis pikir akan ide istrinya tersebut. Demi apapun, selama hidup bersama Lily. Tidak pernah terlintas kejadian seperti sekarang.

Dunia Adam seakan runtuh. Kakinya tak dapat berpijak. Ia tak punya kekuatan untuk bangkit. Ia hanya bisa mengeluarkan air mata. Merutuki diri serta nasib yang tak mujur.

"Mas." Lily meraih tangan Adam. Ia genggam juga ia usap. "Aku tau ini berat tapi coba pikirkan kami, Mas. Atau setidaknya pikirkan nasib anak kita. Apa kau tega melihat sepanjang ia sakit, ia tak bisa mendapat pengobatan layak. Apa kau tega ketika ia ingin memiliki mainan seperti anak kecil pada umumnya, ia hanya bisa merenung."

Ya, Adam pun tak tega. Kalau saja ia kaya. Pastilah ia berikan semua yang anaknya inginkan.

"Kalau," batin Adam.

"Mas, aku mohon," minta Lily, memamerkan wajah penuh harap.

Mulut Adam tetap terkunci rapat. Ia belum berani mengambil keputusan. Ia melepas pegangan tangan Lily. Ia beringsut bangun dan beranjak memasuki kamar.

Dilihatnya wajah sang anak secara cermat. Tak terasa air mata membanjiri pipi Adam lagi dan lagi.

"Benar kata ibumu," monolog Adam.

Dan malam itu menjadi malam yang lebih hening juga senyap dari malam yang sudah-sudah.

Adam tak tidur di kamar. Ia merenungkan kembali permintaan Lily. Sementara Lily terus berharap supaya Adam bersedia. 

**

Tok tok tok

Bersama ketukan pintu suara seorang wanita berteriak memanggil-manggil nama Adam juga Lily.

"Adam! Lily!"

Suara itu berulang-ulang sampai Lily menyibakkan selimut. Ia menggerutu, "Siapa, sih yang pagi-pagi begini merusak pintu rumah orang."

Sembari mengikat rambut. Lily bersicepat keluar kamar lalu membuka pintu.

"Enak, tidur tanpa bayar," geram si wanita berumur 50 tahun, sebagai pemilik rumah kontrakan.

"Eh, Buk." Lily menyeringai kuda. Ia paham, wanita tersebut akan menagih uang kontrakannya.

"Sudah tiga bulan nunggak. Katanya bulan ini mau dilunasi. Mana, hah??" Nadanya meninggi, memancing semua mata tetangga mengarah pada Lily.

"Masuk dulu, Buk," tawar Lily, tak enak jadi santapan empuk para tukang nyinyir.

"Tidak perlu. Sekarang bayar dulu atau kalian angkat kaki dari kontrakan ku!" Kecam pemilik kontrakan tersebut.

"Anu." Lily menggaruk kepala, yang sungguh gatal bukan main. Ia melongok ke dalam. Adam tidak terlihat di sofa tamu. Motornya juga masih ada.

"Anu, anu, buruan!!"

"Ish, iya iya. Tapi aku baru ada uang 500," kata Lily lirih.

Pemilik kontrakan itu memutar bola matanya, jengah. "Uang 500 jelas kurang untuk biaya kontrakan selama tiga bulan. Namun, kalau dipikir-pikir lumayan. Daripada tidak ada sama sekali," pikir wanita 50 tahun itu.

"Aku akan berusaha melunasi secepatnya," lanjut Lily meyakinkan.

Si pemilik kontrakan bergeming. ia menyerongkan garis bibir seraya mendengus kasar. "Ya sudah, sini!"

Lily menghela nafas kasar. Ia kembali masuk. Mulutnya komat-kamit. Ia kesal bukan main karena uang pemberian Elena langsung habis hari ini untuk membayar tunggakan.

"Ini."

Lily menyerahkan semua uang pemberian Elena. Si pemilik kontrakan tersenyum lebar sambil menghitung uang tersebut.

"Bagus! Minggu besok aku akan datang lagi. Awas kalau belum ada," ancam si pemilik kontrakan sebelum akhirnya melenggang pergi.

**

Dibukanya tong tempat Lily menyimpan beras. Ia tertunduk lesu lantaran tempat penyimpanan berasnya sudah kosong melompong. Jangankan secomot beras satu biji pun tidak ada.

Lily duduk bersandar pada dinding usang kontrakannya. Ia diam tak berekspresi. Tahun-tahun lalu ia pernah merasakan hal serupa. Dan kala itu ia menangis tapi sepertinya saat ini air mata wanita itu telah kering.

"Tidak ada pilihan lain, Mas. Kau harus menikah dengan Elena atau kita akan terbelenggu Kemiskinan sepanjang hidup."

"Li."

Tiba-tiba Adam berdiri di ambang pintu. Ia menenteng kantong kresek warna hitam.

"Aku membeli ini tadi saat keluar," ucap Adam.

"Kau habis dari mana, Mas? Kau tidak tau tadi pagi pemilik kontrakan datang, dan marah-marah sampai semua tetangga menjadikan kami tontonan," lapor Lily.

"Maaf."

"Uang dari Elena aku serahkan semua padanya, pun masih kurang. Lihat ini, Mas!" Lily menunjukan tong berasnya. "Kita tak memiliki satu biji pun untuk dimasak."

Perkataan wanita itu jelas menunjukan keadaan ekonomi mereka saat ini. Adam hanya bisa terdiam. Ia mengusap kasar wajahnya.

"Baiklah, kau ingin aku menikah dengan Elena bukan? Akan aku turuti."

Lily beranjak berdiri. Terpancar harapan pada wajah yang tadinya murung. Bibirnya mengembang. Ia meraih tangan Adam.

"Kau bersungguh-sungguh, Mas?"

Dengan mata terpejam. Adam mengangguk. "Asal kau dan anak kita senang serta kehidupan kalian tercukupi."

"Mas Adam!!!" Lily tersenyum bahagia. ia memeluk erat sang suami. "Terima kasih, Mas terima kasih. Aku akan segera menghubungi Elena."

Lily bersicepat menyambar ponsel jadul, yang dimiliki sedari bekerja dan ia pertahankan hingga detik ini.

Ia menekan dial panggil pada kontak bernama Elena. Tak butuh waktu lama panggilan terangkat.

"Halo, Elena. Ada kabar baik," lapor Lily sumringah.

"Kabar baik apa, Li?" Tanya Elena. Lily sengaja menyalakan spiker. Adam dapat mendengar suara wanita, yang dulu selalu mengejar-ejar cintanya.

"Adam bersedia. Adam mau menikah dengan mu, El."

"Benarkah? Jangan bercanda."

"Sungguh. Barusan Mas Adam bilang sendiri. Dan … dan …" Lily melihat ke arah Adam. "Dan kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?"


Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Selling My Husband   Hari Semakin cerah.

    Bulan keempat setelah mereka meninggalkan rumah Lily. Cuaca cerah saat Adam dan Elena berdiri di depan rumah kontrakan baru mereka—rumah tipe 36 dengan pagar besi sederhana dan cat tembok warna krem. Tidak luas, tapi bersih dan rapi, terletak di sebuah komplek perumahan sederhana di pinggir kota, cukup tenang, cukup ramah untuk anak-anak. Adam membuka pagar sambil tersenyum kecil. “Resmi jadi warga RT 05, Bu Elena,” katanya sambil menoleh ke istrinya. Elena tertawa, menggandeng tangan Vino yang sedang membawa boneka dinosaurus kesayangannya. “Ayo, Nak. Rumah baru kita.” Begitu masuk, Vino langsung berlari ke ruangan tengah yang belum berisi banyak barang. Hanya ada satu sofa kecil dan tikar gulung. “Bisa main bola di sini!” teriaknya riang. Elena menatap Adam. “Nggak nyangka, ya. Empat bulan lalu kita cuma punya satu kasur tipis dan dua koper.” Adam memeluk bahunya. “Dan sekarang kita punya ruang untuk tumbuh.” Malam itu mereka makan malam seadanya—nasi goreng buatan El

  • Selling My Husband   Membuka Lembaran Baru.

    Langit belum sepenuhnya biru ketika Adam mengayuh motornya menuju kedai kopi kecil yang ia miliki sejak beberapa waktu lalu, tepatnya atas bantuan Elena.Di dalam kedai, dua barista muda sedang sibuk mengelap meja dan mempersiapkan mesin espresso.Adam masuk, disambut aroma kuat biji kopi yang baru digiling.“Pagi, Mas Adam,” sapa salah satu karyawannya, Rio, ramah.Adam mengangguk, menggulung lengan kemejanya. “Mulai hari ini aku ikut turun tangan. Bukan cuma jadi bos yang duduk lihat angka.”Rio terkejut sejenak. “Serius, Mas?”Adam tersenyum. “Serius. Ajari aku bikin cappuccino yang bener. Aku harus bisa, Rio.”Dan pagi itu, Adam berdiri di belakang bar. Tangannya sempat kaku saat menuang susu ke dalam espresso, tapi ia tak menyerah. Berkali-kali gagal, tapi dia terus mencoba. Busa terlalu tebal, rasanya pahit, latte art-nya berantakan—tapi Adam tetap tersenyum.Setiap pelanggan yang datang pagi itu dibuat heran melihat sang pemilik turun langsung melayani. Ada yang memotret diam-d

  • Selling My Husband   Terusir Dari Rumah Sendiri.

    Vino sudah pulang. Di atas tempat tidur kecilnya, bocah itu masih lemah tapi tersenyum bahagia karena bisa kembali ke rumah. Di sisi tempat tidur, Elena mengganti selimutnya pelan-pelan, memastikan tidak ada angin masuk dari jendela. Adam menyalakan diffuser di sudut ruangan, memeriksa suhu ruangan agar tidak terlalu dingin.“Aku senang bisa tidur di rumah lagi,” gumam Vino dengan mata setengah terpejam.Elena tersenyum, mengecup dahinya. “Tidurlah, sayang. Besok kita bangun pagi, lihat burung dari jendela bareng-bareng, ya?”Adam mendekat, menyentuh kepala putranya lembut. “Ayah di sini, Nak.”Tak lama kemudian, suara langkah terdengar di luar kamar.“Adam, Elena. Ke ruang keluarga. Sekarang,” suara Lily terdengar tajam, tidak bisa ditawar.Adam dan Elena saling pandang tanpa sepatah kata pun.“Ayah keluar dulu, yah, kamu tidur dengan nyenyak,” kata Adam, menunduk dan mengecup kening Vino yang mulai ngantuk karena beberapa waktu lalu minum obat. Dan tak berselang lama usai Vino terti

  • Selling My Husband   Seperti Boom Waktu.

    Langit mulai meredup, senja menggantung di balik kaca jendela ruang rawat. Cahaya keemasan menerpa wajah kecil Vino yang tengah tertidur, pelan-pelan, napasnya tenang. Di sisi tempat tidur, Elena duduk sambil membacakan buku cerita dinosaurus yang tadi siang ia bawa.Sesekali ia berhenti, mengelus dahi Vino lembut.“Tidurlah, nak. Tante jaga kamu.”Adam berdiri di ambang pintu. Pandangannya jatuh ke wajah Vino, lalu ke Elena. Sekilas, dunia di ruangan itu terasa damai. Tapi tidak di dalam dirinya.“El,” panggilnya pelan.Elena menoleh. “Hmm?”“Aku keluar sebentar. Mau bicara sama Lily.”Elena mengangguk. Tak perlu banyak kata. Ia tahu, inilah saatnya.Di area parkir rumah sakit.Suara mesin kendaraan dan langkah-langkah tergesa terdengar di kejauhan. Di bawah pohon besar di sudut parkir, Adam duduk dengan pikiran kacau tapi kemantapan sepenuhnya menyelimuti dada. Tak lama, Lily datang. Tumit sepatunya beradu dengan lantai beton, kaku, tergesa, dingin.“Ada apa?” tanyanya tajam, "aku b

  • Selling My Husband   Memilih.

    Rumah Sakit – Pagi HariRuangan masih diselimuti cahaya temaram saat Adam membuka tirai jendela perlahan. Di atas ranjang, Vino mulai menggeliat. Napasnya lebih teratur. Warnanya tak sepucat semalam.Adam duduk di sisi tempat tidur, tangan besarnya menggenggam tangan kecil Vino dengan erat.Lily belum datang, dia sebelumnya mengirim pesan.“Aku harus ke kantor pagi ini. Ada hal yang harus diselesaikan. Aku ke rumah sakit siang nanti.”Adam hanya membaca, lalu mengunci layar ponselnya. Tidak ada balasan. Tidak perlu. Hatinya sudah cukup penuh oleh banyak hal yang lebih penting dari penjelasan seadanya.Ia mengusap rambut Vino, pelan, dan menunduk dekat ke telinga anak itu.“Papa di sini, Vin. Kamu nggak sendiri.”Dan seolah mendengar, mata Vino perlahan terbuka. Masih lemah, tapi ia tersenyum tipis.“Papa,” gumamnya.Adam menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Iya, sayang. Papa di sini.”Beberapa saat berselang.Langkah ringan terdengar di lorong. Aroma makanan hangat bercampur wangi

  • Selling My Husband   Terlalu Serakah.

    Elena terdiam beberapa saat setelah Adam mengucapkan kata-kata itu."El, dibandingkan denganku, kamu lebih cocok bersama pria itu."Ia tidak langsung menjawab. Hanya menatap Adam dengan sorot yang sulit ditebak—antara tersentuh dan terluka.Namun, dalam hatinya... ada sesuatu yang hangat. Cemburu. Akhirnya Adam merasakannya juga. Akhirnya, lelaki itu menyadari keberadaannya... dan takut kehilangannya.Itu cukup. Untuk malam ini, itu cukup.Mereka duduk kembali. Dua cangkir di atas meja, satu berisi teh hangat yang hampir habis, satu lagi kopi hitam yang mulai mendingin.Tak ada perbincangan. Hanya diam. Tapi bukan diam yang hampa. Ada ribuan kata tak terucap yang beterbangan di udara, membentuk ruang hening yang... anehnya nyaman.Setelah beberapa saat, Elena melirik jam tangannya dan berdiri."Aku pulang dulu," katanya singkat.Adam mengangguk, ikut berdiri."Aku juga harus kembali ke rumah sakit."Mereka berjalan keluar bersamaan, lalu berpisah di trotoar, tanpa ucapan panjang, tanp

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status