***Dor!Suara tembakan memecah udara. Sagara mendorong Senja ke belakang sebelum tubuhnya sedikit tersentak. Peluru itu hanya menggores lengan kirinya, tapi cukup untuk membuat darah langsung merembes ke kemejanya. Riko cepat bergerak, menendang pistol dari tangan pria itu dan melumpuhkannya.Senja berlari mendekat, ia terlihat panik saat melihat rembesan darah di lengan kemeja Sagara. “Tuan! Kau terluka!”Namun Sagara hanya mengerutkan kening, menahan nyeri yang seolah tak mau diakui. “Ini bukan pertama kalinya aku berdarah,” gumamnya pelan. Ia berusaha berdiri tegak, seolah luka di lengannya tak berarti apa-apa.Riko memandang keduanya, lalu menatap jalan keluar. “Kita harus pergi sekarang. Sebelum mereka datang lebih banyak lagi!”Sagara mengangguk singkat. Ia meraih tangan Senja, menariknya lembut tapi tegas. “Kau ikut denganku.”Senja ingin menolak, tapi tak punya tenaga untuk berdebat. Matanya masih menatap luka di lengan pria itu, dan di saat yang sama, ia merasa seluruh per
*Malam itu lengang. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering yang tertiup di sepanjang gang sempit. Lampu jalan berkedip lemah, menciptakan bayangan panjang di antara rumah-rumah kontrakan yang saling berimpitan.Riko berdiri di depan pintu kontrakan kecil itu. Di tanah, dua pria berbaju hitam masih terkapar tak sadarkan diri. Napasnya masih memburu, sisa perkelahian singkat barusan membuat ototnya cukup menegang. Namun ia tahu, ia tak punya waktu lagi.Dari balik pintu, Senja terlihat ketakutan. Tubuhnya gemetar, tapi matanya masih berusaha tegar. Ia tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yang ia tahu, malam ini sungguh mengerikan.“Mas Riko,” suaranya pelan, bergetar di antara napas yang tak beraturan. “Apa yang terjadi?”Riko menatapnya cepat, lalu menunduk sedikit, seperti tak ingin membuatnya panik. “Kita harus pergi sekarang, Non,” katanya datar tapi tegas. “Tempat ini sudah tidak aman. Ada orang yang datang mencarimu, dan mereka punya niat buru
*Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi jalan-jalan kecil di pinggiran kota yang mulai sepi. Lampu jalan berkelap-kelip, sesekali padam karena sambaran angin. Riko melangkah perlahan, mantel hitamnya sudah setengah basah, tapi langkahnya mantap. Ia tahu, malam itu bukan malam biasa. Ini malam yang menentukan, antara kehilangan dan penebusan.Setelah perintah dari Sagara malam itu, Riko bergerak diam-diam. Ia tak ingin menunggu pagi. Bagi orang luar, ia hanyalah asisten pribadi keluarga Sagara, seseorang yang mengatur jadwal, mengurus keuangan, dan menjaga segala rahasia tetap rapi. Namun malam itu, Riko lebih dari sekadar asisten. Ia menjadi bayangan yang membawa rasa bersalah majikannya.Ia menelusuri setiap rumah sewa dan kontrakan di pinggiran kota, menanyakan keberadaan perempuan berkerudung yang datang beberapa hari lalu. Jawaban demi jawaban terdengar sama. Samar, tak pasti, seperti mencoba diingat dari mimpi. Namun Riko tak menyerah.Ia tahu, Sagara bukan pria yang mudah diger
*Langit sore itu kelabu. Di luar jendela kamar besar itu, hujan menetes perlahan, seperti meniru ritme napas seseorang yang lelah.Calesya duduk di tepi ranjangnya, mengenakan gaun satin warna kelabu muda yang kini tampak kusut. Rambutnya terurai berantakan, mata sembab, dan di tangannya masih tergenggam bingkai foto lama. Foto dirinya bersama Pak Brata.“Kenapa kau pergi secepat ini, Pa?” suaranya nyaris tak terdengar. “Kau bilang kita belum selesai, tapi kenapa kau menyerah begitu saja?”Tak ada jawaban, hanya gema suaranya sendiri yang memantul di dinding kamar luas itu. Di luar, suara petir terdengar samar, seolah menegaskan sepi yang melingkupi rumah megah itu.Calesya menatap bayangannya di cermin. Wajah yang dulu begitu terawat kini tampak asing. Seperti seseorang yang kehilangan arah.Ia berjalan ke arah meja rias, menatap wajahnya lama-lama sebelum menghempaskan bingkai foto ke lantai. Suara kaca pecah mengisi ruangan.“Semua karena mereka,” bisiknya pelan, lirih tapi syarat
*Setelah mendapat perawatan di rumah sakit, Senja bersikeras meminta untuk pulang lebih cepat. Dokter sudah menahannya, tapi keras kepalanya membuat dokter mengizinkan dengan catatan tiga hari kemudian harus kontrol.Malam kembali turun dengan wajah kelam. Hujan belum berhenti sejak sore, menetes perlahan di jendela rumah besar milik Sagara. Di ruang tengah yang sepi, suara televisi menjadi satu-satunya kehidupan. Kabar kematian Pak Brata menjadi berita trending beberapa hari ini.“Pak Brata, pengusaha yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus kriminal, meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit--”Sebelum pembawa berita menyelesaikan siarannya, Sagara mematikan televisi tanpa ekspresi.Ia berdiri lama menatap layar gelap itu, lalu melangkah pelan menuju ruang kerjanya tanpa berkata apa pun.Sementara di sudut ruangan, Senja duduk diam di kursi panjang, masih mengenakan perban di bahunya.Sorot matanya redup, seolah sebagian jiwanya ikut tertinggal di antara denting hujan.
*Malam itu rumah sakit sepi. Hujan masih jatuh dari langit, menetes di jendela, menimbulkan suara samar seperti detak jam yang terlalu pelan. Di lorong panjang itu, lampu-lampu putih menyala temaram, dan aroma obat-obatan bercampur dengan sisa bau darah yang belum sempat benar-benar hilang.Senja terbaring di ranjang perawatan, matanya berat, kepalanya berdenyut, dan bahunya terasa seperti terbakar. Sekilas, ia pikir dirinya masih berada di tengah baku tembak, tapi begitu sadar, suara mesin monitor dan dinginnya selimut rumah sakit menyadarkan semuanya. Ia selamat.Namun, yang pertama kali ia lihat bukanlah wajah perawat atau dokter, tapi punggung seseorang yang duduk di kursi dekat jendela. Sagara.Ia tidak bergerak. Tidak juga menoleh. Hanya duduk di sana dengan postur tegak, tangan menggenggam lutut, dan tatapan mengarah ke luar jendela, ke langit malam yang basah.“Tuan,” ucapnya dengan suara yang serak.Sagara tidak menjawab. Bahkan tidak ada gerakan kecil di bahunya. Hening itu