Share

Menikah atau Miskin Selamanya

"Me--menikah dengan Elena." Ulang Adam, terbata-bata.

Lily mengangguk cepat. Ia sangat bersemangat. Seakan-akan ia membawa kabar baik berupa kehamilan dirinya seperti tiga tahun silam.

Adam menggeleng. Tatapan pria itu nanar. Ia sama sekali tak menduga sang istri, yang amat ia cintai tega hati berlaku demikian.

"Tidak, Li. Aku tidak bisa," jawab Adam tanpa berpikir panjang.

Sontak Lily ikut berdiri. Wajah bahagianya seketika berubah murka. Sorot cinta yang barusan Adam lihat tak tersisa secuil pun. Yang ada hanya kilatan bak petir menyambar.

"Mas! Ini demi kehidupan kita. Kehidupan aku, kehidupan kamu dan kehidupan anak kita."

"Tapi bukan begini caranya, Li," lirih Adam, menahan sesak di dada yang berkecamuk.

"Kamu jangan menyia-nyiakan kesempatan ini, Mas. Aku melakukan ini juga setelah mempertimbangkan semuanya. Aku ingin lepas dari belenggu kemiskinan, aku ingin anak kita bisa mendapat biaya pengobatan baik ketika ia sakit, aku ingin anak kita tidak kelaparan, aku ingin kau tidak panas-panasan juga hujan-hujanan lagi, Mas," terang Lily, memohon.

"Dan untuk membayar semua itu kau menggunakan aku, Li?"

"Disini tidak ada kerugian sama sekali, Mas. Kita mendapat kekayaan dan Elena juga mendapatkan kamu."

Adam tak kuasa. Buliran hangat membelah pipinya yang lusuh dan kusam. Ia terduduk lemah. Ia menangis sejadi-jadinya.

"Mas, pikirkan ini baik-baik. Kita bisa mendapat kekayaan dengan instan. Dan lagi ini bukan semacam ilmu hitam tapi sebuah kesepakatan yang tidak ada ruginya," tambah Lily berusaha membujuk Adam.

Adam benar-benar tak habis pikir akan ide istrinya tersebut. Demi apapun, selama hidup bersama Lily. Tidak pernah terlintas kejadian seperti sekarang.

Dunia Adam seakan runtuh. Kakinya tak dapat berpijak. Ia tak punya kekuatan untuk bangkit. Ia hanya bisa mengeluarkan air mata. Merutuki diri serta nasib yang tak mujur.

"Mas." Lily meraih tangan Adam. Ia genggam juga ia usap. "Aku tau ini berat tapi coba pikirkan kami, Mas. Atau setidaknya pikirkan nasib anak kita. Apa kau tega melihat sepanjang ia sakit, ia tak bisa mendapat pengobatan layak. Apa kau tega ketika ia ingin memiliki mainan seperti anak kecil pada umumnya, ia hanya bisa merenung."

Ya, Adam pun tak tega. Kalau saja ia kaya. Pastilah ia berikan semua yang anaknya inginkan.

"Kalau," batin Adam.

"Mas, aku mohon," minta Lily, memamerkan wajah penuh harap.

Mulut Adam tetap terkunci rapat. Ia belum berani mengambil keputusan. Ia melepas pegangan tangan Lily. Ia beringsut bangun dan beranjak memasuki kamar.

Dilihatnya wajah sang anak secara cermat. Tak terasa air mata membanjiri pipi Adam lagi dan lagi.

"Benar kata ibumu," monolog Adam.

Dan malam itu menjadi malam yang lebih hening juga senyap dari malam yang sudah-sudah.

Adam tak tidur di kamar. Ia merenungkan kembali permintaan Lily. Sementara Lily terus berharap supaya Adam bersedia. 

**

Tok tok tok

Bersama ketukan pintu suara seorang wanita berteriak memanggil-manggil nama Adam juga Lily.

"Adam! Lily!"

Suara itu berulang-ulang sampai Lily menyibakkan selimut. Ia menggerutu, "Siapa, sih yang pagi-pagi begini merusak pintu rumah orang."

Sembari mengikat rambut. Lily bersicepat keluar kamar lalu membuka pintu.

"Enak, tidur tanpa bayar," geram si wanita berumur 50 tahun, sebagai pemilik rumah kontrakan.

"Eh, Buk." Lily menyeringai kuda. Ia paham, wanita tersebut akan menagih uang kontrakannya.

"Sudah tiga bulan nunggak. Katanya bulan ini mau dilunasi. Mana, hah??" Nadanya meninggi, memancing semua mata tetangga mengarah pada Lily.

"Masuk dulu, Buk," tawar Lily, tak enak jadi santapan empuk para tukang nyinyir.

"Tidak perlu. Sekarang bayar dulu atau kalian angkat kaki dari kontrakan ku!" Kecam pemilik kontrakan tersebut.

"Anu." Lily menggaruk kepala, yang sungguh gatal bukan main. Ia melongok ke dalam. Adam tidak terlihat di sofa tamu. Motornya juga masih ada.

"Anu, anu, buruan!!"

"Ish, iya iya. Tapi aku baru ada uang 500," kata Lily lirih.

Pemilik kontrakan itu memutar bola matanya, jengah. "Uang 500 jelas kurang untuk biaya kontrakan selama tiga bulan. Namun, kalau dipikir-pikir lumayan. Daripada tidak ada sama sekali," pikir wanita 50 tahun itu.

"Aku akan berusaha melunasi secepatnya," lanjut Lily meyakinkan.

Si pemilik kontrakan bergeming. ia menyerongkan garis bibir seraya mendengus kasar. "Ya sudah, sini!"

Lily menghela nafas kasar. Ia kembali masuk. Mulutnya komat-kamit. Ia kesal bukan main karena uang pemberian Elena langsung habis hari ini untuk membayar tunggakan.

"Ini."

Lily menyerahkan semua uang pemberian Elena. Si pemilik kontrakan tersenyum lebar sambil menghitung uang tersebut.

"Bagus! Minggu besok aku akan datang lagi. Awas kalau belum ada," ancam si pemilik kontrakan sebelum akhirnya melenggang pergi.

**

Dibukanya tong tempat Lily menyimpan beras. Ia tertunduk lesu lantaran tempat penyimpanan berasnya sudah kosong melompong. Jangankan secomot beras satu biji pun tidak ada.

Lily duduk bersandar pada dinding usang kontrakannya. Ia diam tak berekspresi. Tahun-tahun lalu ia pernah merasakan hal serupa. Dan kala itu ia menangis tapi sepertinya saat ini air mata wanita itu telah kering.

"Tidak ada pilihan lain, Mas. Kau harus menikah dengan Elena atau kita akan terbelenggu Kemiskinan sepanjang hidup."

"Li."

Tiba-tiba Adam berdiri di ambang pintu. Ia menenteng kantong kresek warna hitam.

"Aku membeli ini tadi saat keluar," ucap Adam.

"Kau habis dari mana, Mas? Kau tidak tau tadi pagi pemilik kontrakan datang, dan marah-marah sampai semua tetangga menjadikan kami tontonan," lapor Lily.

"Maaf."

"Uang dari Elena aku serahkan semua padanya, pun masih kurang. Lihat ini, Mas!" Lily menunjukan tong berasnya. "Kita tak memiliki satu biji pun untuk dimasak."

Perkataan wanita itu jelas menunjukan keadaan ekonomi mereka saat ini. Adam hanya bisa terdiam. Ia mengusap kasar wajahnya.

"Baiklah, kau ingin aku menikah dengan Elena bukan? Akan aku turuti."

Lily beranjak berdiri. Terpancar harapan pada wajah yang tadinya murung. Bibirnya mengembang. Ia meraih tangan Adam.

"Kau bersungguh-sungguh, Mas?"

Dengan mata terpejam. Adam mengangguk. "Asal kau dan anak kita senang serta kehidupan kalian tercukupi."

"Mas Adam!!!" Lily tersenyum bahagia. ia memeluk erat sang suami. "Terima kasih, Mas terima kasih. Aku akan segera menghubungi Elena."

Lily bersicepat menyambar ponsel jadul, yang dimiliki sedari bekerja dan ia pertahankan hingga detik ini.

Ia menekan dial panggil pada kontak bernama Elena. Tak butuh waktu lama panggilan terangkat.

"Halo, Elena. Ada kabar baik," lapor Lily sumringah.

"Kabar baik apa, Li?" Tanya Elena. Lily sengaja menyalakan spiker. Adam dapat mendengar suara wanita, yang dulu selalu mengejar-ejar cintanya.

"Adam bersedia. Adam mau menikah dengan mu, El."

"Benarkah? Jangan bercanda."

"Sungguh. Barusan Mas Adam bilang sendiri. Dan … dan …" Lily melihat ke arah Adam. "Dan kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?"


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status