Share

Selling My Husband
Selling My Husband
Author: Zhang A Yu

Prolog

Author: Zhang A Yu
last update Last Updated: 2021-04-16 10:37:24

Lily lahir dari keluarga miskin. Rupanya juga jauh dari kata cantik tapi bukan berarti jelek. Pendidikannya hanya sebatas SMP saja. Ia tidak bisa lanjut lantaran terhalang biaya.

Usai menyelesaikan sekolah menengah pertama. Lily merantau ke kota. Kurang lebih selama tiga tahun, ia bekerja sebagai asisten rumah tangga. Kemudian karena sebuah keinginan terbesit. Lily melanjutkan sekolah di sekolah paket.

Ia lumayan pintar. Meskipun bermodalkan ijazah paket C. Ia bisa melamar pekerjaan di salah satu kantor jasa keuangan.

Di sanalah ia bertemu Adam, suaminya. Kebetulan Adam berstatus sebagai petugas lapang.

Ya, Adam terpaksa memilih pekerjaan tersebut dikarenakan ia selalu saja dikeluarkan dari kantor-kantor lamanya dengan alasan menyebabkan kericuhan atas ketampanan, yang Adam miliki.

Kadangkala Adam mengutuk ketampanannya. Ia merasa terus mendapat sial atas ketampanan tersebut.

Waktu bergulir cepat. Kurun enam bulan sesudah Lily mengenal Adam. Mereka pun memutuskan menikah. Dan saat itu usia mereka terbilang muda.

Adam berusia 23 tahun, dan Lily berusia 22 tahun.

Berasal dari keluarga, yang sama-sama miskin. Pernikahan mereka tidaklah megah. Sekedar akad saja sudah lebih dari cukup. Toh mereka juga tidak punya banyak tamu.

Selang setengah tahun setelah pernikahan. Lily dinyatakan hamil. Adam pun meminta Lily berhenti bekerja karena takut mengganggu sang janin dan kesehatan Lily.

Adam bilang. Biar ia saja, yang berkerja. Sementara Lily duduk di rumah bagai ratu. Sialnya, selepas Lily keluar dari kantor jasa keuangan tersebut. Adam malah kena PHK dengan dalih mengurangi karyawan.

Hal itu membuat Adam dan Lily pusing tujuh keliling.

Adam banting setir. Ia tidak mungkin menjadi pengangguran. Ia pun mencari segala pekerjaan. Ia pantang menyerah. Sayang, Adam selalu tidak bisa bertahan di tempat manapun ia bekerja.

Daripada menjadi pengangguran. Adam memilih jalur lain. Ia mengubah karir menjadi tukang ojek.

Pekerjaan itu bertahan sampai Lily melahirkan hingga sekarang anak mereka berusia tiga tahun.

Dan selama itu pula. Keuangan hasil ojek Adam tidaklah mencukupi kehidupan mereka bertiga.

Ada banyak tanggungan, yang seakan tidak pernah habis setiap harinya.

Sampai-sampai sikap Lily berubah. Ia suka mengumpat. Ia juga jarang memberi senyum dan jatah fisik kepada Adam. Apalagi kalau Adam pulang hanya membawa sedikit uang. Bisa-bisa Adam tidak diberi makan plus bonus tidur di luar kamar.

Walaupun perlakuan Lily begitu buruk. Adam tak pernah mengeluh. Ia hanya merasa sakit lantaran tidak bisa memenuhi janjinya untuk membahagiakan Lily dan sang anak.

Kadangkala ia suka merenung. Melamuni kesialan hidup.

**

Pada suatu hari. Lily membawa sang anak ke rumah sakit bermodalkan uang 50 ribu. Ia harap biaya rumah sakit, yang didatangi tidaklah lebih dari nominal tersebut.

Dan hari itu menjadi ketidakberuntungan sekaligus keberuntungan untuk Lily.

Lily tidak beruntung karena ternyata biaya pengobatan sang anak malah lebih dari seratus ribu. Ia tidak punya uang lagi. Suaminya juga tengah mencari nafkah.

Ia duduk termenung di ruang tunggu. Sang anak dalam pangkuannya. Ia berpikir, di mana lagi ia bisa meminjam uang. Sementara orang-orang telah kapok dihutangi Lily.

Beruntung. Seorang wanita datang dari sudut koridor rumah sakit. Wanita itu hendak keluar, tapi tanpa sengaja melihat wajah Lily, yang ia kenal.

Wanita itu bernama Elena. Ia pun menghampiri Lily.

Lily agak kaget karena dirinya sama sekali tak mengenal wanita itu. Kemudian Elena menjelaskan siapa dirinya dan bagaimana bisa ia mengenal Lily.

Lily manggut-manggut atas penjelasan Elena. Wanita itu memandangi Elena dari ujung ke ujung.

Dari segi penampilan, jelas Elena bukan wanita miskin seperti dirinya. 

Hal itu benar. Elena adalah seorang pemilik perusahaan kurang ternama tapi berkembang pesat. Maklum, Elena baru merintis sekitar dua tahun lalu.

Meskipun kurang terkenal. Namun, perusahaan itu telah diketahui sebagian orang, yang berdasarkan bidangnya.

Elena bertanya. Apa yang terjadi? Mengapa Lily duduk seorang diri dengan wajah mendung?

Lily menjelaskan semua. Elena tersentuh. Ia merasa kasihan. Ditambah saat melihat wajah sang anak, yang wajahnya lebih mirip ke Adam.

Atas kebaikan wanita itu. Lily dapat membayar biaya pengobatan sang anak. Bahkan Lily juga diberikan beberapa uang sebagai ongkos pulang.

Lily tersenyum bahagia. Dan sebelum perpisahan mereka. Elena sempat mengatakan rahasia hatinya. Ia berkata, ia mencintai Adam hingga detik ini.

Terbersitlah ide gila dalam benak Lily. Secara terang-terangan, ia menjawab, "Maukah kau menikah dengan suamiku tapi dengan sebuah syarat."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selling My Husband   Hari Semakin cerah.

    Bulan keempat setelah mereka meninggalkan rumah Lily. Cuaca cerah saat Adam dan Elena berdiri di depan rumah kontrakan baru mereka—rumah tipe 36 dengan pagar besi sederhana dan cat tembok warna krem. Tidak luas, tapi bersih dan rapi, terletak di sebuah komplek perumahan sederhana di pinggir kota, cukup tenang, cukup ramah untuk anak-anak. Adam membuka pagar sambil tersenyum kecil. “Resmi jadi warga RT 05, Bu Elena,” katanya sambil menoleh ke istrinya. Elena tertawa, menggandeng tangan Vino yang sedang membawa boneka dinosaurus kesayangannya. “Ayo, Nak. Rumah baru kita.” Begitu masuk, Vino langsung berlari ke ruangan tengah yang belum berisi banyak barang. Hanya ada satu sofa kecil dan tikar gulung. “Bisa main bola di sini!” teriaknya riang. Elena menatap Adam. “Nggak nyangka, ya. Empat bulan lalu kita cuma punya satu kasur tipis dan dua koper.” Adam memeluk bahunya. “Dan sekarang kita punya ruang untuk tumbuh.” Malam itu mereka makan malam seadanya—nasi goreng buatan El

  • Selling My Husband   Membuka Lembaran Baru.

    Langit belum sepenuhnya biru ketika Adam mengayuh motornya menuju kedai kopi kecil yang ia miliki sejak beberapa waktu lalu, tepatnya atas bantuan Elena.Di dalam kedai, dua barista muda sedang sibuk mengelap meja dan mempersiapkan mesin espresso.Adam masuk, disambut aroma kuat biji kopi yang baru digiling.“Pagi, Mas Adam,” sapa salah satu karyawannya, Rio, ramah.Adam mengangguk, menggulung lengan kemejanya. “Mulai hari ini aku ikut turun tangan. Bukan cuma jadi bos yang duduk lihat angka.”Rio terkejut sejenak. “Serius, Mas?”Adam tersenyum. “Serius. Ajari aku bikin cappuccino yang bener. Aku harus bisa, Rio.”Dan pagi itu, Adam berdiri di belakang bar. Tangannya sempat kaku saat menuang susu ke dalam espresso, tapi ia tak menyerah. Berkali-kali gagal, tapi dia terus mencoba. Busa terlalu tebal, rasanya pahit, latte art-nya berantakan—tapi Adam tetap tersenyum.Setiap pelanggan yang datang pagi itu dibuat heran melihat sang pemilik turun langsung melayani. Ada yang memotret diam-d

  • Selling My Husband   Terusir Dari Rumah Sendiri.

    Vino sudah pulang. Di atas tempat tidur kecilnya, bocah itu masih lemah tapi tersenyum bahagia karena bisa kembali ke rumah. Di sisi tempat tidur, Elena mengganti selimutnya pelan-pelan, memastikan tidak ada angin masuk dari jendela. Adam menyalakan diffuser di sudut ruangan, memeriksa suhu ruangan agar tidak terlalu dingin.“Aku senang bisa tidur di rumah lagi,” gumam Vino dengan mata setengah terpejam.Elena tersenyum, mengecup dahinya. “Tidurlah, sayang. Besok kita bangun pagi, lihat burung dari jendela bareng-bareng, ya?”Adam mendekat, menyentuh kepala putranya lembut. “Ayah di sini, Nak.”Tak lama kemudian, suara langkah terdengar di luar kamar.“Adam, Elena. Ke ruang keluarga. Sekarang,” suara Lily terdengar tajam, tidak bisa ditawar.Adam dan Elena saling pandang tanpa sepatah kata pun.“Ayah keluar dulu, yah, kamu tidur dengan nyenyak,” kata Adam, menunduk dan mengecup kening Vino yang mulai ngantuk karena beberapa waktu lalu minum obat. Dan tak berselang lama usai Vino terti

  • Selling My Husband   Seperti Boom Waktu.

    Langit mulai meredup, senja menggantung di balik kaca jendela ruang rawat. Cahaya keemasan menerpa wajah kecil Vino yang tengah tertidur, pelan-pelan, napasnya tenang. Di sisi tempat tidur, Elena duduk sambil membacakan buku cerita dinosaurus yang tadi siang ia bawa.Sesekali ia berhenti, mengelus dahi Vino lembut.“Tidurlah, nak. Tante jaga kamu.”Adam berdiri di ambang pintu. Pandangannya jatuh ke wajah Vino, lalu ke Elena. Sekilas, dunia di ruangan itu terasa damai. Tapi tidak di dalam dirinya.“El,” panggilnya pelan.Elena menoleh. “Hmm?”“Aku keluar sebentar. Mau bicara sama Lily.”Elena mengangguk. Tak perlu banyak kata. Ia tahu, inilah saatnya.Di area parkir rumah sakit.Suara mesin kendaraan dan langkah-langkah tergesa terdengar di kejauhan. Di bawah pohon besar di sudut parkir, Adam duduk dengan pikiran kacau tapi kemantapan sepenuhnya menyelimuti dada. Tak lama, Lily datang. Tumit sepatunya beradu dengan lantai beton, kaku, tergesa, dingin.“Ada apa?” tanyanya tajam, "aku b

  • Selling My Husband   Memilih.

    Rumah Sakit – Pagi HariRuangan masih diselimuti cahaya temaram saat Adam membuka tirai jendela perlahan. Di atas ranjang, Vino mulai menggeliat. Napasnya lebih teratur. Warnanya tak sepucat semalam.Adam duduk di sisi tempat tidur, tangan besarnya menggenggam tangan kecil Vino dengan erat.Lily belum datang, dia sebelumnya mengirim pesan.“Aku harus ke kantor pagi ini. Ada hal yang harus diselesaikan. Aku ke rumah sakit siang nanti.”Adam hanya membaca, lalu mengunci layar ponselnya. Tidak ada balasan. Tidak perlu. Hatinya sudah cukup penuh oleh banyak hal yang lebih penting dari penjelasan seadanya.Ia mengusap rambut Vino, pelan, dan menunduk dekat ke telinga anak itu.“Papa di sini, Vin. Kamu nggak sendiri.”Dan seolah mendengar, mata Vino perlahan terbuka. Masih lemah, tapi ia tersenyum tipis.“Papa,” gumamnya.Adam menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Iya, sayang. Papa di sini.”Beberapa saat berselang.Langkah ringan terdengar di lorong. Aroma makanan hangat bercampur wangi

  • Selling My Husband   Terlalu Serakah.

    Elena terdiam beberapa saat setelah Adam mengucapkan kata-kata itu."El, dibandingkan denganku, kamu lebih cocok bersama pria itu."Ia tidak langsung menjawab. Hanya menatap Adam dengan sorot yang sulit ditebak—antara tersentuh dan terluka.Namun, dalam hatinya... ada sesuatu yang hangat. Cemburu. Akhirnya Adam merasakannya juga. Akhirnya, lelaki itu menyadari keberadaannya... dan takut kehilangannya.Itu cukup. Untuk malam ini, itu cukup.Mereka duduk kembali. Dua cangkir di atas meja, satu berisi teh hangat yang hampir habis, satu lagi kopi hitam yang mulai mendingin.Tak ada perbincangan. Hanya diam. Tapi bukan diam yang hampa. Ada ribuan kata tak terucap yang beterbangan di udara, membentuk ruang hening yang... anehnya nyaman.Setelah beberapa saat, Elena melirik jam tangannya dan berdiri."Aku pulang dulu," katanya singkat.Adam mengangguk, ikut berdiri."Aku juga harus kembali ke rumah sakit."Mereka berjalan keluar bersamaan, lalu berpisah di trotoar, tanpa ucapan panjang, tanp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status