Home / Romansa / Semalam Untuk Selamanya / 1. Hari yang Berduka

Share

Semalam Untuk Selamanya
Semalam Untuk Selamanya
Author: Banyu Biru

1. Hari yang Berduka

Author: Banyu Biru
last update Last Updated: 2025-11-05 17:45:57

Brak.

Lidya terperanjat. Matanya menatap keluar kamar. Sepertinya ada yang tak beres. Lidya segera melempar pashminanya ke ranjang lalu berlari ke luar.

Mbok Nah, pengasuhnya, kini terduduk bersandar di sisi lemari sambil memegang dadanya. Tangisnya semakin kencang saat melihat Lidya berlari menghampiri.

"Ada apa, Mbok?" Lidya memapah tubuh Mbok Nah dan membantunya untuk duduk di sofa di sisi meja kecil. Kini matanya menangkap telepon yang menjuntai kebawah. Lidya menatap Mbok Nah dengan bingung.

"Halo.. halo..!" Suara itu masih terdengar dari seberang telpon. Buru-buru Lidya menariknya dan memasangnya tepat di telinga.

"Ya, halo. Lidya di sini!" Jawab Lidya sedikit gugup sambil melirik Mbok Nah yang mulai menangis terisak sambil menutuo wajahnya. Lidya bingung. Apa ysng membuat pengasuhnya itu menangis.

"Selamat sore, Nona Lidya. Saya Aiptu Rahman dari Polsek Jambu Semarang. Mohon maaf mengganggu, apakah benar Anda keluarga dari Bapak Danu Wirajaya dan saudara Lodra Wirajaya?"

Seketika keringat mulai membasahi dahi Lidya. Gadis cantik berlesung pipit itu mengangguk tanpa sadar.

"Tim kami baru saja menangani kecelakaan lalu lintas di jalan raya Magelang Semarang. Di lokasi kejadian kami menemukan dua korban, dan dari kartu identitas yang kami temukan, keduanya atas nama Lodra Wirajaya dan Danu Wirajaya!" Lidya susah payah menelan salivanya.

"Maksud Bapak… Bang Lodra? Papa saya....." Lidya tak mampu melanjutkan kata-katanya.

"Mohon maaf, Mbak. Korban atas nama Lodra Wirajaya dinyatakan meninggal di tempat. Sedangkan satu korban lainnya, Bapak Danu Wirajaya, saat ini sedang dalam perawatan intensif di RSUP Dr. Kariadi. Kondisinya mengalami pendarahan di kepala dan belum sadarkan diri, Mbak!"

"Gak... gak mungkin… Bang Lodra gak mungkin meninggal!" Lidya masih menggeleng.

"Untuk saat ini, dokter sedang melakukan tindakan. Silakan segera datang ke rumah sakit. Pihak keluarga perlu melakukan proses identifikasi korban untuk memastikan secara resmi!"

Lidya menahan menangis. Tubuhnya terasa lunglai tak bertulang. "Baik Pak. Saya segera ke sana!" Dengan sisa kekuatan yang ada Lidya, meletakkan gagang telponnya di tempatnya.

"Nduk!" Mbok Nah mendekat. Seakan memberi kekuatan pada majikan kecilnya, meski ia juga tak mampu untuk berdiri dengan tegak.

"Mbok!" Lidya tak mampu berkata-kata. Tangannya rapuh mencari genggaman Mbok Nah. Wanita tua itu mengangguk dengan terbata-bata.

Dua perempuan beda generasi itu hanya bisa saling memandang dalam diam. Sepersekian detik, Lidya menyeka air matanya. Tak ada lagi tempatnya bertanya. Tak ada lagi ssndaran yang tersisa. "Mbok, aku ke rumah sakit dulu. Mbok Nah siapkan yang perlu di bawa. Kit akan balik Jogja sementara!" Lidya menyusun rencana. Perempuan tua itu mengangguk. Ia hanya bisa menurut, meskipun sebenarnya ia ingin ikut tapi ia sadar diri. Kehadirannya pasti akan tambah membebani Lidya.

Dengan lunglai, Lidya kembali ke kamar, memasang pashminanya kemudian menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja telpon.

"Aku pergi dulu, Mbok!" Mbok Nah mengangguk. Mengikuti langkah Lidya dengan hati yang remuk hingga ke teras. "Hati-hati. Nduk!" Lidya tak menjawab. Untuk apa hati-hati, toh tak ada lagi yang menemaninya untuk hidup.

Lidya menuju garasi. Membawa brio kuningnya dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit. Matanya maasih meneteskan air mata, meski ia tak bisa terisak. Tangannya, kuat menggenggam stir mobil. Tak ada musik seperti biasanya. Lagunya telah sunyi di telan bumi.

"Maaf, saya Lidya. Keluarga dari Lodra dan Danu Wirajaya!" Lidya mendekat dengan suara bergetar. Ruang informasi itu tak begitu penuh hingga Lidya bisa segera maju dan bertanya. Perempuan di seberang meja mengangguk.

"Baik, Mbak. Mohon tunggu sebentar ya, saya cek dulu datanya… Bisa saya tahu hubungan keluarga dengan korban?" Perempuan di depan Lidya tampak fokus menatap layar monitor, sesekali ia menaikkan kaca matanya.

"Saudara kandung dan ayah saya, Mbak… saya Lidya Wirajaya."

Petugas itu berhenti mengetik, menatap Lidya sebentar, seolah ia sedang menimbang bagaimana harus menyampaikan sesuatu yang berat.

"Baik, Mbak Lidya. Berdasarkan laporan yang masuk dari pihak kepolisian sekitar satu jam lalu, memang benar ada dua korban dengan nama tersebut. Satu… atas nama Lodra Wirajaya, laki-laki 27 tahun, dinyatakan meninggal di tempat saat dievakuasi. Sedangkan satu lagi, Bapak Danu Wirajaya, saat ini masih dirawat di ruang IGD Bedah karena mengalami pendarahan di kepala dan patah tulang di beberapa bagian tubuh."

Lidya tak menjawab. Ia tak bisa menangis sekarang.

Petugas itu kembali melanjutkan kalimatnya. "Kami butuh Anda untuk proses identifikasi jenazah dan pengisian formulir keluarga pasien. Apakah Mbak Lidya datang sendiri?"

Lidya mengangguk lemah. "Iya… saya sendirian!" Petugas itu tak lagi bertanya. Ia biasa melihat kondisi berat para keluarga pasien. rasanya ia tak ingin lagi membebani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang menguras tenaga. Ia hanya menyerahkan lembar formulir data pasien dengan senyum hangat. "Silakan isi dulu identitas Mbak dan tanda tangan di sini, ya. Setelah itu, kami akan dampingi ke ruang jenazah untuk konfirmasi. Jangan khawatir, kami akan bantu semua prosesnya."

Lidya menatap lekat wanita di depannya, "Papa saya… boleh saya lihat? Tolong… saya ingin pastikan beliau masih hidup."

Petugas itu tersenyum dan mengangguk. "Tentu. Tapi kami mohon sabar, ya, karena beliau masih dalam tindakan di ruang resusitasi. Setelah dokter selesai stabilisasi kondisi, nanti kami antar Mbak Lidya melihatnya."

Lidya mencari kursi yang kosong lalu duduk dengan lesu. Tangannya tampak bergetar saat meraih pulpen di tas punggungnya dan segera mengisi lembar kertas yang diterimanya.

Beberapa menit kemudian, seorang polisi berseragam datang menghampiri, membawa map cokelat. "Selamat siang, Mbak Lidya? Saya dari Polsek Jambu Semarang. Kami yang mengevakuasi korban dari lokasi. Mohon maaf atas kejadian ini. Kami perlu memastikan identitas korban sebelum melanjutkan ke bagian administrasi RS dan laporan resmi."

Lidya mengusap air mata dengan punggung tangan yang turun tanpa bisa di tahan. "Iya, Pak… saya siap."

Mereka berjalan ke ruang pendingin. Lidya mulai menahan nafas karena mencium bau formalin yang menusuk hidung. Di balik tirai putih, seorang petugas membuka kain putih yang menutupi wajah korban.

Lidya menggigit bibirnya keras-keras agar tidak berteriak.

Tubuh itu terbujur kaku. Tubuh yang selalu siap menggendongnya saat ia merengek lelah. Wajahnya tampak damai terlelap.

Lidya tergugu, lalu berlutut pelan, setelah menyentuh tangan kakaknya. "Bang… kenapa kamu tinggalin aku secepat ini?"

Petugas memberi waktu beberapa detik sebelum menutup kembali kain itu dengan hati-hati.

"Terima kasih, Mbak Lidya. Proses identifikasi sudah kami catat. Selanjutnya, nanti pihak forensik dan kepolisian akan mengarahkan untuk surat kematian dan pengambilan jenazah!" Petugas itu menyentuh pundak Lidya dan membantunya untuk berdiri.

"Kami juga akan bantu koordinasi untuk pemulangan jenazah ke rumah duka, Mbak. Tapi untuk sementara, sebaiknya Mbak menunggu kabar dari dokter mengenai kondisi ayah Anda dulu."

Lidya hanya bisa menurut ketika petugas itu menuntunnya keluar ruangan. Kini ia kembali terduduk di kursi dengan tatapan kosong.Tanpa sadar, tangannya meremas formulir yang kini basah oleh air mata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Semalam Untuk Selamanya    5. Wajah yang Sesungguhnya

    Salah satu perawat mendekat lalu menuntun Lidya keluar ICU. Tubuh kaku papanya harus segera dipindahkan ke kamar, ia mulai merasa kakinya tak lagi menapak bumi. Ia berjalan lunglai, mengikuti arahan perawat untuk istirahat sebentar. Mbok Nah hanya bisa menutup mulutnya. semrntara Lidya kembali menangis pelan. Mbok Nah masih setia di sisinya. Wanita tua itu tak lagi bertanya. Ia tahu saat melihat Lidya keluar ruangan. "Maaf, Mbak. Tolong diselesaikan dulu administrasinya di kasir depan ya, biar Bapak diurus petugas pemulasaraan jenazah," ujar seorang perawat dengan nada simpatik. Lidya mengangguk lemah. Ia kembali berdiri dan berjalan pelan diikuti Mbok Nah. Tangannya gemetar saat meraih tas ranselnya. Membukanya lalu mengambil tas berbahan kanvas milik papanya. Lidya menerima nota-nota dengan gugup. Bukan karena nominalnya tapi karena nota-nota itu tak lagi mampu membuatnya bangkit. Lidya membuka amplop itu sedikit. Isinya gepokan uang tunai pecahan seratus ribuan dalam

  • Semalam Untuk Selamanya    4. Ternyata Harus Sendiri

    Lidya mengerjapkan mata. Perlahan menggeliat lalu membenahi duduknya dan bersandar. "Udah sampai, Pak?" Lidya menatap keluar jendela. Menatapkan penglihatannya yang masih setengah kabur. "Sebentar lagi, Mbak!" Entah pukul berapa ia terpejam, yang pasti saat jam di dasbor mobil sewaannya menunjuk pukul tujuh, Lidya masih sempat menanyakan kabar papanya lewat Mbok Nah. "Belum ada perubahan, Nduk!" Lidya temangu diam, menangis pelan hingga terpejam. Lidya kini duduk kaku di kursi penumpang. Pak Anto, seorang pria paruh baya yang pendiam, mungkin sudah diberi tahu oleh Pak Pardi tentang kondisi yang Lidya alami. Lidya menatap jalanan saat mobil Avanza silver yang membawanya melaju menembus kegelapan malam. Mata Lidya menangkap rintik hujan gerimis yang mulai turun, membuat lampu-lampu jalan berpendar seperti bintang yang luruh. Setiap tetes airnya di kaca depan terasa seperti pukulan yang menyakitkan. "Mbak Lidya, mau mampir istirahat dulu? Minum teh hangat mungkin?" Sua

  • Semalam Untuk Selamanya    3. Yang Hilang dan Bertahan

    Rosa dengan sigap memapah Lidya lalu mendudukannya di sisi tanah yang telah tertutup sempurna. "Kau lihat Lodra. Aku kuat. Aku akan ada di sini untuk Lidya, seperti yang kamu minta!" Rosa mengusap dahi Lidya yang pucat. Pak Pardi mendekat. "Mari, Non. Kita bawa Mbak Lidya pulang!" Rosa mengangguk. Lalu berdiri dan bersama Pak Pardi memapah tubuh Lidya yang lemah ke arah mobil yang terparkir. Beberapa mata menatap mereka dengan iba. Dua gadis yang merana. Meski banyak juga yang menatap mereka dengan sinis. Dua gadis pembawa sial. Lidya mengerjap sesaat ketika hidungnya mencium aroma minyak kayu putih. "Kau sudah sadar?" Lidya menoleh. Menatap Rosa dengan tatapan sendu. "Kak, Bang Lodra... Bang Lodra, Kak!" Lidya seketika histeris. Tangis yang ditahannya kini tumpah. Mereka saling memeluk kembali. "Sabar Lidya. Abangmu gak mau kamu begini. Kamu tahu, kan?" Lidya masih tergugu. Ia tahu, abangnya tak pernah membiarkannya menangis. Laki-laki itu selalu mengalah untuknya.

  • Semalam Untuk Selamanya    2. Bukan Mimpi

    Lidya hanya bisa menurut ketika petugas itu menuntunnya keluar ruangan. Kini ia kembali terduduk di kursi dengan tatapan kosong.Tanpa sadar, tangannya meremas formulir yang kini basah oleh air mata. "Keluarga Bapak Danu?" Lidya segera berdiri dan melangkah ke arah bagian informasi. "Kami perlu tanda tangan untuk tindakan!" Lidya mengangguk lalu membubuhkan tanda tangannya di formulir lain. "Silakan di tunggu ya, Mbak. Kalau gak halangan, operasi akan dilaksanakan besok pagi!" Lidya tak menjawab. Melangkah gontai ke kursi kembali Ia hanya bisa menarik napas panjang. Lidya ingin menyesali tapi sepertinya waktu tak bisa menunggu. Tak ada waktu untuk hancur. Tidak sekarang. Ia kembali menyusut air matanya. Masih ada yang harus ia lakukan. Lidya berdiri, meraih ponselnya, dan menekan sebuah nomor yang sudah ia hafal sejak kecil, nomor sopir ayahnya. “Pak Pardi?” Suaranya bergetar. “Halo, Mbak Lidya? Bapak dan Mas Lodra sudah sampai ya? Selamat ulang...!" “Pak,” Lidya memoton

  • Semalam Untuk Selamanya    1. Hari yang Berduka

    Brak. Lidya terperanjat. Matanya menatap keluar kamar. Sepertinya ada yang tak beres. Lidya segera melempar pashminanya ke ranjang lalu berlari ke luar. Mbok Nah, pengasuhnya, kini terduduk bersandar di sisi lemari sambil memegang dadanya. Tangisnya semakin kencang saat melihat Lidya berlari menghampiri. "Ada apa, Mbok?" Lidya memapah tubuh Mbok Nah dan membantunya untuk duduk di sofa di sisi meja kecil. Kini matanya menangkap telepon yang menjuntai kebawah. Lidya menatap Mbok Nah dengan bingung. "Halo.. halo..!" Suara itu masih terdengar dari seberang telpon. Buru-buru Lidya menariknya dan memasangnya tepat di telinga. "Ya, halo. Lidya di sini!" Jawab Lidya sedikit gugup sambil melirik Mbok Nah yang mulai menangis terisak sambil menutuo wajahnya. Lidya bingung. Apa ysng membuat pengasuhnya itu menangis. "Selamat sore, Nona Lidya. Saya Aiptu Rahman dari Polsek Jambu Semarang. Mohon maaf mengganggu, apakah benar Anda keluarga dari Bapak Danu Wirajaya dan saudara Lodra Wi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status