LOGINMobil hitam yang dikendarai Kendra akhirnya melaju dengan stabil memasuki area depan sekolah. Di kursi penumpang, Lidya yang sejak tadi hanya menggenggam tasnya erat, menatap jendela dengan diam. Ia berusaha untuk tenang, tak ingin mengeluarkan suara sepatahpun, karena sepanjang perjalanan, Kendra juga bersikap sama. Sesekali Kendra memang melirik ke arah Lidya tapi ia lakukan tanpa benar-benar menoleh, dan setiap kali itu terjadi Lidya buru-buru mengalihkan pandangan ke kiri. Kini, ketika mobil yang mereka tumpangi, berhenti tepat di depan gerbang sekolah, Lidya dengan susah payah menegakkan tubuhnya. “Terima kasih sudah mengantar,” ucapnya sopan. “Hmm.” Hanya gumaman pendek yang keluar dari bibir Kendra. Lidya baru hendak membuka pintu ketika suara deru motor terdengar keras dari arah belakang. Sebuah motor sport merah datang melaju, berhenti hanya beberapa meter dari mobil Kendra. Pengendaranya membuka helm dengan kedua tangannya. Azzam. Rambutnya sedikit berantakan
Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah tirai kamar Lidya yang sedikit terbuka. yang mau tak mau membuatnya mengerjap pelan. Tidurnya semalam memang tak terlalu nyenyak. Itu sebabnya, kepalanya masih terasa berat. Mungkin saja. karena ia belum terbiasa tidur di tempat yang baru. Ia bangkit perlahan, merapikan rambut panjangnya yang kusut lalu bersiap turun. Menyambar handuk yang ada di lipatan lemari, lalu menyiapkan seragam yang masih ada di koper pakaian. Tak ada yang istimewa. Semuanya masih sama dalam beberapa hal. Selesai mengepang rambutnya, ia mengenakan cardigan hitamnya. "Oke. Selesai!" Senyumnya mengembang meski samar. Dan perlahan, ia melangkah turun. “Kendra! Mama tuh gak habis pikir. Bisa-bisanya Melisa datang malam-malam begitu? Mama malu tahu!" Lidya otomatis berhenti melangkah. Ia tak ingin mengganggu mereka yang sedang berbincang serius. Ia menyandarkan tubuhnya dengan bersembunyi di balik dinding. Ia memang tak bermaksud menguping, tapi suara Rima terla
Malam mulai datang dan Lidya mencoba untuk mulai membiasakan diri di tempat barunya. Setelah makan, ia segera memasuki kamar dan mandi, lalu duduk di kursi belajanya, kembali membuka buku-buku pelajaran. Ujian sudah di depan mata, ia tak bisa terus menerus diam dan menyesali keadaan. Hingga waktu berlalu tanpa terasa yang pada akhirnya Lidya mulai merasakan matanya yang perih dengan kepala yang mulai berdenyut pelan. Pelajaran-pelajaran yang biasanya mudah masuk dalam kepalanya, malam ini harus berlarian keluar tanpa bisa ia cegah. Matanya melirik jam dinding. Pukul sembilan malam. Pantas saja ia sudah merasa lelah. Lidya segera merapikan buku-bukunya. Sesaat ia menatap ranjang besar miliknya. Ia masih tak ingin merebahkan diri di sana. Udara malam yang menyapa membuat Lidya menoleh. pintu balkon masih terbuka. Hembusan angin membawa aroma melati memenuhi ruangannya. Dengan perlahan, Lidya bangkit. Menyambar cardigan tipis yang ada di sandaran kursi belajarnya lalu berjalan
Setelahnya, Lidya sendirian di ruangan yang kini telah menjadi kamarnya. Perlahan, Lidya duduk di sisi ranjang sambil menatap sekitar. Semua isi kamarnya memang bagus dan mewah, tapi saat sendiri, semua terasa gak ada artinya lagi. Lidya merebahkan tubuhnya di ranjang. Menikmati semilir angin yang membawa harum melati di seluruh ruangan. Rima memang benar-benar memanjakannya. Ia tahu betul aroma wewangian yang Lidya suka. Itu sebabnya, di balkon kamar Lidya, ia penuhi dengan tanaman bunga melati yang telah berjajar rapi. Tanpa sadar Lidya memejamkan matanya. Hingga ia tak tahu jika Mbok Nah dan suaminya telah tiba dengan barang-barang mereka. "Sekarang, kalian tinggal di sini. Temani Lidya di sini, ya?" Rima menatap pasangan tua itu dengan haru. "Nggeh, Nyonya!" Sahut mereka bersamaan. Seketika membuat Rima tertawa. "Kalian kenal betul siapa aku bisa-bisanya panggil aku, nyonya!" Sahutnya setelah berhenti tertawa. "Ya sudah, kalian ke kamar dulu. Nanti Mbok Karti yang tunjuk
Lidya membalas senyum dengan tulus. Wanita itu tampak berkelas. Cantik dan anggun. Aura mahal terpancar dari wajahnya meski dengan tampilan yang cukup sederhana. "Tante ini Mamanya Kendra! Tante Rima!" Ia memperkenalkan dirinya sambil merangkul Lidya dan membawanya masuk. "Barang kamu mana?" Seperti tersadar, Rima berbalik menatap Kendra dan Lidya dengan bingung. Kendra tak menjawab. Berlalu dengan santai mendahului keduanya. "Dasar. Anak gak punya sopan!" Rima mendengus sambil menatap tajam anak semata wayangnya. "Kamu yang sabar ya kalau Kendra bikin ulah sama kamu. Tapi Tante bisa jamin, dia anak baik kok!" Lidya tersenyum samar. Baik katanya? Malah kayak preman gitu, batin Lidya gemas. "Ayo, duduk dulu!" Lidya menurut. Ia duduk tepat di sisi Rima lalu muncullah seseorang dengan seragam ART-nya. Ia meletakkan orange juice di meja sambil tersenyum hangat. "Silakan, Mbak!" Lidya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. "Ayo diminum dulu!" Perintah Rima halus. Lidya
Satu minggu berlalu dan luka itu masih sama meski tak lagi kentara. "Sarapan dulu, ya Mbak. Mbok masak sayur gudeg kesukaan kamu!" Lidya tersenyum lalu duduk di meja makan. "Ayo, Pak. Mbak Lidya sudah siap!" Mbok Nah setengah berteriak memanggil suaminya. Tak lama Pardi berlari kecil dari arah belakang. "Hari ini gak usah diantar Pak. Aku berangkat sendiri aja. Lagian juga gak lama. Ada rapat di sekolah jadi kayaknya pulang pagi, deh!" Lidya memberi informasi sambil menyendok nasinya. "Beneran gak papa, Mbak?" Pak Pardi menatap wajah Lidya. Sejak Lidya pindah Semarang, praktis hanya menjadi sopir Danu karena Lodra juga jarang mau di antar oleh sopir. "Gak papa, Pak. Tenang aja! Lidya tersenyum sambil terus mengisi perutnya. "Rapat apa sih, Nduk?" Mbok Nah bertanya sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Meskipun ketika di jawabpun, dia tak akan paham tapi dia tahu, perhatian kecil itu bisa membuat majikannya tak merasa sendirian. "Mau persiapan ujian kelulusan, Mb







