Upacara serah terima jabatan di gedung GOR battalion pun telah selesai dilaksanakan. Bima juga segera kembali ke rumah. Ketika sampai di rumah, Khansa sedang mencuci piring di dapur. Bima menghampiri sang istri. Khansa sadar kalau Bima sudah datang, tetapi ia tidak menyambutnya dan tetap melanjutkan kegiatannya mencuci piring.
“Abis nyuci piring buruan siap-siap ya, ikut Mas keluar sebentar.” Khansa menoleh dengan kernyitan di dahinya. “Mau ke mana?” “Ke supermarket sebentar, cari buah tangan.” “Buah tangan buat apa?” tanya Khansa. “Buat diantar ke Danki baru dong. Masa ada Danki baru diem-diem aja enggak bertamu ke rumahnya.” Danki baru. Artinya pria itu. Khansa mendadak kesal. Ia sendiri sudah sangat gelisah karena komandan kompi baru itu ternyata pria yang sama dengan yang tidur dengannya, sekarang Bima malah mau mengajaknya datang untuk mengirim buah tangan segala. “Buat apa sih? Kan tadi pas serah terima jabatan pasti udah nerima hidangan juga. Ngapain Mas Bima mau nyari muka segala.” Bima memutar bola matanya mendengar keluhan Khansa. “Siapa yang mau cari muka sih? Ini tuh namanya beramah-tamah. Ada orang baru ya disambut baik lah.” “Ya udah, Mas Bima aja yang ke sana, kan itu Dankinya Mas Bima,” sahut Khansa. Bima mengembuskan napas kasar. “Kok gitu sih? Kamu ‘kan istriku, ya masa aku disuruh datang sendirian?” “Kan Mas Bima yang bilang mau beramah-tamah sama Danki baru itu. Aku nggak enak badan, Mas. Agak pening ini pengen istirahat aja di rumah.” “Jangan gitulah, Sa. Harus sama kamu dong.” Khansa ragu. Meskipun belum pasti apakah pria itu ingat dengan Khansa atau tidak, tetap saja hati Khansa rasanya gelisah. Kalau bisa, ia tidak mau bertatap muka dengan komandan baru itu sama sekali. “Sa, ayolah… Masa ramah-tamah ke Danki baru istrinya nggak ikut sih? Itu tadi teman-teman aku juga pada bawa istrinya kok pas datang ke rumah Kapten Rama.” Khansa menghela napas panjang. Akhirnya, ia pun terpaksa ikut. Mereka berdua pergi ke supermarket terlebih dahulu untuk membeli bingkisan. Namun, setelah lama berputar-putar, Bima tidak kunjung menemukan bingkisan yang ia mau. “Mas Bima sebenarnya mau bawa bingkisan apa sih? Tadi lewat ke rak kue kering katanya nggak mau, buah-buahan dibilang bukan orang sakit, sabun dan alat kebersihan katanya nggak pantes. Terus mau bawa apa sih Mas?” Bima mengusap dagunya sembari berpikir. “Masih dilemma tadi. Ya udah, kamu beli bahan makanan ajalah. Nanti kamu masak sendiri gitu buat dibawa ke rumahnya Kapten Rama.” Khansa menganga. “Loh? Aku harus masak dulu nih?” “Iya, biar lebih istimewa. Lagian kalau dipikir-pikir, beli barang buat parcel harganya mahal juga, mending masak makanan aja supaya lebih hemat ‘kan.” Khansa cemberut. Ia akhirnya memilih bahan makanan yang sekiranya mudah untuk dimasak. Padahal Bima yang mau berkunjung ke komandan barunya itu, malah Khansa yang harus repot. Sesampainya di rumah, Khansa memasak sup ayam kampung. Ia memang memilih bahan-bahan untuk sup ayam kampung tadi. Khansa tidak punya banyak ide. Malas juga kalau harus memasak makanan yang rumit-rumit. Malamnya, makanan itu sudah siap. Khansa memasukkannya ke dalam rantang susun untuk dibawa ke rumah dinas Komandan Rama. Bima juga sudah rapi, siap untuk berangkat. Hingga detik itu, Khansa rasanya masih sangat malas untuk ikut pergi. Rasanya, ia gelisah bukan main. Namun, karena Bima terus saja memaksanya, Khansa akhirnya pasrah. Mereka pun berangkat ke rumah dinas Kapten Rama sembari membawa sup ayam kampung di dalam rantang susun itu. Sesampainya di sana, ada beberapa tentara juga yang baru pamitan dari rumah Kapten Rama. Di sana, Bima langsung memasang wajah paling ramah yang ia bisa. “Kapten Rama, selamat malam.” Mereka mengobrol sedikit, lalu kemudian Rama melirik ke arah Khansa yang membawa rantang sup ayam kampung itu sambil menunduk. Bima menyadari arah pandang Rama, jadi ia pun segera memperkenalkan Khansa kepada sang kapten. “Kapten, perkenalkan ini istri saya, namanya Khansa.” Khansa menganggukkan kepalanya saja kemudian kembali menunduk dalam-dalam, seolah berusaha agar Rama tidak melihat wajahnya. Rama pun mempersilakan mereka berdua masuk ke ruang tamu. Di sana, Khansa benar-benar merasa tidak nyaman. Ia berharap Bima menyudahi obrolannya lalu buru-buru pamit. Namun sayang, Bima malah asyik mengoceh tanpa henti, menceritakan segala hal yang sebenarnya tidak penting-penting amat. Sementara itu, Rama justru lebih banyak diam. Pria itu hanya mendengarkan sambil sesekali menanggapi seperlunya. Awalnya, obrolan Bima terkesan basa-basi biasa saja, tetapi tiba-tiba Bima malah menciptakan topik yang menurut Khansa kurang sopan untuk dikatakan. “Oh iya, Kapten Rama sudah ada calon atau belum?” tanya Bima tiba-tiba. Rama masih diam. “Kalau belum, saya ada sepupu, cantik lho, Kapten. Dia lulusan S1 Farmasi. Cocok deh sama Kapten Rama. Siapa tau Kapten Rama mau dikenalin,” imbuh Bima. Khansa melirik sang suami dalam diam, tetapi kerutan di dahi Khansa menunjukkan bahwa ia merasa omongan suaminya benar-benar tidak etis. Masalahnya, mereka ini baru berkenalan, dan posisi Rama juga senior Bima. Bisa-bisanya Bima tiba-tiba mau menjodoh-jodohkan dengan sepupunya. Sayangnya, protesan yang Khansa rasakan itu hanya bisa ia pendam dalam hati. Rama sendiri tampak tidak terlalu masalah dengan omongan Bima. Ia tidak memberikan jawaban pasti, melainkan hanya tersenyum tipis saja sebagai tanggapan. Lalu, ponsel Bima tiba-tiba berdering. Ada panggilan dari ibunya. Obrolan mereka berhenti. Bima menatap Rama dan menunjukkan ponselnya. “Kapten, saya izin keluar sebentar ya, ada panggilan dari ibu saya.” “Ya, silakan.” Bima pun keluar untuk menerima panggilan itu. Sekarang, Khansa hanya berdua saja di ruang tamu bersama dengan Rama. Ia jadi kikuk luar biasa sebab suasana mendadak hening. Khansa tidak bisa memulai obrolan sebab ia sendiri sangat canggung. Sialnya lagi, Rama justru terus menatap Khansa dengan lekat, entah apa maksudnya, membuat Khansa rasanya ingin sekali kabur dari sana. “U-Um, Kapten Rama, saya mau—” “Bu Bima,” potong Rama cepat. “Apa kita pernah bertemu?” Mampus. Wajah Khansa seketika memucat. Buru-buru ia menggeleng. “Enggak, enggak pernah, Kapten.” Rama mengangguk-angguk. “Begitu ya, apa mungkin saya salah orang, hm…” Khansa menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. Ia sangat gugup. Khansa terus berdoa dalam hati, semoga saja Rama tidak ingat apapun mengenai yang terjadi di dalam kamar hotel tersebut. “Sudah lama menikah dengan Praka Bima?” tanya Rama mengalihkan topik pembicaraan. “Saya—” “Sudah tiga tahun, Kapten,” sahut Bima yang tiba-tiba masuk lagi ke ruang tamu. “Ah, tapi sayangnya kami belum juga dikaruniai anak. Kalau besok Kapten mau menikah, sebaiknya cari istri yang betul-betul subur biar cepet dapat momongan.” Khansa mengepalkan telapak tangannya mendengar itu. Ia tersinggung dan malu atas ucapan suaminya sendiri. “Saya permisi,” ucap Khansa tiba-tiba. Ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Bima dan Rama. Bima sendiri terkejut. Ia buru-buru pamitan kepada Rama kemudian berlari menyusul Khansa. Di depan rumah Rama, Bima menahan lengan Khansa. “Kamu apa-apaan sih kayak tadi itu? Malu-maluin, tau nggak?” “Kamu yang apa-apaan, Mas?! Maksud kamu apa ngomong kayak gitu di depan Kapten hah? Mau jelek-jelekin aku?” Bima mengusap wajahnya kesal. “Kenapa sih kamu jadi baperan gini? Bercanda doang kali.” “Aku baperan? Ya udah, coba keadaannya dibalik aja, gimana kalau aku bercanda bilang kalau kita susah punya anak karena kamu impoten. Tersinggung nggak?!” “Khansa! Jangan sembarangan ngomong kamu.” Khansa tertawa sinis. “Tuh, ‘kan. Kamu aja nggak mau dibercandain gitu. Harus berapa kali sih aku ngomong kalau kita sama-sama sehat, jadi nggak usahlah nyalahin aku terus karena kita belum punya anak!” Khansa benar-benar sakit hati. Ia menyentak tangan Bima yang menahan lengannya tadi kemudian berlajan cepat untuk pulang ke rumah sambil menahan tangis. Bima mengembuskan napas kasar. Ia mengumpat pelan. Mau tidak mau, Bima mengejar Khansa yang sudah duluan pulang ke rumah. Sementara itu, di depan pintu rumahnya, Rama menghisap rokok sembari tersenyum tipis. Ia menyaksikan semuanya, termasuk mendengar perdebatan sepasang suami istri tersebut yang tengah meributkan masalah anak.Setelah cukup lama pingsan, Sindi akhirnya sadar. Ia merasa kepalanya agak pening. Ketika ia menoleh, Sindi melihat Bima duduk di sampingnya dengan tatapan datar.“Bim?”“Oh, udah sadar kamu,” kata Bima.“Bim! Tadi Ibu dorong aku. Dia mau nyolong perhiasan aku katanya buat bayar pinjol dan ketipu arisan. Aku nggak mau soalnya Ibu sering pinjam uang aku tapi nggak pernah dibalikin.”Bima yang mendengar Sindi mengadu hanya diam. Bahkan tidak ada tanda-tanda perubahan ekspresi sama sekali. Hal itu tentu saja membuat Sindi heran. “Bima, kok kamu diem aja sih?” tanya Sindi. “Oh, kamu nggak percaya sama aku? Kamu mau belain Ibu kamu?”Bima menghela napas panjang, ia tidak merespon sama sekali pertanyaan Sindi. Justru Bima malah mengatakan hal lain. “Kamu udah sehat ‘kan? sekarang ikut aku,” kata Bima. Sindi kelihatan bingung. “Ke mana? Aku masih agak pusing. Kayaknya aku butuh waktu istirahat lebih lama Bim.”Bima tidak mau mendengarkan alasan tersebut. Ia justru langsung mencengkeram pe
“Khansa, kamu…”Khansa tersenyum tipis. “Pasti kamu penasaran kenapa aku bisa tahu ‘kan? aku udah tahu semuanya Mas, jadi tolong berhenti membodohiku.”Khansa berbalik dan hendak masuk ke dalam bangunan panti, tetapi Rama menahannya. “Khansa, tolong dengarkan saya dulu.”“Dengerin apa lagi Mas? dengerin kebohongan kamu?”Rama menarik napas panjang. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Khansa sudah tahu semuanya. Siapa yang berani membeberkan fakta itu kepada Khansa?“Khansa, sebenarnya saya nggak bermaksud untuk menutupi semuanya. Saya hanya…”“Aku nggak mau denger apapun alasan kamu Mas. Percuma! Intinya semua pernikahan ini hanya kebohongan. Aku mau kita cerai!”Rama membelalak. “Khansa… tolong jangan semudah itu mengakhiri pernikahan kita. Ini semua bisa diperbaiki. Saya bisa menjelaskan semuanya kok. Saya nggak bermaksud—”“Stop, Mas! kamu mau jelasin apa lagi sih? udahlah… Kamu pikir aku akan langsung percaya kalau kamu jelasin ke aku? Enggak, Mas! kamu sudah membohongiku selama
Keesokan harinya, Khansa sedang membantu ibu panti mengurus bayi yang ada di sana. Sebenarnya panti asuhan itu hanya mengasuh beberapa bayi saja. Yang lebih banyak adalah anak-anak usia SD awal. Ada dua bayi yang harus Khansa jaga. Kedua bayi itu sama-sama sensitif dan mudah menangis. Ia lumayan repot menanangkan kedua bayi itu, tetapi rasanya justru menyenangkan. Khansa memilih membuat dirinya lelah agar ia bisa lupa dengan sakit hatinya. Melihat Khansa sangat sibuk mengurus dua bayi rewel itu, Ibu panti datang menghampiri. “Khansa, kamu istirahat dulu aja biar Ibu yang gantikan.”Khansa tersenyum. “Nggak papa Bu Rohmah. Saya malah seneng kok ngurus bayi.”Meskipun repot dan melelahkan, Khansa justru senang. Sudah lama ia mendambakan untuk menimang bayinya sendiri, tetapi nyatanya Tuhan belum mempercayakan rezeki tersebut kepadanya. Mengasuh bayi-bayi di panti asuhan ini bisa menjadi pelipur lara Khansa.Bu Rohmah mengusap-usap punggung Khansa. “Tapi kamu pasti capek, ‘kan? Dengerin
Rupanya yang datang adalah Hesti. Melihat wanita itu sampai berani datang setelah permasalahan kemarin, Rama jelas kesal bukan main. Bahkan hanya melihat wajah Hesti saja, amarah Rama rasanya ingin meledak sekarang. Saat ini, ia sedang mencemaskan Khansa yang entah di mana keberadaannya, dan kedatangan Hesti justru membuat pikiran Rama semakin ruwet.“Mau apa kamu ke sini?!” tanya Rama ketus. Hesti mengulas senyum sok memelas. “Maaf Mas, aku pengen ketemu sama Khansa. Aku ngerasa nggak enak karena waktu itu belum minta maaf dengan sebenar-benarnya. Aku pengen jelasin secara detail juga biar dia nggak marah lagi.”“Khansa nggak ada di rumah. Dia lagi pergi. Kamu pulang saja sana,” usir Rama. “Hah? Sore-sore begini ke mana Mas?”“Ya sibuklah, namanya juga ibu persit.”“Emangnya Mas Rama nggak ngelarang kalau istrinya sampai sore begini belum pulang Mas? Jadinya kayak mengabaikan kewajiban sebagai istri gitu.”Kedua alis Rama menukik tajam mendengar ucapan Hesti. “Ngapain kamu ngomong
Pricil terkekeh. “Padahal kamu yang tiba-tiba ngajakin ketemuan setelah sebelumnya nggak mau datang.”Khansa diam. Kali ini, memang ia yang menghubungi Pricil. Namun, itu semua karena Khansa penasaran dengan apa yang ingin Pricil bicarakan waktu itu. Setelah melihat Rama bersama Hesti saat itu, rasanya Khansa tidak bisa tenang. Ada perasaan gelisah di dalam hatinya yang membuat Khansa tiba-tiba ingat dengan ucapan Pricil. Bahwa ada hal penting tentang Rama yang Khansa tidak pernah tahu. Maka dari itulah, Khansa akhirnya menghubungi Pricil dan menanyakan soal ini. Lalu, Pricil mengajak Khansa bertemu. “Jadi kamu mau bicara apa enggak? Saya nggak punya banyak waktu,” kata Khansa.Pricil menaikkan sebelah alisnya. “Oh? Kamu maunya buru-buru ya? Oke, nggak masalah. Aku langsung aja kalau gitu.”Bahu Khansa agak menegang. Meskipun ia bersikap tegas di depan Pricil, sejujurnya ada sebersit rasa takut di dalam hatinya. Ia takut, apa yang dikatakan Pricil tentang Rama akan membuatnya kecewa.
Bima benar-benar marah. Jadi Sindi membohonginya?Bima pun langsung keluar dari klinik itu dan menghubungi Sindi. Panggilan tersebut langsung diangkat oleh Sindi.“Kenapa, Sayang?” tanya Sindi dari seberang panggilan.“Di mana kamu?”“Lagi di klinik lah, Sayang. Aku baru selesai ini. Mau istirahat makan siang,” jawab Sindi.Bima meremat ponselnya kuat-kuat mendengar kebohongan Sindi yang masih berlanjut. “Pembohong!” bentak Bima tiba-tiba. Sindi kaget. “Apa sih, Sayang? Kok tiba-tiba bentak-bentak aku?”Bima langsung memotret bagian depan klinik tersebut lalu mengirimkannya kepada Sindi. “Mau istirahat makan siang, hm? Istirahat makan siang di mana kamu, hah?”Sindi pucat pasti tatkala melihat foto tersebut. “K-kamu di klinik, Bim? Kok nggak ngabarin aku sih?” tanya Sindi. Suaranya bergetar dan agak terbata-bata.Bima tertawa sinis. “Kenapa? Biar kebohongan kamu nggak ketahuan hah?!”“Bukan gitu, bukan kok! Aku… um, aku tuh sebenarnya—pokoknya aku bisa jelasin kok, Bim.”“Nggak usah