Home / Romansa / Semalam Untuk Selamanya / 4. Ternyata Harus Sendiri

Share

4. Ternyata Harus Sendiri

Author: Banyu Biru
last update Last Updated: 2025-11-11 14:19:32

Lidya mengerjapkan mata. Perlahan menggeliat lalu membenahi duduknya dan bersandar.

"Udah sampai, Pak?" Lidya menatap keluar jendela. Menatapkan penglihatannya yang masih setengah kabur.

"Sebentar lagi, Mbak!"

Entah pukul berapa ia terpejam, yang pasti saat jam di dasbor mobil sewaannya menunjuk pukul tujuh, Lidya masih sempat menanyakan kabar papanya lewat Mbok Nah.

"Belum ada perubahan, Nduk!" Lidya temangu diam, menangis pelan hingga terpejam.

Lidya kini duduk kaku di kursi penumpang. Pak Anto, seorang pria paruh baya yang pendiam, mungkin sudah diberi tahu oleh Pak Pardi tentang kondisi yang Lidya alami.

Lidya menatap jalanan saat mobil Avanza silver yang membawanya melaju menembus kegelapan malam. Mata Lidya menangkap rintik hujan gerimis yang mulai turun, membuat lampu-lampu jalan berpendar seperti bintang yang luruh. Setiap tetes airnya di kaca depan terasa seperti pukulan yang menyakitkan.

"Mbak Lidya, mau mampir istirahat dulu? Minum teh hangat mungkin?" Suara Pak Anto memecah keheningan setelah satu jam perjalanan.

Lidya hanya menatap lewat spion lalu menggeleng pelan. Dan kembali terpaku pada jalanan yang disapu bersih oleh lampu mobil. Matanya melirik jam, pukul sembilan lebih.

Perjalanan dari Jogja ke Semarang biasanya memakan waktu empat jam kini hanya terlampaui tiga jam malam ini. Seolah alam semesta pun memberi jalan, meski Lidya tak tahu apakah ia sedang berlari menuju harapan atau menuju kembali pada kenyataan yang kembali menghancurkan.

Seharusnya, malam ini penuh dengan kemeriahan. Kehadiran papa dan kakaknya menjadi obat rindu sekaligus bahagianya jelang dewasa. Tapi Tuhan membuatnya dewasa dengan cara yang tak terduga.

Rasa bersalah kembali menghantuinya. Andai saja ia tak memaksa bertahan demi sebuah tugas tambahan, tentu mereka masih menunggunya di rumah. Merayakan ulang tahunnya penuh kehangatan.

Perlahan mobil memasuki kawasan RSUP Dr. Kariadi, Semarang. "Mbak, kita ke IGD atau..." Pak Anto tak melanjutkan pertanyaan. "Langsung ke ruang ICU saja Pak!" suara Lidya serak, nyaris tak terdengar.

Pak Anto mengangguk, mencari jalannya sendiri. Hingga Lidya melihatnya. Mbok Nah, yang sedang terduduk di kursi tunggu. Tak sendiri. Mungkin keluarga dari pasien lain.

Mobil belum berhenti sempurna saat Lidya sudah membuka pintu dan menghambur keluar, mengabaikan gerimis.

Mbok Nah mendongak. Wajahnya masih basah. Ia berdiri, dan langsung memeluk Lidya dengan erat.

Di pelukan Mbok Nah, pertahanan Lidya akhirnya runtuh. Tangis yang ia kira telah kering kini kembali meledak tanpa bisa dibendung lagi. Ia terisak.

"Nduk.. Mbak Lidya... sabar, Nduk..." Mbok Nah sendiri ikut menangis, menepuk-nepuk punggung majikan mudanya.

"gimana kondisi Papa, Mbok? Ada perubahan?" Lidya bertanya di sela isaknya, menarik diri dari pelukan itu, mencengkeram lengan Mbok Nah. Ia butuh jawaban.

Mbok Nah menelan ludah, air matanya kembali menggenang. Ia menuntun Lidya untuk duduk di kursi tunggu.

"Mbok... Papa..."

"Mbok Nah ndak berani bilang, Mbak. Tadi... tadi Mbok sempat di kasih tahu sama perawat yang jaga," Mbok Nah memulai dengan suara bergetar. "Kata perawat, kondisi Papa.... kita hanya bisa menunggu!" Jantung Lidya seolah berhenti berdetak. "Papa masih ndak sadar!" lanjut Mbok Nah, mengulang kata-kata perawat dengan susah payah. Mbok Nah berhenti sejenak, mengusap air matanya. Lidya membekap mulutnya.

"Katanya Dokter bedah saraf juga sudah lihat hasilnya, Nduk. Tapi..." Mbok Nah menggigit bibirnya, tak sanggup melanjutkan. "Tapi apa, Mbok?" desak Lidya, suaranya naik satu oktaf. "Dokter bilang... sudah... sudah ndak bisa dioperasi," bisik Mbok Nah.

"Nggak bisa dioperasi? Kenapa Mbok?" Lidya mulai lemah. Mbok Nah menggeleng. Tak bisa menjawab.

Mbok Nah melanjutkan. "Mbok ndak ngerti itu apa, tapi perawat bilang, merek cuma bisa kasih obat-obatan terbaik." Lidya tahu apa artinya. Merekapun sudah menyerah.

Mbok Nah memgelus lengannya sambil menatap Lidya, memegang kedua tangan gadis itu yang sedingin es. "Perawat bilang... perawat bilang kita harus siap... untuk kemungkinan terburuk."

Lidya menatap pintu kaca ICU. Di baliknya, ayahnya kini sedang terbaring, dikelilingi mesin yang berbunyi monoton, berjuang dalam pertarungan yang ternyata sudah divonis kalah oleh para dokter. Abangnya telah pergi. Kini, Papanya akan menyusul.

Lidya akhirnya diam. Tak ada lagi harapan. Ia hanya bisa beristighfar sambil menekan dadanya yang berdenyut sakit. Secepat ini mereka harus pergi meninggalkannya. Selamanya. Dan Lidya tak tahu, apakah dia bisa bertahan dalam kesendirian.

Mbok Nah memahami perasaan Lidya. Ia pun tak lagi berkata-kata. Hanya menatap malam yang semakin pekat dengan misterinya. Sayangnya, keheningan di lorong tunggu itu tak berlangsung lama.

Suara alarm dari balik pintu kaca ganda itu memecah kesunyian. Bunyinya nyaring, berulang, dan memburu. Suara yang selalu menjadi mimpi buruk bagi siapa pun yang menunggu di depan ruang intensif.

Lidya tersentak, kepalanya langsung terangkat. Jantungnya berpacu lebih cepat dari bunyi alarm itu. Ia melihat bayangan putih berkelebat di balik kaca buram. Para perawat yang tadinya duduk tenang, kini berlarian menuju satu titik.

"Dokter! Pasien bed 3! Saturasi turun drastis!"

Teriakan samar itu menembus dinding kaca. Lidya gemetar.

Pintu kaca otomatis terbuka lebar. Seorang perawat pria dengan wajah tegang keluar, matanya menyapu area ruang tunggu.

"Keluarga Bapak Danu?" teriaknya, tak sempat berbasa-basi.

Lidya langsung berdiri, kakinya goyah tapi ia memaksakan diri. "Saya! Saya anaknya!"

"Masuk. Cepat!" Perawat itu memberi isyarat tangan yang mendesak. "Jantung Bapak henti mendadak. Kami sedang resusitasi."

Dunia Lidya berputar. Ia setengah berlari melewati pintu kaca itu.

Sosok gagah yang selalu memeluknya itu kini tergolek tak berdaya. Tubuhnya penuh selang. Wajahnya bengkak dan pucat, nyaris tak dikenali jika bukan karena tahi lalat di dagunya. Perban tebal melilit kepalanya yang kini botak sebagian.

Situasi di sekeliling ranjang itu kacau balau namun terstruktur. Dua orang perawat sibuk menyuntikkan obat-obatan lewat selang infus yang berderet. Seorang dokter muda sedang menekan dada papanya dengan irama teratur dan kuat. Tubuh papanya terguncang setiap kali dokter itu menekan dadanya.

"Papa..." panggil Lidya lirih, suaranya tenggelam oleh bunyi monitor yang masih menampilkan garis gelombang yang tak beraturan.

Dokter itu berhenti sejenak, menatap monitor. Garis itu masih melandai, nyaris datar. Ia kembali memompa. "Siapkan defibrillator! Kita coba kejut jantung sekali lagi!"

Dokter itu menghela napas panjang, bahunya turun. Ia menatap rekannya, lalu menggeleng pelan. Ia menoleh pada Lidya yang berdiri gemetar.

Dokter itu menatap Lidya dengan pandangan iba. "Mbak, Bapak sudah tidak sakit lagi. Mendekatlah. Bisikkan doa. Ini saat terakhirnya. Tuntun beliau."

Dengan langkah berat, Lidya mendekat ke sisi kepala ranjang. Ia memberanikan diri menyentuh tangan papanya yang dingin.

"Pa..." bisik Lidya tepat di telinga papanya. Air matanya jatuh menetes ke pipi sang ayah. "Lidya di sini, Pa!" Monitor masih berbunyi panjang, konstan.

"Papa yang tenang ya... Bang Lodra udah nunggu Papa..." Suara Lidya pecah, menjadi raungan kecil yang menyedihkan. Ia mencium kening ayahnya yang bau obat. "Lidya baik-baik saja! Papa jangan khawatir!" Lidya menuntun membacakan doa.

Dokter melihat jam tangannya, lalu mencatat di status pasien dengan wajah muram.

"Waktu kematian, pukul 21.45 WIB."

Detik itu juga, Lidya merasa separuh jiwanya ikut mati. Ia ambruk, memeluk tubuh kaku ayahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Semalam Untuk Selamanya    5. Wajah yang Sesungguhnya

    Salah satu perawat mendekat lalu menuntun Lidya keluar ICU. Tubuh kaku papanya harus segera dipindahkan ke kamar, ia mulai merasa kakinya tak lagi menapak bumi. Ia berjalan lunglai, mengikuti arahan perawat untuk istirahat sebentar. Mbok Nah hanya bisa menutup mulutnya. semrntara Lidya kembali menangis pelan. Mbok Nah masih setia di sisinya. Wanita tua itu tak lagi bertanya. Ia tahu saat melihat Lidya keluar ruangan. "Maaf, Mbak. Tolong diselesaikan dulu administrasinya di kasir depan ya, biar Bapak diurus petugas pemulasaraan jenazah," ujar seorang perawat dengan nada simpatik. Lidya mengangguk lemah. Ia kembali berdiri dan berjalan pelan diikuti Mbok Nah. Tangannya gemetar saat meraih tas ranselnya. Membukanya lalu mengambil tas berbahan kanvas milik papanya. Lidya menerima nota-nota dengan gugup. Bukan karena nominalnya tapi karena nota-nota itu tak lagi mampu membuatnya bangkit. Lidya membuka amplop itu sedikit. Isinya gepokan uang tunai pecahan seratus ribuan dalam

  • Semalam Untuk Selamanya    4. Ternyata Harus Sendiri

    Lidya mengerjapkan mata. Perlahan menggeliat lalu membenahi duduknya dan bersandar. "Udah sampai, Pak?" Lidya menatap keluar jendela. Menatapkan penglihatannya yang masih setengah kabur. "Sebentar lagi, Mbak!" Entah pukul berapa ia terpejam, yang pasti saat jam di dasbor mobil sewaannya menunjuk pukul tujuh, Lidya masih sempat menanyakan kabar papanya lewat Mbok Nah. "Belum ada perubahan, Nduk!" Lidya temangu diam, menangis pelan hingga terpejam. Lidya kini duduk kaku di kursi penumpang. Pak Anto, seorang pria paruh baya yang pendiam, mungkin sudah diberi tahu oleh Pak Pardi tentang kondisi yang Lidya alami. Lidya menatap jalanan saat mobil Avanza silver yang membawanya melaju menembus kegelapan malam. Mata Lidya menangkap rintik hujan gerimis yang mulai turun, membuat lampu-lampu jalan berpendar seperti bintang yang luruh. Setiap tetes airnya di kaca depan terasa seperti pukulan yang menyakitkan. "Mbak Lidya, mau mampir istirahat dulu? Minum teh hangat mungkin?" Sua

  • Semalam Untuk Selamanya    3. Yang Hilang dan Bertahan

    Rosa dengan sigap memapah Lidya lalu mendudukannya di sisi tanah yang telah tertutup sempurna. "Kau lihat Lodra. Aku kuat. Aku akan ada di sini untuk Lidya, seperti yang kamu minta!" Rosa mengusap dahi Lidya yang pucat. Pak Pardi mendekat. "Mari, Non. Kita bawa Mbak Lidya pulang!" Rosa mengangguk. Lalu berdiri dan bersama Pak Pardi memapah tubuh Lidya yang lemah ke arah mobil yang terparkir. Beberapa mata menatap mereka dengan iba. Dua gadis yang merana. Meski banyak juga yang menatap mereka dengan sinis. Dua gadis pembawa sial. Lidya mengerjap sesaat ketika hidungnya mencium aroma minyak kayu putih. "Kau sudah sadar?" Lidya menoleh. Menatap Rosa dengan tatapan sendu. "Kak, Bang Lodra... Bang Lodra, Kak!" Lidya seketika histeris. Tangis yang ditahannya kini tumpah. Mereka saling memeluk kembali. "Sabar Lidya. Abangmu gak mau kamu begini. Kamu tahu, kan?" Lidya masih tergugu. Ia tahu, abangnya tak pernah membiarkannya menangis. Laki-laki itu selalu mengalah untuknya.

  • Semalam Untuk Selamanya    2. Bukan Mimpi

    Lidya hanya bisa menurut ketika petugas itu menuntunnya keluar ruangan. Kini ia kembali terduduk di kursi dengan tatapan kosong.Tanpa sadar, tangannya meremas formulir yang kini basah oleh air mata. "Keluarga Bapak Danu?" Lidya segera berdiri dan melangkah ke arah bagian informasi. "Kami perlu tanda tangan untuk tindakan!" Lidya mengangguk lalu membubuhkan tanda tangannya di formulir lain. "Silakan di tunggu ya, Mbak. Kalau gak halangan, operasi akan dilaksanakan besok pagi!" Lidya tak menjawab. Melangkah gontai ke kursi kembali Ia hanya bisa menarik napas panjang. Lidya ingin menyesali tapi sepertinya waktu tak bisa menunggu. Tak ada waktu untuk hancur. Tidak sekarang. Ia kembali menyusut air matanya. Masih ada yang harus ia lakukan. Lidya berdiri, meraih ponselnya, dan menekan sebuah nomor yang sudah ia hafal sejak kecil, nomor sopir ayahnya. “Pak Pardi?” Suaranya bergetar. “Halo, Mbak Lidya? Bapak dan Mas Lodra sudah sampai ya? Selamat ulang...!" “Pak,” Lidya memoton

  • Semalam Untuk Selamanya    1. Hari yang Berduka

    Brak. Lidya terperanjat. Matanya menatap keluar kamar. Sepertinya ada yang tak beres. Lidya segera melempar pashminanya ke ranjang lalu berlari ke luar. Mbok Nah, pengasuhnya, kini terduduk bersandar di sisi lemari sambil memegang dadanya. Tangisnya semakin kencang saat melihat Lidya berlari menghampiri. "Ada apa, Mbok?" Lidya memapah tubuh Mbok Nah dan membantunya untuk duduk di sofa di sisi meja kecil. Kini matanya menangkap telepon yang menjuntai kebawah. Lidya menatap Mbok Nah dengan bingung. "Halo.. halo..!" Suara itu masih terdengar dari seberang telpon. Buru-buru Lidya menariknya dan memasangnya tepat di telinga. "Ya, halo. Lidya di sini!" Jawab Lidya sedikit gugup sambil melirik Mbok Nah yang mulai menangis terisak sambil menutuo wajahnya. Lidya bingung. Apa ysng membuat pengasuhnya itu menangis. "Selamat sore, Nona Lidya. Saya Aiptu Rahman dari Polsek Jambu Semarang. Mohon maaf mengganggu, apakah benar Anda keluarga dari Bapak Danu Wirajaya dan saudara Lodra Wi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status