Share

Pelayan Baru

Penulis: Tyarasani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-24 12:01:01

**

Senja Humaira, gadis cantik berusia 20 tahun. Berniat mengadu nasib ke kota, mengikuti jejak budenya yang sudah mengabdi pada keluarga konglomerat yang sudah memperkerjakannya hampir belasan tahun.

Beberapa hari yang lalu, Senja mendapat kabar dari budenya, tentang pekerjaan yang memang sedang ia butuhkan saat ini.

"Kamu yakin akan bekerja menjadi baby sitter, Senja?" tanya Asiah, ibunya Senja.

"Iya, Bu."

"Baby sitter itu pekerjaan yang berat, perlu kesabaran yang banyak. Pasti tak akan mudah untuk anak muda seperti kamu, Nak!"

"Tidak apa-apa, Bu. Yang penting, Senja bisa dapat uang untuk kesembuhan Bapak. Senja ingin Bapak segera di rawat di rumah sakit besar."

Bulir bening di kedua sudut mata tua itu mulai jatuh, ketika Asiah menuntun tubuh mungil sang putri ke dalam dekapan hangatnya.

"Maafkan Ibu dan bapakmu yang sudah membebankan penyakit Bapak kepadamu, Senja!" lirih Asiah di sela isak tangisnya.

"Ibu jangan sedih. Jika memang di sana tidak betah, aku akan segera pulang!"

"Ibu nggak sedih, Ibu cuma bangga punya anak seperti kamu, Senja. Ibu hanya bisa berpesan, sesibuk apapun kamu nanti, jangan tinggalkan lima waktu ya, Nak!"

"Siap, Ibu."

Senja telah mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatannya ke kota. Ia membawa beberapa lembar pakaian dan memasukkannya ke tas ransel yang warnanya sudah mulai pudar.

Mobil bak berisi sayuran yang akan membawanya ke perantauan berangkat pukul 02:00 pagi. Gadis itu tak sedikitpun mengeluh, malah ia bangun lebih awal dan segera berangkat demi cita-cita besarnya.

**

Ariana telah kembali ke rumah karena kondisinya sudah membaik. Tentu saja, kedatangannya di sambut haru oleh semua pelayan yang berkerja di rumahnya.

"Selamat datang, Nyonya Ariana!" sambut Bi Riris. Seperti biasa ia akan membungkukkan badannya sebentar sebagai penghormatan dari bawahan pada sang majikan.

"Terimakasih, aku rindu masakan Bibi."

"Nanti, akan saya buatkan makanan spesial untuk nyonya Ariana. Tapi, Nyonya ... kenalkan ini keponakan saya, namanya Senja. Mulai hari ini ia akan menjadi pelayannya Nyonya Ariana atas permintaan Tuan Saga."

"Oh, begitu. Aku, Ariana. Senang bertemu denganmu!" ucap Ariana.

Ariana menatap Senja dengan takjub, gadis itu sangat cantik. Meskipun, kecantikannya tertutup oleh jilbab yang terjulur menutupi sebagian tubuhnya.

"Senang juga bertemu denganmu, Nyonya Ariana. Mari saya antar ke kamar!" Tangannya terjulur untuk membantu memapah perempuan berusia 30 tahun itu.

"Iya," jawab Ariana tanpa ragu.

"Ekhem, kalau kamu nggak suka sama pelayan ini, bilang saja. Biar aku cari lagi pelayan baru untuk kamu," bisik Sagara di telinga Ariana.

"Jangan, aku suka, Mas!"

"Oke. Kalau begitu aku ke kantor sekarang. Maaf aku tak bisa menemanimu hari ini, ada meeting penting yang harus kuhadiri!" ucap Sagara lagi.

"Iya, Mas hati-hati, ya!"

Cup.

Satu kecupan mendarat di kening Ariana dengan lembut, para pelayan di sana sudah terbiasa dengan perlakuan majikannya yang selalu terlihat mesra. Berbeda dengan Senja, ini pertama kalinya ia melihat adegan seperti itu. Maka, dengan cepat ia menundukkan kepalanya.

"Senja, ayo antar saya!" kata Ariana, setelah memastikan suaminya sudah benar-benar pergi.

"Baik, Nyonya Ariana."

Senja kembali memapah perempuan itu dengan sangat hati-hati. Sesuai pesan budenya, ia harus memperlakukan majikannya bak menjaga berlian.

"Senja, tolong ambilkan puding di dapur. Kalau kamu nggak tahu, kamu bisa tanya Bi Riris, ya!" pinta Ariana.

"Baik, Nyonya."

Senja segera ke dapur untuk mengambil makanan yang di pesan oleh majikannya. Ia kebingungan, ketika dirinya tak mendapati puding di dalam kulkas besar itu.

"Sedang apa kamu di situ?" tanya salah satu pelayan yang sedang sibuk mencuci piring.

"Saya mau ambil puding pesanan nyonya Ariana, Bu" jawab Senja.

"Oh, itu sebelah sana di dalam kulkas yang tinggi!"

"Terimakasih, Bu."

"Ya."

Sikap pelayan itu sedikit angkuh, cuma Senja harus bisa bertahan dan mengalah demi sebuah cita-cita yang telah ia janjikan pada orang tuanya.

'Demi Bapak!'

Hanya kata-kata itulah yang menjadi penyemangatnya saat ini.

Senja mempercepat langkahnya, ia membawa semangkuk puding pesanan majikannya. Ia tampak bersemangat dan tak memperdulikan orang-orang di sekitarnya yang memandang sinis kepadanya, termasuk pelayan tadi.

"Nyonya, ini pudingnya!" Senja menyodorkan sebuah mangkuk berisi puding tersebut ke hadapan Ariana.

"Terimakasih," ucap Ariana.

"Apa Nyonya mau saya suapin?" tawar Senja ragu-ragu.

"Tidak usah, aku bisa sendiri, Senja."

"Kalau kamu mau, kamu boleh ambil puding lagi, lalu makan di sini!" sambung Ariana.

"Tidak Nyonya, terimakasih."

Tidak mungkin Senja selancang itu, meskipun majikannya sudah menawarinya untuk makan puding bersama di kamarnya. Sungguh, kebaikan Ariana membuat gadis itu begitu terharu.

**

Sagara pulang lebih awal karena mengkhawatirkan keadaan sang istri yang baru pulang dari rumah sakit. Namun, begitu ia membuka pintu kamar, ia terkejut melihat istrinya terlihat ceria. Ia sedang bercerita dengan Senja, si pelayan baru di rumah ini.

"Ekhem," Sagara berdehem di pintu kamar yang sejak tadi ia buka pelan-pelan demi melihat istrinya.

"Mas Saga," ucap Ariana sambil tersenyum menyambut kedatangannya.

"Bagaimana keadaanmu, hem?" tanya Sagara sambil memandangi wajah istrinya dalam-dalam.

"Aku baik-baik saja, Mas."

Sagara kesal dengan Senja yang diam saja di kamar mereka. Tatapannya ia layangkan pada gadis itu yang terus menunduk.

"Siapa nama kamu?" tanya Sagara.

"Senja, Tuan."

"Kenapa masih di situ? Saya sudah pulang. Berarti tugas kamu hari ini sudah selesai. Sana, pergi ke kamarmu!" usir Sagara pada Senja.

"Baik, Tuan."

Tanpa membuang-buang waktu, Senja segera keluar dari kamar dingin berhawa panas itu.

"Huh, ganteng-ganteng, kok, galak!" gerutunya saat ia sudah sampai di dalam kamarnya.

Seseorang terdengar mengetuk pintunya dengan kuat, membuat gadis itu keheranan, 'begitukah adab di rumah ini?'

"Ada apa, Bu?" tanya Senja pada wanita paruh baya yang di temuinya di dapur tadi.

"Aku di minta Bi Riris mengantar ini untuk kamu."

Senja sedikit paham, posisi budenya di sini memang kepala pelayan, jadi keberadaannya sedikit di hormati oleh pelayan lainnya. Contohnya Ibu ini, meski dia terlihat angkuh dan sinis, dia tetap saja mengantarkan pesanan Bude Riris untuknya.

"Terimakasih, Bu."

"Ya."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Senja mencoba mempelajari tugas-tugasnya dengan seksama. Mungkin, satu kesalahan saja bisa membuat dirinya terancam di pecat, apalagi jika kesalahan itu ia buat di depan majikan lelakinya yang galak itu.

**

Di dalam kamar itu.

"Jangan galak-galak pada gadis itu, Mas, kasian kalau mentalnya ciut bagaimana? Lagipula, aku sangat nyaman bicara dengan gadis itu, dia sudah seperti temanku. Kalau dia pergi karena tak betah sama sikap kamu, aku pasti akan kesepian!" ucap Ariana saat Sagara telah selesai mandi.

Sagara mendekat dan memeluk tubuh kurus istrinya, "baiklah, besok-besok aku tidak akan terlalu keras jika menegurnya."

"Terimakasih, ya, Mas!"

"Sama-sama, Sayang."

Sebenarnya, Sagara sangat merindukan tubuh istrinya malam ini, tapi ia sadar bagaimana kondisi Ariana saat ini.

Setahun belakangan Sagara sering melampiaskan hasratnya sendirian, karena tak ingin menyakiti istrinya. Ya, setiap kali Sagara memaksakan melakukan hubungan itu, istrinya akan merasakan kesakitan lalu drop untuk beberapa hari.

"Mas, Senja cantik, ya?" ucap Ariana tiba-tiba.

__________________

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
humaidah4455
maksud Ariana apaan?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Senja Yang Di Hadirkan   Akhirnya Pulang

    ***Dor!Suara tembakan memecah udara. Sagara mendorong Senja ke belakang sebelum tubuhnya sedikit tersentak. Peluru itu hanya menggores lengan kirinya, tapi cukup untuk membuat darah langsung merembes ke kemejanya. Riko cepat bergerak, menendang pistol dari tangan pria itu dan melumpuhkannya.Senja berlari mendekat, ia terlihat panik saat melihat rembesan darah di lengan kemeja Sagara. “Tuan! Kau terluka!”Namun Sagara hanya mengerutkan kening, menahan nyeri yang seolah tak mau diakui. “Ini bukan pertama kalinya aku berdarah,” gumamnya pelan. Ia berusaha berdiri tegak, seolah luka di lengannya tak berarti apa-apa.Riko memandang keduanya, lalu menatap jalan keluar. “Kita harus pergi sekarang. Sebelum mereka datang lebih banyak lagi!”Sagara mengangguk singkat. Ia meraih tangan Senja, menariknya lembut tapi tegas. “Kau ikut denganku.”Senja ingin menolak, tapi tak punya tenaga untuk berdebat. Matanya masih menatap luka di lengan pria itu, dan di saat yang sama, ia merasa seluruh per

  • Senja Yang Di Hadirkan   Maaf Dan Situasi Rumit

    *Malam itu lengang. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering yang tertiup di sepanjang gang sempit. Lampu jalan berkedip lemah, menciptakan bayangan panjang di antara rumah-rumah kontrakan yang saling berimpitan.Riko berdiri di depan pintu kontrakan kecil itu. Di tanah, dua pria berbaju hitam masih terkapar tak sadarkan diri. Napasnya masih memburu, sisa perkelahian singkat barusan membuat ototnya cukup menegang. Namun ia tahu, ia tak punya waktu lagi.Dari balik pintu, Senja terlihat ketakutan. Tubuhnya gemetar, tapi matanya masih berusaha tegar. Ia tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yang ia tahu, malam ini sungguh mengerikan.“Mas Riko,” suaranya pelan, bergetar di antara napas yang tak beraturan. “Apa yang terjadi?”Riko menatapnya cepat, lalu menunduk sedikit, seperti tak ingin membuatnya panik. “Kita harus pergi sekarang, Non,” katanya datar tapi tegas. “Tempat ini sudah tidak aman. Ada orang yang datang mencarimu, dan mereka punya niat buru

  • Senja Yang Di Hadirkan   Pencarian

    *Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi jalan-jalan kecil di pinggiran kota yang mulai sepi. Lampu jalan berkelap-kelip, sesekali padam karena sambaran angin. Riko melangkah perlahan, mantel hitamnya sudah setengah basah, tapi langkahnya mantap. Ia tahu, malam itu bukan malam biasa. Ini malam yang menentukan, antara kehilangan dan penebusan.Setelah perintah dari Sagara malam itu, Riko bergerak diam-diam. Ia tak ingin menunggu pagi. Bagi orang luar, ia hanyalah asisten pribadi keluarga Sagara, seseorang yang mengatur jadwal, mengurus keuangan, dan menjaga segala rahasia tetap rapi. Namun malam itu, Riko lebih dari sekadar asisten. Ia menjadi bayangan yang membawa rasa bersalah majikannya.Ia menelusuri setiap rumah sewa dan kontrakan di pinggiran kota, menanyakan keberadaan perempuan berkerudung yang datang beberapa hari lalu. Jawaban demi jawaban terdengar sama. Samar, tak pasti, seperti mencoba diingat dari mimpi. Namun Riko tak menyerah.Ia tahu, Sagara bukan pria yang mudah diger

  • Senja Yang Di Hadirkan   Ruang Yang Kosong

    *Langit sore itu kelabu. Di luar jendela kamar besar itu, hujan menetes perlahan, seperti meniru ritme napas seseorang yang lelah.Calesya duduk di tepi ranjangnya, mengenakan gaun satin warna kelabu muda yang kini tampak kusut. Rambutnya terurai berantakan, mata sembab, dan di tangannya masih tergenggam bingkai foto lama. Foto dirinya bersama Pak Brata.“Kenapa kau pergi secepat ini, Pa?” suaranya nyaris tak terdengar. “Kau bilang kita belum selesai, tapi kenapa kau menyerah begitu saja?”Tak ada jawaban, hanya gema suaranya sendiri yang memantul di dinding kamar luas itu. Di luar, suara petir terdengar samar, seolah menegaskan sepi yang melingkupi rumah megah itu.Calesya menatap bayangannya di cermin. Wajah yang dulu begitu terawat kini tampak asing. Seperti seseorang yang kehilangan arah.Ia berjalan ke arah meja rias, menatap wajahnya lama-lama sebelum menghempaskan bingkai foto ke lantai. Suara kaca pecah mengisi ruangan.“Semua karena mereka,” bisiknya pelan, lirih tapi syarat

  • Senja Yang Di Hadirkan   Pergi

    *Setelah mendapat perawatan di rumah sakit, Senja bersikeras meminta untuk pulang lebih cepat. Dokter sudah menahannya, tapi keras kepalanya membuat dokter mengizinkan dengan catatan tiga hari kemudian harus kontrol.Malam kembali turun dengan wajah kelam. Hujan belum berhenti sejak sore, menetes perlahan di jendela rumah besar milik Sagara. Di ruang tengah yang sepi, suara televisi menjadi satu-satunya kehidupan. Kabar kematian Pak Brata menjadi berita trending beberapa hari ini.“Pak Brata, pengusaha yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus kriminal, meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit--”Sebelum pembawa berita menyelesaikan siarannya, Sagara mematikan televisi tanpa ekspresi.Ia berdiri lama menatap layar gelap itu, lalu melangkah pelan menuju ruang kerjanya tanpa berkata apa pun.Sementara di sudut ruangan, Senja duduk diam di kursi panjang, masih mengenakan perban di bahunya.Sorot matanya redup, seolah sebagian jiwanya ikut tertinggal di antara denting hujan.

  • Senja Yang Di Hadirkan   Rindu Dan Kekecewaan

    *Malam itu rumah sakit sepi. Hujan masih jatuh dari langit, menetes di jendela, menimbulkan suara samar seperti detak jam yang terlalu pelan. Di lorong panjang itu, lampu-lampu putih menyala temaram, dan aroma obat-obatan bercampur dengan sisa bau darah yang belum sempat benar-benar hilang.Senja terbaring di ranjang perawatan, matanya berat, kepalanya berdenyut, dan bahunya terasa seperti terbakar. Sekilas, ia pikir dirinya masih berada di tengah baku tembak, tapi begitu sadar, suara mesin monitor dan dinginnya selimut rumah sakit menyadarkan semuanya. Ia selamat.Namun, yang pertama kali ia lihat bukanlah wajah perawat atau dokter, tapi punggung seseorang yang duduk di kursi dekat jendela. Sagara.Ia tidak bergerak. Tidak juga menoleh. Hanya duduk di sana dengan postur tegak, tangan menggenggam lutut, dan tatapan mengarah ke luar jendela, ke langit malam yang basah.“Tuan,” ucapnya dengan suara yang serak.Sagara tidak menjawab. Bahkan tidak ada gerakan kecil di bahunya. Hening itu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status