Share

Menikahlah

Hari itu juga. Selepas Lily menyelesaikan pemeriksaan sang anak. Ia mengajak Elena pulang ke rumah. Atau tepatnya ke kontrakan, yang nyaris tak pantas disebut layak huni.

Lapisan dinding rumah kontrakan itu terkikis sebagian. Bekas lapisannya menimbun di pinggiran dinding. Terkesan kotor seperti tidak pernah dibersihkan. Padahal Lily bolak-balik menyapu tapi dinding terus menerus terkikis. Lily sampai bosan.

Selain itu lantai rumah kontrakan terbuat dari semen serta atap rumah menggunakan seng, yang terlibat memiliki lubang.

Manakala hujan tiba sudah ketebak rumah akan digenangi air.

Untungnya tempat tidur mereka bukan dengan kasur lantai, tetapi pada ranjang besi kuno yang Adam bawa dari rumah masa kecil.

Melihat betapa buruknya rumah hunian Lily dan Adam. Elena turut prihatin.

"Maaf, hanya ada ini. Aku juga belum masak. Dari kemarin anakku rewel. Tidak bisa ditinggal," ujar Lily sambil menyuguhkan segelas air bening.

"Tidak perlu repot-repot," balas Elena tak mau Lily merasa dibesarkan.

Lily kembali ke belakang. Sementara itu Elena tak henti-henti mengedar pandangan. Melihat seisi rumah, yang tidak menyimpan barang berharga satupun meski itu sebuah televisi.

"Kasihan sekali Adam," batin Elena.

Tak lama kemudian Lily kembali. Ia duduk bergabung.

"Silahkan diminum," ucapnya mempersilahkan Elena merasakan nikmatnya hidangan orang tak mampu.

Elena tersenyum getir. Ia menyambar gelas untuknya. Ia teguk air khas sumur tersebut. Rasanya terbilang enak dibanding dengan air PAM.

"Jadi kau hanya tinggal bertiga?" Tanya Elena.

"Iya."

"Adam, ke mana?"

"Oh, Adam sedang narik. Paling pulang menjelang pukul sepuluh malam."

"Hah?" Elena membelalak. "Selama itu?"

"Bagaimana lagi? Ini kawasan pelosok. Meskipun banyak penumpang tapi bayaran mereka kecil. Paling besar sekitar lima ribu dan sepuluh ribu pun kalau lokasi rumahnya jauh. Bayangkan saja jika sehari hanya lima atau sepuluh penumpang, tetapi bayarannya kecil. Mungkin cukup untuk makan sehari-hari tapi biaya kontrakan, bagaimana? Ditambah anakku sering sakit," tutur Lily antara sedih sekaligus kesal menjadi satu.

Elena manggut-manggut. Hatinya ikut merasakan sakit atas penderitaan mereka. Terlebih mengingat Adam. Laki-laki yang hingga detik ini masih teramat ia cintai.

"Jadi, bagaimana?" Tanya Lily, meminta jawaban atas permintaan Lily ketika masih di rumah sakit.

Elena diam sesaat. Ia tampak berpikir. Mungkin menimbang-nimbang akan keputusan terbaik yang hendak ia pilih.

"Syaratnya kau memiliki aset perusahaan ku, dan aku memiliki suami mu?" Tanya Elena memastikan permintaan Lily betul begitu.

"Iya," jawab Lily tanpa beban.

"Kau yakin, Adam akan menerima?" Elena sedikit takut pasalnya dahulu Adam selalu menghindar acap kali Elena dekati.

"Demi aku, Adam rela melakukan apapun," balas Lily meyakinkan.

Elena terdiam kembali. Lalu, membuang nafas panjang. "Baik! Aku bersedia."

"Sungguh?" Kelopak mata Lily terbuka lebar. Gadis wajahnya menunjukkan rasa bahagia tiada tanding. Terbayang sudah pundi-pundi uang menumpuk di hadapan Lily. Ditambah segala kemewahan yang akan ia dapat dari perusahaan Elena.

**

Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat lima menit. Lily duduk-duduk di teras rumah. Beberapa jam lalu ia berhasil menidurkan sang anak usai meminum obat.

Kini, wanita itu ingin menyambut satu-satunya tambang emas yang ia punya.

Sembari menunggu. Ia membayangkan betapa kayaknya nanti ketika Adam sudah sah menjadi suami Elena.

Membayangkan semua itu membuat Lily tidak ngeh kalau motor sang suami telah menepi di halaman rumah.

Bibir Adam mengembang melihat Lily duduk di depan rumah. Mengira sang istri menunggu kepulangannya.

Nyatanya memang demikian, akaan tetapi ada niat terselubung.

"Li?" Panggil Adam.

Lily tak menyahut. Wanita itu tenggelam dalam kehaluan tingkat dewa. Ia senyum-senyum sendiri. Adam jadi curiga sang istri dirasuki mahluk halus.

Adam bersicepat membacakan ayat suci. Kebetulan ia hafal beberapa surat. Lalu, ia tiup telinga Lily.

Sontak Lily berjingkrak. Tubuhnya menggelinjang geli. Ia mengusap-usap telinganya, gusar.

"Apaan, sih, Dam!" Sungut Lily.

"Kamu ngapain disini? Sudah malam, loh, dan anak kita mana?"

Bukannya menjawab pertanyaan sang suami. Lily malah membawa masuk suami tampan pari purnanya itu yang sekarang berwajah lusuh karena terkena paparan sinar matahari terlalu lama.

"Duduk, Mas."

Lily mendudukkan Adam. Ia bergegas ke belakang. Diambilkannya segelas air bening hangat. Sesuai kebiasaan Adam kala malam singgah.

"Capek Mas kerja begini terus?" Lontar Lily jauh dari kata biasa tiap kali Adam baru sampai.

Biasanya wanita itu akan langsung mengulurkan tangan meminta jatah dibarengi ekspresi cemberut.

"Kenapa, sih, Li? Kamu hari ini, kok, sedikit berbeda." Tanya balik Adam, menyelidik.

"Minum dulu, Mas. Pasti diluar sana dingin, dan lagi kamu cuman pake jaket usang begini yang nyaris tidak terbentuk."

Jawaban Lily jauh dari pertanyaan Adam. Adam semakin heran. Ia menatap curiga sang istri.

"Kau, kenapa Li? Kalau ada masalah katakan saja. Mungkin tidak bisa langsung ku selesaikan tapi jangan dipendam sendiri."

Lily menyeringai. Hari ini ia terlalu bahagia. Hingga rasa-rasanya tidak bisa dijelaskan dengan sebuah kata.

Wajah wanita itu berseri-seri. Itulah daya tarik bagi Adam. Kemudian Adam mendekatan kepala. Sejurus lagi ia mencium pipi Lily tapi ternyata Lily duluan yang mencium pipi sang suami.

Adam terkejut sekaligus senang. Pasalnya Lily tidak pernah mencium Adam semenjak beberapa bulan lalu. Wanita itu tidak mood, alasannya.

Sebagai seorang pria. Adam selalu merindukan belaian sang istri, kasih sayang, dukungan serta kebutuhan biologis yang acap kali tak bisa Adam bendung. Namun, Lily tidak pernah memberikan semua itu lantaran kehidupan malang mereka.

Terpaksa Adam pasrah. Toh, ia sadar dirinya belum becus menjadi suami.

"Mas, aku ada gambar gembira," ungkap Lily.

"Apa? Kamu hamil?"

"Ck, enak saja. Bukan itu."

"Lantas?"

"Tadi siang aku ketemu teman sekolah kamu."

"Siapa?" Kening Adam mengernyit.

"Namanya Elena. Kamu hebat, loh, Mas. Kamu punya teman cantik, kaya raya, mandiri dan pastinya masih lajang."

Air muka Adam tak menunjukan kesan tertarik. Ekspektasinya hancur. Tadinya ia kira Lily punya kabar baik apa. Eh, ternyata kabar tak penting.

"Mas, dia banyak cerita tentang kamu termasuk soal dia yang masih mencintai kamu hingga detik ini," terang Lily begitu sumringah.

Adam menatap heran. "Seharusnya kau cemburu, Li," kata Adam.

"Mana mungkin, Mas."

Deg

Sakit rasanya hati Adam. Sebuah mata oedang seolah menghujam dadanya. Membuat sesak rongga dada pria itu.

"Terus?" Tanya Adam ingin tau kelanjutan cerita Lily.

"Dia kaya banget, Mas. Tadi siang saja dia membayar biaya pengobatan anak kita, juga memberi aku beberapa uang."

"Astaghfirullah, Li. Kamu jangan begitu. Tidak enak kita."

"Apaan, sih, Mas. Wong sebentar lagi juga kita akan menjadi satu keluarga," sungut Lily.

"Satu keluarga? Apa maksudnya?" Adam tak mengerti. Ia semakin penasaran.

"Iya, Mas. Aku meminta Elena untuk menikah dengan kamu dan ia bersedia memberikan aset perusahaannya kepada ku juga anak kita," jawab Lily tersenyum lebar.

Jedarrr

Adam tersentak bangun. Pria itu bagai disambar petir di malam yang terang benderang.

"Me--menikah dengan Elena." Ulang Adam, terbata-bata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status