Home / Romansa / Semalam Dengan Komandan / Apa Kita Pernah Bertemu?

Share

Apa Kita Pernah Bertemu?

Author: Brata Yudha
last update Last Updated: 2025-07-18 09:24:55

Upacara serah terima jabatan di gedung GOR battalion pun telah selesai dilaksanakan. Bima juga segera kembali ke rumah. Ketika sampai di rumah, Khansa sedang mencuci piring di dapur. Bima menghampiri sang istri. Khansa sadar kalau Bima sudah datang, tetapi ia tidak menyambutnya dan tetap melanjutkan kegiatannya mencuci piring.

“Abis nyuci piring buruan siap-siap ya, ikut Mas keluar sebentar.”

Khansa menoleh dengan kernyitan di dahinya. “Mau ke mana?”

“Ke supermarket sebentar, cari buah tangan.”

“Buah tangan buat apa?” tanya Khansa.

“Buat diantar ke Danki baru dong. Masa ada Danki baru diem-diem aja enggak bertamu ke rumahnya.”

Danki baru. Artinya pria itu. Khansa mendadak kesal. Ia sendiri sudah sangat gelisah karena komandan kompi baru itu ternyata pria yang sama dengan yang tidur dengannya, sekarang Bima malah mau mengajaknya datang untuk mengirim buah tangan segala.

“Buat apa sih? Kan tadi pas serah terima jabatan pasti udah nerima hidangan juga. Ngapain Mas Bima mau nyari muka segala.”

Bima memutar bola matanya mendengar keluhan Khansa. “Siapa yang mau cari muka sih? Ini tuh namanya beramah-tamah. Ada orang baru ya disambut baik lah.”

“Ya udah, Mas Bima aja yang ke sana, kan itu Dankinya Mas Bima,” sahut Khansa.

Bima mengembuskan napas kasar. “Kok gitu sih? Kamu ‘kan istriku, ya masa aku disuruh datang sendirian?”

“Kan Mas Bima yang bilang mau beramah-tamah sama Danki baru itu. Aku nggak enak badan, Mas. Agak pening ini pengen istirahat aja di rumah.”

“Jangan gitulah, Sa. Harus sama kamu dong.”

Khansa ragu. Meskipun belum pasti apakah pria itu ingat dengan Khansa atau tidak, tetap saja hati Khansa rasanya gelisah. Kalau bisa, ia tidak mau bertatap muka dengan komandan baru itu sama sekali.

“Sa, ayolah… Masa ramah-tamah ke Danki baru istrinya nggak ikut sih? Itu tadi teman-teman aku juga pada bawa istrinya kok pas datang ke rumah Kapten Rama.”

Khansa menghela napas panjang. Akhirnya, ia pun terpaksa ikut. Mereka berdua pergi ke supermarket terlebih dahulu untuk membeli bingkisan. Namun, setelah lama berputar-putar, Bima tidak kunjung menemukan bingkisan yang ia mau.

“Mas Bima sebenarnya mau bawa bingkisan apa sih? Tadi lewat ke rak kue kering katanya nggak mau, buah-buahan dibilang bukan orang sakit, sabun dan alat kebersihan katanya nggak pantes. Terus mau bawa apa sih Mas?”

Bima mengusap dagunya sembari berpikir. “Masih dilemma tadi. Ya udah, kamu beli bahan makanan ajalah. Nanti kamu masak sendiri gitu buat dibawa ke rumahnya Kapten Rama.”

Khansa menganga. “Loh? Aku harus masak dulu nih?”

“Iya, biar lebih istimewa. Lagian kalau dipikir-pikir, beli barang buat parcel harganya mahal juga, mending masak makanan aja supaya lebih hemat ‘kan.”

Khansa cemberut. Ia akhirnya memilih bahan makanan yang sekiranya mudah untuk dimasak. Padahal Bima yang mau berkunjung ke komandan barunya itu, malah Khansa yang harus repot.

Sesampainya di rumah, Khansa memasak sup ayam kampung. Ia memang memilih bahan-bahan untuk sup ayam kampung tadi. Khansa tidak punya banyak ide. Malas juga kalau harus memasak makanan yang rumit-rumit.

Malamnya, makanan itu sudah siap. Khansa memasukkannya ke dalam rantang susun untuk dibawa ke rumah dinas Komandan Rama. Bima juga sudah rapi, siap untuk berangkat. Hingga detik itu, Khansa rasanya masih sangat malas untuk ikut pergi. Rasanya, ia gelisah bukan main. Namun, karena Bima terus saja memaksanya, Khansa akhirnya pasrah. Mereka pun berangkat ke rumah dinas Kapten Rama sembari membawa sup ayam kampung di dalam rantang susun itu.

Sesampainya di sana, ada beberapa tentara juga yang baru pamitan dari rumah Kapten Rama. Di sana, Bima langsung memasang wajah paling ramah yang ia bisa.

“Kapten Rama, selamat malam.”

Mereka mengobrol sedikit, lalu kemudian Rama melirik ke arah Khansa yang membawa rantang sup ayam kampung itu sambil menunduk. Bima menyadari arah pandang Rama, jadi ia pun segera memperkenalkan Khansa kepada sang kapten.

“Kapten, perkenalkan ini istri saya, namanya Khansa.”

Khansa menganggukkan kepalanya saja kemudian kembali menunduk dalam-dalam, seolah berusaha agar Rama tidak melihat wajahnya.

Rama pun mempersilakan mereka berdua masuk ke ruang tamu. Di sana, Khansa benar-benar merasa tidak nyaman. Ia berharap Bima menyudahi obrolannya lalu buru-buru pamit. Namun sayang, Bima malah asyik mengoceh tanpa henti, menceritakan segala hal yang sebenarnya tidak penting-penting amat. Sementara itu, Rama justru lebih banyak diam. Pria itu hanya mendengarkan sambil sesekali menanggapi seperlunya.

Awalnya, obrolan Bima terkesan basa-basi biasa saja, tetapi tiba-tiba Bima malah menciptakan topik yang menurut Khansa kurang sopan untuk dikatakan.

“Oh iya, Kapten Rama sudah ada calon atau belum?” tanya Bima tiba-tiba.

Rama masih diam.

“Kalau belum, saya ada sepupu, cantik lho, Kapten. Dia lulusan S1 Farmasi. Cocok deh sama Kapten Rama. Siapa tau Kapten Rama mau dikenalin,” imbuh Bima.

Khansa melirik sang suami dalam diam, tetapi kerutan di dahi Khansa menunjukkan bahwa ia merasa omongan suaminya benar-benar tidak etis. Masalahnya, mereka ini baru berkenalan, dan posisi Rama juga senior Bima. Bisa-bisanya Bima tiba-tiba mau menjodoh-jodohkan dengan sepupunya. Sayangnya, protesan yang Khansa rasakan itu hanya bisa ia pendam dalam hati.

Rama sendiri tampak tidak terlalu masalah dengan omongan Bima. Ia tidak memberikan jawaban pasti, melainkan hanya tersenyum tipis saja sebagai tanggapan.

Lalu, ponsel Bima tiba-tiba berdering. Ada panggilan dari ibunya. Obrolan mereka berhenti. Bima menatap Rama dan menunjukkan ponselnya.

“Kapten, saya izin keluar sebentar ya, ada panggilan dari ibu saya.”

“Ya, silakan.”

Bima pun keluar untuk menerima panggilan itu. Sekarang, Khansa hanya berdua saja di ruang tamu bersama dengan Rama. Ia jadi kikuk luar biasa sebab suasana mendadak hening. Khansa tidak bisa memulai obrolan sebab ia sendiri sangat canggung. Sialnya lagi, Rama justru terus menatap Khansa dengan lekat, entah apa maksudnya, membuat Khansa rasanya ingin sekali kabur dari sana.

“U-Um, Kapten Rama, saya mau—”

“Bu Bima,” potong Rama cepat. “Apa kita pernah bertemu?”

Mampus.

Wajah Khansa seketika memucat. Buru-buru ia menggeleng. “Enggak, enggak pernah, Kapten.”

Rama mengangguk-angguk. “Begitu ya, apa mungkin saya salah orang, hm…”

Khansa menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. Ia sangat gugup. Khansa terus berdoa dalam hati, semoga saja Rama tidak ingat apapun mengenai yang terjadi di dalam kamar hotel tersebut.

“Sudah lama menikah dengan Praka Bima?” tanya Rama mengalihkan topik pembicaraan.

“Saya—”

“Sudah tiga tahun, Kapten,” sahut Bima yang tiba-tiba masuk lagi ke ruang tamu. “Ah, tapi sayangnya kami belum juga dikaruniai anak. Kalau besok Kapten mau menikah, sebaiknya cari istri yang betul-betul subur biar cepet dapat momongan.”

Khansa mengepalkan telapak tangannya mendengar itu. Ia tersinggung dan malu atas ucapan suaminya sendiri.

“Saya permisi,” ucap Khansa tiba-tiba. Ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Bima dan Rama.

Bima sendiri terkejut. Ia buru-buru pamitan kepada Rama kemudian berlari menyusul Khansa. Di depan rumah Rama, Bima menahan lengan Khansa.

“Kamu apa-apaan sih kayak tadi itu? Malu-maluin, tau nggak?”

“Kamu yang apa-apaan, Mas?! Maksud kamu apa ngomong kayak gitu di depan Kapten hah? Mau jelek-jelekin aku?”

Bima mengusap wajahnya kesal. “Kenapa sih kamu jadi baperan gini? Bercanda doang kali.”

“Aku baperan? Ya udah, coba keadaannya dibalik aja, gimana kalau aku bercanda bilang kalau kita susah punya anak karena kamu impoten. Tersinggung nggak?!”

“Khansa! Jangan sembarangan ngomong kamu.”

Khansa tertawa sinis. “Tuh, ‘kan. Kamu aja nggak mau dibercandain gitu. Harus berapa kali sih aku ngomong kalau kita sama-sama sehat, jadi nggak usahlah nyalahin aku terus karena kita belum punya anak!”

Khansa benar-benar sakit hati. Ia menyentak tangan Bima yang menahan lengannya tadi kemudian berlajan cepat untuk pulang ke rumah sambil menahan tangis. Bima mengembuskan napas kasar. Ia mengumpat pelan. Mau tidak mau, Bima mengejar Khansa yang sudah duluan pulang ke rumah.

Sementara itu, di depan pintu rumahnya, Rama menghisap rokok sembari tersenyum tipis. Ia menyaksikan semuanya, termasuk mendengar perdebatan sepasang suami istri tersebut yang tengah meributkan masalah anak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Mai Saroh
ucapan Bima menunjukkan keegoisan dirinya thdp istri..
goodnovel comment avatar
Syabaru Itha Syabaru Walada
Bima knp bgtu
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Bima parah banget mulutnya tuh ya jahat banget. Rama sepertinya sudah tau kalau Khansa perempuan yg waktu ml sama dia.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Semalam Dengan Komandan   Kelahiran Pewaris (Tamat)

    Rama pulang ketika tengah malam. Ia pikir, Khansa sudah tidur karena memang sudah terlalu larut untuk tetap bangun. Namun, perkiraan Rama salah. Ketika ia baru masuk, Khansa justru sedang duduk di kursi ruang tamu sambil menyilangkan kedua lengannya. Tatapan mata wanita itu begitu tajam mengarah kepada Rama. “Khansa, kamu belum tidur?” Khansa menatap sinis kepada Rama. “Bagus ya, pulang malam-malam. Nggak inget di rumah ada istri yang lagi hamil muda!”Rama mengerjap, kaget karena Khansa tiba-tiba marah. “Khansa, saya—”“Sibuk ya sama perempuan lain?”“Hah?”“Kamu pasti sibuk seneng-seneng sama Hesti di rumah ibu kamu makanya nggak inget waktu buat pulang. Oh? Kamu minta jatah ke dia karena aku nggak ngelayanin kamu? Udah puas?”Amarah Khansa semakin menggebu-gebu. Meskipun mulutnya berkata sinis, tetapi ekspresi wajahnya menandakan kalau ia sudah hampir menangis. Kedua matanya sudah penuh dengan air mata dan sangat memerah. Rama yang bingung karena tiba-tiba dituduh seperti itu ak

  • Semalam Dengan Komandan   Penyesalan

    Kebetulan sekali, Rama dan Khansa melewati Bima. Mereka berdua sedikit kaget melihat Bima ada di rumah sakit. Apalagi penampilannya juga kelihatan kusut seolah ia kurang tidur. Rama langsung berpura-pura basa-basi di depan bawahannya itu. “Ketemu di sini kita, Praka Bima,” kata Rama. Bima menganggukkan kepalanya. “Kapten Rama.”“Lagi ngapain di rumah sakit?” tanya Rama. “Ibu saya baru saja kecelakaan, Kapten. Baru selesai operasi,” kata Bima. Khansa yang sejak tadi diam saja kaget mendengar ibunya Bima kecelakaan. Meskipun selama menjadi istri Bima ia sering mendapatkan perlakukan kurang mengenakkan dari ibunya Bima, tetap saja mendengar wanita tua itu kecelakaan dan baru saja selesai operasi membuat Khansa khawatir. “Terus gimana keadaan Ibu, Mas?” tanya Khansa tiba-tiba. Rama langsung menoleh. Bima sendiri juga kaget karena sejak tadi Khansa diam saja dan seperti tidak berniat untuk bicara dengannya. “Ibu sudah siuman kok. Hanya saja sejak tadi nggak berhenti menangis karena

  • Semalam Dengan Komandan   Berbanding Terbalik

    Bima baru saja pulang ke rumah untuk makan siang. Sekarang kondisi rumahnya sepi karena Sindi sudah pulang usai mereka ribut waktu itu. Suasana hati Bima terus memburuk seiring waktu. Sudah ditipu, Bima juga kepikiran pula dengan perkataan Sindi yang mengatakan bisa saja bukan Sindi yang mandul, tetapi justru Bima sendiri. Ia yakin dirinya baik-baik saja, tetapi entah mengapa kali ini ia kepikiran. Di tengah suasana hati yang buruk itu, tiba-tiba ia mendapatkan panggilan dari nomor asing. Bima mengernyit bingung, tetapi segera mengangkatnya.“Halo, siapa ini?” tanya Bima. “Kami dari rumah sakit Citra Medika ingin mengonfirmasi apakah ini benar dengan Pak Bima?”“Iya benar. Saya sendiri.”“Pak Bima, saat ini Ibu anda dirawat di rumah sakit Citra Media karena kecelakaan. Mohon segera datang untuk mengurus administrasi.”Bima membelalak kaget. “Apa?! ibu saya kecelakaan?”“Benar, Pak. Saat ini ibu anda harus melakukan operasi jadi membutuhkan persetujuan wali.”Bima syok berat. Bagaima

  • Semalam Dengan Komandan   Selamat!

    “Kurang ajar!” Rama marah besar dan langsung menarik kerah pakaian Kahfi. Hal itu tentu saja membuat Kahfi kaget. Ia sama sekali tidak kenal dengan Rama, tetapi pria itu tiba-tiba saja memperlakukannya dengan tidak sopan.“Apa-apaan ini? Kenapa Anda—”Buagh!Sebelum Kahfi selesai bicara, Rama sudah lebih dulu meninju wajahnya dengan keras. Kahfi terdorong mundur dengan ujung bibir berdarah.“Mas Rama!” jerit Khansa panik. Sayangnya, Rama yang sudah diliputi oleh amarah dan rasa cemburu tidak mendengarkan keributan di sekitarnya. Ia fokus berusaha untuk menghajar Kahfi. “Hentikan! Hentikan Mas!” Khansa berusaha menarik lengan Rama, tetapi usahanya tidak membuahkan hasil. Bu Rohmah yang mendengar keributan di luar langsung berlari tergesa-gesa ke depan. Ia kaget bukan main melihat Rama dan Kahfi sudah berkelahi satu sama lain.“Hentikan! Tolong jangan membuat keributan di panti asuhan! Ada banyak anak-anak di sini!” teriak Bu Rohmah. Kahfi sendiri tidak terima tiba-tiba dipukul. Ia

  • Semalam Dengan Komandan   Anggap Seperti Teman

    Khansa keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Perutnya masih terasa melilit. Ia tidak tahu mengapa perutnya mual. Sekarang setelah muntah, tubuhnya juga terasa lemas.“Apa aku masuk angin ya?” gumam Khansa.Rupanya, Bu Rohmah melihat Khansa yang tadi mual dan muntah di kamar mandi. Ia khawatir terjadi sesuatu dengannya.“Khansa, kamu sakit?” tanya Bu Rohmah.Khansa menggeleng. “Khansa sehat kok Bu.”“Tapi tadi Ibu lihat kamu mual dan muntah di kamar mandi.”Khansa mengusap tengkuknya sendiri. Ia jadi merasa tidak enak. “Mungkin masuk angin saja Bu. Khansa sehat kok.”“Khansa, Nak… Masaknya biar Ibu aja yang handle ya. Kamu istirahat aja. Kayaknya kamu capek?”Khansa mengerjap. “Tapi Bu…”“Udah, nggak papa. Kamu istirahat aja dulu, yang di dapur biar Ibu urus.”Khansa menghela napas panjang dan akhirnya mengangguk. “Maaf, Bu.”“Nggak masalah, nggak usah minta maaf.”Khansa tahu meskipun tetap di dapur pun ujung-ujungnya malah tidak terlalu membantu. Namun, Khansa merasa tidak enak

  • Semalam Dengan Komandan   Semuanya Terungkap

    Setelah cukup lama pingsan, Sindi akhirnya sadar. Ia merasa kepalanya agak pening. Ketika ia menoleh, Sindi melihat Bima duduk di sampingnya dengan tatapan datar.“Bim?”“Oh, udah sadar kamu,” kata Bima.“Bim! Tadi Ibu dorong aku. Dia mau nyolong perhiasan aku katanya buat bayar pinjol dan ketipu arisan. Aku nggak mau soalnya Ibu sering pinjam uang aku tapi nggak pernah dibalikin.”Bima yang mendengar Sindi mengadu hanya diam. Bahkan tidak ada tanda-tanda perubahan ekspresi sama sekali. Hal itu tentu saja membuat Sindi heran. “Bima, kok kamu diem aja sih?” tanya Sindi. “Oh, kamu nggak percaya sama aku? Kamu mau belain Ibu kamu?”Bima menghela napas panjang, ia tidak merespon sama sekali pertanyaan Sindi. Justru Bima malah mengatakan hal lain. “Kamu udah sehat ‘kan? sekarang ikut aku,” kata Bima. Sindi kelihatan bingung. “Ke mana? Aku masih agak pusing. Kayaknya aku butuh waktu istirahat lebih lama Bim.”Bima tidak mau mendengarkan alasan tersebut. Ia justru langsung mencengkeram pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status