Dentingan sendok beradu dengan gelas membuat suara khas. Anea baru saja selesai membuat jus buah pagi ini. Melon dan alpukat menjadi pilihannya.
Tring!
Dua potong roti telah selesai di panggang dan menyembul ke atas. Anea mengambilnya dan menambahkan selai strawberry di atasnya. Kemudian membawanya ke atas meja dan menyandingkan dengan jus yang tadi. Hmm.. Sarapan yang yummy, terlihat begitu menggoda ditengah perutnya yang keroncongan. Anea melahapnya sedikit demi sedikit sambil menonton televisi yang menyiarkan sebuah acara gosip di pagi hari.
Ini hari minggu, mungkin ia akan berjalan-jalan ke mall sebentar nanti siang. Ia berencana membeli beberapa pasang baju dan make up baru. Anea bersenandung lirih ketika mengganti baju dan sesaat setelah baju itu terpakai seseorang memencet bel apartmen nya.
“Hmmm.. apakah itu Mitha” batin Anea. Ia melangkah menuju pintu hendak membukanya. Ketika pintu terbuka seseorang menyambutnya dengan sebuket bunga. Anea memandang kepada pemberi hadiah tersebut, dengan gembira ia menerimanya.
“Apakah ini waktu yang tepat untuk memberi sebuket bunga, Jan?”
“Selalu tepat jika penerimanya dirimu.”
“Kau tiba-tiba datang dan memberiku kejutan, apakah aku harus terkesan karena itu?”
Jan terkekeh setelahnya. Selalu menyenangkan baginya jika berada di dekat Anea. Tak heran jika ia begitu rindu setelah beberapa hari tak bertemu.
“Apa kau sibuk hari ini?” Jan memperhatikan penampilan Anea, sepertinya ia akan pergi keluar.
“Sedikit, ada apa?”
“Kau membiarkanku kecewa setelah aku bersusah payah mendatangimu?”
“Apa kau kesini berjalan kaki dengan menyebrangi laut dan mendaki gunung kemudian menyusuri lembah? Aku Rasa tidak. Dimana letak bersusah payah-mu Jan?”
“Anea.. kemarilah..” Jan memegang kedua bahu Anea dan menatapnya.
“Apa kau sedang marah denganku karena tak memberimu kabar?”
“Kamu terlalu percaya diri.”
“Anea....”
“Apa?”
“Lihat mataku.”
“Aku melihat kedua bola matamu dan tidak ada yang aneh dengannya.”
“Aku mengerti jika kau tidak akan mengatakannya, jadi biarlah aku yang berbicara.” Jan menjeda kalimatnya sejenak.
“Aku merindukanmu Anea. Sangat merindukanmu.”
Anea hanya menatap Jan dengan diam, ia bingung harus mengatakan apa. Beberapa hari yang lalu dia baru saja mengabaikannya dan sekarang ia mengaku rindu? Haruskah Anea mengaku jika ia juga amat merindukan Jan? Tetapi ia pikir terlalu gengsi untuk mengatakan itu.
“Kenapa kau mengatakan itu?”
“Dengar Anea, mungkin ini saat yang tidak tepat untuk mengatakannya. Tapi aku merasa ini harus disampaikan...”
Hati Anea semakin berdebar, ia menanti kata-kata Jan berikutnya.
“Aku mencintaimu Anea.”
Tentu saja ia hampir tak percaya jika Jan berani mengungkapkan perasaannya kepada Anea. Anea bergerak memeluk Jan dan Jan membalas pelukan, anehnya tiba-tiba bahu Anea terguncang.
“Kenapa kau malah menangis? Apa aku salah jika aku mencintaimu?”
“Mengapa kau mencintaiku Jan, gadis sepertiku tidak pantas untuk di cintai.”
“Sttt.. diamlah, jangan bicara seperti itu. Wanita cantik dan lembut sepertimu sangat cocok untuk dicintai.”
Tangisan Anea reda setelah Jan berusaha menenangkannya. Anea tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Benarkah dirinya harus bahagia karena ia sudah mendapatkan cinta Jan, tetapi mengapa Jan tiba-tiba menyatakan cinta. Sepertinya itu hal yang terlalu cepat.
Jan bilang ingin membuatkannya teh hangat agar rileks. Anea menunggu dengan gusar, lalu mengambil gawai untuk menutupi kegugupannya. Jan membawakan minuman kepada Anea yang terbaring di ranjang sambil tersenyum. Diterimanya minuman itu dengan hati-hati.
“Kenapa hanya satu, mana punyamu?”
“Hey, bukankah kita bisa minum berdua sekarang. Bukankah aku dan kamu telah menjadi satu saat ini?”
Tersanjung dengan kata-katanya pipi Anea merona. Jan tertawa kecil dan mencium kening Anea.”
“Kenapa kau mencium keningku tiba-tiba?”
“Lalu apa yang harus kucium?”
Jan menggelitik gemas tubuh Anea, karena kegelian Anea menggelinjang dan tertawa. Karena terus di gelitik ia semakin mundur dan menjatuhkan kembali badannya dikasur. Tetapi Jan tidak mau mundur seolah tak mau kehilangan mangsa.
“Berhenti ..Jan, sudah cukup..”
Bukannya berhenti Jan malah semakin menggelitik Anea, tanpa disadari tubuh Anea sudah terpojok tubuh Jan. Mereka bersitatap sejenak lalu tanpa dikomando Jan mencium bibir Anea, detik berikutnya lalu melepaskan baju mereka dan akhirnya terjadilah pertarungan diranjang Anea.
***
Setelah rencananya pergi ke mall terjeda karena Jan, Anea akhirnya menuntut Jan untuk menemaninya berbelanja. Jan pun tak bisa menolak itu. Mereka segera bersiap kembali dan menuruni lift menuju mobil. Jan membukakan pintu mobil untuk kekasihnya itu.
Bukankah mereka sekarang pasangan kekasih setelah Jan menyatakan cintanya terhadap Anea? Ya, walaupun Anea tak menjawab dengan pasti apakah ia juga mencintai Jan, tetapi air matanya sungguh memberikan jawaban yang tak berdusta.
“Silahkan Nona Anea...” Ucapan Jan terhenti. Ia hendak mengucapkan nama lengkap Anea tetapi ia lupa, hal yang menyedihkan memang untuk pasangan baru. Ia pernah bertanya pada Anea nama lengkapnya ketika pertama kali bertemu di Bar. Itu sekitar 6 bulan lalu saat Ian mulai memasuki dunia Bar.
Meskipun Jan sudah berada di Indonesia cukup lama yaitu sekitar dua tahun, namun baru beberapa bulan ini ia tertarik dengan dunia malam. Hal ini dikarenakna ia kesepian setiap malam harus berada di Apartment sendirian tanpa kawan. Selain itu juga karena ia baru mengusai bahasa Indonesia belum lama ini. Dan setelah mengenal dunia malam ini Jan akhirnya mengenal Anea.
Cuaca sedikit panas hari ini. Ditambah Dengan kemacetan memperparah suasana, meskipun sudah memakai AC namun keringat tetap menerobos keluar. Anea mengambil beberapa lembar tisu, menyeka pelipis Jan yang dipenuhi keringat.
“Nampaknya kau belum bisa berdamai dengan udara di kota ini, lihat keringatmu yang terus keluar meskipun mobilmu sudah dilengkapi AC.”
“Aku memang tidak terbiasa dengan cuaca disini, tapi aku terbiasa denganmu.”
“Kau konyol sekali.”
Jan hanya terkekeh, kemudian fokus dengan kemudinya lagi.
“Kenapa kau tadi berhenti ketika menyebut namaku?”
“Kapan itu”?
“Saat kau membukakan pintu untukku.”
“Tidak ada yang salah dengan tadi, kenapa kau bertanya?”
“Ucapanmu seperti terputus tadi, Jan..”
“Ooh iya, itu. Hehe..”
“Jannn...”
“Kenapa?”
“Bicaralah, kau membuatku penasaran.”
“Baiklah... aku bicara. Ucapanku terputus karena aku lupa siapa nama panjangmu.”
“Apa..!!!”nada Anea meninggi.
“Anea, apa kau marah?Hey.. Kenapa..? Bukankah aku sudah bicara.”
“Kenapa kau sampai lupa namaku, hah?”
“Bukan nama mu, hanya nama panjangmu.”
“Itu sama saja.”
“Itu tidak sama. Sekarang begini saja, apakah kau ingat siapa nama panjangku? Pasti tidak kan, aku sudah bisa menebaknya.”
“Aku ingat. Dengar Jan aku tidak sepertimu yang lupa dengan nama pasangannya sendiri.”
“Wow.. apa menurutmu sekarang kita adalah pasangan yang serasi?
“Apa..?” Anea menatap tajam kearah Jan.
“Lihatlah Anea, sekarang kita bertengkar di mobil. Bukankah itu salah satu tanda pasangan yang serasi.”
“Bagaimana kau menyimpulkan seperti itu.”
“Emmm...lupakanlah. sekarang beri tahu aku jika kau benar-benar ingat siapa nama panjangku.”
“haruskah?”
“Kecuali jika kau memang lupa.”
“Park Jan Soo. Apa itu cukup?”
“Kau benar-benar mencintaiku Anea, kau ingat segalanya tentangku.”
Anea merasa diledek Jan dan ia pun mencubit Jan dan memukul kecil dadanya.
“Kau memang keterlaluan Jan...!”
“Bukankah aku benar, Anea?”
“Lalu kenapa kau tak mengingat namaku? Apa itu berarti kau tak mencintaiku?”
Jan menoleh sekilas.
“Apa kau meragukanku?”
“Bagaimana jika itu benar?”
“Percayalah padaku, aku tidak benar-benar lupa. Kau memberi tahuku di Bar dengan suara musik yang keras, sesungguhnya aku hanya tidak mendengar suaramu dengan jelas.”
“Ooh..” hanya sepatah kata yang ia ucapkan, bahkan itu lebih mirip gumaman.
“Sekarang beri tahu aku dengan jelas siapa nama panjangmu yang cantik itu?”
“Mengapa aku harus memberi tahumu?”
“Karena kau adalah kekasihku, Anea. Sekarang berhenti bertanya dan jawab pertanyaan ku!”
“Hmm.. Anea Heswara.
“Anea Heswara? Hmm kedengarannya nama yang aneh.”
“Kau mulai lagi Jan!”
“Tidak sayang, maksudku begini....”
“Berhentilah bicara, bahkan namamu juga terlihat bodoh. Aku belum pernah mendengar orang Korea memakai nama sepertimu, Jan. Haha nama apa itu.”
“Aku juga tidak suka dengan namamu. Apa? Heswara ?nama apa itu! Terdengar tidak menyenangkan.”
“Aku sudah bilang berhenti bicara Jan, itu nama Ayahku!”
“Ooh..aku minta maaf.”
“Ya.”
“Aku tidak tahu itu, Anea.”
“Berhenti Jan!”
“Aku sungguh tidak tahu.”
“Sudah kubilang berhenti!”
“Kenapa?”
“Apa kau tak melihat, Jan? Kau melewatkan mall nya.”
“Kenapa kau tak bilang dari tadi? Aku harus putar balik jadinya.”
“Aku sudah bilang berhenti, tapi kau tetap maju.”
“Hmm.. ya sudahlah.”
Pertengkaran kecil yang mereka lakukan sesunggugnya membuat Anea lebih bahagia. Mereka tidak benar-benar saling menyalahkan, melainkan saling menggoda.
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid
"Apa? Bagaimana bisa kau tidak tahu?"Anea menggeleng. Rasa panik menyergapnya seketika, seluruh sendi rasanya melemah. July yang melihat Anea syok segera mengambil Albian dari gendongan ibunya."Mari kita ke rumahku!" July menyambar lengan Anea dengan setengah memaksa agar Anea menuruti."Apa kau tahu di mana Jan pindah, July?"Ingin sekali July mengatakan "iya" pada pertanyaan Anea barusan. Tetapi sayang sekali, ia harus menjawab yang sebenarnya. Gelengan kecil July menambah sempit hati Anea."Apa kau benar-benar tak mengetahuinya? Mungkin Jan pernah bilang sesuatu atau petunjuk apa pun itu. Ayolah July... bantulah aku!" Jemari Anea meraih July seraya memohon."Maafkan aku Anea. Tapi aku benar-benar tidak mengetahui apa pun."Air mata telah di ambang pintu. Jika Anea tidak malu dengan July yang telah bersikap baik padanya, mungkin sekarang Anea telah menangis meraung-raung dan berkali memaki Jan. Sayang sekali, kali ini Anea hanya m
"Aku minta kau berubah Jan! Ingatlah dengan Albian." Ungkap Anea sebelum benar-benar mninggalkan Jan lagi.Setelah dua hari di kota, Anea harus kembali ke kampung. Sebenarnya Anea sangat takut jika Jan mengulangi kesalahannya lagi."Aku khilaf Anea. Jiwa laki-laki ku berontak setelah sekian lama tak mendapat pelampiasan." Kilah Jan saat mereka berdebat.Akhirnya Anea mengalah dan memih memaafkan Jan. Anea pun sadar jika godaan Jan yang ditinggal seorang diri memang besar. Namun Anea memperingati Jan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Pesawat membawa raga Anea terbang meninggalkan Jan lagi. Hatinya terus berdoa agar Jan benar-benar menepati Janji. Meski dalam hati kecil Anea, mengatakan Jan akan kembali berulah jika Anea terus meninggalkannya seorang diri. Maka dari itu, sepanjang perjalanan Anea memikirkan jika ia akan kembali tinggal bersama di kota.Kembali menjadi keluarga yang utuh. Ya... mungkin memang
Tiga bulan sudah semenjak Jan menikmati kegadisan Adelia. Sejak itu pula ia merasa ketagihan dan tak putus berganti wanita.Jan semakin melupakan Anea dan Albian. Nafkah untuk mereka pun, dengan tega ia pangkas seminim mungkin. Uang yang ia punya habis untuk berfoya-foya dan bermain wanita.Tanpa Jan sadari, ia telah menelantarkan keluarga kecilnya yang berada jauh dari jangkauan."Sudah lewat tanggal gajian. Mengapa belum transfer uang, sayang?" Tanya Anea lewat pesan singkat di gawainya.Setelah membaca pesan dari istrinya, Jan malah merasa jengkel dengan itu. Susah-susah ia bekerja malah harus memberikan uangnya pada Anea. "Mengapa ia tak bekerja saja seperti dulu?" Pikir Jan saat ini yang tengah kacau. Hari-hari Jan berlalu tanpa absen dengan para wanita bar. Gajinya habis untuk kesenangan itu. Bahkan saat ini ia mengambil hutang lagi di kantor, setelah melunasi huta