Saat itu Richard langsung meminta sendiri kepada Mamy Han, dan Mamy Han tanpa pikir panjang langsung menunjuk Clara. Itu hanya sekali terjadi karena setelahnya walaupun berkali-kali Clara menggoda, Richard tak tertarik lagi. Bahkan yang terakhir lebih parah karena Richard berkata kasar pada Clara.
"Jangan pernah menggangguku lagi jalang, atau kau tidak akan bisa bercermin lagi besok pagi karena aku akan mencabik-cabik wajahmu itu!"
Begitulah kata-kata Richard untuk Clara, semenjak itu Clara tak berani lagi menggodanya. Padahal menurut desas-desus malam itu Richard membayar mahal sebesar lima puluh juta untuk semalam, aneh bukan? Jika tak puas dengan pelayanan Clara mengapa ia membayar dengan begitu mahal, namun jika ia sangat puas dengan Clara mengapa tak tergoda lagi oleh rayuannya. Anea berfikir keras dengan itu.
Lihatlah, pria itu selalu tampak dingin, pakaiannya sangat elegan, dan pasti memesan minuman termahal disini. Anea telah memikirkan sebuah ide cemerlang. Dengan perlahan ia mendekati Richard, langkahnya sempat ragu bagaimana jika ia mendapat penolakan seperti yang lainnya. Ah, masa bodo dengan konsekuensi, Anea harus berusaha jika ingin mengembalikan kepercayaan Mamy Han. Ketika Richard meletakan gelas cantik itu di atas meja, Anea telah duduk di depannya dan detik berikutnya Anea tanpa ragu meminum anggur termahal itu sampai habis. Ini adalah hal gila, bahkan Anea sendiri seakan tak percaya jika ia melakukannya.
“Aku selalu penasaran dengan rasanya, ini anggur termahal ditempat ini. Bahkan Mamy Han tak mengijinkan kami mengambilnya.”
“Kau mengerti jika itu termahal disini, dan baru saja kau mencurinya dariku.”
“ooh maafkan aku.. aku terlalu ingin mencicipi minuman ini. Haruskah aku membayarnya sekarang?”
“Kau tidak sanggup membayarnya jika itu mencuri dariku.”
“Kau benar tuan, pasti sangat mahal harganya. Aku tak punya uang sebanyak itu, lalu dengan apa aku membayar semua?”
Anea berkata dengan wajah manja dan memelas, siapapun tahu kalau sekarang ia berusaha menggoda Richard.
“Kau gadis pemberani.”
Anea hanya tersenyum nakal, ia berasumsi bahwa idenya berjalan mulus kali ini.
“Bayarlah dengan mahal apa yang kau curi dariku gadis manis.” Richard berbisik di telinga Anea.
Senyum Anea mengembang, ia bangkit dari duduknya. Bergelayut manja dilengan Richard dan melangkah melewati keramaian. Teman-teman Anea tercengang melihatnya. Apa ini tak salah lihat? Anea berhasil merayu Richard? Teman-teman yang lain juga sangat iri saat ini. Mereka bertanya-tanya bagaimana Anea bisa merayu lelaki dingin itu dengan mudah. Ada yang lebih dari sekedar iri kepada Anea, itu Clara. Dia memandang benci terhadap Anea. Sorot matanya jelas terlihat sangat kesal dengan apa yang dilihat sekarang. Mungkin juga merasa akan tersaingi, entahlah biarkan saja semuanya terjadi.
Anea menuntun Richard menuju kamar VVIP, kamar itu hanya bisa digunakan seijin Mamy Han. Tapi dengan tamu yang dia bawa sekarang, Anea yakin ia tak perlu meminta ijin terlebih dahulu, Mamy Han pasti akan sangat menyetujuinya.
Anea berjalan seperti di atas angin. Banyak pasang mata yang melirik mereka berdua. Dari kejauhan Mamy Han melihat mereka juga, reflek saja langsung berdiri. Mamy Han bahkan terpukau oleh aksi Anea. Gadis jangkung berkulit sawo mentah itu bukanlah primadona disini, tetapi dia berhasil melakukan hal yang tidak bisa dilakukan primadona disini sekalipun, terlebih dia baru saja membuat kesalahan dan sedang dalam masa pengawasan. Sepertinya masa pengawasan Anea akan di cabut dalam waktu dekat.
Pintu dikunci dari dalam setelah mereka memasukinya. Anea berpikir apa yang harus ia lakukan sekarang, apa sama seperti melayani tamu lainnya? Atau bagaimana? Tiba-tiba Richard membelai wajah Anea. Mungkin ini tak terlalu sulit, pikir Anea. Tetapi detik berikutnya keadaan berbalik, Richard mendadak diam dan ragu menyentuh Anea kembali. Bahkan detik berikutnya ia malah berbaring diatas ranjang dengan pikiran yang menerawang.
“apa ada yang salah dengan diriku?”
Richard menghela nafas dan memandang Anea.
“Tidak.”
“Lalu kenapa? Apa aku tak menarik?”
“Aku memikirkan istriku.”
“ooh, maaf.”
Keduanya sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Anea menjadi canggung dengan keadaan ini.
“Tahu kah kamu, aku berusaha sekuat tenaga mencintai dan mencoba setia terhadap istriku. Tapi aku tetap lelaki normal yang butuh kepuasan. Berada jauh darinya sangat menyiksaku, tapi disisi lain aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku di sini.”
Panjang lebar Richard bicara, Anea mendengarkan dengan seksama. Jadi itu alasan mengapa Richard sulit sekali di goda oleh wanita. Hal ini sekaligus mematahkan praduga beberapa orang jika Richard adalah pria yang tak normal. Yang terparah ada yang menuduhnya sebagai gay. Sebuah tuduhan tanpa bukti yang menjijikan!
“Mengapa kau tak mengajak istrimu kemari? Kalian bisa tinggal bersama dengan tenang di sini”
“Anakku bersekolah di Amerika.”
“Kau bisa dengan mudah mencari sekolah terbaik disini, bahkan jika putramu tak dapat berbahasa Indonesia kau bisa memasukkannya di International school.”
“Ibuku sudah tua dan sakit-sakitan. Istriku tak bisa meninggalkannya karena sangat menyayangi mertuanya itu. Dia wanita yang sangat baik.”
“Aku mengerti posisimu. Tapi mengapa kau sering datang kesini?”
“Untuk menghilangkan rasa bosanku, lagipula rekanku mengajak kesini tak mungkin aku menolak. Bisa kacau pekerjaanku jika tak mengikuti kemauan klien.”
“Oooh, aku memahami itu.”
“Apalagi anggur disini sangat cocok untukku, aku hampir tidak bisa menemukannya di tempat lain.”
“Dan aku baru saja mencurinya darimu.”
“Aku hampir lupa jika kau harus membayar mahal untuk apa yang kau curi!”
Anea mendekat perlahan kearah Richard, ia membelai dada bidangnya.
“Kalau begitu, aku siap membayarnya.”
Anea mencium lembut bibir Richard dan Richard membalas ciuman Anea. Richard semakin intens mencium dan meraba tubuh Anea. Hasratnya tak dapat dibendung lagi, pakaian yang ia kenakan dilepas dengan kasar satu perstu. Kini mereka telah diposisi berpelukan tanpa sehelai benangpun. Dengan penuh birahi Richard akhirnya menuntaskan kebutuhannya dan menjamah tubuh Anea tanpa ampun.
Ternyata tenaga Richard sangat tangguh, Anea hampir kualahan dibuatnya. Dengan sekuat daya ia berusaha mengimbangi permainan. Meski tak dapat dipungkiri Anea juga sangat menikmati aktivitas yang diberikan Richard. Pasti ini akan menjadi salah satu malam yang akan dikenang selalu oleh Anea.
Lenguhan panjang akhirnya terdengar setelah Richard berhasil menuntaskan hasrat. Deru nafasnya masih memburu, Anea tak kalah sama dengannya. Badannya lemas tak berdaya dibuat Richard. Tak disangka tenaga Richard tak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Hal itu membuat Anea kagum. Bukan hanya Richard yang terpuaskan malam ini, dalam hati kecilnya pun Anea mengaku jika ia sangat terpuaskan dengan kelelakian Richard. Malah ia berharap dapat mengulanginya lagi lain waktu. Anea memang gila! Namun ketika ini akan berakhir, hal tak terduga terjadi. Ada apa? Tiba-tiba sepintas bayangan Jan terbesit dalam otaknya.
Oh, shit!
Mengapa disaat seperti ini ia masih mengingat nama itu, begitu merusak moodnya saja. Tidakkah otaknya tahu jika saat ini Anea tengah berbahagia tanpa harus dipusingkan oleh Jan.
Jan! Kau memang masalah besar untukku.
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid
"Apa? Bagaimana bisa kau tidak tahu?"Anea menggeleng. Rasa panik menyergapnya seketika, seluruh sendi rasanya melemah. July yang melihat Anea syok segera mengambil Albian dari gendongan ibunya."Mari kita ke rumahku!" July menyambar lengan Anea dengan setengah memaksa agar Anea menuruti."Apa kau tahu di mana Jan pindah, July?"Ingin sekali July mengatakan "iya" pada pertanyaan Anea barusan. Tetapi sayang sekali, ia harus menjawab yang sebenarnya. Gelengan kecil July menambah sempit hati Anea."Apa kau benar-benar tak mengetahuinya? Mungkin Jan pernah bilang sesuatu atau petunjuk apa pun itu. Ayolah July... bantulah aku!" Jemari Anea meraih July seraya memohon."Maafkan aku Anea. Tapi aku benar-benar tidak mengetahui apa pun."Air mata telah di ambang pintu. Jika Anea tidak malu dengan July yang telah bersikap baik padanya, mungkin sekarang Anea telah menangis meraung-raung dan berkali memaki Jan. Sayang sekali, kali ini Anea hanya m
"Aku minta kau berubah Jan! Ingatlah dengan Albian." Ungkap Anea sebelum benar-benar mninggalkan Jan lagi.Setelah dua hari di kota, Anea harus kembali ke kampung. Sebenarnya Anea sangat takut jika Jan mengulangi kesalahannya lagi."Aku khilaf Anea. Jiwa laki-laki ku berontak setelah sekian lama tak mendapat pelampiasan." Kilah Jan saat mereka berdebat.Akhirnya Anea mengalah dan memih memaafkan Jan. Anea pun sadar jika godaan Jan yang ditinggal seorang diri memang besar. Namun Anea memperingati Jan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Pesawat membawa raga Anea terbang meninggalkan Jan lagi. Hatinya terus berdoa agar Jan benar-benar menepati Janji. Meski dalam hati kecil Anea, mengatakan Jan akan kembali berulah jika Anea terus meninggalkannya seorang diri. Maka dari itu, sepanjang perjalanan Anea memikirkan jika ia akan kembali tinggal bersama di kota.Kembali menjadi keluarga yang utuh. Ya... mungkin memang
Tiga bulan sudah semenjak Jan menikmati kegadisan Adelia. Sejak itu pula ia merasa ketagihan dan tak putus berganti wanita.Jan semakin melupakan Anea dan Albian. Nafkah untuk mereka pun, dengan tega ia pangkas seminim mungkin. Uang yang ia punya habis untuk berfoya-foya dan bermain wanita.Tanpa Jan sadari, ia telah menelantarkan keluarga kecilnya yang berada jauh dari jangkauan."Sudah lewat tanggal gajian. Mengapa belum transfer uang, sayang?" Tanya Anea lewat pesan singkat di gawainya.Setelah membaca pesan dari istrinya, Jan malah merasa jengkel dengan itu. Susah-susah ia bekerja malah harus memberikan uangnya pada Anea. "Mengapa ia tak bekerja saja seperti dulu?" Pikir Jan saat ini yang tengah kacau. Hari-hari Jan berlalu tanpa absen dengan para wanita bar. Gajinya habis untuk kesenangan itu. Bahkan saat ini ia mengambil hutang lagi di kantor, setelah melunasi huta