공유

Bab 6

작가: Leona Valeska
last update 최신 업데이트: 2025-11-04 00:10:33

Tiga hari kemudian.

Sophia duduk di sofa yang sama seperti minggu lalu, tapi suasananya kali ini cukup berbeda. Ada sesuatu di udara, sebuah keheningan yang terlalu sunyi, dan detak jantungnya yang terlalu keras.

John Maxwell menutup pintu dengan tenang, lalu berjalan mendekat dengan langkah yang terukur.

Ia mengenakan kemeja biru gelap hari ini, lengan bajunya tergulung hingga siku, dan dasinya tidak seketat biasanya. Dan entah kenapa, penampilan sederhana itu justru membuat Sophia sulit menatap secara langsung.

“Bagaimana kabarmu sejak pertemuan terakhir, Sophia?” tanya John sambil duduk di kursinya.

“Baik,” jawab Sophia, meski nada suaranya terdengar tidak yakin.

“Baik seperti sungguh baik, atau baik sebagai jawaban sopan?” tanyanya lagi dengan sorot mata yang begitu lekat menatap wajah Sophia yang hampir merah karena tatapan yang begitu intens.

Sophia menatapnya balik sembari menahan debar jantung yang semakin tak karuan. “Kau selalu tahu cara menelanjangi kalimat orang, ya.”

“Pekerjaanku memang begitu kalau kau lupa,” ujarnya ringan, lalu menatapnya dengan lembut. “Katakan yang sebenarnya, Sophia. Agar sesi kedua ini lebih detail dan spesifik. Atau ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku. Katakan saja.”

Sophia terdiam beberapa saat. Dia ingin memberitahu John bahwa sebelum dia datang ke klinik di sesi pertama itu, dia gagal berciuman lagi dengan tunangannya itu.

Dan akhirnya, Sophia memberanikan diri untuk berkata, “Mike mencoba menciumku sebelum aku datang ke klinikmu di sesi pertama itu,” katanya akhirnya.

John menatapnya tanpa mengubah ekspresi, hanya sedikit memiringkan kepala dan menunggu lanjutan kalimat itu.

“Aku membeku. Seperti biasa,” lanjutnya pelan. “Aku bahkan tidak bisa menatapnya. Aku ingin, tapi tubuhku menolak. Rasanya seperti … rasa takut yang tidak punya bentuk.”

John meletakkan pena di meja. “Dan apa yang kau rasakan sekarang saat menceritakannya?”

“Marah. Kecewa pada diri sendiri. Dan malu,” jawabnya dengan pelan sambil menggigit bibirnya karena gugup.

“Kenapa malu?” tanyanya sambil menaikan alisnya sedikit.

“Karena aku seharusnya bisa memperbaikinya. Aku sudah mencoba semuanya—”

“Tidak, belum,” potong John dengan nada yang begitu tenang. “Kalau kau sudah mencoba semuanya, kau tidak akan duduk di sini sekarang.”

Sophia menghela napas panjang. “Aku bahkan malu karena harus membicarakan hal-hal seperti ini denganmu. Terutama setelah tahu siapa kau dulu. Hubungan seperti apa yang kita jalani dulu.”

John tidak terkejut, justru dia mengulas senyum tipis saat mendengarnya. Ia lalu menatapnya cukup lama, dan berkata, “Aku tahu.”

Sophia menelan ludahnya sambil memainkan jarinya untuk menghilangkan rasa gugup yang semakin menghantuinya.

“Kau bahkan takut untuk mengatakan semuanya padaku dulu. Tapi, aku juga cukup terkejut bahwa kau akan menikah dengan sepupuku. Bagaimana kau bisa menjalani semua ini, hm?” tanyanya ingin tahu.

Sophia terdiam lagi dan hanya menelan salivanya dengan pelan mendengar pertanyaan dari John barusan.

“Aku … hanya mencoba untuk jatuh cinta dan menjalin hubungan. Hubunganku dengan Mike sudah berjalan selama satu tahun. Di bulan kedua hubungan kami berjalan, Mike sempat ingin bercinta denganku.

“Tapi, aku malah jatuh pingsan dan berkeringat dingin ketika Mike menciumku. Dan Mike mencoba mengerti, mungkin karena aku belum pernah pacaran sebelumnya. Dia memahami itu.”

John mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencatat point penting dari ucapan Sophia barusan.

Keheningan jatuh di antara mereka. Ada sesuatu yang mengalir pelan tapi nyata, bukan lagi sekadar terapi, tapi hubungan dua jiwa yang pernah bersinggungan dan kini dipaksa berhadapan lagi dalam ruang yang terlalu sempit untuk pura-pura.

“Kadang,” kata John perlahan, “trauma tidak hanya datang dari rasa takut. Tapi dari kehilangan yang terlalu dalam. Kau kehilangan kepercayaan pada tubuhmu sendiri, juga pada seseorang yang dulu membuatmu percaya.”

Sophia menatapnya dan tatapannya mulai bergetar. “Kau bicara tentang dirimu?”

“Mungkin,” jawabnya dengan tenang. “Atau mungkin tentangmu.”

Ia berdiri dan berjalan mendekat. Suara langkahnya di lantai kayu terdengar jelas di antara detak jantung Sophia.

Ia berhenti hanya sejengkal di depannya, lalu berkata dengan suara rendah, “Kau masih sama seperti dulu. Selalu menahan semuanya sendirian.”

Sophia menundukkan kepalanya sembari berusaha menyembunyikan wajahnya. “Aku tidak tahu bagaimana cara berhenti melakukannya.”

John berlutut di hadapannya, menatap lurus ke matanya. “Dengan membiarkan seseorang menolongmu.”

Tatapan mereka kemudian bertemu. Untuk pertama kalinya sejak terapi dimulai, Sophia merasa tidak sedang dianalisis, tapi dilihat, benar-benar dilihat. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang antara masa lalu dan masa kini.

“Mike menciumku,” bisiknya lagi, “tapi aku tidak merasakan apa pun.”

“Dan kau merasa bersalah karena itu?” bisiknya dengan suara beratnya.

“Ya.”

“Kalau aku bilang, mungkin itu bukan karena kau rusak, tapi karena tubuhmu hanya merespons sesuatu yang berbeda?” ucapnya seraya menatap lekat wajah Sophia. Bahkan jarak mereka terlalu dekat untuk dikatakan sebagai pasien dan mentor.

Sophia menatapnya dengan tatapan bingung. “Berbeda bagaimana?” tanyanya dengan pelan.

John menghela napas panjang lalu duduk di tepian meja sembari melipat tangan di dadanya.

“Tubuh kita mengenali kejujuran sebelum otak kita melakukannya. Dia tahu kapan sesuatu nyata, dan kapan tidak. Kau tidak takut pada keintiman, Sophia. Kau hanya takut pada orang yang salah.”

Kata-kata itu menancap pelan di dada Sophia. Ia tidak tahu apakah harus marah, menangis, atau tertawa. Tapi yang jelas, napasnya mulai tak beraturan.

John memperhatikan setiap perubahan di wajahnya. “Tarik napas perlahan,” ujarnya. “Fokus pada apa yang kau rasakan sekarang.”

Sophia mencobanya tapi matanya justru terpaku pada wajah John yang begitu dekat.

Rahangnya, garis bibirnya, dan tatapan mata itu, masih sama seperti dulu, saat dia jatuh cinta untuk pertama kalinya.

“John …,” panggilnya dengan pelan.

“Ya?”

“Aku takut,” ucapnya lirih.

“Pada apa?”

“Pada diriku sendiri. Pada hal-hal yang aku rasakan saat bersamamu.”

John menatapnya lama, lalu berkata dengan nada nyaris berbisik, “Itu hal yang paling jujur yang pernah kau katakan padaku.”

Waktu seperti berhenti ketika John mengatakan hal yang membuat Sophia semakin tak karuan.

Tidak ada suara selain detak jam di dinding dan napas mereka yang saling bersahutan pelan.

Lalu John berdiri perlahan, berjalan mengitari meja dan mengambil mapnya, mencoba memulihkan ketenangan suasana di antara mereka.

“Terapimu tidak hanya tentang respon tubuh,” katanya akhirnya, dan masih dengan suara terukur. “Tapi juga tentang mengenali siapa yang bisa kau percayai.”

Sophia berdiri juga dan masih menatapnya dengan tatapan penuh konflik. “Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai siapa pun.”

John menatapnya balik, mata mereka bertemu sekali lagi. “Kalau begitu,” katanya lembut, “biarkan aku membuktikan kalau kau bisa.”

Sophia terdiam. “Bagaimana caranya?”

John meletakkan mapnya di meja kemudian mendekat, dan kali ini jarak mereka benar-benar hilang, hanya sehelai napas di antaranya.

Tatapan John menancap dalam, penuh sesuatu yang sulit diartikan antara profesionalisme dan kerinduan. “Mau mencobanya denganku?”

"Mencoba apa?" tanyanya dengan ragu. 

John menatap Sophia dengan tatapan yang sulit diartikan. Tangannya kini terulur di pipi Sophia kemudian berbisik dengan suara seraknya. "Berciuman denganku." 

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 96

    Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi ketika cahaya matahari menembus tipis celah tirai kamar hotel.Udara pagi terasa hangat dan tenang, menyisakan keheningan yang nyaman setelah malam panjang yang mereka lewati bersama.Kamar itu masih dipenuhi aroma samar parfum dan linen bersih, menjadi saksi kebersamaan yang membuat keduanya lupa sejenak pada dunia di luar sana.John membuka matanya perlahan. Dia lalu menoleh ke samping dan menemukan Sophia masih terlelap dengan napas teratur.Wajah wanita itu tampak damai, jauh dari bayang-bayang ketakutan yang selama ini sering menghantuinya.John tersenyum kecil, hatinya menghangat melihat pemandangan itu. Dengan gerakan hati-hati, dia mendekat dan mengecup bibir Sophia dengan kecupan hangat dan singkat cukup untuk membangunkannya tanpa membuatnya terkejut.Sophia menggeliat pelan. Ia meregangkan kedua tangannya, lalu membuka matanya perlahan.Pandangannya bertemu dengan tatapan John yang lembut, membuat sudut bibirnya terangkat membentuk senyum

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 95

    Makan malam pun berlangsung penuh percakapan ringan, tawa kecil, dan godaan yang berbalut manja.Namun di balik semua itu, ada ketegangan erotis yang menggantung dan semakin pekat dari menit ke menit.Hingga akhirnya, Sophia menaruh garpu dan pisaunya dan menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi puas. “Hh. Perutku sudah kenyang sekali, John.”Kata-kata itu seperti bel tanda akhir pertandingan yang sudah lama ditunggu.John menegakkan tubuhnya menatap Sophia dengan tatapan yang tak lagi bisa disembunyikan. Hasrat yang sejak tadi ia tahan, kini menyeruak keluar tanpa malu.“Bagus,” gumamnya dengan suara berat dan parau. Ia mencondongkan tubuh ke meja dan kedua tangannya bertumpu kuat.“Sekarang ... giliranku. Kau sudah membuat aku menggila sepanjang makan malam ini, Sophia. Jadi ....”Ia berdiri perlahan lalu berjalan memutari meja dengan langkah mantap.Sophia menatapnya tanpa berkedip sementara jantungnya berdegup dengan kencang. Setiap detik terasa panjang, seakan udara di ruan

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 94

    Waktu menunjuk angka sebelas malam dan John mengajaknya ke sebuah restoran mewah. Restoran itu tampak berkilau di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit.John sengaja memilih tempat yang jauh dari hiruk-pikuk, sebuah restoran mewah dengan pelayanan privat yang menjamin ketenangan.Ia bahkan menyewa satu ruang VIP tertutup, memastikan Sophia merasa aman, nyaman, dan tidak perlu cemas dengan tatapan orang lain.Sophia melangkah masuk dengan gaun sederhana berwarna krem yang membingkai tubuhnya dengan anggun.Rambutnya tergerai rapi, dan matanya menelusuri ruangan itu dengan sedikit heran. Meja makan ditata elegan, lilin-lilin kecil menyala lembut, dan alunan musik klasik terdengar samar.“Kenapa mendadak sekali?” tanya Sophia begitu mereka duduk berhadapan. Nada suaranya lembut, namun jelas mengandung rasa penasaran. “Kau bahkan tidak memberiku waktu untuk bersiap-siap.”John tersenyum tipis. Senyum yang selalu membuat dada Sophia terasa hangat tanpa alasan j

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 93

    Tiga hari kemudian, suasana di ruang kerja John terasa jauh lebih berat dari biasanya.Tirai jendela setengah tertutup, membiarkan cahaya pagi masuk samar, seolah ikut menyesuaikan diri dengan suasana hati penghuninya.Di atas meja kerjanya, sebuah map tebal berwarna cokelat tergeletak rapi, penuh dengan dokumen, grafik, dan laporan rinci yang baru saja diserahkan oleh tim audit independen yang ia tugaskan.John duduk bersandar di kursinya, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya tajam menelusuri wajah dua orang auditor yang duduk di hadapannya.Sejak pagi tadi, ia menahan diri untuk tetap tenang, meski dadanya terasa sesak oleh firasat buruk yang sejak awal tak pernah benar-benar ia sangkal.“Kami sudah menyelesaikan penelusuran alur dana yang diberikan oleh Sophia delapan bulan lalu,” ucap salah satu auditor, seorang pria paruh baya dengan kacamata tipis dan suara datar profesional.John mengangguk. “Mulai dari awal,” katanya singkat.Auditor itu membuka map, menarik satu

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 92

    John datang ke apartemen dengan langkah cepat namun tertahan, seolah berusaha menenangkan dirinya sebelum benar-benar berhadapan dengan Sophia.Pintu ditutup pelan di belakangnya. Aroma sabun dan uap hangat dari kamar mandi masih terasa di udara, menandakan Sophia baru saja selesai mandi.Ia menemukannya duduk di depan meja rias, mengenakan piyama sederhana berwarna lembut.Rambutnya masih setengah basah, disisir perlahan dengan gerakan yang tampak mekanis. Tatapannya kosong, fokus pada pantulan dirinya sendiri, seolah pikirannya masih melayang entah ke mana.John berdiri di sampingnya tanpa langsung bicara. Ia memperhatikan Sophia beberapa detik, lalu meletakkan sebuah map tipis di atas meja rias, tepat di samping botol lotion dan sisir kayu milik Sophia.Suara kertas yang menyentuh permukaan kayu membuat Sophia menoleh. Keningnya langsung berkerut ketika melihat dokumen asing itu.“Ini apa?” tanyanya pelan, namun jelas.John menarik napas, lalu menjawab dengan suara rendah namun teg

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 91

    Mike datang ke klinik John tanpa membuat janji, tanpa basa-basi, dan tanpa sedikit pun niat menahan emosinya.Pintu ruang praktik itu terbuka dengan hentakan keras, membuat beberapa perawat di luar terkejut dan menoleh bersamaan.John yang tengah berdiri di dekat meja kerjanya hanya melirik sekilas, seolah sudah menduga siapa tamu tak diundang itu.“Apa semua ini ulahmu?” bentak Mike tanpa salam.Dadanya naik turun, rahangnya mengeras, dan matanya merah oleh amarah yang belum sempat mereda sejak pagi.“Tim audit pajak itu. Kau yang mendatangkan mereka ke perusahaanku, kan?” pekiknya dengan kasar.John tidak langsung menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya ke meja, lalu melipat tangan di dada dengan sikap santai yang justru membuat darah Mike semakin mendidih. Wajah John tetap tenang, nyaris dingin.“Aku sudah bilang,” ujar John akhirnya dengan nada datar. “Aku tidak pernah main-main dengan ancamanku.”Mike mendengus kasar. “Jadi benar. Kau sengaja menghancurkan perusahaanku.”John me

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status