Mag-log in“Apa kau gila? Mana mungkin aku berciuman denganmu,” sahut Sophia dengan mata membulat dan napasnya yang tiba-tiba terasa memburu usai mendengar ucapan John barusan.
Pria itu menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin kau belajar memahami tubuhmu. Belajar kapan rasa takut itu muncul. Dan kalau kau ingin memahaminya, kadang kau perlu menghadapi sumbernya.”
“Denganmu?” ucapnya dengan nada datar.
“Siapa lagi yang lebih aman daripada seseorang yang tahu batasnya?” bisiknya seolah tengah menghipnotis Sophia agar mengikuti perintahnya.
Meski ucapan itu terdengar tenang, tapi justru membuat Sophia semakin bingung.
Bagian rasional dirinya tahu, ini seharusnya murni terapi.Namun bagian lain—bagian yang sudah lama dia tekan, mengatakan bahwa yang sedang terjadi jauh melampaui itu.
John melangkah satu langkah mendekat. Aromanya kembali memenuhi ruang kecil itu yang begitu samar, hangat, menenangkan, tapi memabukkan.
“Ketakutanmu muncul setiap kali seseorang mencoba mendekat secara fisik,” ujarnya pelan. “Bukan karena kau tidak ingin, tapi karena tubuhmu menolak kehilangan kendali.”
Dia menatapnya dengan pandangan yang terlalu lembut untuk disebut profesional.
“Ciuman bukan sekadar kontak bibir, Sophia. Itu bahasa antara dua jiwa yang pernah saling mengenal. Mungkin tubuhmu hanya lupa cara berbicara dengan bahasa itu.”
Sophia menggeleng dengan cepat. “John, ini—ini bukan bagian dari terapi—”
“Tentu saja tidak,” katanya, namun langkahnya justru mendekat lagi. “Tapi mungkin bagian dari prosesmu untuk mengenali apa yang sebenarnya kau rasakan.”
Ia berhenti tepat di hadapan Sophia. Sekarang jarak mereka begitu dekat hingga napasnya terasa di kulit wajah Sophia. Tatapannya tajam dan lekat sampai membuat Sophia membeku dibuatnya.
Sophia ingin mundur, tapi kakinya tak bergerak. Ia tahu seharusnya menghentikan ini.
Tapi bagian kecil dalam dirinya justru ingin tahu seperti apa rasanya, tapi bukan Mike yang menyentuhnya, melainkan seseorang dari masa lalunya, seseorang yang dulu membuatnya percaya bahwa cinta bisa terasa aman.
Tanpa menunggu jawaban, John mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Sophia. Awalnya Sophia membolakan matanya.
Namun, saat lidah John terulur masuk ke dalam mulutnya, Sophia merasakan gelanyar aneh yang berhasil membangkitkan gairahnya. Hingga ciuman pun berlangsung cukup panas.
Tangan Sophia yang semula gemetar, kini mencengkeram lengan John yang masih mencium bibirnya.
“Umh ….”
John menyunggingkan senyum tipis di antara ciuman itu ketika mendengar suara desahan keluar dari mulut Sophia.
“John …,” suaranya nyaris hilang dibawa angin.
John melepaskan bibirnya dari ciuman itu dan menatap Sophia dengan jarak yang masih sangat dekat, bahkan terlalu dekat.
“Apa kau mengeluarkan desahan ketika berciuman dengan Mike saat itu?” bisiknya dengan pelan.
Sophia menggeleng dengan pelan. “Tidak. Bahkan membalas ciumannya pun tidak.”
Mata mereka kembali bertemu. Dan dalam keheningan yang panjang itu, dunia seolah berhenti berputar. John menarik wajah Sophia kembali dan melumat bibirnya dengan penuh.
Kali ini, bahkan suara isapan menguar di dalam ruangan itu. John melumatnya lebih dalam dan cukup liar hingga membuat Sophia mendesah berulang kali.
Namun, ciuman itu tidak bisa berlangsung lama sebelum ketukan pintu terdengar. Sophia langsung melepaskan ciuman itu dan mendorong tubuh John agar menjauh.
John menutup matanya sejenak untuk menenangkan diri, lalu berkata dengan suara datar, “Masuk.”
Asisten klinik muncul di ambang pintu dan menunduk sopan. “Maaf, Dokter. Janji dengan pasien berikutnya sudah menunggu.”
John hanya mengangguk. “Terima kasih, berikan aku dua menit lagi.”
Begitu pintu tertutup, suasana kembali hening. Sophia menundukkan kepalanya sambil menatap tangannya sendiri yang bergetar halus.
Ia tidak tahu apa yang barusan terjadi. Namun, dia tahu satu hal: batas antara terapi dan sesuatu yang lebih dalam sudah mulai kabur.
John berdiri di hadapan wanita itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Sophia?” panggilnya dengan pelan.
Sophia menoleh pelan menatap John. Bibirnya terasa berdenyut, bengkak, dan merah. Bahkan pipinya masih panas karena teringat ciuman yang baru saja mereka lakukan tadi.
“Sampai jumpa di sesi terapi berikutnya. Kau bisa mencobanya nanti dengan Mike. Seperti tadi.”
Sophia terdiam sambil menatap wajah John yang tampak tenang, kontras dengan dirinya yang masih membeku, kaku, bahkan panas dingin.
“Aku tidak tahu. Apakah bisa melakukan ini dengannya atau tidak.”
John tersenyum tipis seraya menatap lekat wajah Sophia. "Kalau begitu, aku akan dengan senang hati membuat hasratmu hidup dengan cara tadi."
John mengusapi bibir Sophia yang masih bengkak itu lalu berbisik, "... atau bahkan lebih dari ini."
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi ketika cahaya matahari menembus tipis celah tirai kamar hotel.Udara pagi terasa hangat dan tenang, menyisakan keheningan yang nyaman setelah malam panjang yang mereka lewati bersama.Kamar itu masih dipenuhi aroma samar parfum dan linen bersih, menjadi saksi kebersamaan yang membuat keduanya lupa sejenak pada dunia di luar sana.John membuka matanya perlahan. Dia lalu menoleh ke samping dan menemukan Sophia masih terlelap dengan napas teratur.Wajah wanita itu tampak damai, jauh dari bayang-bayang ketakutan yang selama ini sering menghantuinya.John tersenyum kecil, hatinya menghangat melihat pemandangan itu. Dengan gerakan hati-hati, dia mendekat dan mengecup bibir Sophia dengan kecupan hangat dan singkat cukup untuk membangunkannya tanpa membuatnya terkejut.Sophia menggeliat pelan. Ia meregangkan kedua tangannya, lalu membuka matanya perlahan.Pandangannya bertemu dengan tatapan John yang lembut, membuat sudut bibirnya terangkat membentuk senyum
Makan malam pun berlangsung penuh percakapan ringan, tawa kecil, dan godaan yang berbalut manja.Namun di balik semua itu, ada ketegangan erotis yang menggantung dan semakin pekat dari menit ke menit.Hingga akhirnya, Sophia menaruh garpu dan pisaunya dan menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi puas. “Hh. Perutku sudah kenyang sekali, John.”Kata-kata itu seperti bel tanda akhir pertandingan yang sudah lama ditunggu.John menegakkan tubuhnya menatap Sophia dengan tatapan yang tak lagi bisa disembunyikan. Hasrat yang sejak tadi ia tahan, kini menyeruak keluar tanpa malu.“Bagus,” gumamnya dengan suara berat dan parau. Ia mencondongkan tubuh ke meja dan kedua tangannya bertumpu kuat.“Sekarang ... giliranku. Kau sudah membuat aku menggila sepanjang makan malam ini, Sophia. Jadi ....”Ia berdiri perlahan lalu berjalan memutari meja dengan langkah mantap.Sophia menatapnya tanpa berkedip sementara jantungnya berdegup dengan kencang. Setiap detik terasa panjang, seakan udara di ruan
Waktu menunjuk angka sebelas malam dan John mengajaknya ke sebuah restoran mewah. Restoran itu tampak berkilau di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit.John sengaja memilih tempat yang jauh dari hiruk-pikuk, sebuah restoran mewah dengan pelayanan privat yang menjamin ketenangan.Ia bahkan menyewa satu ruang VIP tertutup, memastikan Sophia merasa aman, nyaman, dan tidak perlu cemas dengan tatapan orang lain.Sophia melangkah masuk dengan gaun sederhana berwarna krem yang membingkai tubuhnya dengan anggun.Rambutnya tergerai rapi, dan matanya menelusuri ruangan itu dengan sedikit heran. Meja makan ditata elegan, lilin-lilin kecil menyala lembut, dan alunan musik klasik terdengar samar.“Kenapa mendadak sekali?” tanya Sophia begitu mereka duduk berhadapan. Nada suaranya lembut, namun jelas mengandung rasa penasaran. “Kau bahkan tidak memberiku waktu untuk bersiap-siap.”John tersenyum tipis. Senyum yang selalu membuat dada Sophia terasa hangat tanpa alasan j
Tiga hari kemudian, suasana di ruang kerja John terasa jauh lebih berat dari biasanya.Tirai jendela setengah tertutup, membiarkan cahaya pagi masuk samar, seolah ikut menyesuaikan diri dengan suasana hati penghuninya.Di atas meja kerjanya, sebuah map tebal berwarna cokelat tergeletak rapi, penuh dengan dokumen, grafik, dan laporan rinci yang baru saja diserahkan oleh tim audit independen yang ia tugaskan.John duduk bersandar di kursinya, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya tajam menelusuri wajah dua orang auditor yang duduk di hadapannya.Sejak pagi tadi, ia menahan diri untuk tetap tenang, meski dadanya terasa sesak oleh firasat buruk yang sejak awal tak pernah benar-benar ia sangkal.“Kami sudah menyelesaikan penelusuran alur dana yang diberikan oleh Sophia delapan bulan lalu,” ucap salah satu auditor, seorang pria paruh baya dengan kacamata tipis dan suara datar profesional.John mengangguk. “Mulai dari awal,” katanya singkat.Auditor itu membuka map, menarik satu
John datang ke apartemen dengan langkah cepat namun tertahan, seolah berusaha menenangkan dirinya sebelum benar-benar berhadapan dengan Sophia.Pintu ditutup pelan di belakangnya. Aroma sabun dan uap hangat dari kamar mandi masih terasa di udara, menandakan Sophia baru saja selesai mandi.Ia menemukannya duduk di depan meja rias, mengenakan piyama sederhana berwarna lembut.Rambutnya masih setengah basah, disisir perlahan dengan gerakan yang tampak mekanis. Tatapannya kosong, fokus pada pantulan dirinya sendiri, seolah pikirannya masih melayang entah ke mana.John berdiri di sampingnya tanpa langsung bicara. Ia memperhatikan Sophia beberapa detik, lalu meletakkan sebuah map tipis di atas meja rias, tepat di samping botol lotion dan sisir kayu milik Sophia.Suara kertas yang menyentuh permukaan kayu membuat Sophia menoleh. Keningnya langsung berkerut ketika melihat dokumen asing itu.“Ini apa?” tanyanya pelan, namun jelas.John menarik napas, lalu menjawab dengan suara rendah namun teg
Mike datang ke klinik John tanpa membuat janji, tanpa basa-basi, dan tanpa sedikit pun niat menahan emosinya.Pintu ruang praktik itu terbuka dengan hentakan keras, membuat beberapa perawat di luar terkejut dan menoleh bersamaan.John yang tengah berdiri di dekat meja kerjanya hanya melirik sekilas, seolah sudah menduga siapa tamu tak diundang itu.“Apa semua ini ulahmu?” bentak Mike tanpa salam.Dadanya naik turun, rahangnya mengeras, dan matanya merah oleh amarah yang belum sempat mereda sejak pagi.“Tim audit pajak itu. Kau yang mendatangkan mereka ke perusahaanku, kan?” pekiknya dengan kasar.John tidak langsung menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya ke meja, lalu melipat tangan di dada dengan sikap santai yang justru membuat darah Mike semakin mendidih. Wajah John tetap tenang, nyaris dingin.“Aku sudah bilang,” ujar John akhirnya dengan nada datar. “Aku tidak pernah main-main dengan ancamanku.”Mike mendengus kasar. “Jadi benar. Kau sengaja menghancurkan perusahaanku.”John me







