Bunyi hujan yang jatuh di atap mobil terdengar seperti bisikan pelan yang memenuhi ruang senyap di dalam kabin. Leah Caldwell, perempuan berusia 26 tahun itu duduk diam, matanya menatap kosong ke luar jendela, mengikuti jejak air yang meluncur lambat di kaca.
Mobil yang membawanya selama hampir satu jam dari lokasi pernikahan itu kini berhenti "Kau bisa turun sekarang" suara pria paruh baya yang mengemudikan mobil memecah lamunan. "Tuan muda menunggu di dalam." Tambahnya
Leah tak segera menjawab. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena gugup—melainkan karena kesadaran pahit: dia akan diserahkan. Bukan sebagai tamu, bukan sebagai tamatan cumlaude dari universitas ternama, tetapi sebagai perkakas yang harus memperbaiki dan kali ini yang harus dia baiki bukanlah barang, melainkan manusia berwujud Valesco Arden.
“Terimakasih” Ucap Leah. Ia menarik napas dalam, membuka pintu mobil yang terparkir didepan teras dengan atap itu.
Leah melangkah keluar menuju bangunan besar dengan kaca-kaca tinggi dan penjaga di setiap sudut. Semua terlalu dingin. Terlalu bersih. Terlalu berlebihan untuk ditinggali seorang manusia.
Ruang utama itu sunyi ketika ia masuk. Kecuali satu suara:
"Kau terlambat lima menit."
Suara itu dalam, tenang, tapi mengandung ketegangan yang menusuk.
Leah langsung mengulas senyum tipis. Di sofa pojok dekat jendela, duduklah seorang pria dengan setelan hitam sempurna, rambut hitam disisir rapi ke belakang, dan mata yang kelam seperti jurang.
Valesco Arden.
Pria itu meninggalkannya dipesta pernikahan dan sekarang menyalahkannya karena terlambat
Leah menegakkan bahu. "Maaf, jalan hujan."
"Jalan selalu hujan di kota ini. Pelajaran pertama, jangan beri aku alasan." Valesco berdiri, tinggi dan menekan, lalu berjalan mendekat. Matanya menyapu Leah dari ujung kepala hingga kaki. "Kau... lebih kecil dari yang kupikir."
Leah tersenyum miring. "Karena high heelsku sudah kulepas. Maaf mengecewakan."
Valesco diam, nampak mengamati karena bukan kecil itu yang ia maksudkan, melainkan sesuatu yang lain "Belum tentu." Valesco membalikkan badan, lalu melangkah menuju tangga marmer yang menjulang ke lantai dua "Ikuti aku."
Leah menatap punggung pria itu. Langkahnya pelan tapi mantap. Gaun pengantinnya yang berat terseret pada setiap anak tangga seakan membawanya lebih dalam ke dalam dunia yang bukan miliknya—dunia milik Valesco Arden, pria dengan trauma yang disembunyikan rapi dalam jas mahal dan kemarahan senyap.
Dan entah bagaimana, di dalam kontrak tak tertulis ini, Leah tahu satu hal: dia bukan hanya istri di atas kertas. Dia adalah bagian dari rencana. Atau lebih buruk lagi—bagian dari terapi.
“Leah”
Kepala Leah terangkat menatap Valesco berhenti di depan sebuah pintu besar.
"kamarmu” Ucap Valesco. “Jangan sentuh apapun tanpa izin. Jangan keluar tanpa izin. Jangan mengabaikan pesanku dan jangan tanya kenapa aku membelimu." Sambungnya lebih panjang dari yang Leah pikirkan namun lebih sederhana dari bayangannya
Leah tersenyum tipis "Baiklah."
Untuk sepersekian detik, Leah melihat sudut bibir Valesco bergerak—hampir seperti tersenyum. Tapi hanya sebentar, sebelum matanya kembali dingin seperti es.
“Masuk” Valesco tak berkata sepatah kata pun lagi. Ia membuka jasnya, melempar dasinya ke kursi, dan hanya memandang Leah dengan tatapan kosong.
“Apa yang kau tunggu? Lepaskan pakaianmu”
Kalimat itu jatuh seperti batu. Datar. Tanpa emosi. Tanpa gairah.
Leah berdiri kaku di depan cermin, masih mengenakan gaun putih yang mengilap di bawah cahaya lampu gantung kristal. Gaun yang dipilihkan oleh orang lain. Disetujui oleh asisten. Dipasangkan dengan senyuman palsu.
Ia menoleh pelan. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah membeku. “Bisa kau bantu bukakan?” Tanya Leah dengan tenangnya
Valesco terkesiap, matanya menatap Leah dalam diam. Nyaris tak berkedip, seperti binatang buas yang menahan diri untuk tidak menerkam mangsanya. Tapi bukan karena hasrat. Melainkan sesuatu yang lebih kelam dari itu—takut.
Takut terhadap sesuatu yang bahkan Leah belum bisa mengerti.
“Kau lebih agresif dari yang kukira” Suara berat itu keluar dengan serak
Valesco melangkah pelan mendekat. Sepatunya menyentuh lantai marmer dengan bunyi pelan yang justru terdengar nyaring dalam keheningan.
Ketika jarak mereka hanya sehelai napas, Valesco mengangkat tangannya, lalu meletakkannya di punggung Leah. Jemarinya bergerak ke arah resleting gaun yang menempel rapat di tulang belakang istrinya itu
“Kalau kau takut, kau bisa pergi” gumamnya pelan. Tapi suaranya tak lagi dingin. Justru seperti... bergetar.
“Aku tak ingin pergi. Saat ini aku cukup puas punya suami kaya raya meskipun agak kaku” jawab Leah tenang.
Ia bahkan tidak yakin dengan kata-katanya. Tapi bibirnya tetap tersenyum kecil. Senyum tipis, nyaris tidak terlihat. Senyum seorang perempuan yang mencoba berdiri tenang di tengah medan perang yang belum sepenuhnya ia pahami.
Resleting perlahan ditarik turun.
Bunyi zzzzz yang mengiringinya terdengar seperti mimpi buruk yang berderit lambat. Gaun itu melorot sedikit di bahunya. Leah bisa merasakan napas hangat Valesco mengenai kulit punggungnya.
Tapi pria itu tak bergerak lagi. Tangannya berhenti. Nafasnya tak beraturan.
Leah menoleh pelan, dan saat itu, ia melihat kemeja Valesco sudah terlepas. Entah karena gerakan tadi, atau karena pria itu gemetar. Yang jelas... satu sisi kain itu jatuh dari bahunya, membuka sebagian dadanya.
Dan Leah terdiam.
Dadanya sesak.
Tubuh Valesco bukan hanya tinggi dan kokoh. Tapi juga penuh bekas luka. Luka panjang, samar, sebagian sudah memudar—tapi jelas itu bukan luka biasa. Beberapa seperti bekas cambukan. Beberapa seperti goresan logam. Dan satu luka di sisi kanan dadanya... tampak dalam dan kasar. Seperti bekas luka bakar.
“Valesco…” bisik Leah tangannya terulur diudara
Valesco tersadar. Dia langsung menarik kembali bajunya, gerakannya kasar seperti ingin menutupi aib. Tapi Leah keburu menangkap semuanya.
“Jangan lihat” desisnya, lebih terdengar seperti perintah pada dirinya sendiri.
Leah menatap lelaki itu dengan mata bulat yang dipenuhi kebingungan. “Boleh aku bertanya?”
“A-apa?!” Balas Valesco membentak
“Siapa yang melakukan ini padamu?”
Valesco memalingkan wajahnya. Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. “Jangan lihat sialan!”
Leah menghela napas, sepertinya ini takkan mudah
“Baiklah” ucap Leah pelan, memejamkan matanya. “Aku tak melihatnya.”
Sunyi.
Sunyi yang bukan hanya senyap, tapi juga seperti pisau tumpul yang menyeret luka lama ke permukaan.
Valesco menoleh pelan, menatapnya. Wajah Leah tetap tertunduk, matanya masih tertutup rapat. Seakan mencoba menghormati luka yang tak ia minta untuk dilihat. Gerakan sederhana itu—kepekaan itu—membuat sesuatu dalam diri Valesco terasa goyah.
Ia menatap Leah lama. Sangat lama.
Wajah perempuan itu begitu tenang, padahal ia tahu Leah pasti bisa merasakan tatapannya membakar. Tak ada ketakutan, hanya… pengertian. Dan itu yang membuat Valesco kalut.
Kakinya melangkah perlahan.
Satu…
Dua…
Tiga langkah…
Dan kini jarak mereka hanya sejengkal. Nafasnya terasa di wajah Leah. Gadis itu masih diam, masih menutup mata, seakan menyerahkan dirinya pada ketidakpastian yang pria itu bawa.
Valesco menunduk perlahan.
Begitu dekat, sampai Leah bisa merasakan ujung hidung pria itu menyentuh sedikit keningnya. Nafas Valesco berat. Tak stabil.
Dan untuk sesaat, Leah pikir, mungkin... mungkin lelaki itu akan menciumnya. Atau menyentuhnya dengan kelembutan yang nyaris ia lupakan.
Tapi yang datang...
Plak!
Suara tamparan bergema di ruang tidur yang mewah tapi dingin itu.
Tamparan cepat. Tidak terlalu keras. Tapi cukup membuat kepala Leah menoleh.
Cukup membuat dadanya berdegup tak karuan, bukan karena sakit... tapi karena keterkejutan yang menyayat perasaannya.
Gadis kecil itu mengenakan hoodie abu-abu dan celana tidur, rambutnya tergerai acak. Mata abunya terlihat kontras di bawah cahaya lampu gudang yang pucat. Ia menggenggam payung lipat yang tampak belum sempat dipakai, dan di wajahnya tidak ada ketakutan. Hanya rasa ingin tahu yang tenang dan sedikit keheranan.“Papa?” suaranya lembut tapi membuat dada Alesco menegang. “Papa ngapain di sini?”Alesco membeku sesaat. Ia tidak pernah berniat memperlihatkan sisi ini pada putrinya. Tangannya masih memegang senjata yang belum ia letakkan. Dengan cepat ia menurunkannya, menyandarkannya di meja kerja, lalu menatap Valeriah datar.“Kenapa kau bangun sepagi ini?” suaranya rendah, nyaris serak.Valeriah mengangkat bahu. “Aku dengar suara dari jendela. Kupikir ada orang. Tapi ternyata Papa.” Ia menatap sekitar, mata mudanya menangkap peti-peti besar yang belum tertutup rapat. “Ini semua... apa?” tanyanya lagi,
Alesco keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang, hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang. Rambutnya basah, tetes air mengalir perlahan di sepanjang punggungnya yang berotot dan berhenti di garis pinggang, membuat cahaya lampu malam yang hangat memantul samar di kulitnya.Ia mengambil celana training longgar dari walk in closet, memakainya dengan gerakan otomatis, tenang, presisi, seperti seseorang yang terbiasa mengatur segalanya dengan disiplin militer. Saat ia merapikan sabuk, suara hujan di luar makin deras, mengguyur atap rumah hingga terdengar seperti irama berat dari jauh.Leah sudah tertidur. Napasnya tenang, perutnya naik turun perlahan. Alesco beranjakduduk di tepi ranjang, menatapnya istrinya dengan lembut. Tangannya menyentuh perut Leah lama. Seolah ia mencoba mengingat sensasi kehidupan itu untuk menahan dirinya tetap manusia.Ponsel yang ia lekatakn di atas nakal berbunyi — pesan singkat dari Morgan.“P
Rumah mereka di pinggiran kota Columbus masih terang saat mobil Alesco berhenti di depan gerbang.Jam menunjukkan pukul 01.16 dini hari ketika penjaga membukakan gerbang secara otomatis dan menunduk hormat padanya.Alesco masuk pelan, menutup pintu tanpa suara. Di ruang tamu, lampu gantung masih menyala lembut. Leah tertidur di sofa, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Buku terbuka di dadanya, rambutnya berantakan.Pemandangan yang bagi kebanyakan orang sederhana tapi bagi Alesco, itu seperti pisau tajam yang menusuk pelan.Ia berjalan mendekat, menatap wajah istrinya dari jarak dekat. Ada noda kecil di kemejanya, bukan darah, tapi debu logam halus yang berkilat samar. Ia berusaha menyibakkannya sebelum Leah terbangun, tapi terlambat.“...Ale?” suara lembut itu terdengar.Leah membuka mata perlahan, matanya setengah sayu.“Kau baru pulang?”“Ya,” jawabnya cepat. “Ada urusan di pelabuhan.
Udara di pelabuhan Cleveland malam itu terasa berat. Dingin yang menusuk datang dari perairan luas di belakang kompleks terminal kargo, bercampur bau logam, solar, dan debu garam yang menempel di udara. Lampu-lampu sodium di sepanjang dermaga memantulkan warna oranye redup di permukaan air, membuat bayangan peti-peti besi tampak seperti siluet monster raksasa yang berbaris di bawah langit kelabu.Sebuah SUV hitam berhenti di sisi dermaga 17—area yang secara resmi digunakan untuk pengiriman alat berat. Tapi malam ini, di bawah bendera legalitas perusahaan logistik “LES International Shipping”, aktivitas yang berlangsung jauh dari kata bersih.Dari dalam SUV, pintu terbuka perlahan. Sepasang sepatu kulit menginjak tanah lembab.Alesco keluar tanpa suara.Kemeja hitamnya terbalut mantel panjang hingga lutut, kerahnya tegak menahan angin malam. Sorot matanya menatap lurus ke arah tumpukan kontainer yang tertata rapi, tapi hanya ia dan beberapa
Leah baru saja meninggalkan kamar dengan langkah pelan, membawa piring kue dan gelas jus yang sempat ia tawarkan sebelumnya. Pintu tertutup lembut di belakangnya, meninggalkan Althea dan Valeriah berdua di ruangan yang kini terasa terlalu sunyi.Althea menarik napas kecil, menatap sekeliling kamar yang begitu berbeda dari bayangannya tentang kamar anak lima tahun. Meja panjang di sisi jendela penuh dengan kuas, cat air, dan kertas tebal. Lampu sorot kecil diarahkan tepat ke kanvas, membuat ruangan itu lebih menyerupai studio seniman ketimbang kamar anak-anak.“Valeriah” panggil Althea pelan, mencoba memulai percakapan. “Lukisanmu … cantik sekali. Tante jarang lihat anak seusiamu bisa menggambar dengan detail seperti itu.”Valeriah tidak langsung menjawab. Ia hanya memutar kuasnya di tangan, lalu menatap cat air yang mulai mengering di paletnya. “Tante bilang cantik, tapi tadi tatapan tante seperti tidak suka” ucapnya tenang, tanpa menatap Althea.Althea terdiam sesaat, tidak menyangka
Suara bel terdengar dua kali sebelum Leah sempat menurunkan piring dari meja makan. Ia buru-buru menyeka tangannya dengan serbet, lalu melangkah ke pintu utama. Udara sore di Ohio terasa sejuk ketika daun pintu terbuka dan di sana berdiri sosok yang membuat Leah sempat terdiam beberapa detik.“Althea?” gumamnya pelan.Wanita itu tersenyum lembut, tapi ada sesuatu yang berbeda dari penampilannya hari ini. Althea tidak lagi mengenakan jas putih dan kacamata tipis seperti saat di klinik.Rambut hitam pendeknya kali ini ditata rapi ke samping, sedikit bergelombang di ujung, dan bibirnya berwarna merah pekat, kontras mencolok di kulit pucatnya. Blazer krem yang pas di tubuhnya dipadukan dengan blus satin berpotongan rendah, membuat tampilannya jauh lebih feminin, hampir… menggoda.“Semoga aku tidak datang terlalu cepat,” ucap Althea sambil tersenyum ramah, seolah tak menyadari tatapan Leah yang masih sempat menilai dari ujung ram