Anea terbangun dan mendapati sahabatnya berada di sisinya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Setelah beberapa saat ia baru mengingat semuanya.
Sahabatnya ini yang membantunya pulang, untung saja dia punya memiliki Mitha, kalau tidak mungkin ia akan sedikit kesal karena harus di bawa pulang oleh para bodyguard Mamy Han. Ia sama sekali tak menyukai hal itu.
Layar gawai sepertinya menarik untuk diperiksa, Anea mengutak-atik sekilas dan menutupnya lagi. Tak ada hal menarik untuk dirinya. Mencoba menoleh ke arah Mitha, tapi sepertinya tidurnya masih pulas. Lalu ia bangkit dari ranjang dan menarik hordeng jendela, sinar matahari berebut masuk ke ruangan.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki ia mencoba masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya di bawah shower. Setelah mandi tubuhnya menjadi terasa lebih segar. Tiba-tiba perutnya kembali memberi komando agar segera di isi. Anea malas turun ke bawah untuk sarapan di cafe seperti biasa, tubuhnya masih sedikit lemas untuk bergerak aktiv. Dengan tertatih ia melangkah kearah kulkas dan membukanya. Anea sedikit heran, seingatnya ia masih menaruh beberapa camilan di dalam kulkas. Tapi sekarang yang terlihat di kulkas hanya beberapa sayuran dan air putih.
Dalam keheranan ia menutup pintu kulkas dan saat berbalik, ekor matanya menangkap sebuah kaleng minuman di meja. Anea mengambilnya, ternyata kaleng itu kosong. Ia lalu memeriksa tempat sampah, bungkus camilan terlihat memenuhinya. Anea yakin, ini ulah Mitha. Dan sekarang dirinya harus terjebak dalam kelaparan dan tubuh yang masih lemas. Tak ada jalan lain. Satu-satunya cara harus turun untuk menemukan makanan di cafe langganan. Anea lantas membangunkan Mitha.
“hey pemalas, ayo cepat bangun!” Anea terus menggoncang tubuh Mitha yang masih enggan bangun.
“Ada apa sih ganggu, aku masih ngantuk.”
“kau harus tanggung jawab.”
“Tanggung jawab apa maksudmu, Ne?” Akhirnya Mitha membuka mata karena mendengar suara nyaringnya Anea.
“Kau menghabiskan makananku di kulkas, dan sekarang aku kelaparan.”
“ooh itu, hehe. Semalam aku kelaparan setelah memapahmu kesini. Apa kau lupa semalam kau mabuk berat. Harusnya kau berterimakasih padaku Anea, bukan memarahiku seperti ini. Dan jangan lupa fakta bahwa kau berat, Ne. Catat itu!”
Anea kesal saat Mitha bilang bahwa ia terlalu berat. Ia menjaga porsi makannya dengan baik agar tubuhnya proporsional dan tetap indah dimata lelaki. Lalu sekarang dengan gampang Mitha berkata jika ia berat? Ooh, itu sungguh kebohongan yang nyata terlihat.
“Aku tak seberat itu Mit, dan aku tak mau tahu sekarang kau harus temani aku mencari sarapan.”
“Baiklah.. baiklah, aku mengalah, Ne.”
Mitha menuju wastafel dapur dan mencuci muka disana. Anea mendelik melihat sikap sahabatnya itu.
“Kau cuci muka disitu?”
“Jika aku mandi dulu, aku yakin kau tak akan sabar menunggu kawan.”
“Kali ini kau memang benar. Tapi apakah kau tetap tak ingin mengganti bajumu?”
“Aku hanya perlu mengganti sandal, dan kita akan mencari makanan untuk obat kelaparanmu.”
Anea tersenyum geli dengan sifat unik Mitha, dan itu cukup menghiburnya pagi ini.
***
Dret..dret..dret
Gawai Anea bergetar pelan.
(Senin: waktunya pergi ke salon.)
Ternyata itu bunyi alarm yang ia atur untuk mengingatkan jadwal ke salonnya. Ia akan melakukan perawatan seluruh tubuh seminggu sekali dan kebetulan hari ini memang jadwalnya. Anea berniat mengajak Mitha sekalian.
“Hari ini jadwal ke salonku. Ayo pergi bersama.”
“Ide yang bagus, aku menyukainya.”
“Atau aku punya ide yang lebih bagus.”
“Apa itu?”
“Mari kita pergi shooping...”
“sepertinya kurang menyenangkan, Ne.”
“Apa kau bercanda? Kita pergi shooping dan bersenang-senang. Apakah ada hal yang lebih baik dari itu?”
“Aku ada janji dengan Deon siang ini. Kau tahu? Tidak ada hal yang lebih bagus daripada menghabiskan uangnya.”
“Perempuan licik... Hahaha.”
“Itu memang keahlian kita kawan.”Mitha ikut tertawa renyah.
“Apa kau ingin tidur dengannya siang hari? Terdengar tidak memuaskan bagiku.”
“Kenapa kau polos sekali sekarang, bukankah itu tugas malam kita. Siang hari adalah tugas mereka untuk memuaskan rasa lapar kita untuk belanja barang mewah. Seingatku kau bukan anak kemarin sore.”
“Kenapa kau menyindirku terus sekarang.”
“Kapan Ne? Aku tidak begitu. Ooh aku tahu, otakmu bermasalah karena Jan. Kau benar-benar terperangkap cinta dengannya sekarang?”
“Apa.. Jan? Kenapa kau menyebut namanya lagi. Aku sudah harus melupakannya, dia merugikanku.”
“Ooh firasatku benar. Anea kau harus pergi refresing agar tetap waras.”
“Sekarang kau menyebutku gila, entahlah kenapa kepalaku seperti mau meledak memikirkan ini.”
“Kau benar-benar gila karena Jan, Anea.”
***
Beberapa malam Jan tak mengunjungi Bar, juga tak ada sama sekali menghubungi Anea. Kerisauan semakin dirasakan wanita cantik ini. Mungkinkah dirinya benar-benar terperangkap dalam cinta Jan? Hal ini membuat kinerjanya diranjang dengan lelaki lain menurun. Hingga malangnya beberapa pelanggan mengeluhkan pelayanan Anea kepada Mamy Han. Wanita itu tak tinggal diam. Malam itu juga Mamy Han memperingatkan Anea.
“Aku menerima beberapa pengaduan tentang kau, Anea!”
“Mamy.. aku hanya...”
“Ada apa denganmu anak manis? Kau lebih banyak mabuk dari pada melayani tamu. Aku takut itu membuatku merugi.”
“maafkan aku mam, aku janji ini tak akan terulang lagi.”
“Aku mendengar kau sangat kacau karena seorang lelaki, apakah itu benar Anea?”
“Tidak mam, itu hanya sebuah gosip murahan.”
“Apa aku bisa mengharapmu lagi?”
“Percayalah padaku mam, please.”
“Baiklah, tapi ingat kau dalam pengawasan, Anea!”
Anea menghela nafas, Mamy Han sudah sampai menegurnya. Walaupun itu wajar karena memang dirinya terlihat begitu payah. Namun siapakah itu, orang yang mengatakan kepada Mamy Han jika dirinya kacau karena Jan. Meski Mamy Han tak menyebut langsung namanya, tapi Anea yakin mamy Han sudah mengetahui tentang kerumitan dirinya dengan lelaki tampan itu. Anea harus mencari tahu siapa penyebar berita tentang dirinya. Selama ini hanya Mitha yang menjadi keluh kesahnya, tak mungkin ia tega mengadu kepada Mamy Han. Mungkinkah seseorang sedang ingin menjatuhkannya sekarang. Sepertinya cukup menarik untuk diselidiki.
Ini pasti ulah orang di Bar ini, dan orang ini pasti membencinya. Entah karena suatu hal apa, yang jelas Anea memiliki musuh dari sekarang. Maka inilah saatnya Anea bertindak. Di tengah pesta hiruk pikuk terpampang, ia mengedarkan pandangaan menelisik setiap sisi dan..
Yap!!!
Target terlihat. Seorang pria bernama Richard.
Pria macho berkulit sedikit pucat itu selalu terlihat menarik bagi wanita disini. Bagaimana tidak, tubuhnya yang ideal, wajah bule dan tentu saja kekayaan berlimpah membuat siapapun tergila-gila. Dia adalah pemilik perusahaan industri plastik yang sangat sukses. Berasal dari Amerika dan sudah berkeluarga, itu info yang sering terdengar.
Dia sesekali terlihat di Bar ini untuk sekedar minum bersama rekan bisnisnya. Tetapi sifatnya yang dingin sulit untuk ditakhlukan oleh wanita, beberapa dari kami silih berganti menawarkan jasa namun yang terjadi adalah penolakan. Dia hampir tidak pernah memakai jasa service disini, entah apa sebabnya. Itu hampir, tapi bukan berarti tidak pernah bukan?
Tercatat ada seorang wanita yang pernah dipakainya, dialah Clara sang primadona di sini.
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid
"Apa? Bagaimana bisa kau tidak tahu?"Anea menggeleng. Rasa panik menyergapnya seketika, seluruh sendi rasanya melemah. July yang melihat Anea syok segera mengambil Albian dari gendongan ibunya."Mari kita ke rumahku!" July menyambar lengan Anea dengan setengah memaksa agar Anea menuruti."Apa kau tahu di mana Jan pindah, July?"Ingin sekali July mengatakan "iya" pada pertanyaan Anea barusan. Tetapi sayang sekali, ia harus menjawab yang sebenarnya. Gelengan kecil July menambah sempit hati Anea."Apa kau benar-benar tak mengetahuinya? Mungkin Jan pernah bilang sesuatu atau petunjuk apa pun itu. Ayolah July... bantulah aku!" Jemari Anea meraih July seraya memohon."Maafkan aku Anea. Tapi aku benar-benar tidak mengetahui apa pun."Air mata telah di ambang pintu. Jika Anea tidak malu dengan July yang telah bersikap baik padanya, mungkin sekarang Anea telah menangis meraung-raung dan berkali memaki Jan. Sayang sekali, kali ini Anea hanya m
"Aku minta kau berubah Jan! Ingatlah dengan Albian." Ungkap Anea sebelum benar-benar mninggalkan Jan lagi.Setelah dua hari di kota, Anea harus kembali ke kampung. Sebenarnya Anea sangat takut jika Jan mengulangi kesalahannya lagi."Aku khilaf Anea. Jiwa laki-laki ku berontak setelah sekian lama tak mendapat pelampiasan." Kilah Jan saat mereka berdebat.Akhirnya Anea mengalah dan memih memaafkan Jan. Anea pun sadar jika godaan Jan yang ditinggal seorang diri memang besar. Namun Anea memperingati Jan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Pesawat membawa raga Anea terbang meninggalkan Jan lagi. Hatinya terus berdoa agar Jan benar-benar menepati Janji. Meski dalam hati kecil Anea, mengatakan Jan akan kembali berulah jika Anea terus meninggalkannya seorang diri. Maka dari itu, sepanjang perjalanan Anea memikirkan jika ia akan kembali tinggal bersama di kota.Kembali menjadi keluarga yang utuh. Ya... mungkin memang
Tiga bulan sudah semenjak Jan menikmati kegadisan Adelia. Sejak itu pula ia merasa ketagihan dan tak putus berganti wanita.Jan semakin melupakan Anea dan Albian. Nafkah untuk mereka pun, dengan tega ia pangkas seminim mungkin. Uang yang ia punya habis untuk berfoya-foya dan bermain wanita.Tanpa Jan sadari, ia telah menelantarkan keluarga kecilnya yang berada jauh dari jangkauan."Sudah lewat tanggal gajian. Mengapa belum transfer uang, sayang?" Tanya Anea lewat pesan singkat di gawainya.Setelah membaca pesan dari istrinya, Jan malah merasa jengkel dengan itu. Susah-susah ia bekerja malah harus memberikan uangnya pada Anea. "Mengapa ia tak bekerja saja seperti dulu?" Pikir Jan saat ini yang tengah kacau. Hari-hari Jan berlalu tanpa absen dengan para wanita bar. Gajinya habis untuk kesenangan itu. Bahkan saat ini ia mengambil hutang lagi di kantor, setelah melunasi huta