LOGINLidya hanya bisa menurut ketika petugas itu menuntunnya keluar ruangan. Kini ia kembali terduduk di kursi dengan tatapan kosong.Tanpa sadar, tangannya meremas formulir yang kini basah oleh air mata.
"Keluarga Bapak Danu?" Lidya segera berdiri dan melangkah ke arah bagian informasi. "Kami perlu tanda tangan untuk tindakan!" Lidya mengangguk lalu membubuhkan tanda tangannya di formulir lain. "Silakan di tunggu ya, Mbak. Kalau gak halangan, operasi akan dilaksanakan besok pagi!" Lidya tak menjawab. Melangkah gontai ke kursi kembali Ia hanya bisa menarik napas panjang. Lidya ingin menyesali tapi sepertinya waktu tak bisa menunggu. Tak ada waktu untuk hancur. Tidak sekarang. Ia kembali menyusut air matanya. Masih ada yang harus ia lakukan. Lidya berdiri, meraih ponselnya, dan menekan sebuah nomor yang sudah ia hafal sejak kecil, nomor sopir ayahnya. “Pak Pardi?” Suaranya bergetar. “Halo, Mbak Lidya? Bapak dan Mas Lodra sudah sampai ya? Selamat ulang...!" “Pak,” Lidya memotong cepat. Suaranya pecah. “Bang Lodra… kecelakaan. Bang Lodra… meninggal!" Nafasnya terasa berhenti di kerongkongan. Tak ada percakapan lain karena kabar itu menjadi pukulan yang menyakitkan. Terdengar suara tarikan napas panjang dari seberang. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Astaghfirullah… Astaghfirullah…!" suaranya bergetar. “Pak, saya butuh bantuan. Tolong segera siapkan tempat pemakaman di komplek keluarga. Siapkan segala sesuatu… penggali kubur, kain kafan, tenda pelayat… tolong hubungi pak RT juga ya Pak!" “I.. iya, Mbak. Bapak siap. Sampeyan di mana sekarang?” Tanyanya pelan. “RS Kariadi… Saya sebentar lagi pulang membawa jenazah Bang Lodra.” Pak Pardi menarik napas berat. “Saya atur semua siang ini! Mbak Lidya.... hati-hati ya!" Lidya menutup telepon dengan perlahan. Kini, jari lentiknya kembali menekan sebuah nomor, ia ingin menelpon Mbok Nah yang masih di rumah agar menemani papanya yang masih terbaring. Baginya, sang abang harus segera dikebumikan. "Mbok...!" Suara Lidya sedikit tertahan. Hanya dengan Mbok Nah, ia tak pernah menutupi kerapuhannya. "Nduk, gimana?" Mbok Nah terdengar cukup khawatir. Ia tahu betul bagaimana Lidya. “Mbok, aku perlu ke Jogja untuk bawa jenazah Bang Lodra. Mbok Nah datang di sini, ya. Jagain Papa. Papa butuh seseorang. Aku akan pesankan grab buat Mbok Nah!" Wanita tua itu menggenggam gagang telpon dengan erat seolah ia swdang menggenggam tangan majikan kecilnya. “Iya Nduk… Mbok segera siap-siap. Tapi kamu ndak papa ke Jogja sendiri? Kamu kuat ya?" Tak ada jawaban. Lidya menggigit bibir, kelu. Mata basahnya berbinar dengan tekad yang perih. “Kalau aku nggak kuat, siapa lagi yang akan mengurus semua Mbok?” Lidya menutup telponnya setelah salam lalu berjalan ke bagian administrasi. Menyerahkan formulir yang telah diisinya. Kini, ia hanya perlu menunggu pihak rumah sakit membantu mengurus pengeluaran jenazah. Lidya kembali duduk ketika Petugas forensik menanyakan beberapa detail untuk surat keterangan kematian dan untungnya pihak kepolisian memberikan penjelasan singkat mengenai kronologi kecelakaan. “Kami juga akan siapkan ambulans untuk mengantar jenazah ke Jogja,” kata seorang perwira polisi yang mendampingi. “Karena ini kecelakaan lalu lintas, semua biaya transportasi jenazah akan dibantu oleh kepolisian dan BPJS. Nanti akan ada petugas yang ikut dalam perjalanan untuk dokumentasi dan serah terima di rumah duka.” Lidya mengangguk. Ada lega kecil yang menyelusup. Setidaknya… ia tak benar-benar sendirian dalam hal teknis yang kini harus dia hadapi. Saat petugas memandikan dan mengkafani Lodra, sementara Lidya memilih menunggu di luar. Ia merasa tak akan sanggup melihat tubuh saudaranya itu untuk terakhir kalinya dalam keadaan yang lebih menyakitkan. Tapi ketika jenazah itu didorong keluar dalam brankar dan dinaikkan ke ambulans, Lidya berdiri, meraih sisi keranda dengan kedua tangan. “Aku ikut!" Lidya berseru. "Ada kursi penumpang di depan, Mbak,” kata sopir ambulans. Lidya tak bergeming. Ia tetap membuka pintu belakang ambulans dan duduk di samping jenazah kakaknya. “Aku duduk di sini saja, Pak. Saya mau menemani Abang saya di sini!" Lidya mulai memeluk peti jenazah kakaknya dengan sendu. "Bang Lodra, kita pulang ke Jogja ya. Kita rayakan ulang tahunku di rumah saja!" Sopir itu tak membantah. Mungkin ia mengerti, karena ia sudah terlalu sering melihat hati yang sakit karena kepergian seseorang dan ia tahu bahwa beberapa hal tidak perlu dipaksakan. Petugas itu mengangguk lalu membawa mobil sesuai dengan alamat yang Lidya berikan. Perlahan petugas membawa ambulans melaju dengan kecepatan sedang tanpa menyalakan sirine. Hanya suara mesin yang berdengung menghibur dalam kesunyian. Lidya menunduk sambil memeluk peti tempat jenazah Lodra terbaring. “Bang… Lidya antar Abang pulang. Kita pulang ya Bang…” bisiknya lirih. "Sekarang, Lidya yang urus Abang. Biasanya abang yang urus Lidya. Maaf, hanya ini yang bisa Lidya lakukan!" Lidya terisak pelan sambil terus mengenang sang abang. Laki-laki yang selama ini selalu menjaganya, selain ayahnya. Tiga jam berlalu. Bagi Lidya waktu tiga jam terasa singkat baginya. Kalau ia bisa memilih, ia ingin seharian perjalanan menemani abangnya. Lidya mengangkat tubuhnya. Menatap halaman rumahnya yang telah penuh dengan lelayat. Ketika pintu ambulans dibuka, orang-orang mulai merapat. Beberapa menahan napas. Sebagian menunduk sambil membaca kalimat *Innalillahi…* Lidya turun terakhir, langkahnya goyah, tapi matanya tegar. Ia tenang saat Pak yang mengambil peran. Lidya tahu, ia bisa mengandalkan sopir ayahnya. Dan diantara para pelayat, seorang perempuan dengan gamis abu-abu dan kerudung hitam, masih menunggu di sisi pintu ambulance yang masih terbuka. Dengan wajah yang pucat dan bengkak karena terlalu banyak menangis. Ia menyentuh tangan Lidya yang dingin. Tanpa ana-aba, mereka berpelukan Rosa memeluk Lidya begitu erat, tanpa kata-kata. Dan akhirnya, air mata mereka pecah bersama. “Kita sama-sama kehilangan dia…” suara Rosa parau. Lidya mengangguk pelan, lalu lebih keras, sampai tubuhnya bergetar. Tak ada yang bisa dikatakan. Mereka berdua kini sama-sama berdiri di dunia yang tiba-tiba menjadi jauh lebih sepi. Sama-sama kehilangan laki-laki yang mereka cintai, dengan cara yang berbeda, tapi luka yang sama. Mereka mengikuti prosesi pemakaman dengan diam. Hingga mereka berdiri di sisi liang kubur, tangan Lidya meremas kerah lengannya sendiri agar ia tak limbung di sisi makam abangnya. Perlahan. tanah pertama dijatuhkan ke atas kafan putih. Dan sejak itu Lidya mengerti. Semuanya tak akan sama lagi. Tak akan ada lagi suara tawa Lodra. Tak ada lagi pelukan hangat yang sering membuatnya merasa aman. Dan tiba-tiba saja, Lidya benci ulang tahunnya. Bahkan ia bersumpah, tak akan ada lagi hari itu. Air matanya kembali jatuh kala doa-doa mulai bergema. Lidya menutup mata saat Langit mulai memerah. Kakinya tak lagi mampu menopang bebannya saat ini. Lidya menyerah. Ia limbung diikuti dengan teriakan histeris ibu-ibu yang menemaninya di peristirahatan Lodra. Rosa dengan sigap memapah Lidya lalu mendudukannya di sisi tanah yang telah tertutup sempurna. "Kau lihat Lodra. Aku kuat. Aku akan ada di sini untuk Lidya, seperti yang kamu minta!"Salah satu perawat mendekat lalu menuntun Lidya keluar ICU. Tubuh kaku papanya harus segera dipindahkan ke kamar, ia mulai merasa kakinya tak lagi menapak bumi. Ia berjalan lunglai, mengikuti arahan perawat untuk istirahat sebentar. Mbok Nah hanya bisa menutup mulutnya. semrntara Lidya kembali menangis pelan. Mbok Nah masih setia di sisinya. Wanita tua itu tak lagi bertanya. Ia tahu saat melihat Lidya keluar ruangan. "Maaf, Mbak. Tolong diselesaikan dulu administrasinya di kasir depan ya, biar Bapak diurus petugas pemulasaraan jenazah," ujar seorang perawat dengan nada simpatik. Lidya mengangguk lemah. Ia kembali berdiri dan berjalan pelan diikuti Mbok Nah. Tangannya gemetar saat meraih tas ranselnya. Membukanya lalu mengambil tas berbahan kanvas milik papanya. Lidya menerima nota-nota dengan gugup. Bukan karena nominalnya tapi karena nota-nota itu tak lagi mampu membuatnya bangkit. Lidya membuka amplop itu sedikit. Isinya gepokan uang tunai pecahan seratus ribuan dalam
Lidya mengerjapkan mata. Perlahan menggeliat lalu membenahi duduknya dan bersandar. "Udah sampai, Pak?" Lidya menatap keluar jendela. Menatapkan penglihatannya yang masih setengah kabur. "Sebentar lagi, Mbak!" Entah pukul berapa ia terpejam, yang pasti saat jam di dasbor mobil sewaannya menunjuk pukul tujuh, Lidya masih sempat menanyakan kabar papanya lewat Mbok Nah. "Belum ada perubahan, Nduk!" Lidya temangu diam, menangis pelan hingga terpejam. Lidya kini duduk kaku di kursi penumpang. Pak Anto, seorang pria paruh baya yang pendiam, mungkin sudah diberi tahu oleh Pak Pardi tentang kondisi yang Lidya alami. Lidya menatap jalanan saat mobil Avanza silver yang membawanya melaju menembus kegelapan malam. Mata Lidya menangkap rintik hujan gerimis yang mulai turun, membuat lampu-lampu jalan berpendar seperti bintang yang luruh. Setiap tetes airnya di kaca depan terasa seperti pukulan yang menyakitkan. "Mbak Lidya, mau mampir istirahat dulu? Minum teh hangat mungkin?" Sua
Rosa dengan sigap memapah Lidya lalu mendudukannya di sisi tanah yang telah tertutup sempurna. "Kau lihat Lodra. Aku kuat. Aku akan ada di sini untuk Lidya, seperti yang kamu minta!" Rosa mengusap dahi Lidya yang pucat. Pak Pardi mendekat. "Mari, Non. Kita bawa Mbak Lidya pulang!" Rosa mengangguk. Lalu berdiri dan bersama Pak Pardi memapah tubuh Lidya yang lemah ke arah mobil yang terparkir. Beberapa mata menatap mereka dengan iba. Dua gadis yang merana. Meski banyak juga yang menatap mereka dengan sinis. Dua gadis pembawa sial. Lidya mengerjap sesaat ketika hidungnya mencium aroma minyak kayu putih. "Kau sudah sadar?" Lidya menoleh. Menatap Rosa dengan tatapan sendu. "Kak, Bang Lodra... Bang Lodra, Kak!" Lidya seketika histeris. Tangis yang ditahannya kini tumpah. Mereka saling memeluk kembali. "Sabar Lidya. Abangmu gak mau kamu begini. Kamu tahu, kan?" Lidya masih tergugu. Ia tahu, abangnya tak pernah membiarkannya menangis. Laki-laki itu selalu mengalah untuknya.
Lidya hanya bisa menurut ketika petugas itu menuntunnya keluar ruangan. Kini ia kembali terduduk di kursi dengan tatapan kosong.Tanpa sadar, tangannya meremas formulir yang kini basah oleh air mata. "Keluarga Bapak Danu?" Lidya segera berdiri dan melangkah ke arah bagian informasi. "Kami perlu tanda tangan untuk tindakan!" Lidya mengangguk lalu membubuhkan tanda tangannya di formulir lain. "Silakan di tunggu ya, Mbak. Kalau gak halangan, operasi akan dilaksanakan besok pagi!" Lidya tak menjawab. Melangkah gontai ke kursi kembali Ia hanya bisa menarik napas panjang. Lidya ingin menyesali tapi sepertinya waktu tak bisa menunggu. Tak ada waktu untuk hancur. Tidak sekarang. Ia kembali menyusut air matanya. Masih ada yang harus ia lakukan. Lidya berdiri, meraih ponselnya, dan menekan sebuah nomor yang sudah ia hafal sejak kecil, nomor sopir ayahnya. “Pak Pardi?” Suaranya bergetar. “Halo, Mbak Lidya? Bapak dan Mas Lodra sudah sampai ya? Selamat ulang...!" “Pak,” Lidya memoton
Brak. Lidya terperanjat. Matanya menatap keluar kamar. Sepertinya ada yang tak beres. Lidya segera melempar pashminanya ke ranjang lalu berlari ke luar. Mbok Nah, pengasuhnya, kini terduduk bersandar di sisi lemari sambil memegang dadanya. Tangisnya semakin kencang saat melihat Lidya berlari menghampiri. "Ada apa, Mbok?" Lidya memapah tubuh Mbok Nah dan membantunya untuk duduk di sofa di sisi meja kecil. Kini matanya menangkap telepon yang menjuntai kebawah. Lidya menatap Mbok Nah dengan bingung. "Halo.. halo..!" Suara itu masih terdengar dari seberang telpon. Buru-buru Lidya menariknya dan memasangnya tepat di telinga. "Ya, halo. Lidya di sini!" Jawab Lidya sedikit gugup sambil melirik Mbok Nah yang mulai menangis terisak sambil menutuo wajahnya. Lidya bingung. Apa ysng membuat pengasuhnya itu menangis. "Selamat sore, Nona Lidya. Saya Aiptu Rahman dari Polsek Jambu Semarang. Mohon maaf mengganggu, apakah benar Anda keluarga dari Bapak Danu Wirajaya dan saudara Lodra Wi







