Mag-log inTiga hari kemudian.
Sophia duduk di sofa yang sama seperti minggu lalu, tapi suasananya kali ini cukup berbeda. Ada sesuatu di udara, sebuah keheningan yang terlalu sunyi, dan detak jantungnya yang terlalu keras.
John Maxwell menutup pintu dengan tenang, lalu berjalan mendekat dengan langkah yang terukur.
Ia mengenakan kemeja biru gelap hari ini, lengan bajunya tergulung hingga siku, dan dasinya tidak seketat biasanya. Dan entah kenapa, penampilan sederhana itu justru membuat Sophia sulit menatap secara langsung.
“Bagaimana kabarmu sejak pertemuan terakhir, Sophia?” tanya John sambil duduk di kursinya.
“Baik,” jawab Sophia, meski nada suaranya terdengar tidak yakin.
“Baik seperti sungguh baik, atau baik sebagai jawaban sopan?” tanyanya lagi dengan sorot mata yang begitu lekat menatap wajah Sophia yang hampir merah karena tatapan yang begitu intens.
Sophia menatapnya balik sembari menahan debar jantung yang semakin tak karuan. “Kau selalu tahu cara menelanjangi kalimat orang, ya.”
“Pekerjaanku memang begitu kalau kau lupa,” ujarnya ringan, lalu menatapnya dengan lembut. “Katakan yang sebenarnya, Sophia. Agar sesi kedua ini lebih detail dan spesifik. Atau ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku. Katakan saja.”
Sophia terdiam beberapa saat. Dia ingin memberitahu John bahwa sebelum dia datang ke klinik di sesi pertama itu, dia gagal berciuman lagi dengan tunangannya itu.
Dan akhirnya, Sophia memberanikan diri untuk berkata, “Mike mencoba menciumku sebelum aku datang ke klinikmu di sesi pertama itu,” katanya akhirnya.
John menatapnya tanpa mengubah ekspresi, hanya sedikit memiringkan kepala dan menunggu lanjutan kalimat itu.
“Aku membeku. Seperti biasa,” lanjutnya pelan. “Aku bahkan tidak bisa menatapnya. Aku ingin, tapi tubuhku menolak. Rasanya seperti … rasa takut yang tidak punya bentuk.”
John meletakkan pena di meja. “Dan apa yang kau rasakan sekarang saat menceritakannya?”
“Marah. Kecewa pada diri sendiri. Dan malu,” jawabnya dengan pelan sambil menggigit bibirnya karena gugup.
“Kenapa malu?” tanyanya sambil menaikan alisnya sedikit.
“Karena aku seharusnya bisa memperbaikinya. Aku sudah mencoba semuanya—”
“Tidak, belum,” potong John dengan nada yang begitu tenang. “Kalau kau sudah mencoba semuanya, kau tidak akan duduk di sini sekarang.”
Sophia menghela napas panjang. “Aku bahkan malu karena harus membicarakan hal-hal seperti ini denganmu. Terutama setelah tahu siapa kau dulu. Hubungan seperti apa yang kita jalani dulu.”
John tidak terkejut, justru dia mengulas senyum tipis saat mendengarnya. Ia lalu menatapnya cukup lama, dan berkata, “Aku tahu.”
Sophia menelan ludahnya sambil memainkan jarinya untuk menghilangkan rasa gugup yang semakin menghantuinya.
“Kau bahkan takut untuk mengatakan semuanya padaku dulu. Tapi, aku juga cukup terkejut bahwa kau akan menikah dengan sepupuku. Bagaimana kau bisa menjalani semua ini, hm?” tanyanya ingin tahu.
Sophia terdiam lagi dan hanya menelan salivanya dengan pelan mendengar pertanyaan dari John barusan.
“Aku … hanya mencoba untuk jatuh cinta dan menjalin hubungan. Hubunganku dengan Mike sudah berjalan selama satu tahun. Di bulan kedua hubungan kami berjalan, Mike sempat ingin bercinta denganku.
“Tapi, aku malah jatuh pingsan dan berkeringat dingin ketika Mike menciumku. Dan Mike mencoba mengerti, mungkin karena aku belum pernah pacaran sebelumnya. Dia memahami itu.”
John mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencatat point penting dari ucapan Sophia barusan.
Keheningan jatuh di antara mereka. Ada sesuatu yang mengalir pelan tapi nyata, bukan lagi sekadar terapi, tapi hubungan dua jiwa yang pernah bersinggungan dan kini dipaksa berhadapan lagi dalam ruang yang terlalu sempit untuk pura-pura.
“Kadang,” kata John perlahan, “trauma tidak hanya datang dari rasa takut. Tapi dari kehilangan yang terlalu dalam. Kau kehilangan kepercayaan pada tubuhmu sendiri, juga pada seseorang yang dulu membuatmu percaya.”
Sophia menatapnya dan tatapannya mulai bergetar. “Kau bicara tentang dirimu?”
“Mungkin,” jawabnya dengan tenang. “Atau mungkin tentangmu.”
Ia berdiri dan berjalan mendekat. Suara langkahnya di lantai kayu terdengar jelas di antara detak jantung Sophia.
Ia berhenti hanya sejengkal di depannya, lalu berkata dengan suara rendah, “Kau masih sama seperti dulu. Selalu menahan semuanya sendirian.”
Sophia menundukkan kepalanya sembari berusaha menyembunyikan wajahnya. “Aku tidak tahu bagaimana cara berhenti melakukannya.”
John berlutut di hadapannya, menatap lurus ke matanya. “Dengan membiarkan seseorang menolongmu.”
Tatapan mereka kemudian bertemu. Untuk pertama kalinya sejak terapi dimulai, Sophia merasa tidak sedang dianalisis, tapi dilihat, benar-benar dilihat. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang antara masa lalu dan masa kini.
“Mike menciumku,” bisiknya lagi, “tapi aku tidak merasakan apa pun.”
“Dan kau merasa bersalah karena itu?” bisiknya dengan suara beratnya.
“Ya.”
“Kalau aku bilang, mungkin itu bukan karena kau rusak, tapi karena tubuhmu hanya merespons sesuatu yang berbeda?” ucapnya seraya menatap lekat wajah Sophia. Bahkan jarak mereka terlalu dekat untuk dikatakan sebagai pasien dan mentor.
Sophia menatapnya dengan tatapan bingung. “Berbeda bagaimana?” tanyanya dengan pelan.
John menghela napas panjang lalu duduk di tepian meja sembari melipat tangan di dadanya.
“Tubuh kita mengenali kejujuran sebelum otak kita melakukannya. Dia tahu kapan sesuatu nyata, dan kapan tidak. Kau tidak takut pada keintiman, Sophia. Kau hanya takut pada orang yang salah.”
Kata-kata itu menancap pelan di dada Sophia. Ia tidak tahu apakah harus marah, menangis, atau tertawa. Tapi yang jelas, napasnya mulai tak beraturan.
John memperhatikan setiap perubahan di wajahnya. “Tarik napas perlahan,” ujarnya. “Fokus pada apa yang kau rasakan sekarang.”
Sophia mencobanya tapi matanya justru terpaku pada wajah John yang begitu dekat.
Rahangnya, garis bibirnya, dan tatapan mata itu, masih sama seperti dulu, saat dia jatuh cinta untuk pertama kalinya.
“John …,” panggilnya dengan pelan.
“Ya?”
“Aku takut,” ucapnya lirih.
“Pada apa?”
“Pada diriku sendiri. Pada hal-hal yang aku rasakan saat bersamamu.”
John menatapnya lama, lalu berkata dengan nada nyaris berbisik, “Itu hal yang paling jujur yang pernah kau katakan padaku.”
Waktu seperti berhenti ketika John mengatakan hal yang membuat Sophia semakin tak karuan.
Tidak ada suara selain detak jam di dinding dan napas mereka yang saling bersahutan pelan.
Lalu John berdiri perlahan, berjalan mengitari meja dan mengambil mapnya, mencoba memulihkan ketenangan suasana di antara mereka.
“Terapimu tidak hanya tentang respon tubuh,” katanya akhirnya, dan masih dengan suara terukur. “Tapi juga tentang mengenali siapa yang bisa kau percayai.”
Sophia berdiri juga dan masih menatapnya dengan tatapan penuh konflik. “Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai siapa pun.”
John menatapnya balik, mata mereka bertemu sekali lagi. “Kalau begitu,” katanya lembut, “biarkan aku membuktikan kalau kau bisa.”
Sophia terdiam. “Bagaimana caranya?”
John meletakkan mapnya di meja kemudian mendekat, dan kali ini jarak mereka benar-benar hilang, hanya sehelai napas di antaranya.
Tatapan John menancap dalam, penuh sesuatu yang sulit diartikan antara profesionalisme dan kerinduan. “Mau mencobanya denganku?”
"Mencoba apa?" tanyanya dengan ragu.
John menatap Sophia dengan tatapan yang sulit diartikan. Tangannya kini terulur di pipi Sophia kemudian berbisik dengan suara seraknya. "Berciuman denganku."
“Apa kau gila? Mana mungkin aku berciuman denganmu,” sahut Sophia dengan mata membulat dan napasnya yang tiba-tiba terasa memburu usai mendengar ucapan John barusan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin kau belajar memahami tubuhmu. Belajar kapan rasa takut itu muncul. Dan kalau kau ingin memahaminya, kadang kau perlu menghadapi sumbernya.”“Denganmu?” ucapnya dengan nada datar.“Siapa lagi yang lebih aman daripada seseorang yang tahu batasnya?” bisiknya seolah tengah menghipnotis Sophia agar mengikuti perintahnya.Meski ucapan itu terdengar tenang, tapi justru membuat Sophia semakin bingung.Bagian rasional dirinya tahu, ini seharusnya murni terapi.Namun bagian lain—bagian yang sudah lama dia tekan, mengatakan bahwa yang sedang terjadi jauh melampaui itu.John melangkah satu langkah mendekat. Aromanya kembali memenuhi ruang kecil itu yang begitu samar, hangat, menenangkan, tapi memabukkan.“Ketakutanmu muncul setiap kali seseorang mencoba mendekat secara fisik,” uj
Tiga hari kemudian.Sophia duduk di sofa yang sama seperti minggu lalu, tapi suasananya kali ini cukup berbeda. Ada sesuatu di udara, sebuah keheningan yang terlalu sunyi, dan detak jantungnya yang terlalu keras.John Maxwell menutup pintu dengan tenang, lalu berjalan mendekat dengan langkah yang terukur.Ia mengenakan kemeja biru gelap hari ini, lengan bajunya tergulung hingga siku, dan dasinya tidak seketat biasanya. Dan entah kenapa, penampilan sederhana itu justru membuat Sophia sulit menatap secara langsung.“Bagaimana kabarmu sejak pertemuan terakhir, Sophia?” tanya John sambil duduk di kursinya.“Baik,” jawab Sophia, meski nada suaranya terdengar tidak yakin.“Baik seperti sungguh baik, atau baik sebagai jawaban sopan?” tanyanya lagi dengan sorot mata yang begitu lekat menatap wajah Sophia yang hampir merah karena tatapan yang begitu intens.Sophia menatapnya balik sembari menahan debar jantung yang semakin tak karuan. “Kau selalu tahu cara menelanjangi kalimat orang, ya.”“Pek
“Over here!” serunya begitu melihat Sophia masuk. Kini, mereka berada di kafe yang tak jauh dari klinik milik John.Sophia tersenyum lemah dan menghampiri sambil melepas mantel panjangnya, lalu duduk di hadapan sahabatnya itu.“Jadi?” tanya Bianca tanpa basa-basi, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Bagaimana sesi keduamu? Kau terlihat berbeda setelah melakukan terapi pertama.”“Berbeda bagaimana?” tanyanya bingung.“Entahlah.” Bianca menyipitkan matanya menatap lekat wajah Sophia. “Wajahmu seperti orang yang baru saja melihat hantu, atau baru saja jatuh cinta.”Sophia terdiam sambil menatap uap yang naik dari cangkirnya. “Mungkin keduanya,” gumamnya lirih.Bianca mengernyit. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.Sophia menatap ke luar jendela seolah mencari keberanian lalu menghela napas panjang. “John Maxwell,” katanya pelan. “Psikolog itu … dia bukan orang asing. Aku mengenalnya.”“Kenal?” Bianca mendekat dengan raut wajah antusiasnya. “Dalam arti kenal bagaimana? Kau pernah bekerja
John menutup buku catatannya dengan tenang lalu berdiri. Suara gesekan kursinya terdengar lembut namun cukup untuk membuat dada Sophia bergetar aneh.Pria itu berjalan mengelilingi meja, langkahnya mantap, hingga berhenti tepat di depannya.Ia lalu menarik kursi dan duduk, begitu dekat hingga Sophia bisa mendengar napasnya, bisa mencium aroma samar cologne yang hangat dan maskulin, perpaduan kayu cedar dan vanila yang memunculkan memori samar dari masa remaja.Kehadirannya mendominasi ruangan, bukan dengan ancaman, tapi dengan aura yang kuat dan menenangkan di saat bersamaan.“Kita akan mulai perlahan,” katanya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan.Sophia hanya mampu mengangguk. Detak jantungnya terasa begitu keras hingga dia yakin ruangan ini bisa mendengarnya.“Pertama,” lanjut John, “aku ingin kau mengenali tubuhmu sendiri. Mengenali kapan rasa takut itu mulai muncul, dan dari mana asalnya. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak ada paksaan apa pun di sini. Kau hanya perlu ju
“Silakan duduk dengan nyaman,” ujar suara berat itu dengan nada lembut tapi berwibawa. “Tidak perlu tegang. Di sini tidak akan ada yang menghakimimu.”Dr. John Maxwell menutup map di tangannya, lalu menatap perempuan yang duduk di seberangnya. Sekilas, pria itu tampak seperti seseorang yang sudah terbiasa menampung rahasia-rahasia terdalam manusia—tenang, sabar, dan sangat profesional.Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang membuat udara di ruangan terasa padat.Sophia hanya bisa menatapnya dalam diam, tubuhnya kaku di kursi empuk berwarna krem, sementara pikirannya berputar cepat, mencoba menyesuaikan antara kenangan masa lalu dan kenyataan yang kini terhampar di depan mata.Ia mengenalnya. Terlalu mengenalnya.John Maxwell—nama lengkap yang dulu sering ditulis gadis SMA itu di halaman belakang buku catatannya, dan diapit coretan hati kecil.Cinta pertamanya. Pria yang dulu dia tinggalkan tanpa sempat menjelaskan apa pun.Dan kini, pria itu duduk di hadapannya, mengenakan ke
Tok tok tok“Masuk.”Sophia membuka pintu ruang kerja Mike untuk membahas saran dari sahabatnya semalam.Di dalam, Mike sedang duduk di balik meja kerja yang luas dengan laptop terbuka, dasi masih melingkar di leher, dan kening berkerut tajam. Ia bahkan tidak menatap Sophia ketika perempuan itu masuk.“Mike,” sapa Sophia dengan pelan.“Hmm,” jawabnya singkat tanpa mengangkat kepala.Sophia berdiri canggung di depan meja, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan tubuh. “Aku ingin bicara.”“Kalau soal proyek, bicarakan saja ke Clara. Aku sedang sibuk.”“Bukan soal pekerjaan,” ucap Sophia dengan hati-hati. “Ini tentang ... aku.”Baru kali itu Mike mengangkat kepala dan menatap Sophia dengan pandangan yang sulit dibaca. Ada lelah di sana, tapi juga ketidaksabaran. “Ada apa lagi, Sophia?”Sophia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. “Aku ... aku memikirkan saran Bianca tentang terapi.”Mike bersandar ke kursi lalu menautkan jari-jarinya di depan







