LOGINRendra terbangun ke kesadaran saat ini dengan kepala berdenyut-denyut dan tubuh yang masih membekas hangatnya mimpi yang luar biasa nyata itu. Setiap detail sentuhan, ciuman, kehangatan kulit Dara, kepasrahan di matanya terasa begitu nyata. Dan untuk beberapa detik ia benar-benar percaya bahwa Dara ada di sisinya semalam.
Dadanya seketika sesak oleh kerinduan yang menusuk dan rasa bersalah yang langsung menyusul.Dengan gerakan kasar, ia melemparkan selimut dan berjalan terhuyung menuju kamar mandi. Dia membutuhkan air dingin. Membutuhkan sesuatu untuk membersihkan sisa-sisa khayalan yang menggodanya, dan perasaan bersalah yang mulai menggerogoti.Air dingin menyiram kepalanya, mengalir deras di wajah dan tubuhnya. Dia menahan napas, berharap dinginnya bisa membekukan ingatan akan mimpi itu. Namun sebaliknya, perbedaan antara dinginnya air dan kehangatan dalam mimpinya membuat semuanya semakin jelas.Tok!Tok-tokKetenangan setelah konferensi pers langsung hancur berkeping-keping. Di tengah-tengah Rendra memeriksa notifikasi media yang mulai memuat berita dengan narasi yang lebih netral atau bahkan positif, sebuah pesan anonim tiba-tiba muncul di layar ponsel pribadinya.[Anonim]: Aku tahu siapa wanita yang ada di foto itu.Kalimatnya singkat, tetapi cukup membuat Rendra kembali panik. Darah Rendra seolah membeku. Jantungnya berdebar kencang, pikirannya langsung menduga-duga.Siapa yang mengirim pesan ini? Seorang wartawan yang licik? Orang dalam yang dimaksud Samuel? Atau ... seseorang yang mengetahui jejaknya bersama Dara di ruang terapi?Dengan jari yang gemetar, dia segera menekan nomor pengirim pesan itu, berharap bisa langsung bertemu dengan pengirim pesan itu.. Namun yang terdengar hanyalah nada sambung operator seluler.“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”Sial!Mereka menggunakan
Ruang tamu Rendra yang biasanya sunyi, kini berubah menjadi set konferensi pers mini. Lampu sorot kamera televisi menyilaukan, menciptakan kontras tajam dengan ketegangan di udara. Di depan latar belakang sederhana namun rapi, Rendra duduk berdampingan dengan Riani. Samuel si pengacara berdiri di samping mereka, siap menyela jika pertanyaan melampaui batas hukum atau keluar dari rencana mereka.Sorotan dan tatapan puluhan awak media terasa seperti menusuk di kulit mereka. Pertanyaan pertama yang meluncur langsung menusuk ke inti skandal, tanpa ampun.Wartawan itu berasal dari media yang selalu senang menjatuhkan, “Jadi, Pak Rendra, apa Anda mengakui kalau ada hubungan khusus dengan wanita selain istri sah Anda?” Pertanyaannya langsung, menantang.Wartawan kedua yang berasal dari media yang lebih netral bertanya, “Apa wanita yang terlihat di foto itu berasal dari klien di klinik Anda? Bukankah ini melanggar etika profesi Anda sebagai terapis?
Rendra terbangun ke kesadaran saat ini dengan kepala berdenyut-denyut dan tubuh yang masih membekas hangatnya mimpi yang luar biasa nyata itu. Setiap detail sentuhan, ciuman, kehangatan kulit Dara, kepasrahan di matanya terasa begitu nyata. Dan untuk beberapa detik ia benar-benar percaya bahwa Dara ada di sisinya semalam.Dadanya seketika sesak oleh kerinduan yang menusuk dan rasa bersalah yang langsung menyusul.Dengan gerakan kasar, ia melemparkan selimut dan berjalan terhuyung menuju kamar mandi. Dia membutuhkan air dingin. Membutuhkan sesuatu untuk membersihkan sisa-sisa khayalan yang menggodanya, dan perasaan bersalah yang mulai menggerogoti.Air dingin menyiram kepalanya, mengalir deras di wajah dan tubuhnya. Dia menahan napas, berharap dinginnya bisa membekukan ingatan akan mimpi itu. Namun sebaliknya, perbedaan antara dinginnya air dan kehangatan dalam mimpinya membuat semuanya semakin jelas.Tok!Tok-tok
Rendra hampir tertidur saat suara itu menyelinap masuk, selembut angin malam tetapi sekeras dentuman musik di telinganya, membuatnya terjaga. “Ren ... kamu pulang?”Rendra membuka mata. Di ambang pintu kamar yang remang-remang, berdiri sosok yang tidak mungkin ada di sana, namun selalu hadir dalam mimpinya. Dara. Rambutnya acak-acakan, matanya masih sembap, tetapi ada kerinduan yang tak terbendung di dalamnya.Sebelum Rendra sempat menyadari ini mimpi atau kenyataan, Dara sudah melangkah cepat ke tempat tidur. Tangannya yang dingin meraih lengannya, menariknya mendekat. Lalu, dia menghambur ke pelukannya, menyembunyikan wajahnya di dada Rendra, menggenggam erat baju tidurnya seolah takut ia menghilang.Rendra membeku sejenak, lalu nalurinya mengambil alih. Lengannya dengan sendirinya melingkari tubuh Dara yang menggigil. Dia menunduk, menempatkan bibirnya di puncak kepala Dara yang harum dengan aroma sampo sederhana. Ciuman itu penuh dengan
“Apa??”Mata Riani terbelalak seketika.Rencana itu terlintas di benak Rendra sebagai satu-satunya pelarian. Baginya, dan terutama untuk Dara. Tapi begitu diucapkan pada Riani, reaksinya langsung dan tegas, menghentikan pikiran picik yang sudah mulai kehilangan arah itu.Riani menyilangkan tangan, matanya menatap tajam suaminya. “Kamu bilang ke luar negeri?” ulangnya, memastikan.Saat Rendra mengangguk, dia langsung menggeleng. Menolak ide gila itu. “Nggak, Ren. Itu bukan ide bagus. Itu sama aja kamu pengecut dan mengakui skandal itu di mata publik.”Pandangannya tajam. Riani bisa melihat pertarungan itu dari sudut pertempuran citra yang sudah dibangunnya di depan publik. “Kamu kabur, artinya kamu punya sesuatu untuk disembunyikan. Media akan lebih gila. Mereka akan gali lebih dalam, dan justru lebih mungkin buat mereka tahu siapa wanita misterius itu.”Rendra menghela napas berat, duduk di kursi se
Jalanan malam yang lengang menjadi tempat pelampiasan frustrasi Rendra. Dia menekan pedal gas mobilnya lebih dalam sehingga mobil melaju kencang, membawa serta kekacauan emosi dari pertikaian dengan Arkha di rumah Dara.Bayangan terakhir Dara mengusirnya, wajahnya yang lelah, masih terpampang jelas di benaknya. Dia kalah. Bukan oleh Arkha, tetapi oleh keinginan Dara untuk bebas dari mereka berdua.Saat mobilnya mendekati rumahnya, harapan akan ketenangan sirna oleh pemandangan yang sudah ia duga sebelumnya. Kerumunan wartawan yang masih bertahan di depan gerbang dengan kamera itu membuatnya jengkel. Lampu kamera dan sorotan menyala saat mobilnya mendekat, siap menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama menyiksa.Rasa lelah, marah, dan kekalahan yang terpendam mendidih menjadi satu. Daripada melambat dan terjebak dalam lingkaran pertanyaan yang tak ada habisnya, Rendra memilih cara yang lebih keras. Jarinya menekan tombol klakson mobilnya dengan kuat dan terus-menerus.TIIINN—







