Share

1. AZA #1

last update Last Updated: 2021-08-04 16:38:04

Aku ingin bercerita apa yang terjadi padaku. Orang paling fenomenal dalam hidupku perlu diberitahukan: Aza.

Akhir-akhir ini aku sering bermimpi buruk, yang belakangan juga semakin aneh. Namun, satu mimpi yang terus berulang tanpa henti, adalah pertemuan antara bocah berusia delapan tahun yang penuh bekas luka, dengan gadis berusia sebelas atau dua belas tahun yang punya pedang di pinggangnya. Aku tidak ingat tepatnya pertemuan itu, tetapi momen itu selalu kembali seolah aku tidak diizinkan lupa.

Biasanya dimulai di gang kecil, dan aku berada dalam sudut pandang kucing liar—duduk di atas atap rumah rendah, menatap seorang bocah babak belur di sisi tempat sampah yang bau. Bocah yang kurus, lemah, seolah sudah menemukan garis perpotongan waktunya. Gang itu berada di kota yang penuh remang-remang lampu, dan tidak pernah terlihat ada matahari. Hanya kota yang hampa, penuh kebisingan memuakkan, layaknya terpendam jauh di kedalaman. Jadi, aku—yang ada dalam tubuh kucing—melihat aku—yang berusia delapan tahun, memakai kain usang, dan terbatuk-batuk seperti terkena penyakit mematikan.

Bocah kecil itu baru saja dihajar seseorang. Lebih tepatnya, preman. Tidak ada yang bisa kuingat mengapa aku ditonjok habis-habisan, tetapi dilihat dari bekas luka di tubuh kecil itu, aku berani sumpah sepanjang masa kecil tidak ada kata lari dalam kamusku. Kalau ada yang menghajar, aku melawan, dan babak belur.

Setidaknya, untukku yang berada dalam tubuh kucing tahu bahwa tiap jiwa yang terlahir pasti memiliki orang tua. Namun, ketika aku melihat bocah kecil itu, aku berusaha menolak apa yang terjadi—karena secara teknis, itu aku, dan aku tidak pernah melihat orang tuaku dalam mimpi ini meskipun telah terulang ratusan kali dalam tidurku. Jadi, kesimpulan menyesakkan itu datang ke benakku—fakta bahwa di masa-masa itu, aku tidak punya orang tua, bahkan terbuang di gang kecil lusuh. Aku hanya anak terbuang yang disiksa sepanjang waktu.

Aku tidak ingin mengerti apa yang dirasakan bocah kecil itu, tetapi ketika matanya menatap lekat-lekat ke bangkai tikus yang dipenuhi lalat, tampaknya mau tidak mau aku membayangkan apa yang dia pikirkan: bocah tanpa harapan yang iri pada ruangan penuh cahaya, tidak mau berakhir membusuk dikelilingi sesuatu yang menjijikkan. Maka berdasar pada keyakinan itu—meskipun sebagian besar jiwanya telah hancur dan tidak ada lagi yang bisa dia ingat selain kekerasan dan luka—dia berjongkok di sisi tempat sampah, menyandar pada dinding dengan jendela rendah, yang dalam suatu waktu akan mengeluarkan aroma-aroma paling dia sukai: ikan bakar. Dalam bara api kecil, dia masih punya tekad hidup, dan meski tidak memiliki apa-apa untuk merasakan ikan bakar, dia punya hidung yang bisa mencium aroma, layaknya aroma yang bercampur bau busuk tempat sampah itu mampu membuatnya kenyang dalam satu kali tarikan napas. Bocah kecil itu terlihat begitu menyedihkan, seperti akan sampai di akhir garis waktunya, tetapi juga seperti tidak akan pernah sampai. Sesuatu selalu melarangnya untuk pergi.

Dan di hari itu—ketika kebisingan kota membuat bocah kecil itu meringkuk kelaparan dalam hawa dingin—bayangan seseorang menutupi tubuhnya.

Dia membuka mata, menemukan kaki seseorang di depan matanya.

Aku bisa merasakan apa yang bocah kecil itu rasakan: matanya berat, dalam alunan menyakitkan pada kakinya yang lebam, dia berusaha melihat seseorang yang tampaknya siap menghajarnya. Dia tidak ingin bangkit, jadi ketika matanya berhasil mendapati seseorang berdiri di hadapannya, dia langsung menjerit seolah menolak menerima rasa sakit lebih lanjut. Matanya—bergetar, penuh rasa takut, ngeri, dan... pasrah. Tangan ringkihnya kelihatan tidak berdaya. Penuh luka sayat dan lebam—memeluk erat kaki yang patah, membenamkan kepalanya dalam dekapan tubuhnya yang kurus. Suaranya menyesakkan, layaknya jeritan penolakan penuh isak tangis. Barangkali dia menuntut, tetapi tak pernah seorang pun mendengarnya.

Namun, di hari itu, seorang gadis yang entah dari mana asalnya, hadir untuk bocah kecil itu, bersimbah keringat, layaknya telah mencarinya selama berhari-hari tanpa istirahat. Dan ketika gadis itu mendapati bocah kecil itu berteriak penuh rasa takut, sesuatu yang belum pernah terjadi menggugah suasana menjadi hangat.

Gadis itu menangis, menuntut pada ketidakadilan di hadapannya.

Jadi, di tengah kegelapan kota yang tiada ujungnya, di sudut kecil gang yang berbau busuk dan gosong dalam satu waktu, dua orang itu bertemu. Dalam alunan sesak yang sama, gadis itu merangkul bocah kecil itu, menangis seolah tidak ingin mendapati situasi mengerikan yang tak seharusnya dirasakan bocah delapan tahun. Dan bocah kecil itu meneriakkan jeritan dengan tingkat yang sama seperti ketika preman-preman menghajarnya—tetapi dalam alunan yang jauh berbeda.

Bocah kecil itu... menangis, bahagia, dan lega, dan...

...bersyukur.

Dia membalas pelukan erat gadis itu, mencengkeram apa pun yang bisa dia genggam di punggungnya—seolah-olah melarangnya pergi.

Dia, pada akhirnya, bisa menggantungkan harapan hidupnya.

Selama momen-momen itu, aku—yang dalam tubuh kucing ini—tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Barangkali jurang bahasa berada di antara kami, meski, secara teknis, aku manusia. Namun, ketika bocah kecil itu kehilangan kesadaran di dekapan gadis misterius itu, aku tahu hidupnya akan berubah.

Gadis itu—gadis dengan pedang di ikat pinggangnya—tiba-tiba menatapku, layaknya dia menemukanku—yang dalam tubuh kucing ini—dan tersenyum.

Maka sejak pertemuan itulah, ingatan masa kecilku terhapus sepenuhnya.

Layaknya pertemuanku dengan Aza menjadi tombol reset yang menghapus segala bentuk kesengsaraan dan luka yang kudapatkan selama masa kecil.

Begitu mataku terbuka, aku telah terbaring di depan kehangatan api unggun, dikelilingi hutan lebat yang jauh dari kegelapan kota, dengan mata menatap lurus pada Aza yang menyayat ikan bak koki andal—sebelum dia akhirnya menemukan mataku, tersenyum dengan lesung pipi yang khas.

“Selamat datang di rumah, Forlan!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selubung Memori   632. LABIRIN KUSUT #11

    Berkat Reila, aku bisa tertidur sampai jam sarapan. Mungkin salah satu yang membuat tidurku terganggu, adalah karena aku terlalu banyak memendam.Masalahnya, aku terlelap di sofa. Dan semua beban di kepalaku tidak hilang. Begitu terbangun, aku merasa segar, tetapi hanya sedikit. Kepalaku masih kelewat berat seolah sesuatu yang mengganjal itu tidak hilang dengan tidur. Ketika mataku terpejam, aku bisa melihat bercak hitam kehampaan di mataku seolah itu jauh lebih gelap dari kegelapan mana pun. Bercak itu bergerak, membuat mataku bergetar—dan setiap mataku terpejam, itu memaksa mataku terbuka. Reila berhasil membuat bercak itu tidak terlalu terasa membara dengan caranya, dan dalam waktu yang tak bisa kusadari, aku sudah tertidur. Yang menjadi masalah: bercak gelap itu kembali, membuat mataku seperti terbakar, dan aku terlonjak bangun.Inilah alasan kedua mengapa aku dan Lavi berangkat terlambat: Lavi ada di sampingku ketika aku terbangun. Di sofa. Tepat di sampingk

  • Selubung Memori   631. LABIRIN KUSUT #10

    Sebelum pencarian ketiga, semua mulai meledak.Aku dan Lavi baru berangkat setelah tengah hari, beda titik dengan Reila yang sudah berangkat sejak jam sarapan habis. Kali ini dia tetap berangkat dengan Profesor Merla, tetapi tanpa Kara. Sebagai gantinya, Elton ikut misi.Dan alasan pertama mengapa aku terlambat berangkat, adalah Reila.Aku tidak bisa tidur lagi—sebenarnya aku tidur, tetapi hanya satu jam. Jadi, ketika bangun, kepalaku pusing. Saat itu dini hari. Aku di dapur, mengambil minum dengan harapan pusing di kepalaku hilang, tetapi ternyata gerak motorik tanganku belum sepenuhnya kembali. Gelas itu tergelincir dari tanganku, dan: prang!Satu-satunya yang keluar kamar: Reila.Begitu dia keluar dengan raut terkejut dan curiga, kami bertautan mata. Di dekat kakiku masih tersebar pecahan kaca. Di malam itu, akhirnya tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Aku mengatakan semuanya.Tentang misi ini, apa yang kupikirkan di ba

  • Selubung Memori   630. LABIRIN KUSUT #9

    Setelah kembali dari misi, aku menghabiskan waktu di gerha. Tidak pergi sama sekali. Kupikirkan aku ingin tidur, tetapi dengan cara apa pun, aku sulit tidur. Sewaktu masih di alam liar, ketika Lavi tertidur di sampingku, aku sama sekali tak bisa tidur. Kesadaranku seperti tidak bisa jatuh. Kepalaku dikuasai hal-hal aneh. Itu masih berlangsung hingga tiba di gerha. Barangkali Tara tidak memberitahu kalau aku seperti butuh tidur, tetapi dua malam terakhir, aku tidur hanya sesaat.Reila menyebut hasil misinya sebagai, “Bukti dari Bibi kalau tidak ada lagi yang bisa ditemukan, jadi dia memintaku tidak merengek berangkat misi.”“Kau merengek?” tanyaku.“Bibi menyebutnya seperti itu.”“Jadi, kau tidak misi lagi?”“Masih misi. Harusnya dua hari lagi. Sama seperti Kakak.”Itu pun kalau aku berangkat dengan Lavi—aku ingin mengatakan itu, tetapi aku menahannya sedemikian rupa. Kalau Lav

  • Selubung Memori   629. LABIRIN KUSUT #8

    Pencarian kedua tidak menghasilkan apa-apa. Kami memutuskan pulang di tengah hari karena kondisi Lavi sudah tidak lagi bagus untuk pencarian. Fisiknya dan benaknya sudah benar-benar habis. Aku yang memutuskan kembali.Lavi menurut. Kami kembali dan memutuskan gunung itu bukanlah tempat mencurigakan. Itu hanya tempat normal. Untuk pencarian berikutnya, kami pindah ke tempat lain. Tentunya belum kami bicarakan. Aku tidak ingin memulai obrolan serius semacam itu ketika kondisi Lavi sedang habis.Aku menggendongnya, membawanya ke Padang Anushka.Kami tiba sekitar pukul dua siang.Dan momen kedatangan kami—bagiku salah—tetapi bagi Lavi sangat tepat. Di pondok perbatasan, Haswin, Yasha, dan Dalton sedang main catur.Kami menapak di bukit perbatasan, disambut oleh Mister seperti biasa. Lavi turun dari punggungku. Haswin berkata, “Kerja bagus. Selamat datang.”“Bermalas-malasan seperti biasa?” tanya Lavi.&

  • Selubung Memori   628. LABIRIN KUSUT #7

    Di pencarian kedua, Reila akhirnya berangkat. Izin misinya kembali.Bukan karena Lavi. Bukan karena Profesor Merla. Namun, tim medis. Izin misinya dikembalikan—secara teknis, tim medis kembali mempercayakan kondisi Reila pada dirinya sendiri. Menurut Isha, semua dalam diri Reila tidak pernah ada yang kacau. Semuanya stabil. Dokter Gelda juga mengatakan hal sama. Jadi, tidak pernah benar-benar ada yang mengaku apa alasan sebenarnya tim medis mencabut izin misinya. Meskipun begitu, tim medis, aku, Profesor Merla, dan—bahkan Reila sendiri tahu alasan sebenarnya.Susunan timku dan Lavi tetap: aku dan Lavi.Susunan tim Reila: Profesor Merla, Reila, dan Kara.Untuk misi kali ini Kara menawarkan dirinya ikut, terutama karena wilayah pencarian Reila adalah sekitar air terjun hingga gua tebing.“Aku ingin lihat langsung wujud gua itu, Nak,” kata Kara. “Omong-omong ke mana tim kalian pergi?”“Negeri atas awan,

  • Selubung Memori   627. LABIRIN KUSUT #6

    Keesokan harinya, kami bergerak ke sekitar gunung hingga hampir bertemu gelap lagi. Lavi punya gagasan menuruni area yang paling terjal—yang semestinya meningkatkan peluang bertemu monster dan musuh. Namun, tak ada lagi yang bisa kami temukan, kecuali alam liar yang jauh lebih brutal dari apa pun. Dengan yakin aku tahu tak ada manusia yang bisa menyentuh daerah ini lagi sejak 500 tahun lalu. Alam liar di puncak gunung terasa lebih alami seolah berada dalam pelindung.Tidak ada bekas monster. Tidak ada musuh. Gunung itu jelas mencurigakan.Kami berjalan cukup jauh sejak turun dari gunung. Tidak terbang lagi.Lavi menandai koordinat ketika aku menyusuri sungai.Sungai itu cukup janggal. Bagian sisinya punya banyak lubang aneh seperti perangkap. Aliran airnya sangat tenang. Sungai ini pasti lebih dalam dari kelihatan. Beberapa lubang aneh di pinggir sungai dan rawa-rawa ini membuatku bisa paham lebih banyak. Aku meminta Lavi menjauh dari sungai.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status