Pandangan mata tajam Rizal langsung mengarah pada sang istri yang tengah susah payah berusaha menahan tawa agar tidak pecah. Wanita itu sibuk mengunyah nasi dengan sambal bawang sembari pura-pura tak melihat wajah merah padam sang suami yang sudah tersulut emosi.
"Jihan, kamu kan tadi beli ayam crispy buat Fadil. Lalu, ayam untuk aku mana?" tanya lelaki itu pada sang istri.Seketika Jihan menghentikan aktivitasnya mengunyah dan berganti memandang ke arah sang suami dengan tatapan tajam."Bukannya Mas sendiri yang bilang, kalau aku itu istri yang boros. Makanya sekarang aku coba untuk berhemat, beli ayamnya satu aja buat Fadil. Kita cukup makan dengan sambal bawang biar hemat dan uang bulanan dari kamu cukup buat makan sebulan sekalian bayar tunggakan SPP Fadil," oceh Jihan kemudian melanjutkan kembali makannya."Ck, kalau gitu buatin aku telur dadar saja. Masih ada kan telur di kulkas."Permintaan Rizal membuat sang istri memutar bola matanya malas, enak saja dia mau makan pakai telur modal dagangan telur gulung dan seblak milik sang istri. Bantu modalin saja tak mau, kebutuhan dapur juga sang istri yang harus menutup dengan hasil jualanya."Ya nggak bisa dong, Mas. Telur itu kan modal dagangan aku, bisa bangkrut aku nanti kalau kamu jadikan lauk," ketus Jihan yang masih terlihat santai melanjutkan makanya."Ayah kasih Bunda uang yang banyak dong, biar Bunda juga bisa masak enak seperti nenek," sahut Fadil, bocah itu telah selesai melahap semua isi piringnya."Sudahlah, Mas. Makan aja pakai sambal, kalau kamu mau, itu masih ada kerupuk," ucap Jihan kemudian membawa piring kotornya ke wastafel untuk dicuci.Dengan terpaksa, Rizal menyantap nasi dengan sambal bawang beserta kerupuk yang sudah alot karena terlalu lama tersimpan di bawah tudung saji. Sembari mengunyah, lelaki itu mengirim pesan pada kakak perempuan yang satu rumah dengan sang ibu.Mbak, besok suruh ibu masak rendang daging. Pulang kerja aku mau makan di sana.Usai mengisi perut, Rizal langsung masuk kamar dan merebahkan diri sembari memunggungi sang istri. Tentu saja Jihan tahu jika sang suami sedang marah, tapi wanita itu memilih cuek karena malas jika harus berdebat lagi. Tubuhnya sudah terlalu lelah setelah seharian berjualan.*******Keesokan harinya, Rizal berangkat bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu. Bahkan, tanpa pamit pada anak dan istrinya. Sepertinya, lelaki itu masih merasa kesal dengan sikap Jihan kemarin."Kok ayah nggak pamit sama kita, Bun?" tanya Fadil yang menyadari sikap aneh sang ayah."Mungkin ayah lupa, kamu terusin makannya ya. Bunda ganti baju dulu, terus antar kamu ke sekolah." Ucapan Jihan langsung diangguki oleh sang anak.Wanita itu beranjak, menuju ke kamar untuk berganti baju kemudian membuka laci yang selalu ia kunci selama ini. Jihan menghembuskan napasnya kasar, menatap laci berisi berbagai perhiasan emas yang semakin hari isinya semakin berkurang. Perhiasan itu adalah peninggalan almarhum sang ibu yang sama sekali tak diketahui oleh Rizal karena Jihan memang sengaja menyembunyikannya. Kalau tidak, mungkin Rizal sudah meminta Jihan untuk menjual semuanya."Bulan lalu jual kalung, sekarang jual gelang. Kalau bulan depan masih begini lebih baik cincin kawin darimu ini yang aku jual," geram Jihan kemudian memasukan gelang itu ke dalam tasnya dan kembali ke meja makan untuk menghampiri sang putra."Ayo, Nak. Kita berangkat sekarang, nanti kamu terlambat. Ini uang buat bayar SPP kamu ya," ujar Jihan sembari mengulurkan tiga lembar uang pecahan lima puluh ribu untuk membayar uang bayaran sekolah Fadil yang sudah menunggak selama tiga bulan.Bocah kelas dua sekolah dasar itu mengangguk dan menyimpan uang pemberian sang bunda ke dalam tas sekolahnya.Jihan mulai melajukan sepeda motornya menuju sekolah Fadil, hari ini ia sengaja libur berjualan karena setelah ini akan pergi ke pasar untuk menjual gelang yang sempat ia ambil sebelum berangkat. Wanita muda itu larut dalam pikiranya sendiri sampai hampir lupa jika harus berhenti di depan sekolah putranya."Stop, Bun! Stop!" pekik bocah kecil itu kala sekolahnya hampir terlewat, membuat sang bunda mengerem mendadak."Ya ampun, Sayang. Maaf ya, Bunda hampir aja lupa berhenti di sini," ucap Jihan saat sang putra mengecup punggung tangannya sebagai tanda pamit."Iya, Bunda, nggak apa-apa. Fadil sekolah dulu ya, Bunda hati-hati.""Iya, nanti jangan pulang sebelum Bunda jemput kamu ya," pesan Jihan yang langsung diangguki oleh sang putra.Jihan kembali memutar gas sepeda motornya menuju ke pasar, tujuan utamanya adalah sebuah toko perhiasan yang cukup besar. Saat hendak masuk ke dalam toko, tanpa sengaja wanita itu melihat ibu mertua dan kakak iparnya juga sedang berada di sana. Sayup-sayup terdengar obrolan kedua wanita beda usia tersebut, membuat Jihan memutuskan untuk menguping terlebih dahulu. Nampak sang ibu mertua yang tengah mencoba sebuah gelang emas."Rindi, lihat. Gelangnya bagus sekali kan?" Bu Inggar, mertua Jihan terdengar meminta pendapat pada anak sulungnya.Ya, Rindi adalah anak sulung Bu Inggar sekaligus kakak Rizal. Rindi memang anak kesayangan ibunya. Wanita muda itu adalah janda anak satu yang sudah bercerai dari suaminya. Dan Rizal sangat menyayangi keponakanya itu, mungkin karena sejak dulu lelaki itu sangat mendambakan anak perempuan. Namun, apa daya. Tuhan memberikan Fadil sebagai pelengkap kebahagiaan dalam rumah tangga mereka."Bagus sekali, Bu. Sebenarnya Rindi juga ingin belikan Putri gelang. Tapi mau gimana, uang dari Rizal sudah dipakai untuk bayar rekreasi sekolahnya minggu depan," balas Rindi dengan wajah sendu yang sengaja dibuat-buat.Jihan menautkan alis kala mendengar kata rekreasi. Pasalnya Putri, anak Rindi satu kelas dengan Fadil. Tapi kenapa Fadil sama sekali tak bicara soal rekreasi."Tenang saja, bulan depan Ibu akan minta sama Rizal buat belikan gelang untuk putri. Sekarang kita pulang yuk," ajak Bu Inggar setelah membayar gelang yang dipilihnya."Iya, Bu. Tapi beli daging dulu ya, Rizal kan minta dimasakin rendang," ucap Rindi mengingatkan sang ibu.Lagi-lagi Jihan harus menahan rasa sesak di dalam hatinya kala mengetahui sang suami lebih memilih memberikan uang gajinya untuk sang ibu dan makan enak di sana tanpa mempedulikan anak dan istrinya di rumah."Kenapa kamu bisa lakukan semua ini, Mas. Baiklah, aku akan ikuti permainan kamu. Biar saja kamu setiap hari makan di rumah ibumu," geram Jihan dengan kedua tinju yang mengepal.Jihan segera menghampiri Bu Inggar dan Rindi yang hendak keluar dari toko perhiasan itu."Ibu, Mbak Rindi." Panggilan Jihan membuat kedua wanita itu menghentikan langkah, Bu Inggar yang sedikit terkejut melihat kehadiran sang menantu berusaha untuk menetralkan ekspresinya."Eh, Jihan. Kamu di sini juga, mau ngapain?" tanya Bu Inggar berbasa-basi sembari menunjukan gelang yang telah melingkar cantik di pergelangan tangannya."Paling dia mau jual perhiasan, Bu. Eh, tapi dia kan nggak punya perhiasan. Atau jangan-jangan mau jual cincin nikahnya buat makan kali ya, Bu. Kasihan banget," ejek Rindi yang sengaja memanas-manasi Jihan."Iya, Mbak. Aku mau jual cincin nikah untuk makan karena nafkah untukku sudah direbut oleh ibu mertua dan kakak iparku!"Rizal kembali menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku setelah mengakhiri panggilan tersebut. Wajahnya datar, menatap wajah-wajah tegang yang terpampang di hadapannya tanpa ada satu kata pun terucap dari bibir."Zal, siapa yang telepon barusan? Siapa yang meninggal?" tanya Bu Inggar dengan wajah penasaran."Indri dan Papanya kecelakaan, Bu. Dan ... mereka meninggal dunia di tempat.""ALHAMDULILLAH," seru Rindi dan Bu Inggar secara bersamaan.Rizal menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kening mengernyit melihat tingkah Ibu dan kakaknya yang aneh menurutnya."Kok kalian malah ngucap syukur? Ini berita duka lho, Mbak, Bu. Indri dan papanya meninggal!" Rizal menautkan kedua alisnya penuh tanya, ia mengulangi kalimatnya tadi.Dua wanita beda generasi itu terkekeh, kemudian saling melempar pandangan. Bu Inggar meminta Rindi memberikan penjelasan kepada Rizal melakui kontak mata."Zal, kamu kalau lemot jangan kebangetan. Kita 'kan sama-sama tahu kalau Indri dan
Rizal melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar sekaligus perasaan bahagia. Setidaknya, meski ia tak sungguh-sungguh mencintai Indri. Namun, satu masalah hidupnya akan beres jika Indri tak jadi meminta cerai. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya sehari-hari karena bisa menumpang hidup kepada wanita kaya raya bertubuh gemuk itu.Ayunan tungkai Rizal semakin mendekat ke ambang pintu, senyum mengembang di bibir. Namun, senyum itu seketika musnah kala mendengar isak tangis sang ibu.Rizal buru-buru membuka pintu. Di sofa, Indri duduk bersebelahan dengan Brama. Sedangkan Bu Inggar dan Rindi duduk di seberang meja dengan kepala menunduk. Air mata berderai membasahi pipi sepasang ibu dan anak itu."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mbak Rindi menangis?" tanya Rizal dengan wajah bingung.Bu Inggar menhampiri sang putra dan menuntunnya untuk ikut duduk di sofa."Pak Brama dan Indri datang kemari untuk mengambil BPKB mobil kamu, Zal," ucap Bu Inggar di tengah-tengah isakan.Rizal m
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Bu Inggar mengikuti ke mana arah jari telunjuk putrinya tertuju, wanita itu membulatkan mata setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh sang mantan menantu di depan sana."Benar-benar kurang ajar itu Jihan. Ayo kita ke sana sekarang." Bu Inggar melangkah tergesa, menghampiri Jihan yang baru saja selesai memotong pita dan mempersilakan seluruh pengunjung untuk masuk ke dalam caffe."Heh, Jihan. Kurang ajar, jadi selama ini kamu makan uang Rizal dan sekarang kamu gunakan untuk buka bisnis caffe ini setelah kalian cerai? Tega kamu senang-senang dia atas penderitaan saya yang hidup serba kekurangan sekarang," tuduh Bu Inggar dengan suara lantang.Para pengunjung caffe saling berbisik, ada yang sebagian langsung percaya dengan ucapan Bu Inggar. Namun, lebih banyak yang lebih percaya kepada Jihan karena sudah tahu bagaimana perjalanan hidup wanita muda itu sampai bisa seperti sekarang ini.Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh mantan ibu mertu