LOGINRosa dengan sigap memapah Lidya lalu mendudukannya di sisi tanah yang telah tertutup sempurna.
"Kau lihat Lodra. Aku kuat. Aku akan ada di sini untuk Lidya, seperti yang kamu minta!" Rosa mengusap dahi Lidya yang pucat. Pak Pardi mendekat. "Mari, Non. Kita bawa Mbak Lidya pulang!" Rosa mengangguk. Lalu berdiri dan bersama Pak Pardi memapah tubuh Lidya yang lemah ke arah mobil yang terparkir. Beberapa mata menatap mereka dengan iba. Dua gadis yang merana. Meski banyak juga yang menatap mereka dengan sinis. Dua gadis pembawa sial. Lidya mengerjap sesaat ketika hidungnya mencium aroma minyak kayu putih. "Kau sudah sadar?" Lidya menoleh. Menatap Rosa dengan tatapan sendu. "Kak, Bang Lodra... Bang Lodra, Kak!" Lidya seketika histeris. Tangis yang ditahannya kini tumpah. Mereka saling memeluk kembali. "Sabar Lidya. Abangmu gak mau kamu begini. Kamu tahu, kan?" Lidya masih tergugu. Ia tahu, abangnya tak pernah membiarkannya menangis. Laki-laki itu selalu mengalah untuknya. Menuruti apapun maunya. Sama seperti ayahnya. Tangannya terulur meraih ponsel di saku. Ia menekan tombol dan dengan cepat, sebuah pertanyaan langsung menyergap. "Mas Lodra... sudah dimakamkan, Nduk?" Lidya tak segera menjawab. Dengan susah payah, ia duduk bersandar di bantu Rosa. "Sudah Mbok!" Terdengar helaan nafas berat diseberang. Lidya tahu, Mbok Nah pasti juga ingin mengantar abangnya ke peristirahatan terakhirnya tapi itu tak mungkin. Papanya juga harus di tunggu. "Papa masih belum sadar Nduk. Kata dokter kita tunggu dulu beberapa jam!" Jelas Mbok Nah tanpa di minta. Lidya menjawab seperlunya lalu menutup sambungan. "Kak....!" Lidya tak meneruskan kata-katanya. Matanya terpaku menatap Rosa yang juga masih sembab. "Maaf!" Lidya tak mengatakan apapun kecuali kata maaf. Sementara Rosa hanya menggeleng pelan. Seakan tahu rasa bersalah yang menghantui Lidya. "Semua adalah takdir, Lidya. Tak ada yang bisa memajukan atau memundurkan ajal. Semua sudah diatur. Kita hanya bisa menerima dengan ikhlas!" Rosa membelai kepala Lidya. Perlahan, Lidya bersandar di bahu kecil Rosa. "Mbak, mobilnya sudah datang!" Lidya beringsut duduk kembali saat Pak Pardi datang memberi informasi. "Kak...!" Lidya menatap Rosa dengan tegar. "Aku harus ke Semarang lagi, Kak. Kemungkinan Papa akan operasi besok!" Rosa terdiam. Lidya sepertinya sudah tahu, apa saja yang akan dilakukannya. "Baiklah Lidya. Hati-hati ya! Kabari aku apapun!' Lidya mengangguk. Mereka saling peluk sesaat. "Jaga kesehatan Lidya. Kau harus kuat!" Lidya hanya tersenyum samar. Dan menatap langkah Rosa yang mulai menjauh dan menghilang di balik pintu. "Semua sudah Pak Pardi siapkan!" Lidya menerima tas kecil yang baru saja diserahkan Pak Pardi. "Semua ada di dalam. Semua surat berharga punya Papa Mbak!" Lidya memicingkan mata. "Kok diberikan aku, Pak?" Pak Pardi mengangguk. "Ini amanah Papa, Mbak. Kalau ada apa-apa dengan Papa, saya diminta menyerahkan tas ini. Baik ke Mas Lodra atau Mbak Lidya!" Lidya susah payah menelan ludahnya. Harusnya ke Bang Lodra, batinnya. "Bawa saja. Mbak. Papa pasti juga perlu bantuan Mbak Lidy untuk mengurusnya selesai operasi!" Lidya diam sesaat. Ia merenungkan kata-kata Pak Pardi. Sepertinya apa yang dikatakan Pak Pardi memang benar. Pasca operasi papanya nanti, dia pasti akan diminta papa untuk membantunya. "Baiklah, Pak. Aku bawa tas Papa!" Pak Pardi tersenyum lega. Meski sebenarnya, ada hal yang aneh saat majikannya berpamitan kemaren. Memintanya baik-baik menjaga rumah dan Lidya, sepeninggalnya nanti. Dan juga mengingatkan tentang tas yang jauh-jauh hari telah dititipkan. Apa Bapak sudah merasa kalau akan pergi? Pak Pardi menyusut air matanya. "Nanti yang antar Pak Ardi ya Mbak. Dia temen sopir Bapak!" Lidya mengangguk sambil memasang tali sepatunya. "Em... Mbak Lidya yakin mau pergi sendiri. Ini sudah malam lo mbak!" Lidya hanya mendesah pelan lalu menatap jam dinding yang tergantung di ruang tengah. "Gak papa, Pak. Di sana udah ada Mbok Nah. Pak Pardi di rumah aja. Siapkan saja kamar Papa ya, Pak. Habis operasi, aku akan bawa Papa pulang!" Pak Pardi tak menjawab. Laki-laki yang kini telah berusia enam puluh tahun itu mengangguk lemah. Andai saja ia bisa memilih, akan lebih baik jika dia saja yang menggantikan kemalangan majikannya. "Sudah di bayar kan Pak, mobilnya?" Tanya Lidya, memasukkan tas papanya ke dalam tas ransel. "Sudah Mbak. Sudah dibayar semua!" Pak Pardi tak salah mengatakannya karena majikannya selalu memberinya biaya untuk jaga-jaga. "Ya udah, Pak. Aku berangkat dulu, biar bisa cepet-cepet nemenin Papa!" "Ya Mbak. Hati-hati!" Lidya beranjak dari kursinya dan berjalan ke depan diikuti Pak Pardi. "Oh ya, Pak!" Langkah Lidya terhenti mendadak dan berbalik menatap Pak Pardi yang terkejut dengan ulahnya. "Tante Dewi sama Om Johan gak datang ya?" Pak Pardi termenung sebentar seperti berpikir. "Kayaknya si enggak, Mbak. Setahu saya, gak ada di antara para pelayat. "Pak Pardi gak lupa ngabarin kan?" Lidya menelisik wajah tua Pak Pardi. Barangkali saja dia lupa mengabari. Tapi lagi-lagi, Pak Pardi menggeleng. "Enggak Mbak. Bapak gak lupa. Bapak langsung mengabari tetangga, Pak RT juga Bu Dewi dan Pak Johan!" Lidya terdiam. "Aneh. Bukannya Tante Dewi dan Om Johan saudara Papa?" Lidya memiringkan wajahnya beberapa saat. "Ya sudah, Pak. Aku berangkat dulu!" Pak Pardi mengangguk lagi lalu mengantar majikan kecilnya sampai ke halaman. "Antar majikan kecilku ya To. Jangan ngebut. Hati-hati saja!" Pesan Pak Pardi. "Beres Di!" Laki-laki yang dipanggil Pak Anto segera membukankan pintu belakang untuk Lidya. Gadis semampai itu hanya melambaikan tangan lalu menutup jendela mobil. Pardi masih berdiri menatap mobil yang membawa Lidya hingga hilang di tikungan jalan. Dia mendesah pelan. "Kamu harus kuat, Mbak Lidya. Jangan mengandalkan siapapun selain Allah!" Laki-laki renta itu menyusut air matanya. Kakinya melangkah masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu gerbang. Sementara itu, Lidya menatap rumah yang dulu hangat dan ramai. Bang Lodra memang baik sebagai kakak tapi usilnya juga gak ketulungan. Setiap kali mereka bertemu, ada saja yang dilakukan Lodra hingga membuatnya menangis karena jengkel. Kalau sudah begitu, maka Papanya akan mengejar Lodra dengan sapu. Kini, Lidya merindukannya. Lidya akan rela apapun yang Lodra lakukan. "Maaf, Bang!" Lirih Lidya. Gadis itu, kembali menangis.Salah satu perawat mendekat lalu menuntun Lidya keluar ICU. Tubuh kaku papanya harus segera dipindahkan ke kamar, ia mulai merasa kakinya tak lagi menapak bumi. Ia berjalan lunglai, mengikuti arahan perawat untuk istirahat sebentar. Mbok Nah hanya bisa menutup mulutnya. semrntara Lidya kembali menangis pelan. Mbok Nah masih setia di sisinya. Wanita tua itu tak lagi bertanya. Ia tahu saat melihat Lidya keluar ruangan. "Maaf, Mbak. Tolong diselesaikan dulu administrasinya di kasir depan ya, biar Bapak diurus petugas pemulasaraan jenazah," ujar seorang perawat dengan nada simpatik. Lidya mengangguk lemah. Ia kembali berdiri dan berjalan pelan diikuti Mbok Nah. Tangannya gemetar saat meraih tas ranselnya. Membukanya lalu mengambil tas berbahan kanvas milik papanya. Lidya menerima nota-nota dengan gugup. Bukan karena nominalnya tapi karena nota-nota itu tak lagi mampu membuatnya bangkit. Lidya membuka amplop itu sedikit. Isinya gepokan uang tunai pecahan seratus ribuan dalam
Lidya mengerjapkan mata. Perlahan menggeliat lalu membenahi duduknya dan bersandar. "Udah sampai, Pak?" Lidya menatap keluar jendela. Menatapkan penglihatannya yang masih setengah kabur. "Sebentar lagi, Mbak!" Entah pukul berapa ia terpejam, yang pasti saat jam di dasbor mobil sewaannya menunjuk pukul tujuh, Lidya masih sempat menanyakan kabar papanya lewat Mbok Nah. "Belum ada perubahan, Nduk!" Lidya temangu diam, menangis pelan hingga terpejam. Lidya kini duduk kaku di kursi penumpang. Pak Anto, seorang pria paruh baya yang pendiam, mungkin sudah diberi tahu oleh Pak Pardi tentang kondisi yang Lidya alami. Lidya menatap jalanan saat mobil Avanza silver yang membawanya melaju menembus kegelapan malam. Mata Lidya menangkap rintik hujan gerimis yang mulai turun, membuat lampu-lampu jalan berpendar seperti bintang yang luruh. Setiap tetes airnya di kaca depan terasa seperti pukulan yang menyakitkan. "Mbak Lidya, mau mampir istirahat dulu? Minum teh hangat mungkin?" Sua
Rosa dengan sigap memapah Lidya lalu mendudukannya di sisi tanah yang telah tertutup sempurna. "Kau lihat Lodra. Aku kuat. Aku akan ada di sini untuk Lidya, seperti yang kamu minta!" Rosa mengusap dahi Lidya yang pucat. Pak Pardi mendekat. "Mari, Non. Kita bawa Mbak Lidya pulang!" Rosa mengangguk. Lalu berdiri dan bersama Pak Pardi memapah tubuh Lidya yang lemah ke arah mobil yang terparkir. Beberapa mata menatap mereka dengan iba. Dua gadis yang merana. Meski banyak juga yang menatap mereka dengan sinis. Dua gadis pembawa sial. Lidya mengerjap sesaat ketika hidungnya mencium aroma minyak kayu putih. "Kau sudah sadar?" Lidya menoleh. Menatap Rosa dengan tatapan sendu. "Kak, Bang Lodra... Bang Lodra, Kak!" Lidya seketika histeris. Tangis yang ditahannya kini tumpah. Mereka saling memeluk kembali. "Sabar Lidya. Abangmu gak mau kamu begini. Kamu tahu, kan?" Lidya masih tergugu. Ia tahu, abangnya tak pernah membiarkannya menangis. Laki-laki itu selalu mengalah untuknya.
Lidya hanya bisa menurut ketika petugas itu menuntunnya keluar ruangan. Kini ia kembali terduduk di kursi dengan tatapan kosong.Tanpa sadar, tangannya meremas formulir yang kini basah oleh air mata. "Keluarga Bapak Danu?" Lidya segera berdiri dan melangkah ke arah bagian informasi. "Kami perlu tanda tangan untuk tindakan!" Lidya mengangguk lalu membubuhkan tanda tangannya di formulir lain. "Silakan di tunggu ya, Mbak. Kalau gak halangan, operasi akan dilaksanakan besok pagi!" Lidya tak menjawab. Melangkah gontai ke kursi kembali Ia hanya bisa menarik napas panjang. Lidya ingin menyesali tapi sepertinya waktu tak bisa menunggu. Tak ada waktu untuk hancur. Tidak sekarang. Ia kembali menyusut air matanya. Masih ada yang harus ia lakukan. Lidya berdiri, meraih ponselnya, dan menekan sebuah nomor yang sudah ia hafal sejak kecil, nomor sopir ayahnya. “Pak Pardi?” Suaranya bergetar. “Halo, Mbak Lidya? Bapak dan Mas Lodra sudah sampai ya? Selamat ulang...!" “Pak,” Lidya memoton
Brak. Lidya terperanjat. Matanya menatap keluar kamar. Sepertinya ada yang tak beres. Lidya segera melempar pashminanya ke ranjang lalu berlari ke luar. Mbok Nah, pengasuhnya, kini terduduk bersandar di sisi lemari sambil memegang dadanya. Tangisnya semakin kencang saat melihat Lidya berlari menghampiri. "Ada apa, Mbok?" Lidya memapah tubuh Mbok Nah dan membantunya untuk duduk di sofa di sisi meja kecil. Kini matanya menangkap telepon yang menjuntai kebawah. Lidya menatap Mbok Nah dengan bingung. "Halo.. halo..!" Suara itu masih terdengar dari seberang telpon. Buru-buru Lidya menariknya dan memasangnya tepat di telinga. "Ya, halo. Lidya di sini!" Jawab Lidya sedikit gugup sambil melirik Mbok Nah yang mulai menangis terisak sambil menutuo wajahnya. Lidya bingung. Apa ysng membuat pengasuhnya itu menangis. "Selamat sore, Nona Lidya. Saya Aiptu Rahman dari Polsek Jambu Semarang. Mohon maaf mengganggu, apakah benar Anda keluarga dari Bapak Danu Wirajaya dan saudara Lodra Wi







