Share

2. Toko Emas

Pandangan mata tajam Rizal langsung mengarah pada sang istri yang tengah susah payah berusaha menahan tawa agar tidak pecah. Wanita itu sibuk mengunyah nasi dengan sambal bawang sembari pura-pura tak melihat wajah merah padam sang suami yang sudah tersulut emosi.

"Jihan, kamu kan tadi beli ayam crispy buat Fadil. Lalu, ayam untuk aku mana?" tanya lelaki itu pada sang istri.

Seketika Jihan menghentikan aktivitasnya mengunyah dan berganti memandang ke arah sang suami dengan tatapan tajam.

"Bukannya Mas sendiri yang bilang, kalau aku itu istri yang boros. Makanya sekarang aku coba untuk berhemat, beli ayamnya satu aja buat Fadil. Kita cukup makan dengan sambal bawang biar hemat dan uang bulanan dari kamu cukup buat makan sebulan sekalian bayar tunggakan SPP Fadil," oceh Jihan kemudian melanjutkan kembali makannya.

"Ck, kalau gitu buatin aku telur dadar saja. Masih ada kan telur di kulkas."

Permintaan Rizal membuat sang istri memutar bola matanya malas, enak saja dia mau makan pakai telur modal dagangan telur gulung dan seblak milik sang istri. Bantu modalin saja tak mau, kebutuhan dapur juga sang istri yang harus menutup dengan hasil jualanya.

"Ya nggak bisa dong, Mas. Telur itu kan modal dagangan aku, bisa bangkrut aku nanti kalau kamu jadikan lauk," ketus Jihan yang masih terlihat santai melanjutkan makanya.

"Ayah kasih Bunda uang yang banyak dong, biar Bunda juga bisa masak enak seperti nenek," sahut Fadil, bocah itu telah selesai melahap semua isi piringnya.

"Sudahlah, Mas. Makan aja pakai sambal, kalau kamu mau, itu masih ada kerupuk," ucap Jihan kemudian membawa piring kotornya ke wastafel untuk dicuci.

Dengan terpaksa, Rizal menyantap nasi dengan sambal bawang beserta kerupuk yang sudah alot karena terlalu lama tersimpan di bawah tudung saji. Sembari mengunyah, lelaki itu mengirim pesan pada kakak perempuan yang satu rumah dengan sang ibu.

Mbak, besok suruh ibu masak rendang daging. Pulang kerja aku mau makan di sana.

Usai mengisi perut, Rizal langsung masuk kamar dan merebahkan diri sembari memunggungi sang istri. Tentu saja Jihan tahu jika sang suami sedang marah, tapi wanita itu memilih cuek karena malas jika harus berdebat lagi. Tubuhnya sudah terlalu lelah setelah seharian berjualan.

*******

Keesokan harinya, Rizal berangkat bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu. Bahkan, tanpa pamit pada anak dan istrinya. Sepertinya, lelaki itu masih merasa kesal dengan sikap Jihan kemarin.

"Kok ayah nggak pamit sama kita, Bun?" tanya Fadil yang menyadari sikap aneh sang ayah.

"Mungkin ayah lupa, kamu terusin makannya ya. Bunda ganti baju dulu, terus antar kamu ke sekolah." Ucapan Jihan langsung diangguki oleh sang anak.

Wanita itu beranjak, menuju ke kamar untuk berganti baju kemudian membuka laci yang selalu ia kunci selama ini. Jihan menghembuskan napasnya kasar, menatap laci berisi berbagai perhiasan emas yang semakin hari isinya semakin berkurang. Perhiasan itu adalah peninggalan almarhum sang ibu yang sama sekali tak diketahui oleh Rizal karena Jihan memang sengaja menyembunyikannya. Kalau tidak, mungkin Rizal sudah meminta Jihan untuk menjual semuanya.

"Bulan lalu jual kalung, sekarang jual gelang. Kalau bulan depan masih begini lebih baik cincin kawin darimu ini yang aku jual," geram Jihan kemudian memasukan gelang itu ke dalam tasnya dan kembali ke meja makan untuk menghampiri sang putra.

"Ayo, Nak. Kita berangkat sekarang, nanti kamu terlambat. Ini uang buat bayar SPP kamu ya," ujar Jihan sembari mengulurkan tiga lembar uang pecahan lima puluh ribu untuk membayar uang bayaran sekolah Fadil yang sudah menunggak selama tiga bulan.

Bocah kelas dua sekolah dasar itu mengangguk dan menyimpan uang pemberian sang bunda ke dalam tas sekolahnya.

Jihan mulai melajukan sepeda motornya menuju sekolah Fadil, hari ini ia sengaja libur berjualan karena setelah ini akan pergi ke pasar untuk menjual gelang yang sempat ia ambil sebelum berangkat. Wanita muda itu larut dalam pikiranya sendiri sampai hampir lupa jika harus berhenti di depan sekolah putranya.

"Stop, Bun! Stop!" pekik bocah kecil itu kala sekolahnya hampir terlewat, membuat sang bunda mengerem mendadak.

"Ya ampun, Sayang. Maaf ya, Bunda hampir aja lupa berhenti di sini," ucap Jihan saat sang putra mengecup punggung tangannya sebagai tanda pamit.

"Iya, Bunda, nggak apa-apa. Fadil sekolah dulu ya, Bunda hati-hati."

"Iya, nanti jangan pulang sebelum Bunda jemput kamu ya," pesan Jihan yang langsung diangguki oleh sang putra.

Jihan kembali memutar gas sepeda motornya menuju ke pasar, tujuan utamanya adalah sebuah toko perhiasan yang cukup besar. Saat hendak masuk ke dalam toko, tanpa sengaja wanita itu melihat ibu mertua dan kakak iparnya juga sedang berada di sana. Sayup-sayup terdengar obrolan kedua wanita beda usia tersebut, membuat Jihan memutuskan untuk menguping terlebih dahulu. Nampak sang ibu mertua yang tengah mencoba sebuah gelang emas.

"Rindi, lihat. Gelangnya bagus sekali kan?" Bu Inggar, mertua Jihan terdengar meminta pendapat pada anak sulungnya.

Ya, Rindi adalah anak sulung Bu Inggar sekaligus kakak Rizal. Rindi memang anak kesayangan ibunya. Wanita muda itu adalah janda anak satu yang sudah bercerai dari suaminya. Dan Rizal sangat menyayangi keponakanya itu, mungkin karena sejak dulu lelaki itu sangat mendambakan anak perempuan. Namun, apa daya. Tuhan memberikan Fadil sebagai pelengkap kebahagiaan dalam rumah tangga mereka.

"Bagus sekali, Bu. Sebenarnya Rindi juga ingin belikan Putri gelang. Tapi mau gimana, uang dari Rizal sudah dipakai untuk bayar rekreasi sekolahnya minggu depan," balas Rindi dengan wajah sendu yang sengaja dibuat-buat.

Jihan menautkan alis kala mendengar kata rekreasi. Pasalnya Putri, anak Rindi satu kelas dengan Fadil. Tapi kenapa Fadil sama sekali tak bicara soal rekreasi.

"Tenang saja, bulan depan Ibu akan minta sama Rizal buat belikan gelang untuk putri. Sekarang kita pulang yuk," ajak Bu Inggar setelah membayar gelang yang dipilihnya.

"Iya, Bu. Tapi beli daging dulu ya, Rizal kan minta dimasakin rendang," ucap Rindi mengingatkan sang ibu.

Lagi-lagi Jihan harus menahan rasa sesak di dalam hatinya kala mengetahui sang suami lebih memilih memberikan uang gajinya untuk sang ibu dan makan enak di sana tanpa mempedulikan anak dan istrinya di rumah.

"Kenapa kamu bisa lakukan semua ini, Mas. Baiklah, aku akan ikuti permainan kamu. Biar saja kamu setiap hari makan di rumah ibumu," geram Jihan dengan kedua tinju yang mengepal.

Jihan segera menghampiri Bu Inggar dan Rindi yang hendak keluar dari toko perhiasan itu.

"Ibu, Mbak Rindi." Panggilan Jihan membuat kedua wanita itu menghentikan langkah, Bu Inggar yang sedikit terkejut melihat kehadiran sang menantu berusaha untuk menetralkan ekspresinya.

"Eh, Jihan. Kamu di sini juga, mau ngapain?" tanya Bu Inggar berbasa-basi sembari menunjukan gelang yang telah melingkar cantik di pergelangan tangannya.

"Paling dia mau jual perhiasan, Bu. Eh, tapi dia kan nggak punya perhiasan. Atau jangan-jangan mau jual cincin nikahnya buat makan kali ya, Bu. Kasihan banget," ejek Rindi yang sengaja memanas-manasi Jihan.

"Iya, Mbak. Aku mau jual cincin nikah untuk makan karena nafkah untukku sudah direbut oleh ibu mertua dan kakak iparku!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau jihan. tolol koq dipelihara
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status