Share

Menikahlah

Author: Zhang A Yu
last update Last Updated: 2021-04-30 13:16:25

Hari itu juga. Selepas Lily menyelesaikan pemeriksaan sang anak. Ia mengajak Elena pulang ke rumah. Atau tepatnya ke kontrakan, yang nyaris tak pantas disebut layak huni.

Lapisan dinding rumah kontrakan itu terkikis sebagian. Bekas lapisannya menimbun di pinggiran dinding. Terkesan kotor seperti tidak pernah dibersihkan. Padahal Lily bolak-balik menyapu tapi dinding terus menerus terkikis. Lily sampai bosan.

Selain itu lantai rumah kontrakan terbuat dari semen serta atap rumah menggunakan seng, yang terlibat memiliki lubang.

Manakala hujan tiba sudah ketebak rumah akan digenangi air.

Untungnya tempat tidur mereka bukan dengan kasur lantai, tetapi pada ranjang besi kuno yang Adam bawa dari rumah masa kecil.

Melihat betapa buruknya rumah hunian Lily dan Adam. Elena turut prihatin.

"Maaf, hanya ada ini. Aku juga belum masak. Dari kemarin anakku rewel. Tidak bisa ditinggal," ujar Lily sambil menyuguhkan segelas air bening.

"Tidak perlu repot-repot," balas Elena tak mau Lily merasa dibesarkan.

Lily kembali ke belakang. Sementara itu Elena tak henti-henti mengedar pandangan. Melihat seisi rumah, yang tidak menyimpan barang berharga satupun meski itu sebuah televisi.

"Kasihan sekali Adam," batin Elena.

Tak lama kemudian Lily kembali. Ia duduk bergabung.

"Silahkan diminum," ucapnya mempersilahkan Elena merasakan nikmatnya hidangan orang tak mampu.

Elena tersenyum getir. Ia menyambar gelas untuknya. Ia teguk air khas sumur tersebut. Rasanya terbilang enak dibanding dengan air PAM.

"Jadi kau hanya tinggal bertiga?" Tanya Elena.

"Iya."

"Adam, ke mana?"

"Oh, Adam sedang narik. Paling pulang menjelang pukul sepuluh malam."

"Hah?" Elena membelalak. "Selama itu?"

"Bagaimana lagi? Ini kawasan pelosok. Meskipun banyak penumpang tapi bayaran mereka kecil. Paling besar sekitar lima ribu dan sepuluh ribu pun kalau lokasi rumahnya jauh. Bayangkan saja jika sehari hanya lima atau sepuluh penumpang, tetapi bayarannya kecil. Mungkin cukup untuk makan sehari-hari tapi biaya kontrakan, bagaimana? Ditambah anakku sering sakit," tutur Lily antara sedih sekaligus kesal menjadi satu.

Elena manggut-manggut. Hatinya ikut merasakan sakit atas penderitaan mereka. Terlebih mengingat Adam. Laki-laki yang hingga detik ini masih teramat ia cintai.

"Jadi, bagaimana?" Tanya Lily, meminta jawaban atas permintaan Lily ketika masih di rumah sakit.

Elena diam sesaat. Ia tampak berpikir. Mungkin menimbang-nimbang akan keputusan terbaik yang hendak ia pilih.

"Syaratnya kau memiliki aset perusahaan ku, dan aku memiliki suami mu?" Tanya Elena memastikan permintaan Lily betul begitu.

"Iya," jawab Lily tanpa beban.

"Kau yakin, Adam akan menerima?" Elena sedikit takut pasalnya dahulu Adam selalu menghindar acap kali Elena dekati.

"Demi aku, Adam rela melakukan apapun," balas Lily meyakinkan.

Elena terdiam kembali. Lalu, membuang nafas panjang. "Baik! Aku bersedia."

"Sungguh?" Kelopak mata Lily terbuka lebar. Gadis wajahnya menunjukkan rasa bahagia tiada tanding. Terbayang sudah pundi-pundi uang menumpuk di hadapan Lily. Ditambah segala kemewahan yang akan ia dapat dari perusahaan Elena.

**

Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat lima menit. Lily duduk-duduk di teras rumah. Beberapa jam lalu ia berhasil menidurkan sang anak usai meminum obat.

Kini, wanita itu ingin menyambut satu-satunya tambang emas yang ia punya.

Sembari menunggu. Ia membayangkan betapa kayaknya nanti ketika Adam sudah sah menjadi suami Elena.

Membayangkan semua itu membuat Lily tidak ngeh kalau motor sang suami telah menepi di halaman rumah.

Bibir Adam mengembang melihat Lily duduk di depan rumah. Mengira sang istri menunggu kepulangannya.

Nyatanya memang demikian, akaan tetapi ada niat terselubung.

"Li?" Panggil Adam.

Lily tak menyahut. Wanita itu tenggelam dalam kehaluan tingkat dewa. Ia senyum-senyum sendiri. Adam jadi curiga sang istri dirasuki mahluk halus.

Adam bersicepat membacakan ayat suci. Kebetulan ia hafal beberapa surat. Lalu, ia tiup telinga Lily.

Sontak Lily berjingkrak. Tubuhnya menggelinjang geli. Ia mengusap-usap telinganya, gusar.

"Apaan, sih, Dam!" Sungut Lily.

"Kamu ngapain disini? Sudah malam, loh, dan anak kita mana?"

Bukannya menjawab pertanyaan sang suami. Lily malah membawa masuk suami tampan pari purnanya itu yang sekarang berwajah lusuh karena terkena paparan sinar matahari terlalu lama.

"Duduk, Mas."

Lily mendudukkan Adam. Ia bergegas ke belakang. Diambilkannya segelas air bening hangat. Sesuai kebiasaan Adam kala malam singgah.

"Capek Mas kerja begini terus?" Lontar Lily jauh dari kata biasa tiap kali Adam baru sampai.

Biasanya wanita itu akan langsung mengulurkan tangan meminta jatah dibarengi ekspresi cemberut.

"Kenapa, sih, Li? Kamu hari ini, kok, sedikit berbeda." Tanya balik Adam, menyelidik.

"Minum dulu, Mas. Pasti diluar sana dingin, dan lagi kamu cuman pake jaket usang begini yang nyaris tidak terbentuk."

Jawaban Lily jauh dari pertanyaan Adam. Adam semakin heran. Ia menatap curiga sang istri.

"Kau, kenapa Li? Kalau ada masalah katakan saja. Mungkin tidak bisa langsung ku selesaikan tapi jangan dipendam sendiri."

Lily menyeringai. Hari ini ia terlalu bahagia. Hingga rasa-rasanya tidak bisa dijelaskan dengan sebuah kata.

Wajah wanita itu berseri-seri. Itulah daya tarik bagi Adam. Kemudian Adam mendekatan kepala. Sejurus lagi ia mencium pipi Lily tapi ternyata Lily duluan yang mencium pipi sang suami.

Adam terkejut sekaligus senang. Pasalnya Lily tidak pernah mencium Adam semenjak beberapa bulan lalu. Wanita itu tidak mood, alasannya.

Sebagai seorang pria. Adam selalu merindukan belaian sang istri, kasih sayang, dukungan serta kebutuhan biologis yang acap kali tak bisa Adam bendung. Namun, Lily tidak pernah memberikan semua itu lantaran kehidupan malang mereka.

Terpaksa Adam pasrah. Toh, ia sadar dirinya belum becus menjadi suami.

"Mas, aku ada gambar gembira," ungkap Lily.

"Apa? Kamu hamil?"

"Ck, enak saja. Bukan itu."

"Lantas?"

"Tadi siang aku ketemu teman sekolah kamu."

"Siapa?" Kening Adam mengernyit.

"Namanya Elena. Kamu hebat, loh, Mas. Kamu punya teman cantik, kaya raya, mandiri dan pastinya masih lajang."

Air muka Adam tak menunjukan kesan tertarik. Ekspektasinya hancur. Tadinya ia kira Lily punya kabar baik apa. Eh, ternyata kabar tak penting.

"Mas, dia banyak cerita tentang kamu termasuk soal dia yang masih mencintai kamu hingga detik ini," terang Lily begitu sumringah.

Adam menatap heran. "Seharusnya kau cemburu, Li," kata Adam.

"Mana mungkin, Mas."

Deg

Sakit rasanya hati Adam. Sebuah mata oedang seolah menghujam dadanya. Membuat sesak rongga dada pria itu.

"Terus?" Tanya Adam ingin tau kelanjutan cerita Lily.

"Dia kaya banget, Mas. Tadi siang saja dia membayar biaya pengobatan anak kita, juga memberi aku beberapa uang."

"Astaghfirullah, Li. Kamu jangan begitu. Tidak enak kita."

"Apaan, sih, Mas. Wong sebentar lagi juga kita akan menjadi satu keluarga," sungut Lily.

"Satu keluarga? Apa maksudnya?" Adam tak mengerti. Ia semakin penasaran.

"Iya, Mas. Aku meminta Elena untuk menikah dengan kamu dan ia bersedia memberikan aset perusahaannya kepada ku juga anak kita," jawab Lily tersenyum lebar.

Jedarrr

Adam tersentak bangun. Pria itu bagai disambar petir di malam yang terang benderang.

"Me--menikah dengan Elena." Ulang Adam, terbata-bata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selling My Husband   Hari ini Kamu Sudah Keterlaluan.

    Suasana rumah masih lengang saat Elena membuka pintu pelan sambil menggendong Vino yang tertidur di pelukannya. Wajahnya lelah, tapi ada kedamaian yang sulit dijelaskan.Hari ini, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, dia merasakan kehangatan dari orangtuanya—meski bukan untuknya sepenuhnya.Namun, begitu langkahnya menginjak ruang tamu, suara dingin penuh tuduhan menyambut tanpa basa-basi.“Puas kamu! Sekarang kamu bukan cuma rebut suamiku tapi juga berani-beraninya rebut anakku!“ marah Lily meledak-ledak, suaranya menggema hampir memenuhi setiap sudut rumah.Elena berhenti seketika. Di ambang tangga, berdiri Lily dengan mata merah dan raut wajah seperti api yang baru disiram bensin. Napasnya memburu, tangannya mengepal di sisi tubuh.Dengan tetap menjaga nada bicara dan posisi tubuh, Elena hanya menghela napas.“Vino lelah. Aku akan bawa dia ke kamar dulu,” ujarnya pelan, mencoba menghindari konfrontasi di depan anak itu.Tapi Lily tak membiarkan langkahnya berlanjut.Dengan gera

  • Selling My Husband   Sedikit Menghangat Karena Seorang Bocah.

    Langit mendung ketika Lily menyalakan mesin mobilnya, matanya masih menyimpan jejak kelelahan dan amarah yang belum padam.Sepanjang perjalanan menuju sekolah Vino, pikirannya terus berputar. Wajah Adam yang kini selalu hangat pada Elena, senyuman bocah kecilnya yang tampak lebih lepas di sisi wanita lain, dan tatapan dingin mertuanya kemarin... semua itu menggerogoti harga dirinya.“Aku masih istrinya. Aku masih ibunya,” desisnya pelan, lebih seperti pembelaan untuk dirinya sendiri daripada sebuah pernyataan.Tapi setibanya di sekolah, semuanya justru terasa seperti tamparan telak berikutnya.“Maaf, Bu Lily,” ujar guru kelas dengan senyum sungkan, “Vino sudah dijemput tadi oleh Bu Elena. Kami kira memang sudah dijadwalkan begitu.”Sejenak, Lily hanya berdiri terpaku. Matanya membelalak, tak percaya.“Elena?” ulangnya, nadanya meninggi.“Atas izin siapa dia jemput anak saya!”Guru itu tersentak, buru-buru menjelaskan, “Kami… kami pikir sudah ada koordinasi. Bu Elena bilang dijemput at

  • Selling My Husband   Jangan Egois!

    Suasana tegang di balik pohon besar itu seketika berubah saat suara langkah kecil mendekat, disertai tawa ceria yang memecah ketegangan seperti sinar mentari menusuk kabut tebal."Papa! Tante El! Mama juga di sini!" seru Vino riang sambil berlari menghampiri mereka, tangan mungilnya menggandeng erat jari-jari Elena.Elena tersenyum lembut, meski matanya sekilas menyorot cemas pada wajah merah padam Lily dan sorot dingin Adam. Tapi di hadapan Vino, dia tetap tenang."Vino ingin kalian semua naik komidi putar bareng," ujarnya pelan, dengan nada suara tetap ceria.Adam segera menyambut putranya, berjongkok dan memeluk bocah itu erat sejenak. "Tentu, Nak. Tapi tanya Mama dulu ya," ucapnya lembut sambil menoleh ke arah Lily.Lily tersenyum kaku. “Mama... mungkin nanti saja ya, Sayang. Mama agak pusing.”“Eh? Ya udah nggak apa-apa!” sahut Vino cepat, polos seperti biasanya.“Kalau gitu Tante El aja temenin aku ya!” katanya sambil menarik tangan Elena lagi dan bersandar manja di lengannya.S

  • Selling My Husband   Diliputi Kecemburuan.

    Teriakan anak-anak dan tawa ceria bergema di taman bermain. Angin sore membelai lembut, dedaunan menari di udara. Di tengah pusaran kebahagiaan itu, tampak Adam dan Elena berdiri berdampingan di dekat wahana kuda-kudaan berputar, tersenyum hangat menyaksikan putra mereka—anak kandung Lily—tertawa riang sambil melambaikan tangan."Papa! Tante El! Lihat aku!" serunya riang.Adam dan Elena serempak melambaikan tangan balik. “Iya, Nak! Hebat kamu!” sorak Elena sambil tertawa kecil.Sayangnya tawa itu tak bertahan lama.Lily, dengan langkah tergesa dan sorot mata menyala, menerobos keramaian taman. Nafasnya memburu, wajahnya merah padam karena amarah dan cemburu yang meluap. Matanya langsung menangkap sosok Adam dan Elena, lalu tanpa basa-basi, dia mencengkeram lengan Adam dan menariknya ke belakang pohon besar di sisi taman."Ikut aku!" desisnya geram.Adam terpaksa mengikuti, terheran-heran tapi tetap diam, tak ingin membuat keributan di hadapan anak mereka.Setibanya di belakang pohon,

  • Selling My Husband   Marah Besar.

    "Maaf." Elena meraih tangan Adam untuk minta maaf. "Gara-gara aku kalian jadi ribut."Adam menggeleng cepat dengan senyuman getirnya. "Ribut bukan hal baru di antara kami."Elena melipat bibir ke dalam, tidak tahu apa lagi yang harus dikatakan, tidak tahu pula harus berbuat apa untuk meleraikan keributan suami dan istri pertamanya itu."Maaf." Kemudian Adam turut minta maaf.Membuat Elena mengernyitkan alis, tetapi segera tersenyum lembut. "Kamu tidak punya satupun kesalahan."Bola mata Adam berkaca-kaca, sesuatu seolah memenuhi dadanya hingga deru napasnya terdengar lebih jelas, dia merasa ingin menangis tapi wajahnya tampak berseri-seri sampai kemudian dia mendadak merengkuh pinggul Elena untuk mendekapnya erat.Elena terhenyak, punggungnya menegang sejenak.Seolah tak sabar Adam berkata, "Baru kali ini ada orang yang tidak menyalahkanku, El."Elena terpaku.Adam melanjutkan dengan dada semakin sesak hingga tak terasa matanya memanas. "Selama ini orang-orang selalu menyalahkanku, me

  • Selling My Husband   Tidak Sadar Diri!

    Pendengaran Lily masih tajam. Tepat ketika dia menempelkan telinganya di permukaan pintu, dia mendengar desahan Elena dan Adam yang saling bersahutan satu sama lain! DeggggJantung Lily bagai disambar petir. Wanita serakah itu tersentak mundur dengan pundak naik turun tak menentu.Kemudian dia secara jelas mendengar desahan mereka semakin jelas dan memanjang tapi setelah itu tidak ada suara desahan lagi, melainkan obrolan yang tidak bisa dia dengar.Pikiran Lily kacau. Pandangannya berkunang-kunang. Pikirannya menjadi kosong melompong.Pada akhirnya, wanita itu berjalan tunggang langgang ke sofa yang tidak jauh dari kamar Elena. Lalu, tangisan yang belum pernah keluar setelah dirinya kaya, kini keluar tanpa ampun! "Tidak … ini tidak mungkin." Lily sudah mengetahui apa yang pastinya terjadi di kamar Elena bersama Adam, tetapi wanita itu berusaha menolak kenyataan.Dia berpikir Adam hanya mencintai dirinya, dan tidak akan mungkin berani menyentuh wanita lain meski itu Elena yang sudah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status