Mimpi terakhirku bagaikan kiamat.
Terakhir kali aku memejamkan mata adalah ketika jaring laba-laba di langit-langit pondok membuatku membayangkan apa yang akan kulakukan pada baju-baju kusut. Aku berpikir akan menyetrika. Tubuhku—aku yakin sudah bergerak, tetapi tiba-tiba aku meringkuk di tengah hujan deras, punggungku basah, dadaku sesak, dan pita suaraku menjerit penuh tuntutan paling menyakitkan.
Seseorang berdiri di sebelahku. Kami di padang rumput luas.
Dan di pangkuanku, terbaring gadis berwajah penuh nuansa gelap, dengan sesuatu yang hitam, samar—seperti bayangan hitam—menutupi wajahnya.
Air mataku juga tiba-tiba sudah mengalir deras.
Aku tidak mengerti, tetapi benakku sesak. Air mataku tak mampu berhenti. Hujan—gemuruh terdengar keras, seperti tak mengizinkan isak tangisku terdengar. Aku kacau. Entah bagaimana aku ingin memeluk gadis ini layaknya kami saling mengenal. Namun, aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu siapa gadis ini.
Sayangnya, saat tanganku yang bergetar kuat mengusap wajah gadis manis itu—saat tanganku melewati selubung hitam—darah merah langsung menguasai jemariku. Darah yang segar, dan hangat, seolah baru mengalir dari sayatan di wajahnya. Benakku terguncang. Jantungku seperti pecah. Gadis ini—hampir menghadapi garis akhirnya.
Namun, aku bisa merasakannya. Dalam batas sekarat dan kematian—dalam tubuh gadis yang hampir beku ini—kehangatannya masih memancar layaknya menyambutku yang hanya orang asing. Dia seperti merasakan kehadiranku, karena dari selubung samar itu, senyumnya terlukiskan. Gadis dengan senyum kecil yang manis, seolah bahagia dengan kondisinya yang telah sekarat. Barangkali rangkulan ini berharga untuknya. Lelaki yang kuhinggapi ini barangkali orang yang sangat penting. Dia seperti berakhir pada orang yang tepat.
Jadi, aku berusaha mengerti segalanya, menatap sekitar.
Hujan membentuk genangan air. Ketika mataku berusaha menolak, arah mataku mengenai genangan air. Cahaya angkasa yang samar, membuat wajah lelaki yang kuhinggapi dalam mimpi ini memantul, terlihat dalam benakku.
Wajahku.
Tidak. Itu wajahku. Penuh isak tangis menyesakkan.
Orang ini... adalah aku.
Aku menggeleng, entah aku yang saat ini, atau aku yang tengah kuhinggapi ini. Segalanya tiba-tiba terkesan dingin, hampa, dan membeku. Semua ingatan aneh tiba-tiba mendobrak masuk kepalaku, layaknya ingatan orang ini mulai menyerang kepalaku habis-habisan. Ingatan tentang padang rumput, suasana yang begitu damai dengan latar belakang danau biru dan senyum lebar. Jadi, aku tahu kami—aku dan gadis ini—memang saling mengenal. Kami begitu dekat, sampai aku bisa melihat di tengah kegelapan malam penuh bintang, kami berada di bawah tenda, menikmati makanan hangat yang baru matang dengan senyum manis darinya. Canda tawa di ingatan palsu ini terkesan begitu nyata, asli, dan murni, seolah kami menghabiskan begitu banyak waktu, menikmati setiap alunan malam, hanya untuk mengganti apa yang telah terbuang. Dan tiba-tiba aku melihat perang. Ya. Medan perang. Penuh darah. Ledakan di segala arah. Hutan membara. Tanah berguncang. Dan gadis ini—dengan senyum manis pilu—meski matanya masih tertutup selubung—menatapku yang tengah menjauh, membuat dirinya terlihat seperti mengorbankan diri untukku, dan menjemput cengkeraman kegelapan yang kosong.
Aku memekik lagi—sangat keras, seperti menuntut kematiannya.
Layaknya aku—dan lelaki ini—tengah menolak kenyataan yang ada.
Ketika aku membuka mata lagi, kesadaranku seperti tidak lagi melayang. Kami seperti bergabung—antara lelaki ini denganku. Aku bisa merasakan jemari gadis ini masih bertautan denganku. Namun, aku juga mengerti. Sensasi ini berusaha menipuku. Genggaman erat jemari ini palsu. Dalam bayangan samar, aku tahu dia tidak lagi menggamitku. Hanya aku yang menggamitnya. Dan sesuatu bagaikan pisau berusaha memutus kami. Ambang realitas memudar. Tiba-tiba saja aku melihat nuansa pendar putih yang pilu.
Citra pendar putih, layaknya aku sedang melihat alam bawah sadarku. Seseorang berdiri di sisiku. Dia. Gadis itu. Namun, dia terkesan begitu jauh. Kami berhadapan. Dan dia seperti tidak di sana. Aku merasa sering melihat ini. Gadis ini tampak terbiasa dengan citra pendar putih. Jadi, aku tahu kami sering berada dalam citra yang sama—barangkali dengan senyum, atau kebahagiaan yang memancar.
Namun, kini, ketika genggaman jemarinya mulai lemah, dia terlihat samar, dengan rambut yang berkibar halus bak angin di antara kami sudah bersiap mengantarnya. Benakku tak karuan, dalam alunan sesak dan nostalgia, entah bagaimana aku mulai mengulurkan tangan.
Dan dia menoleh. Pendar hitam itu tetap di wajahnya. Namun, bibirnya bisa terlihat. Pipinya mungil. Lagi-lagi dan lagi—senyumnya terlukiskan.
Aku berusaha bicara, tetapi suaraku tidak terdengar. Gesturnya seperti akan beranjak, tetapi dia terus menatapku. Sepertinya dia cemas. Dan itu untukku. Aku tidak mengenalnya—aku tidak benar-benar mengenalnya—tetapi aku tahu dia tidak mau aku dalam posisi ini, menatapnya pergi, meratap, menolak masa depan yang mungkin akan datang tanpa dirinya. Itu membuatku sengsara.
Dia seperti terbiasa dengan sikapku—seolah benar-benar tahu seperti apa diriku.
Tiba-tiba aura di sekitarnya berubah. Pendar putih di sekelilingnya terasa hangat, dan itu terasa sampai ke benakku. Barangkali dia tidak bicara—tentu saja dia tidak akan bicara—tetapi dia menunjukkannya dengan cara lain. Bahkan tanpa mengucap sepatah kata, layaknya kami telah saling mengenal sampai hanya dengan aura saja, dia bicara dengan nada yang membuatku nyaman.
“Aku bersamamu.”
Tentu saja aku tersenyum. Untuknya. Senyum palsu terhebat dariku.
Jadi, aku mencoba mengerti. Iya. Segalanya akan baik-baik saja, aku ingin bisa mengucapkan itu. Namun, segaris air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Dia tidak akan mengucapkan salam perpisahan. Karena itu, alih-alih mengucap selamat tinggal atau sejenisnya, dia melambaikan tangan. Aku tidak mau dan tidak pernah mau melihat itu. Tangannya bak menggumamkan pemberkatan penuh perpisahan untukku yang asing.
Maka dia berjalan. Awalnya melangkah mundur. Perlahan. Dan begitu dia menemukan momen ketika benakku retak, dia berbalik. Dia memunggungiku, dan punggung kecil yang mulai terbebas itu terlihat istimewa. Kakiku mengeras. Dan begitu kusadari, dinding tidak kasat mata di antara kami mulai mewujud. Aku tahu bukan waktunya berbohong. Aku tidak mau menyesal. Karena itu, suaraku berteriak, seolah dalam kenyataan kami yang tak saling mengenal, aku memintanya kembali. Suaraku menuntut, dan dalam alunan menyakitkan, air mataku terasa kian sesak.
“JANGAN PERGI!”
Aku ingin dia mengerti bahwa di balik teriakan ini, aku ingin dia di sisiku, bukan untuk menjaga tiap kegilaan yang kulakukan, tetapi sebagai orang yang ada untukku. Barangkali aku tidak tahu siapa dia, tetapi kami bisa mencari tahu. Kalau dia di sisiku, kami bisa memulainya dari awal. Dan aku mungkin suka melakukan hal sinting—barangkali itu tidak pernah bisa membuatnya tenang, tetapi semua hal ini tidak lagi bisa kupikirkan. Ketika dia lenyap dalam kegelapan pekat, benakku tiba di ambang kesengsaraan.
Begitu kusadari, dia telah pergi. Sosoknya lenyap ditelan kehampaan.
Kakiku ambruk. Rasa sakitku menjadi-jadi.
Aku mengerjapkan mata. Kilasan itu hilang. Seseorang menepuk bahuku. Seseorang dengan topi putih. Pria dengan kharisma luar biasa.
“Adikmu,” ucapnya. “Sudah waktunya istirahat.”
“…adik?”
“Perang di depan mata, Bocah Alam. Tegakkan kakimu.”
“Perang?”
Langit menggelegar. Kilat berderak. Begitu aku mengangkat wajah, ratusan burung sudah di atasku. Burung hitam. Seperti mengarah dan menukik.
Burung…
…atau anak panah.
Aku tidak mengerti. Medan perang? Adik? Siapa? Aku tidak punya siapa pun selain Aza dan Nenek. Aku tak pernah ada di tanah lapang penuh darah.
Di tengah selang waktu antara anak panah dan kematian itu, aku kehilangan diriku. Rasanya seperti jiwaku ditarik tinggi ke angkasa, meninggalkan raga yang kosong bersama pendar hitam yang dia sebut adikku. Tanah lapang, dalam kejauhan aku bisa melihat danau yang ditutupi hutan pinus, ladang buah-buahan—sepertinya aku pernah memetik buah di sana—lalu mercusuar tinggi dan pondok yang tersebar. Itu seperti kumpulan pondok simetris. Saling mengelilingi titik kecil. Itu area yang paling lama kulihat, seolah sebagian diriku tertinggal di sana.
Namun, kilasan itu tidak ada artinya. Ketika kesadaranku kembali, aku tetap di atas tanah. Terdiam. Seolah menanti kematian pada titik kecil di atas langit. Titik yang siap memotong garis hidupku.
Dan pada saat itulah—ketika anak panah tepat berada di depan mataku, satu suara lembut memenuhi kepalaku. Suara ceria. Yang entah bagaimana membuatku kembali meneteskan air mata.
[“Jangan curang. Diam di situ. Dengarkan aku bicara.”]
Jantungku berdegup kencang. Kilasan itu terdengar begitu nyata. Layaknya dalam dekapan seseorang—dengan mata saling bertautan satu sama lain.
[“Aku mencintaimu. Kau tidak mau balas memelukku?”]
Dan aku tersentak bangun.
Pencarian timku dan Lavi berjalan dalam dua kutub berseberangan. Dilihat dari aspek kelancaran perjalanan, kami aman. Dilihat dari segala petunjuk yang bisa didapat tentang Ibu, kami nihil. Nol besar.Aku lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Lavi yang biasa mengoceh panjang lebar juga tidak banyak bicara. Kami hanya saling menggamit sepanjang melintasi alam liar. Trek ke titik Padang Anushka berikutnya menjauhi gunung, jadi kami semakin meninggalkan trek terjal. Tidak ada medan curam berarti yang harus diwaspadai. Dari pembagian area pencarian, kami kebagian menyusuri sungai—karena menurut Profesor Merla dan Nadir, aliran air adalah area paling sulit untuk dilacak. Mereka membebankan itu padaku.Lavi tidak menganggapnya sebagai beban. Dia bilang, “Kalau mereka yang di sini, mereka takkan mendapatkan apa-apa, tapi kalau kita—yang daya lacaknya lebih tajam, ada kemungkinan memiliki peluang lebih besar.”“Aku juga tidak menganggapny
Kami melakukan persiapan akhir sebelum pergi meninggalkan tebing. Yang bagi Lavi dan Reila adalah mandi, sementara bagi Leo adalah mengucap perpisahan pada tempat gelap yang bersedia menaungnya sekitar empat tahun. Dia mengajakku ke dapur, menunjukkan catatan persediaan. Aku agak lupa dengan tulisan Ibu, tetapi dia menunjukkan tulisan Ibu padaku.Aku merasakan gejolak yang sama seperti saat membaca surat Bibi.Goresan tinta yang tertulis di kertas itu seperti melayang naik, menembus lapisan kertas seolah tengah memancarkan aura kehadiran seseorang. Aura Ibu bak keluar dari lapisan kertas dan memenuhi benakku.“Makasih,” kataku, mengembalikannya. “Aku semakin yakin dia hidup.”“Bibi Meri suka sekali membicarakan ikat rambutnya. Dia juga punya cara berpakaian yang agak aneh—maksudku, selendangnya melilit tubuhnya, kan? Aku tidak pernah menyangka kalau itu ada artinya. Semua itu pemberianmu. Dia cerita kalau kau memberinya
Keesokan paginya, aku menjadi orang ketiga yang bangun cepat.Ketika aku membuka mata, Jenderal dan Profesor Merla sudah tidak ada di tempat. Aku tidak berniat penasaran, tetapi lilin di ruangan yang kupikirkan sudah habis ternyata menjadi lilin yang baru. Salah satu dari mereka pasti menggantinya. Lavi masih terlelap. Aku mengecek arloji. Ternyata aku tidur cukup lama. Sekarang pukul setengah enam. Setidaknya, matahari sudah terbit. Kuputuskan memperbaiki selimut Lavi, melapisinya dengan milikku sebelum beranjak.Jenderal sedang duduk di pintu masuk gua, di atas tumpukan batu. Cahaya sudah merembes masuk dari lubang, sangat silau. Jenderal hanya duduk. Posisinya diletakkan menyongsong cahaya. Jadi, dari posisiku, yang kelihatan darinya hanya siluet. Sungguh, wujudnya yang ini membuatnya semakin memancarkan aura.Terlepas dari semua yang sudah terjadi—citra ingatan Bibi dan segalanya—aku berhasil membawa diriku di tumpukan tanah paling bawah.
Setelah melihat citra masa lalu Ibu dan Bibi, ketika Bibi menjadi eksistensi yang begitu sensitif dengan emosi, sebenarnya secara halus, Ibu juga begitu sensitif dengan emosi—terutama yang berhubungan dengan keluarga. Di masa lalu, satu-satunya keluarga yang dimiliki Ibu jelas Bibi, dan bukannya itu sudah jelas? Tidak pernah sekali pun Ibu kelihatan bisa rela ketika Bibi melakukan hal-hal berbahaya, mulai dari misi atau bahkan mendekati Jenderal. Jadi, ketika aku lahir dan menjadi putranya, Ibu benar-benar menerapkan perasaan serupa padaku.Ibu selalu dekat denganku—entah di Padang Anushka atau Lembah Palapa.Namun, kebenarannya, alasan kedekatan kami juga pernah didorong keras oleh kejadian yang berhubungan dengan emosi.Jadi, sewaktu kami masih di Padang Anushka, Ibu selalu sibuk dengan tim tungku. Sepanjang hari dan sepanjang waktu. Ibu bahkan semakin brutal mengisi waktunya di tim tungku setelah Reila lahir. Entah apa yang Ibu pikirkan, tetapi Ib
Aku dan Lavi adalah tim pertama yang berhasil menyentuh ujung lain dari gua. Tampaknya tim lain memilih cabang lain saat di dalam gua.Kurang lebih, ujung lain gua ini terhubung dengan sungai kecil. Kami ada di dataran yang entah bagaimana lebih landai, sehingga pintu masuk gua di ujung yang ini lebih mirip seperti sarang kelinci di pinggir sungai. Saat itu langit sudah gelap. Matahari telah terbenam, dan wilayah di sekitar juga hanya sungai di tengah hutan. Aku berusaha merasakan area sekitar, tetapi hasilnya nihil.“Ada batu kristal juga di sekitar sini,” kataku.“Berarti batunya memang mengitari tebing ini,” ucap Lavi. “Kau bisa, tidak, merasakan posisi pintu keluar yang ini di sebelah mana pintu masuk utama?”“Sepertinya utara. Kita ada di sisi lain dari arah kedatangan. Tapi kau sadar sesuatu? Hal yang sangat penting tentang gua di sisi ini.”Lavi mengerutkan kening, mengedarkan pandangan ke seki
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L