Share

Terjatuh.

~Senyapkan keluhmu, keraskan syukurmu.~

            🥳🥳🥳🥳🥳🥳🥳🥳

"Benarkah?" David meraih gelas berisi kopi, menyeruput pelan, lalu menyimpannya kembali. "Semoga pernikahan Paman dan Bibi langgeng terus."

"Aamiin," ujar Pak Deni.

Percakapan mereka selanjutnya membahas tentang sekolah Larisa. Anak perempuan itu menginginkan masuk kuliah di salah satu universitas ternama di Ibu Kota. Dimas sudah mempersiapkan dananya, ia juga telah mewanti-wanti Larisa untuk belajar dengan baik tanpa harus mengkhawatirkan tentang biaya.

"Paman bangga sama kamu, Nak," ungkap Pak Deni. 

David tersenyum.

Malam semakin larut, David pamit masuk ke kamar. Ia harus beristirahat agar bisa bangun dengan segar di esok hari. Banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Termasuk membimbing para bawahannya di sana. Tanggung jawabnya memang bukan hanya di keluarga. Pekerjaan pun begitu besar. Maka dari itu, ia berusaha sebaik mungkin untuk tetap menjadi atasan yang baik dan supel bagi mereka.

🤗🤗🤗🤗🤗🤗

Suara azan Subuh berkumandang ketika Aisyah sudah selesai mandi. Sudah menjadi rutinitasnya, jika ia selalu mandi sebelum Subuh. Hal ini bertujuan agar ia lebih segar ketika menjalankan salat.

Aisyah mengambil mukena, menghamparkan sajadah, dan memulai salat. Udara segar masuk menerobos celah jendela. Rumahnya memang tak luas, tetapi cukup untuk hidup berdua.

Gerakan salat dilakukan dengan khusu. Aisyah berusaha fokus. Tidak perlu waktu lama, hanya cukup 5 sampai 10 menit salat pun selesai. Aisyah berdoa lebih dahulu sebelum akhirnya melepaskan mukena, dan menyimpannya kembali ke tempat semula.

"Ibu, udah di dapur kayaknya," gumam Aisyah yang mendengar suara bising. 

Tidak berlama-lama, Aisyah bergegas keluar kamar. Tak ada orang lain di sini, jadi ia bisa dengan bebas ke sana ke mari tanpa memakai jilbab.

Sesampainya di dapur, perkiraannya benar. Sang Ibu sedang menghangatkan makanan sisa semalam. Tampak juga jejeran berbagai macam gorengan yang akan dijajakan selepas Subuh ini.

"Bu, udah selesai goreng? Maaf, Aisyah enggak bantu," sesalnya.

Bu Fatimah menoleh, wanita paruh baya yang masih terlihat segar dan cantik itu tersenyum. "Enggak apa-apa, Sayang. Bisa bantu Ibu pindahin ini ke depan. Pasti udah ada pelanggan yang nunggu."

"Baik, Bu."

Aisyah menurut. Ia membawa satu per satu nampan berisi gorengan keluar. Tidak lupa macam-macam lauk dan nasi uduk yang akan dijual hari ini. 

Hasil jualan ini mungkin tak seberapa. Akan tetapi, sangat membantu perekonomian mereka. Aisyah sering mengatakan pada ibunya untuk berhenti berjualan. Ia tak tega melihat sang Ibu harus berjibaku di dapur dari sebelum Subuh. Meskipun selepas Magrib ia selalu membantu menyiapkan sayuran dan lauk yang akan dimasak oleh ibunya nanti. Tetap saja ia merasa sering bersalah.

Aisyah kembali ke dapur. Bu Fatimah sudah menyimpan sisa telur balado yang belum habis tadi malam. Niatnya, telur itu akan ia makan sebagai lauk sarapan pagi ini. Dan, untuk Aisyah sendiri, ia sudah menyiapkan telur goreng.

"Kamu sarapan dulu, Nak. Ibu mau layanin pembeli dulu," kata Bu Fatimah.

Melihat ibunya yang kelelahan, kali ini Aisyah menolak. Ia membimbing Bu Fatimah ke meja makan, mendudukkannya di kursi seraya berkata, "Ibu, sebaiknya istirahat dulu. Sarapan dulu aja. Biar Aisyah yang di depan."

"Jangan, Nak. Nanti kamu capek."

Aisyah menggeleng. "Capeknya Aisyah enggak sebanding dengan perjuangan Ibu membesarkan Aisyah sampai sekarang."

Bu Fatimah terharu. Ia mengelus lembut tangan anak perempuan satu-satunya. "Nak, Ibu berharap bisa liat kamu menikah sebelum ajal menjemput."

"Ibu …," lirih Aisyah.

Pipi mulus milik Aisyah terbasahi oleh air mata. Ia tidak kuasa menahan, hingga keluar tanpa diminta.

"Jangan sedih. Semua manusia memang akan menemui takditnya." Bu Fatimah terus mengelus tangan kanan Aisyah. "Kamu pakai jilbab dulu, ya, baru keluar rumah, dan buka pagar."

Aisyah mengangguk. "Iya, Bu."

Dengan langkah lemah Aisyah meninggalkan ibunya menuju kamar. Ia mengusap pelan jejak kemalangan yang hadir beberapa saat. Bukan tidak ingin menikah. Hanya saja rasa trauma dan bayangan menakutkan itu terus terulang di pikirannya. Ia masih memendam ketakutan terdalam. Terlebih, mengingat hujatan orang lain tentang dirinya.

Singkat cerita Aisyah telah berada di luar dengan memakai jilbab. Ia melayani satu per satu pembeli yang datang. Harga untuk satu porsi nasi uduk lengkap dengan telur balado, orek tempe, kerupuk, bihun, juga sambal hanya berkisar 10 ribu. Harga yang masih relatif dan terjangkau bagi pembeli. Namun, ada yang berbeda jika di hari Jumat. Ia dan ibunya akan meng-gratiskan semua jualan sampai habis. Makanya, banyak sekali pembeli yang berdatangan dan menyukai masakan Bu Fatimah. Selian enak, Bu Fatimah pun terkenal baik dan ramah. Begitu pun dengan Aisyah. Bukankah buah tidak jatuh dari pohonnya?

Hanya sekitar setengah jam jualan Aisyah habis tidak tersisa. Ia bersyukur. Setidaknya hari ini ibunya mendapatkan banyak keuntungan. Begitu selesai melayani, Aisyah bergegas ke dalam. Sang Ibu pun sudah selesai makan. 

"Alhamdulillah, sudah habis, Bu," kata Aisyah.

"Alhamdulillah. Cepet banget, Nak?" tanya Bu Fatimah.

"Iya, tadi Abang Farid borong 20 bungkus nasi uduk sekaligus."

"Farid yang preman pasar itu?"

"Iya, Bu."

"Anak itu baik sebenarnya. Ibu sering liat dia bagi-bagi uang sama anak-anak yatim."

Aisyah diam. Ia teringat kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya melewati pasar. Ia mendapati Farid tengah mengajarkan seorang anak kecil mengaji Iqro di dekat warung. Penampilan lelaki itu mungkin sangar, tetapi Farid tidak lupa akan Tuhannya. Buktinya, ia masih ingat akan salat dan berbuat baik.

"Ibu juga kasian sama dia. Dari kecil enggak pernah dapat kasih sayang orang tuanya. Ibu sama bapaknya sibuk kerja," lanjut Bu Fatimah.

Aisyah tak berkomentar. Ia hanya diam mendengarkan sang Ibu sembari menyantap sarapan di meja makan. Bu Fatimah menceritakan tentang betapa berantakannya keluarga Farid, sehingga anak itu bisa tumbuh menjadi preman pasar. 

Selesai bercerita, Bu Fatimah pergi keluar untuk membawa wadah-wadah kosong. Sementara Aisyah bersiap-siap bekerja. Arloji di tangannya sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB, perjalanan dari rumah ke tempat bekerja berkisar kurang lebih 10 menit jika tidak terjebak kemacetan. Semua orang tahu, jika jalanan Ibu Kota akan selalu macet di pagi dan sore hari. Ya, waktu berangkat dan pulang bekerja maupun sekolah.

Aisyah pamit. Dengan mengendarai motor matic, ia memulai perjalanan di antara ratusan kendaraan. Benar saja, baru lima menir berkendara ia telah terjebak kemacetan panjang. Beruntungnya, sepeda motor seperti ini bisa menyelip ke sana ke mari. Setidaknya, ia bisa mempersingkat waktu. 

Tiga menit berlalu, jalur kembali normal. Kendaraan berlalu lalang ingin cepat sampai ke tempat tujuan. Sekitar 10 KM sebelum tempat bekerja, ada jalanan berlubang. Aisyah tidak melihat, motornya pun oleng ke samping jalan dan terjatuh. Beruntung, motor yang berada di belakangnya cepat berhenti. Jika tidak, mungkin bisa jadi Aisyah tertabrak.

Beberapa pengendara berhenti, menepi, dan menolong Aisyah. Wanita itu mengalami cedera di bagian kaki kanan. Ada lecet di dekat dengkul kakinya.

Ketika kejadian itu berlangsung, tak sengaja mobil David lewat. Ia yang merasa mengenali Aisyah pun segera menghentikan laju kendaraanya di tepi jalan.

David keluar, menghampiri kerumunan orang yang tengah melihat Aisyah. Ada seorang Bapak yang dengan sukarela membenarkan posisi motor Aisyah. Ia juga pula yang memapah Aisyah ke trotoar.

David telah berdiri di depan Aisyah, melihat mimik wajah gadis itu yang menahan perih. Ada dorongan kuat dari batin David untuk mengulurkan tangannya pada Aisyah seraya berkata, "Kamu bisa berdiri? Apa perlu saya gendong?"

Semua tatapan tertuju pada David. Mereka menebak, jika David dan Aisyah memang saling mengenal.

"Ayo, ke rumah sakit. Kakimu harus diobati," ajak David.

Pandangan keduanya bertemu untuk beberapa saat. Dengan cepat Aisyah memalingkan mukanya ke bawah. "Enggak usah, Pak. Ini cuman lecet sedikit."

"Bener, Mbak. Sebaiknya diobati dulu lukanya," timpah Bapak yang menolong Aisyah.

"Iya, Mbak. Kalau saya enggak lagi buru-buru. Saya mau anterin ke rumah sakit," sela seorang Ibu berseragam guru.

Tiba-tiba David menggendong Aisyah, ia pun harus segera masuk kerja. Namun, hati nuraninya tidak tega meninggalkan Aisyah yang kesakitan.

"Pak, tolong, turunin saya," pinta Aisyah.

"Kamu jalan aja sakit. Sudah diam!" bentak David sambil berjalan mendekati mobilnya. 

David membuka pintu mobil belakang, mendudukkan Aisyah pelan, lalu berkata, "Motormu biarkan di sini dulu. Atau kamu kamu bisa hubungi temanmu buat ambil."

"Enggak usah, Pak. Saya mau kerja aja."

"Kamu keras kepala!" David menutup pintu mobil kencang. Baru kali ini ia melihat sosok wanita yang tidak menurut. Sungguh … ini sebenarnya merepotkan. 

David menghubungi seseorang dari kantor untuk membawa motor Aisyah. Cukup 5 menit menunggu, dua orang satpam datang. David meminta kunci motor pada Aisyah dan memberikannya kepada kedua satpam tersebut.

"Tolong, bawa motornya ke kantor, ya, Pak," pinta David.

"Siap, Pak David." Kedua satpam tadi menjawab hampir bersamaan. Mata mereka mengintip ke dalam mobil, mendapati Aisyah tengah kesakitan. Entah apa yang mereka pikirkan. Yang jelas David tidak ingin ambil pusing. 

David masuk mobil, ia dengan cepat mengubah rute perjalanannya. Kali ini rumah sakit terdekat menjadi prioritas pertamanya. Sesekali netra David melirik ke belakang, melihat Aisyah memegangi dengkul kakinya yang banyak lecet.

"Kenapa bisa jatuh?" tanya David.

Aisyah seketika mengangkat kepala. "Maksudnya, Pak?"

"Saya tanya kenapa kamu bisa jatuh?"

"Sudah takdir."

David mengusap wajah dengan tangan kirinya. "Itu saya tau. Maksudnya, apa ada yang buat kamu sampai jatuh?"

"Ah, itu." Aisyah diam sejenak, lalu berkata, "Ada lubang besar di depan. Saya enggak liat."

David berdecak seraya menggelengkan kepala. "Umurmu berapa? Nyetir itu harus fokus!"

"Saya tau, tapi namanya musibah enggak ada yang tau."

"Apa kamu buru-buru?"

"Enggak juga."

Percakapan mereka berhenti. David kembali fokus menyetir, sedangkan Aisyah mencoba melepaskan ransel untuk mengambil ponsel.

Ponsel berhasil didapat. Benda itu telah berada di tangan Aisyah ketika ada satu panggilan telepon dari ibunya. Aisyah memberanikan diri mengangkat panggilan tersebut, lalu berkata, "Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikum salam, Nak." Dari nada bicara Bu Fatimah seperti tengah gelisah. "Kamu udah sampai kantor, kan? Kok, Ibu khawatir banget pas kamu berangkat."

Mungkin memang benar. Batin seorang Ibu itu kuat. Jika terjadi sesuatu pada anaknya, Ibulah orang pertama yang mendapatkan firasat tidak enak.

"Aku udah sampai kantor, kok, Bu. Jangan khawatir," jawab Aisyah berbohong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status